Rosawati, S. Sos [email protected] Pendahuluan Pada bidang politik, keterwakilan perempuan secara nasional mengalami kenaikan dari pemilihan umum 1999 sebesar 9%. Data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) Kabupaten Banyumas, menekankan bahwa saat ini keterwakilan perempuan dalam bidang tersebut masih rendah. Rendahnya keterwakilan perempuan dilihat dari sedikitnya perempuan yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Banyumas. Seperti dapat dilihat pada tabel terlampir dibawah, Kemudian persentase perempuan yang menduduki kursi Komisi di DPRD Kabupaten Banyumas dapat dilihat pada tabel terlampir dibawah. Berdasarkan informasi tersebut, jumlah perempuan yang menduduki kursi dewan masih sangat minim. Menurut data SIGA, keterwakilan perempuan di Banyumas meningkat dari 7 orang (15,58%) pada periode 2004-2009 menjadi 8 orang (16%) pada periode 2009-2014. Sedangkan jumlah pemilih tetap perempuan yang terdaftar sebagai pemilih tetap di KPU yakni 616.459 jiwa dan yang menggunakan hak pilihnya hanya 437.881 jiwa. Pemilih perempuan tidak selalu memilih calon legislatif perempuan. Artinya, belum ada kepercayaan mereka terhadap perempuan dalam memimpin. Guna mewujudkan good governance di tingkat Kabupaten, kinerja perempuan di lembaga legislatif tersebut memiliki hubungan erat terhadap tingkat kesejahteraan perempuan yang mereka wakili. Pelaksanaan tugas dan fungsi legislatif dalam hal ini erat kaitannya dengan mengatasi permasalahan perempuan. Dari jumlah perempuan di DPRD Kabupaten Banyumas yang sedikit ini, maka penting dan perlu mengkaji kinerja mereka khususnya dalam usaha mengatasi persoalan perempuan di Kabupaten Banyumas. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian dilakukan di Purwokerto. Penelitian ini memfokuskan pada kinerja anggota dewan perempuan DPRD Kabupaten Banyumas dalam pelaksanaan fungsi DPRD yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan dan fungsi perwakilan. Sasaran penelitian ini diantaranya pihak eksekutif dan pihak legislatif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengambilan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling. Sumber data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber. Sedangkan analisis data yang digunakan berupa analisis interaktif. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2012:246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Kinerja yang Belum Berdampak pada Perempuan Kinerja perempuan di DPRD diharapkan dapat memberikan kontribusi atas kebijakan yang dikeluarkan. Menurut Ihromi (1995:278) para penegak hukum haruslah diberi sebuah pemahaman tentang situasi yang dialami perempuan ketika menjadi korban dari tindakan kriminal yang penuh kekerasan, termasuk kejahatan dengan serangan terhadap perempuan dan yang mengakibatkan cedera fisik serta guncangan psikologis. Mengacu pada hal tersebut haruslah dibuat peraturan yang mendasari tindakan hukum di daerah agar korban kekerasan tersebut cepat tertangani, seperti yang juga tercantum pada Lampiran Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Yeremias T. Keban (2004:190) mendefinisikan kinerja sebagai: “tingkat pencapaian hasil (the degree of accomplishment) atau dengan kata lain kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi“. Kinerja (performance) merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai ukuran suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu. Penilaian tersebut dapat juga dijadikan input bagi perbaikan atau peningkatan kinerja organisasi. Pengukuran kinerja organisasi pada sektor publik ini meliputi enam aspek menurut Mohamad Mahsun (2006:31), yaitu (1) Aspek Masukan (Input); (2) Aspek Proses (Process); (3) Aspek Keluaran (Output); (4) Aspek Hasil (Outcomes); (5) Aspek Manfaat (Benefit); (6) Aspek Dampak(Impact). Pertama, aspek masukan (input), pada aspek ini dibahas kompetensi serta kemampuan diri dari anggota dewan dalam menghadapi masalah ketimpangan gender yang ada saat melaksanakan fungsinya. Belum tercapainya pemenuhan kuota perempuan pada setiap daerah pemilihan, memaksa perempuan yang tidak memiliki kemampuan dalam mengemban amanah masyarakat untuk maju menjadi caleg. Aktor-aktor perempuan karbitan secara terbuka bergerak memasuki lintasan kekuasaan, tanpa terbebani oleh konstruk budaya maupun struktur yang menghambatnya. Partai yang telah memiliki “nama” membuat para perempuan yang maju pencalegan memenangi kursi DPRD tanpa perlu lagi menyamakan visi misi yang dimiliki perempuan itu sendiri. Cara seperti ini kebanyakan tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas diri dalam berideologi, berkomitmen, berpengetahuan, dan berketerampilan agar makin kuat dan menunjukkan perannya secara optimal. Selama perjalanan Tahun 2009 hingga akhir masa jabatan, kinerja anggota dewan perempuan dalam memperjuangkan hak perempuan dinilai masih minim. Hal ini tampak pada rendahnya usaha mereka untuk meningkatkan kualitas diri dalam melihat isu-isu keperempuanan. Justru anggota DPRD laki-laki yang lebih vokal dan memegang kendali atau dengan kata lain anggota dewan laki-laki menjadi pemegang utama alur isu-isu lokal baik pada tataran fraksi maupun komisi. Tingkat representasi perempuan dalam parlemen jika dilihat dari segi kuantitas jelas mengalami kenaikan. Namun keberhasilan tersebut masih menyisakan beberapa persoalan terutama yang paling mendasar adalah kemampuan diri dari setiap anggota dewan. Perlu sebuah strategi multidimensi agar meningkatnya jumlah keterwakilan perempuan dalam parlemen dibarengi pula dengan meningkat dan menguatnya kapasitas dan kompetensi perempuan. Anggota DPRD perempuan yang telah memiliki akses dalam arena politik tidak dimanfaatkan, berdasarkan kebijakanaffirmative action yang bertujuan agar perempuan semakin dapat memengaruhi kebijakan secara langsung serta berorientasi memberdayakan kaum perempuan secara lebih nyata. Menurut Thomas dan Welch (dalam Nur Iman Subono, Jurnal Sosial Demokrasi, 2009;60) anggota parlemen perempuan memiliki kecenderungan untuk memberikan prioritas yang besar dibandingkan dengan anggota parlemen laki-laki dalam kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu seperti keluarga, anak-anak, pendidikan, kesehatan dan perempuan. Berperan sebagai mitra sejajar dengan laki-laki dalam pembangunan berarti perempuan telah dapat mengejar berbagai ketertinggalannya dan memunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam pembangunan, sehingga minimal dapat memberikan jawaban atas permasalahan perempuan di Banyumas. Kedua, aspek proses (process) digunakan untuk melihat pelaksanaan fungsi anggota DPRD perempuan. Yakni bagaimana mereka melakukan aktivitas dalam proses agenda yang dibuat serta bagaimana langkah yang mereka lakukan dalam menyelesaikan isu-isu lokal perempuan. Proses melaksanakan fungsi dewan kini tumpang tindih dengan proses kampanye. Kepentingan diri mereka masih menjadi prioritas utama dalam proses melaksanakan fungsi DPRD, terlebih mendekati pemilu legislatif ini, banyak anggota DPRD yang memilih pulang cepat untuk menemui konstituennya sekaligus melakukan sosialisasi tentang dirinya yang maju pada pencalonan legislatif. Akibatnya yang terjadi permasalahan perempuan lenyap, hanya tinggal laporan dan data. Kehadiran perempuan dalam pembuatan dan pengambilan keputusan diharapkan dapat mendorong terjadinya sejumlah perubahan atas kebijakan yang diputuskan. Selain itu kepentingan perempuan dapat lebih terwakili dan mereka dapat mendukung berbagai kebijakan yang memberikan manfaat kepada perempuan. Temuan penelitian menunjukkan anggota DPRD perempuan masih relatif terbatas dalam memanfaatkan hak inisiatifnya untuk menyusun Rancangan Peraturan Daerah. Beban mendasar yang dihadapi perempuan saat ini adalah tekanan struktural partai yang begitu membelit dihadapi kaum perempuan, terutama erat kaitannya dengan lapangan kerja, layanan kesehatan dasar, hak-hak pendidikan, serta kebebasan dalam berartikulasi. Sejauh ini problem-problem semacam itu jarang mendapat perhatian dalam bentuk kebijakan daerah yang konkret. Kurangnya respons anggota DPRD perempuan membuat permasalahan perempuan di Kabupaten Banyumas masih tidak teratasi. Menurut pandangan Hannah Arent (dalam Hastanti Widy, 2010:331) masalah kuantitas bukanlah masalah penting, yang terpenting adalah tindakan politik apa yang dapat dilakukan dalam posisi itu. Jika jumlah banyak, namun yang dilakukan masih sebatas kerja (labour) dan karya (work), hal ini tidak akan mencapai Human Condition, yaitu ketika sebuah tindakan merupakan aktivitas produktif, bukan dalam hal material (uang saja), tetapi termasuk memperjuangkan nasib sesama demi sebuah kesetaraan. Anggota dewan perempuan maupun laki-laki tidak dituntut untuk menguasai secara teknis materi dan bahasa hukum dalam peraturan daerah, karena hal tersebut dapat diserahkan kepada ahli dalam bidangnya masing-masing. Kredibilitas dan kapabilitas sembilan orang perempuan anggota DPRD dinilai masih rendah. Pada kegiatan yang terlihat memiliki kerjasama dan kompetensi yang baik dengan anggota DPRD laki-laki, ada yang masih perlu dikritisi yaitu peran partai politik yang tetap menjadi otak dasar dalam setiap pendapat, sehingga yang muncul hanyalah capaian partai dan bukan lagi berorientasi pada masyarakat. Ketiga, aspek keluaran (output), membahas tentang keberhasilan anggota DPRD perempuan dalam mendesain program atau kebijakan daerah agar memiliki perspektif gender yang nantinya akan digunakan sebagai jawaban atas permasalahan perempuan di Banyumas. Hasil temuan yang didapatkan adalah anggota DPRD perempuan masih relatif terbatas dalam memanfaatkan hak inisiatifnya untuk menyusun Rancangan Peraturan Daerah, dan belum responsif dalam melihat kebutuhan masyarakat. Pada fungsi penganggaran pun terlihat belum terwujud anggaran responsif gender yang benar-benar tepat sasaran. Tidak ada Peraturan Daerah yang dibuat untuk mengatasi permasalahan perempuan, hanya saja beberapa isu perempuan masuk ke dalam redaksional peraturan daerah. Pada penyusunan peraturan daerah yang reponsif gender, anggota dewan perempuan harus lebih banyak berperan sebagai sumber ide dan gagasan, sesuai kedudukannya sebagai wakil rakyat dan insan politik. Dari banyak kepustakaan tentang perumusan kebijakan publik, terdapat beberapa alternatif penjelasan mengenai bagaimana kebijakan publik dirumuskan. Karena aktivitas inti perumusan kebijakan adalah menilik berbagai alternatif yang berkaitan dengan masalah kebijakan, maka alternatif penjelasannya adalah menggunakan model-model pembuatan keputusan di antaranya model rasional komprehensif, model inkremental, dan model sistem, (Solahudin Kusuma Negara, 2010). Keempat aspek hasil (outcomes), menjelaskan hasil atas kinerja yang telah dilakukan anggota DPRD perempuan. Kualitas kebijakan publik juga menentukan implementasi yang tepat sasaran. Proses formulasi kebijakan publik dikatakan berkualitas apabila benar-benar dirumuskan secara dinamis, demokratis dan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan serta yang memiliki dampak langsung atas kebijakan tersebut. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa keterlibatan aktor dalam proses perumusan kebijakan tidaklah bebas nilai dan bebas dari kepentingan. James Anderson (dalam Solahudin Kusumanegara 2010:61) menggolongkan nilai-nilai dimaksud dalam lima kelompok, yakni: nilai-nilai politik, nilai-nilai organisasi, nilai-nilai pribadi, nilai-nilai kebijakan dan nilai ideologi. Apabila sebuah kebijakan yang dikeluarkan hanya menguntungkan pada satu nilai saja maka akan dipastikan manfaat sebuah kebijakan jauh dari harapan dan tidak akan mengatasi permasalahan masyarakat. Keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan DPRD dari segi politis hanya lebih mementingkan golongan/ partai, kasus-kasus yang ditangani dan mendapat mediasi serta pendampingan hanya yang berhubungan dengan anggota partai. Kelima, aspek manfaat (benefit) dan keenam aspek dampak (impact). Aspek manfaat menjelaskan tentang tepat gunanya sebuah Peraturan Daerah atau program yang disahkan. Sementara aspek dampak berisi tentang kinerja anggota DPRD perempuan dalam mengatasi dampak dari setiap pelaksanaan Peraturan Daerah dan program, baik dampak yang positif maupun dampak negatif. Temuan di lapangan memperlihatkan rendahnya akuntabilitas pelaksanaan fungsi DPRD dan rendahnya pemahaman atas isi peraturan daerah yang telah dibuat mengakibatkan DPRD hanya menunggu laporan yang masuk daripada mengecek proses implementasi dari peraturan daerah tersebut. Sementara keluhan-keluhan yang selama ini disampaikan oleh masyarakat belum semuanya digunakan sebagai referensi bagi penyusunan kebijakan dan penanganan kasus dalam hal ini terutama masalah perempuan. Kepentingan rakyat seharusnya menjadi acuan ketika membahas berbagai rancangan peraturan daerah. Bermanfaatnya sebuah peraturan adalah ketika dapat memecahkan permasalahan masyarakat yang menerima langsung dampak dari peraturan yang dikeluarkan. Proses formulasi yang tidak banyak melibatkan unsur masyarakat serta peraturan yang dibuat semata-mata digunakan sebagai kegiatan perlombaan membuat peraturan daerah baru, mengakibatkan permasalahan yang ada tidak berubah. Perhatian yang besar terhadap permasalahan perempuan tergeser oleh ambisi partai. Selain itu kerjasama antara legislatif dengan eksekutif yang kurang harmonis mengakibatkan terjadinya miss communication atas apa yang menjadi cita-cita awal dibuatnya peraturan. Dengan demikian sebesar apapun dampak yang ditimbulkan dari sebuah peraturan ataupun program yang digelontorkan tidak akan diatasi secara serius. Kendala dalam proses kinerja anggota DPRD Perempuan dapat dilihat dari kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal yang dihadapi adalah perempuan masih dijadikan pelengkap dari persyaratan konstitusi sehingga yang berhasil duduk di kursi parlemen adalah perempuan yang tidak mampu secara pengetahuan dan pengalaman. Wawasannya terhadap permasalahan perempuan masih dinilai rendah sehingga dalam memberikan pendapat dan masukan terhadap isu perempuan tidaklah responsif. Hal lain adalah kurangnya kemauan untuk mengusung gagasan dan kerjasama dengan anggota legislatif perempuan lain dikarenakan visi misi mereka yang tidak sejalan. Sementara kendala eksternal yang dihadapi antara lain adalah beban mendasar yang dihadapi perempuan saat ini yaitu tekanan struktural partai yang begitu membelit dihadapi kaum perempuan, sehingga mengakibatkan kinerjanya sebagai penyalur aspirasi masyarakat di daerah menjadi terbatas Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat diambil dari aspek masukan, peran dan kedudukan perempuan dalam lembaga legislatif selama ini adalah bahwa meskipun secara kuantitas bertambah, namun secara kualitas tidak banyak membantu mengatasi kondisi ketertindasan dan posisi marginal perempuan yang diwakilinya. Hal ini dikarenakan tidak ada peningkatan kualitas diri (kompetensi dan pengetahuan) dalam mengatasi isu-isu keperempuanan. Kemampuan mereka dalam membaca dan mengatasi masalah perempuan yang rendah mengakibatkan permasalahan yang terjadi tidak terselesaikan pada tataran legislasi. Melihat fakta tersebut maka perlu adanya peningkatan kompetensi dan kemampuan diri dalam mengatasi permasalahan perempuan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menjalin kerja sama di antara perempuan anggota DPRD agar tercipta sinergi dan dapat saling mengisi kekurangan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Selain itu proses penjaringan, pencalonan dan penetapan calon anggota legislatif harus tetap mengedepankan kompetensi atau kecakapan/ kemampuan, kepemimpinan, kredibilitas, integritas maupun ketokohannya. Agenda ke depan perlu melaksanakan kerja sama dengan lembaga-lembaga eksekutif untuk mengangkat isu-isu strategis terkait problem struktural yang dialami perempuan. Daftar Pustaka Keban, Yeremias T, 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konse, Teori dan Isu, Gava Media, Yogyakarta Kusuma Negara, Solahudin, 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik, Gava Media, Yogyakarta. Mahsun, Mohamad, 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. BPFE, Yogyakarta. Moleong, Lexy J, 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung. Moser, Caroline O.N, 1993.Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training. Routledge, New York Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, 2010. Kebijakan Publik Pro Gender, UNS Press, Surakarta. Nugroho, Riant, 2008. Gender dan Administrasi Publik: Studi Tentang Kualitas Kesetaraan Gender Dalam Administrasi Publik Pasca Reformasi 1998-2002, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung. Thoha, Miftah, 2012. Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Depok. Thomas, S. 1994, How Women Legislate. Oxford University Press. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Widy Nugroho, Hastanti,2012. Peran Politik Perempuan Di Lembaga Legislatif Ditinjau Dari Prespektif Filsafat politik Hannah Arendt, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. --- 2009. Representasi Politik Perempuan: Sekadar Ada Atau Pemberi Warna, Jurnal Sosial Demokrasi Edisi ke-6, Tahun 2, PI-KPYIK, Jakarta. ---2010. Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) Kabupaten Banyumas Tahun 2010, Bapermas-PPKB dan PPGAPM, Purwokerto.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |