Saya sungguh menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak perubahan UU Perkawinan tentang batas usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Alasan penolakannya adalah umur bukanlah aspek utama dari segala masalah sosial yang terjadi dalam institusi perkawinan. Padahal dengan mengubah batas usia perkawinan, menyetujui dari usia 16 ke 18 tahun saja, paling sederhana, negara sudah tidak lagi memberi landasan hukum dari tindakan pedophilia. Mengapa? Karena menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisi anak adalah “Setiap Manusia yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”. Pedophilia sendiri masuk dalam kategori penyimpangan seksual menurut International Classification of Diseases oleh WHO (World Health Organisation), dan hebatnya Indonesia sebagai negara hukum justru memberi landasan hukum bagi tindakan pedophilia. Masalah sosial lainnya seperti perceraian misalnya, menurut MK perceraian tidak disebabkan oleh mudanya usia perempuan dinikahkan. Padahal hal itu justru merupakan salah satu faktor utama terjadinya perceraian akibat pernikahan di usia yang terlampau muda. Pasangan di usia muda belum cukup matang untuk menentukan hendak dibawa kemana hidupnya, apalagi harus menentukan sendiri harus hidup bersama orang lain dan membina bahtera rumah tangga yang seharusnya seumur hidup dan penuh tanggung jawab. Apakah benar batas usia perkawinan tidak memengaruhi tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia? Secara logis bisa kita urut bahwa pasangan yang menikah di usia yang lebih matang akan bisa mengatur perencanaan kehamilan, mengatur jarak kehamilan dan kesiapan fisik dan psikis untuk bereproduksi. Penelitian telah membuktikan bahwa rahim perempuan baru siap untuk dibuahi setelah usia 20 tahun. Hamil dan melahirkan di bawah usia kematangan rahim akan memperbesar risiko kelahiran bayi dengan kondisi cacat dan berpengaruh juga terhadap kesehatan ibu secara psikis. Dari segi pendidikan pun, dengan dinaikkannya batas minimal usia perkawinan, perempuan yang nantinya akan menjadi ibu dan merupakan sekolah pertama bagi anak-anak akan mendapatkan kesempatan lebih lama untuk bersekolah. Bayangkan saja, jumlah perempuan yang meraih gelar doktor di seluruh dunia hanya 2 persen. Saya tidak berani membayangkan berapa persentase perempuan yang berhasil meraih gelar doktor di Indonesia, pastilah jumlahnya sangat sedikit. Dengan paparan di atas, saya rasa dengan menaikkan usia perkawinan saja, Undang-Undang sudah memberikan aturan tertulis untuk berlaku adil kepada perempuan sebagai warga negara. Karena perempuan adalah tonggak suatu bangsa, mendidik perempuan sama saja dengan mendidik seluruh bangsa, karena itu dengan mengubah batas usia pernikahan nyatanya banyak memberikan pengaruh bagi nasib perempuan, nasib bangsa. Ada salah satu film tentang perempuan dan prostitusi yang membekas di benak saya. Judulnya Laaga Chunari Mein Daag: Journey of a Woman (लागा चुनरी में दाग). Ceritanya sederhana, tentang seorang perempuan bernama Badki yang terjebak dalam dunia pelacuran sebagai seorang “PR” yang bingung karena jatuh hati pada seorang pria. Badki melacur karena ayahnya membutuhkan biaya pengobatan dan keluarganya mengalami krisis. Badki “dimatikan” secara kemampuan dan kesempatan oleh perusahaan-perusahaan besar di kota Mumbai. Secara sistematis, perempuan, apalagi yang berasal dari desa atau kota kecil seperti Badki dikalahkan pada tahap awal melamar pekerjaan. Kisah Badki kurang lebih sama seperti kisah seorang pelacur yang menjadi subjek foto cerita dalam disertasi Yuyung Abdi. Saya yakin ada lebih banyak lagi pelacur yang bernasib sama. Alih-alih menghakimi pelacur perempuan yang direpresentasikan oleh Badki, film ini justru memberikan penilaian yang berbeda terhadap seorang pelacur. Film ini dengan berani menunjukkan bahwa pelacur perempuan juga merupakan perempuan terhormat. Film ini mematahkan kriteria ideal masyarakat tentang perempuan baik-baik. Menjadi seorang pelacur tidak serta-merta membuat seseorang menjadi buruk seperti yang distigmakan. Dalam beberapa kasus, menjadi seorang pelacur itu bukan keputusan yang sepele. Sering sistem ekonomi atau sosial politik yang mapan membuat orang terpojok dan “memilih” untuk menjadi pelacur. Seakan pilihannya hanya ‘ya’. Dalam masyarakat yang masih menganggap dan memuja keperawanan dan kesucian, melacurkan diri itu sama dengan menenggelamkan diri pelan-pelan ke neraka. Tubuhnya dianggap sarang dari penyakit dan dosa. Tubuhnya yang sudah “dikonsumsi” banyak orang dianggap kotor dan najis. Sebaliknya, di masyarakat yang lain seperti masyarakat yang tinggal di kawasan prostitusi Dolly, dekat rumah saya, secara spesifik perempuan dan tubuhnya dipandang sebagai “instrumen” yang mendatangkan rezeki untuk banyak orang. Tubuh-tubuh perempuan yang terkonsentrasi dalam satu area, menarik lelaki (dan perempuan) untuk datang, menyewa dan memakai tubuh pelacur perempuan tersebut. Lalu, muncul wisma dengan kapasitas ruangan sederhana hingga luar biasa, billiard dan karaoke, diskotik, panti pijat, salon kecantikan, penyewaan kamar kos, warung-warung kecil yang menjajakan kopi serta jajanan, lahan parkir, hingga para pemungut sampah yang menggantungkan rezekinya dari kawasan Dolly. Tubuh-tubuh perempuan yang dijustifikasi kotor dan najis pun tak ubahnya seperti oase di tengah padang pasir. Oase yang diciptakan oleh sistem dan siapa pun yang berkuasa atas tubuh-tubuh perempuan itu. Bergeser sedikit dari pembahasan tersebut, saya tidak akan membahas mengapa perempuan lebih banyak menjadi pelacur. Banyak literatur dan hasil penelitian yang membahas hal tersebut. Yang menjadi fokus saya adalah prostitusi. Mengapa prostitusi identik dengan sesuatu yang buruk? Mengapa orang-orang yang masuk dalam lingkaran prostitusi, terutama pelacur–baik perempuan, transgender, laki-laki atau queer, hampir selalu dianggap buruk? Dianggap sebagai liyan? Apakah karena mereka tidak menjalani hidupnya sesuai dengan tatanan agama dan moral? Apakah tubuh para pelacur tidak menjadi tubuh ideal yang digembar-gemborkan oleh agama dan moralitas? Apakah tubuh pelacur serta-merta membuat keseluruhan diri pelacur buruk? Mengapa selalu mereka–pelacurnya? Mengapa diskursus tentang prostitusi hampir selalu berbicara dan mengobjekkan pelacurnya? Mengapa tidak germonya? Mengapa tidak orang yang “memakainya”? Mengapa tidak negaranya? Stereotip dan prasangka terhadap pelacur dan prostitusi atas nama agama, moral, atau bahkan atas nama hukum telah demikian akutnya. Beberapa malah menjadi diskriminasi. Lantas, bagaimana? Kekerasan seksual terhadap perempuan semakin hari bagaikan momok menakutkan bagi perempuan di Indonesia, bahkan membawa berbagai permasalahan yang serius bagi korban. Pernahkah kita melihat munculnya stigma negatif terhadap perempuan yang hamil diluar nikah? Masyarakat seolah-olah tanpa rasa bersalah menjatuhkan putusan dan asumsi bahwa perempuan tersebut pasti perempuan “nakal” atau perempuan yang sudah tidak suci atau bahkan perempuan yang kotor dan hina. Kasus semacam ini sangat familier di telinga kita, bahkan sudah merebak di seluruh lapisan stratifikasi sosial masyarakat. Lantas bagaimana perasaan kaum perempuan yang mendapatkan label yang tidak mereka inginkan? Nama baik mereka akan luntur kemudian mereka akan dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan yang paling menyedihkan adalah label “anak haram” yang akan disematkan pada sang bayi yang dilahirkan. Apakah masyarakat juga memberi label pada laki laki yang membuat seorang perempuan ternoda dengan cap laki laki kotor atau laki laki penaruh bibit haram? Tidak, bukan? Masyarakat cenderung diam, mereka mungkin tidak terlalu peduli tentang siapa bapak dari bayi itu. Yang mereka pedulikan adalah ibu dari bayi itu merupakan perempuan yang tidak baik. Apakah sedangkal itu mereka kemudian menyimpulkan bahwa semua perempuan yang hamil diluar nikah merupakan perempuan yang tidak baik? Bagaimana dengan korban kejahatan seksual, apakah itu adil? Jika masyarakat memberi gelar mereka sebagai “perempuan nakal”, sesungguhnya perempuan itu sendiri tidak menginginkan kejadian itu menimpa dirinya. Namun masyarakat seolah-olah bisu dan tuli jika dihadapkan pada kasus semacam ini. Mereka yang mendapatkan label sebagai “perempuan nakal” sebenarnya muak dengan stigma tersebut. Kehadiran mereka pun ditolak oleh keluarga mereka sendiri. Keluarga mereka merasa bahwa calon ibu dari bayi yang dikandung merupakan aib bagi keluarga. Bahkan untuk menutupi aib tersebut perempuan korban kadang harus disingkirkan untuk sementara waktu di suatu tempat. Sementara mereka sebenarnya adalah korban dari tindak kekerasan seksual. Mereka merupakan manusia yang didiskriminasi oleh sebagian masyarakat di lingkungan kita. Mereka diasingkan di suatu tempat, mungkin di tempat tinggal kerabat mereka, agar keluarganya tidak merasa malu. Bukankah itu sama saja memenjarakan mereka ? Perlakuan itu mirip sekali dengan perlakuan terhadap para tahanan. Para perempuan tersebut sesungguhnya manusia bebas. Namun kebebasan mereka direnggut oleh sebuah otoritas bernama”masyarakat”. Mereka seperti tahanan dari pasukan Nazi jerman yang harus ditempatkan di sebuah kamp konsentrasi. Gambaran seperti ini mengingatkan kita pada sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri ini. Yakni ketika perempuan-perempuan anggota organisasi bernama Gerwani dianggap sebagai sampah masyarakat. Mereka dipandang sebagai aib bagi keluarga, bahkan label pembangkang negara tersemat pada diri mereka dan terus dilekatkan sampai kepada keturunan mereka. Dalam hal ini terdapat persamaan, anak-anak anggota Gerwani mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Keturunan kader gerwani pada masa Orde Baru tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil dan menduduki jabatan strategis. Sama halnya dengan anak yang dilahirkan oleh perempuan korban kekerasan seksual, ia akan mendapatkan sanksi sosial berupa label “anak haram”. Lantas bagaimana jika anak yang dilahirkan itu bertanya kepada ibunya, kenapa ia disebut anak haram? Semoga saja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan memiliki anak dapat menjelaskan dengan baik kepada anaknya, sehingga si anak tetap memiliki rasa percaya diri untuk bergaul dengan masyarakat pada umumnya. Dalam kasus ini bukankah terjadi semacam eutanasia terhadap seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan kemudian hamil. Seolah-olah eksistensinya sebagai individu yang merdeka ditengah-tengah masyarakat kemudian menjadi terbelenggu dan terjajah karena stigma negatif yang ditanamkan masyarakat terhadap perempuan yang hamil sebelum menikah. Ini bentuk eutanasia yang halus dan tersamarkan sehingga seolah-olah luput dari pengamatan kita. Permasalahan seperti ini sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan permasalahan seperti ini dapat menjadi penghambat bagi korban. Jika mereka masih di usia sekolah, institusi pendidikan formal tidak akan menerima jika salah satu dari murid mereka hamil diluar nikah, sehingga mereka akan dikeluarkan dari sekolah. Bukankah mendapatkan pendidikan yang layak merupakan hak setiap manusia? Begitu menakutkankah mereka hingga harus dikeluarkan dari sekolah? Mereka bukan monster atau teroris. Mereka adalah korban. Sungguh berat beban psikologis yang harus ditanggung oleh individu seperti mereka.
Hingga saat ini sudah sangat banyak kajian dan studi yang berlatarkan kemiskinan, baik itu studi kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan. Namun pada umumnya penyebab kemiskinan itu sendiri masih sulit diberantas karena faktor penyebab yang sangat kompleks. Pendapat para ahli umumnya berbeda-beda, berbeda wilayah berbeda pula konteks kemiskinannya dan tentu cara memeranginya berbeda pula. Sebagian besar orang (termasuk ahli) menilai bahwa fenomena kemiskinan sangat erat kaitannya dengan faktor ekonomi. Dalam arti bahwa ukuran sebuah kemiskinan adalah ekonomi. Suyanto (2013) menyebutkan bahwa banyak bukti menunjukkan yang disebut sebagai orang atau keluarga miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi ekonomi lebih tinggi. Ketika saya merenung, hal pertama yang melintas dalam pikiran saya adalah tentang ibu saya—seorang perempuan Dayak Mali. Seorang perempuan Dayak Mali memiliki kedudukan yang sama seperti perempuan suku lain di Indonesia. Kedudukan dalam arti kesamaan hak dan kewajiban sebagai perempuan di Indonesia. Ada diantara mereka yang bernasib baik, mereka dapat mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah tinggi, untuk kemudian keluar dari belenggu kemiskinan. Namun sangat banyak diantara mereka yang tidak bernasib beruntung, sehingga memaksa mereka untuk tetap tinggal di kampung dengan penghidupan seadanya. Saya memahami mereka yang bernasib tidak beruntung, bukan karena mereka malas bekerja tetapi keadaan yang sudah terstruktur yang mengikat mereka dalam sebuah kondisi tertentu—bahkan mereka sendiri tidak menyadari bahwa mereka dalam kondisi miskin. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pandangan konservatif yang memvonis bahwa sebuah kemiskinan merupakan akibat dari lemahnya etos kerja. Kemiskinan inilah yang dimaksud sebagai kemiskinan struktural. Suyanto (2013) menuliskan bahwa secara teoritis kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber. Oleh sebab itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku yang sedemikian rupa keadaannya sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Fenomena kemiskinan struktural ini terjadi pada perempuan Dayak Mali, penyebab utamanya yakni perempuan Dayak Mali tidak memiliki keterampilan lebih untuk bergeser ke penghidupan yang lain, atau dalam kata lain mereka tergolong dalam unskilled labour. Ciri mendasar dari kemiskinan struktural yaitu tidak adanya mobilitas sosial vertikal. Dengan kata lain mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya. Seandainya pun ada progress-life pada perempuan Dayak Mali, maka berjalan sangat lamban. Saya ingin menghubungkan fakta kemiskinan perempuan Dayak Mali dengan konsep deprivation trap oleh Robert Chambers seperti dikutip Suyanto (2013). Deprivation trap terdiri dari lima unsur, yakni: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini sangat erat kaitannya antara satu dengan yang lainnya. Dimensi kemiskinan yang acapkali menjadi perhatian khusus saya adalah adanya diskursus dalam strukturalisasi. Apabila keluarganya miskin, maka perempuan Dayak Mali ikut andil dalam kemiskinan tersebut, dalam arti tidak hanya kaum perempuan saja yang merasakan miskin namun juga kaum laki-lakinya. Sudah dapat dipastikan kondisi ini akan bertahan lama dan stagnan apabila tidak ada keberlanjutan dalam usaha keluar dari belenggu kemiskinan. Sejauh yang saya amati pada perempuan Dayak Mali, mereka sangat aktif dalam usaha yang dimaksud. Tidak jarang mereka diterima bekerja di perusahaan-perusahaan maupun bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Pengamatan saya di Desa Cowet, Kecamatan Balai, perempuan Dayak Mali banyak yang bekerja di PT. Erna Djuliawati di Kabupaten Sanggau. Namun tidak dapat dipungkiri ada pula diantara mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota Pontianak (umumnya bagi mereka yang tidak tamat sekolah menengah). Fenomena kemiskinan merupakan hal yang jarang disadari oleh perempuan Dayak Mali yang masih belia. Mereka bekerja hanya semata-mata untuk mendapatkan uang kemudian diberikan kepada orang tuanya, sudah. Hanya sebatas itu, mereka hanya berpikir bahwa kehidupan mereka memang seperti itu adanya. Tidak akan ada lagi jalan bagi mereka untuk menjangkau kehidupan yang berbeda dari kondisi yang ada saat itu. Ini bukanlah sikap pasrah atau menyerah pada nasib. Tetapi mereka tidak punya pilihan untuk mengubah mata angin kehidupan, dikarenakan pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keterampilan dalam bidang tertentu. Sebuah perangkap kemiskinan (Robert Chambers) salah satunya terjadi dikarenakan kelemahan fisik. Hal ini tentu sejalan dengan praktik gender yang mengklaim bahwa perempuan adalah kaum yang lemah daripada laki-laki. Namun dimensi ini tidak berlaku bagi perempuan Dayak Mali. Riwut (2011) menyebutkan bahwa konsekuensi dari kesetaraan gender yang sejak semula telah diperoleh perempuan Dayak, merupakan tantangan untuk mampu membuktikan diri bahwa perempuan Dayak bukan makhluk lemah yang tidak berdaya. Kenyataannya, perempuan Dayak Mali memiliki semangat bekerja yang tinggi. Hal ini terbukti dengan mereka bekerja di sawah atau ladang setiap hari. Mereka ikut ambil bagian dalam kegiatan gotong royong atau pengiri yang menjadi tradisi budaya turun-temurun masyarakat Dayak Mali. Di sisi lain perempuan Dayak Mali yang bekerja di perusahaan dapat menghasilkan materi, yang setidaknya sedikit membawa keluarganya selangkah lebih baik dari keluarga lain. Hidup di desa dengan penghasilan pas-pasan merupakan ukuran ekonomi sebuah praktik kemiskinan. Pada fakta yang terjadi sebagian keluarga miskin tidak menyadari kemiskinan yang terjadi di dalam. Mereka beranggapan bahwa hidup miskin sudah menjadi hal yang biasa ketika roda kehidupan berjalan datar. Toh mereka masih bisa makan dari hasil berladang dan masih bisa bertahan hidup dari hasil alam sekitar, dengan kata lain keluarga miskin sebisa mungkin survive. Namun yang menjadi masalah yaitu ketika ada tekanan kebutuhan yang memaksa mereka harus mengeluarkan banyak uang dalam kondisi perekonomian tertentu. Misalnya, melonjaknya harga sembako yang tidak bisa mereka produksi sendiri, seperti: minyak goreng, gula pasir, dan lain-lain. Kondisi seperti ini tentu akan membuat mereka semakin tidak berdaya. Belum lagi bagi mereka yang memiliki anak, mereka dituntut memenuhi gizi anak seperti membeli susu dan telur. Terkadang hal ini tidak terpenuhi karena keterbatasan ekonomi atau penghasilan yang pas-pasan. Kondisi masyarakat desa tersebut sangat erat kaitannya dengan dimensi kerentanan. Di kalangan keluarga miskin, kerentanan pada umumnya identik dengan suatu kondisi ekonomi keluarga yang tidak memiliki penyangga yang memadai (rapuh). Menurut Chambers kondisi ini dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti gagal panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin. Dalam keadaan ini biasanya akan menimbulkan roda penggerak kemiskinan atau disebut poverty racket yang bisa lebih memiskinkan keluarga miskin, misalnya keluarga miskin harus menjual harta benda dan aset tanahnya sehingga membuat mereka semakin rentan dan tidak berdaya. Fakta lain yaitu sejalan dengan dimensi keterasingan atau kadar isolasi, dimana perempuan Dayak Mali tidak memiliki akses untuk mendapatkan jalan menuju penghidupan layak yakni pendidikan. Sedikitnya terdapat tujuh dusun yang termasuk dalam wilayah Desa Cowet. Dari tujuh dusun tersebut hanya satu dusun yang sudah memiliki akses listrik atau PLN. Sedangkan enam dusun lainnya masih belum terjangkau oleh PLN. Dengan kata lain terdapat ribuan masyarakat miskin yang aksesnya dipangkas karena keberadaannya di daerah terpencil. Kemiskinan yang terjadi bukan hanya karena masalah uang dan hasil produksi saja, namun juga ketersediaan infrastuktur. Fakta yang ada menunjukkan bahwa infrastruktur jalan saja masih sangat jauh dari kata memadai. Lantas bagaimana akses pendidikan dapat berjalan baik? Bagaimana akses pekonomian berjalan lancar? Sementara akses pintu gerbang utama masih belum terbuka. Keterisolasian daerah tempat tinggal perempuan Dayak Mali tidak serta-merta membuat mereka miskin semiskin-miskinnya. Namun, lagi-lagi mereka sedikit memahami esensi kata miskin itu sendiri. Mereka justru berpikir bahwa masih banyak yang lebih miskin dari mereka, seperti di daerah perkotaan masih ada orang yang tinggal di bawah kolong jembatan, atau tinggal di rumah kardus, atau bahkan tidak memiliki tempat tinggal. Justru masih banyak orang yang lebih miskin bukan karena keterisolasian tempat tinggal. Pada dasarnya keterisolasian ini bukan masalah pokok kemiskinan yang terjadi secara umum. Konsep ketidakberdayaan perempuan Dayak Mali terjadi karena faktor rendahnya pendidikan. Sehingga soft skill yang mereka miliki tidak memadai. Jika terdapat perempuan Dayak Mali yang menamatkan pendidikan di bangku SMA, setelah tamat mereka memilih untuk menikah dan cenderung melanjutkan lakon dan peran orang tua mereka (perempuan Dayak Mali lainnya) menjadi buruh tani. Soft skill yang yang didapat saat duduk dibangku sekolah seharusnya dapat diaplikasikan kedalam bentuk pekerjaan lain, misalnya bekerja di koperasi. Namun kenyataannya mereka lebih memilih pekerjaan seperti yang orang tua mereka wariskan. Keluarga yang jatuh pada lingkaran setan atau perangkap kemiskinan, umumnya mereka sulit untuk bangkit kembali. Roda kehidupan yang mereka lakoni cenderung hanya dalam lingkaran itu saja, tanpa adanya usaha untuk keluar dari lingkaran roda tersebut. Mereka acapkali tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan dan bahkan mengalami penurunan kualitas kehidupan (Suyanto, 2013). Referensi: Suyanto, B. (2013). Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: Intrans Publishing. Riwut, N. (2011). Bawin Dayak: Kedudukan, Fungsi, dan Peran Perempuan Dayak. Yogyakarta: Galang Press. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |