Ada salah satu film tentang perempuan dan prostitusi yang membekas di benak saya. Judulnya Laaga Chunari Mein Daag: Journey of a Woman (लागा चुनरी में दाग). Ceritanya sederhana, tentang seorang perempuan bernama Badki yang terjebak dalam dunia pelacuran sebagai seorang “PR” yang bingung karena jatuh hati pada seorang pria. Badki melacur karena ayahnya membutuhkan biaya pengobatan dan keluarganya mengalami krisis. Badki “dimatikan” secara kemampuan dan kesempatan oleh perusahaan-perusahaan besar di kota Mumbai. Secara sistematis, perempuan, apalagi yang berasal dari desa atau kota kecil seperti Badki dikalahkan pada tahap awal melamar pekerjaan. Kisah Badki kurang lebih sama seperti kisah seorang pelacur yang menjadi subjek foto cerita dalam disertasi Yuyung Abdi. Saya yakin ada lebih banyak lagi pelacur yang bernasib sama. Alih-alih menghakimi pelacur perempuan yang direpresentasikan oleh Badki, film ini justru memberikan penilaian yang berbeda terhadap seorang pelacur. Film ini dengan berani menunjukkan bahwa pelacur perempuan juga merupakan perempuan terhormat. Film ini mematahkan kriteria ideal masyarakat tentang perempuan baik-baik. Menjadi seorang pelacur tidak serta-merta membuat seseorang menjadi buruk seperti yang distigmakan. Dalam beberapa kasus, menjadi seorang pelacur itu bukan keputusan yang sepele. Sering sistem ekonomi atau sosial politik yang mapan membuat orang terpojok dan “memilih” untuk menjadi pelacur. Seakan pilihannya hanya ‘ya’. Dalam masyarakat yang masih menganggap dan memuja keperawanan dan kesucian, melacurkan diri itu sama dengan menenggelamkan diri pelan-pelan ke neraka. Tubuhnya dianggap sarang dari penyakit dan dosa. Tubuhnya yang sudah “dikonsumsi” banyak orang dianggap kotor dan najis. Sebaliknya, di masyarakat yang lain seperti masyarakat yang tinggal di kawasan prostitusi Dolly, dekat rumah saya, secara spesifik perempuan dan tubuhnya dipandang sebagai “instrumen” yang mendatangkan rezeki untuk banyak orang. Tubuh-tubuh perempuan yang terkonsentrasi dalam satu area, menarik lelaki (dan perempuan) untuk datang, menyewa dan memakai tubuh pelacur perempuan tersebut. Lalu, muncul wisma dengan kapasitas ruangan sederhana hingga luar biasa, billiard dan karaoke, diskotik, panti pijat, salon kecantikan, penyewaan kamar kos, warung-warung kecil yang menjajakan kopi serta jajanan, lahan parkir, hingga para pemungut sampah yang menggantungkan rezekinya dari kawasan Dolly. Tubuh-tubuh perempuan yang dijustifikasi kotor dan najis pun tak ubahnya seperti oase di tengah padang pasir. Oase yang diciptakan oleh sistem dan siapa pun yang berkuasa atas tubuh-tubuh perempuan itu. Bergeser sedikit dari pembahasan tersebut, saya tidak akan membahas mengapa perempuan lebih banyak menjadi pelacur. Banyak literatur dan hasil penelitian yang membahas hal tersebut. Yang menjadi fokus saya adalah prostitusi. Mengapa prostitusi identik dengan sesuatu yang buruk? Mengapa orang-orang yang masuk dalam lingkaran prostitusi, terutama pelacur–baik perempuan, transgender, laki-laki atau queer, hampir selalu dianggap buruk? Dianggap sebagai liyan? Apakah karena mereka tidak menjalani hidupnya sesuai dengan tatanan agama dan moral? Apakah tubuh para pelacur tidak menjadi tubuh ideal yang digembar-gemborkan oleh agama dan moralitas? Apakah tubuh pelacur serta-merta membuat keseluruhan diri pelacur buruk? Mengapa selalu mereka–pelacurnya? Mengapa diskursus tentang prostitusi hampir selalu berbicara dan mengobjekkan pelacurnya? Mengapa tidak germonya? Mengapa tidak orang yang “memakainya”? Mengapa tidak negaranya? Stereotip dan prasangka terhadap pelacur dan prostitusi atas nama agama, moral, atau bahkan atas nama hukum telah demikian akutnya. Beberapa malah menjadi diskriminasi. Lantas, bagaimana?
ramadhani
28/9/2015 12:50:23 am
Dan parahnya, lsm lsm pun bermunculan menjadikan mereka lahan basah. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |