Saya sungguh menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak perubahan UU Perkawinan tentang batas usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Alasan penolakannya adalah umur bukanlah aspek utama dari segala masalah sosial yang terjadi dalam institusi perkawinan. Padahal dengan mengubah batas usia perkawinan, menyetujui dari usia 16 ke 18 tahun saja, paling sederhana, negara sudah tidak lagi memberi landasan hukum dari tindakan pedophilia. Mengapa? Karena menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisi anak adalah “Setiap Manusia yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”. Pedophilia sendiri masuk dalam kategori penyimpangan seksual menurut International Classification of Diseases oleh WHO (World Health Organisation), dan hebatnya Indonesia sebagai negara hukum justru memberi landasan hukum bagi tindakan pedophilia. Masalah sosial lainnya seperti perceraian misalnya, menurut MK perceraian tidak disebabkan oleh mudanya usia perempuan dinikahkan. Padahal hal itu justru merupakan salah satu faktor utama terjadinya perceraian akibat pernikahan di usia yang terlampau muda. Pasangan di usia muda belum cukup matang untuk menentukan hendak dibawa kemana hidupnya, apalagi harus menentukan sendiri harus hidup bersama orang lain dan membina bahtera rumah tangga yang seharusnya seumur hidup dan penuh tanggung jawab. Apakah benar batas usia perkawinan tidak memengaruhi tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia? Secara logis bisa kita urut bahwa pasangan yang menikah di usia yang lebih matang akan bisa mengatur perencanaan kehamilan, mengatur jarak kehamilan dan kesiapan fisik dan psikis untuk bereproduksi. Penelitian telah membuktikan bahwa rahim perempuan baru siap untuk dibuahi setelah usia 20 tahun. Hamil dan melahirkan di bawah usia kematangan rahim akan memperbesar risiko kelahiran bayi dengan kondisi cacat dan berpengaruh juga terhadap kesehatan ibu secara psikis. Dari segi pendidikan pun, dengan dinaikkannya batas minimal usia perkawinan, perempuan yang nantinya akan menjadi ibu dan merupakan sekolah pertama bagi anak-anak akan mendapatkan kesempatan lebih lama untuk bersekolah. Bayangkan saja, jumlah perempuan yang meraih gelar doktor di seluruh dunia hanya 2 persen. Saya tidak berani membayangkan berapa persentase perempuan yang berhasil meraih gelar doktor di Indonesia, pastilah jumlahnya sangat sedikit. Dengan paparan di atas, saya rasa dengan menaikkan usia perkawinan saja, Undang-Undang sudah memberikan aturan tertulis untuk berlaku adil kepada perempuan sebagai warga negara. Karena perempuan adalah tonggak suatu bangsa, mendidik perempuan sama saja dengan mendidik seluruh bangsa, karena itu dengan mengubah batas usia pernikahan nyatanya banyak memberikan pengaruh bagi nasib perempuan, nasib bangsa.
HERMANTO
19/11/2015 07:16:41 pm
,,.,KISAH NYATA ,
SRI MAHIRA
16/8/2016 06:58:19 am
kami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
Diana TKW Taiwan
1/12/2015 09:44:05 am
Terima Kasih K.H.Lukman Jaya yg Telah membantu saya lewat pesugihan TUYUL..Saya yg dulunya seorang TKI di Taiwan..Sekarang saya udah punya segalanya berkat TUYUL yg di kontrakkan kepada saya..Bagi sobat yg ingin merasakan hal seperti saya silahkan kunjungi Blog http://ramalanghaib.wordpress.com atau Hubungi K.H.Lukman Jaya di +6285211199918 ..Terima Kasih..Wassalam..!!!! 15/5/2016 11:18:19 am
,,.,KISAH NYATA , Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |