Dua kali Jumat, berturut-turut saya menyaksikan pementasan drama dalam rangka ujian akhir mahasiswa teater ISBI Bandung. Yang sungguh menarik minat saya untuk tidak melewatkannya adalah lakon yang diperankan merupakan karya Putu Wijaya Bila Malam Bertambah Malam dan Nyai Ontosoroh mengambil kisah dari Roman Pramoedya Ananta Toer yang disadur oleh Faiza Mardzoeki. Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya bercerita tentang kehidupan di Bali pada masa setelah perang puputan. Gusti Biang sebagai tokoh utama adalah seorang janda ningrat yang keras, sesekali angkuh karena keningratannya. Angkuhnya bukan karena keinginan tapi karena kebutuhan untuk terus dihargai. Mungkin itu salah satu cara Gusti Biang mempertahankan hidupnya. Berbeda dengan Gusti Biang, Nyai Ontosoroh, tokoh dalam roman Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer adalah seorang gadis desa yang dijual bapaknya untuk menjadi Nyai Tuan Mellema seorang Belanda tulen. Dendam pada orang tuanya dan pengetahuan barunya akan hal-hal yang berbau Eropa menyebabkan Nyai Ontosoroh menjadi sosok perempuan Jawa yang berbeda pada masanya. Kuat, keras, cerdas, cekatan dan tangguh. Terdapat kesamaan antara tokoh Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh, keduanya berperan dominan sebagai perempuan. Perempuan yang biasanya hanya sebagai pelengkap dalam rumah tangga, pada diri Gusti Biang dan Ontosoroh perempuan berwujud menjadi pengatur dan inti dari rumah tangga. Tentang kisah cinta yang terjadi pada Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh nyaris serupa. Mereka berpasangan dengan seseorang yang tidak dicintainya. Cinta sejati Gusti Biang sebenarnya adalah Wayan, laki-laki sudra yang rela mengorbankan segalanya untuk Gusti Biang bahkan Wayan tidak menikah sampai tua. Hanya karena keningratan suaminya yang membuat Gusti Biang bertahan dari perkawinannya. Begitupun dengan Nyai Ontosoroh meski dalam romannya tidak ada cerita tentang cinta sejatinya, tetapi perkawinan dengan Tuan Mellema adalah sebuah proses jual beli, paksaan bukan dengan sepenuh hati. Kekayaan dan kebaikannya lah yang membuat Nyai bisa menjalani hidup barunya bersama Tuan Mellema. Tetapi tentu ada juga perbedaan yang sangat mencolok. Gusti Biang terlahir sebagai ningrat dan kaya, ditambah lagi dengan harta warisan kekayaan suaminya. Gusti Biang mungkin tak mempunyai dendam masa lalu pada latar belakang kehidupannya. Hidupnya sudah cukup beruntung, tak perlu bekerja keras untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Sedangkan Nyai Ontosoroh adalah sosok pekerja keras. Dia beranggapan semua yang didapatnya adalah hasil kerja kerasnya bekerja siang dan malam di rumah dan di dalam perusahaan Tuan Mellema: “Tuan mulai membayar tenagaku, juga dari tahun-tahun yang sudah” (Toer 2006, hal 96). Hal seperti itu dilakukan nyai, karena nyai khawatir dengan masa depannya sendiri. Nyai paham benar bahwa dia hanyalah gundik yang tidak bisa mendapatkan sedikitpun hak atas suami, perusahaan dan anaknya. Gusti Biang dan Nyai Ontosoroh bisa menjadi potret perempuan masa lampau yang tinggal di Bali ataupun di Jawa. Perempuan yang tidak bisa memilih cintanya, yang hidupnya ada di tangan orang tua dan suaminya. Meskipun mereka hanyalah tokoh fiktif bisa jadi mereka sebenarnya nyata. Sosok perempuan yang selalu digambarkan lemah, tak berdaya, di bawah kungkungan suami, harus taat pada adat dan agama itu semua seolah-olah didobrak oleh Nyai Ontosoroh. Mungkin kita terlalu besar dengan cerita RA Kartini dengan sistem feodalisme Jawa yang ketat. Tetapi jika kita mau menengok sekilas saja pada cerita perempuan dari masa ke masa maka kita akan menemukan banyak perempuan hebat. Misalnya saja Ken Dedes yang hidup pada awal abad ke-13 dan Dewi Mundingsari anak perempuan kedua Raja Pajajaran yang digambarkan sebagai “Kedua perempuan itu begitu ‘panas’–dalam arti magis–bahwa vaginanya bercahaya, dan hanya lelaki dengan kekuatan gaib bisa menikahinya” (Brandes 1897 dikutip dalam Carey & Houben 2016, hal. 9). ‘Panas’ mempunyai arti perempuan terpilih di antara kaum Hawa. Karena ceritanya yang sangat lokal lakon Bila Malam Bertambah Malam pantas dipentaskan berulang kali, terus dieksplorasi dan diapresiasi. Memerankan sosok Nyai Ontosoroh tentu merupakan tantangan tersendiri. Karena Nyai Ontosoroh tak bisa dilepaskan dari romannya yang besar ditambah kemelekatan dengan penulisnya sosok sastrawan hebat Pramoedya Ananta Toer. Bibliografi Carey, P & Houben, V 2016, Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Bandel, K 2006, Sastra, Perempuan, Seks, Jalasutra, Yogyakarta. Wijaya, P 2007, Bila Malam Bertambah Malam, cetakan ketiga, Pustaka Jaya, Bandung. Toer, PA 2006, Bumi Manusia, Lentera Dipantara, Jakarta. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |