Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia yang terletak di Kalimantan Barat. Tetapi sungguh disayangkan, berbagai aktivitas masyarakat yang tidak ramah lingkungan menyebabkan air Sungai Kapuas sudah tidak sehat lagi. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan sumber kehidupan dan penghidupan bagi sebagian masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Kapuas Kalimantan Barat. Sungai menjadi tempat perempuan melakukan berbagai aktivitas seperti mencuci, mandi, memasak, dan lainnya. Namun di sisi lain, mereka mengabaikan air sungai yang sudah tercemar akibat limbah industri dan PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin). Limbah berbahaya mencemari air sungai, tapi masyarakat beraktivitas seperti biasa, pemerintah pun bersikap biasa saja. Seakan-akan kondisi air sungai tidak berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Sungai Kapuas sudah tercemari zat kimia merkuri, limbah pabrik, bakteri coli, dan terdapat indikasi tercemar pestisida dari perkebunan.[i] Anak-Anak dan Sungai Suatu ketika saya memiliki kesempatan untuk tinggal bersama keluarga yang sudah cukup lama mendiami wilayah bantaran Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Sebut saja Ibu Alya dan Pak Umin, yang memberikan tumpangan rumah kepada saya selama seminggu di Kota Pontianak. Anak-anak bermain air dengan riang gembira, menggunakan pelampung dari ban dalam bekas mobil. Mereka tertawa lepas, tanpa tahu mereka berenang di atas limbah racun. Anak-anak dan perempuan merupakan kelompok paling rentan terkontaminasi racun berbahaya dari air sungai. Suami dan ayah mereka mencari ikan di sungai untuk dimakan. Ikan-ikan sudah terkontaminasi racun limbah yang berbahaya, dan dikonsumsi oleh mereka sekeluarga. Sementara ibu-ibu menyusui anak-anak mereka, bayi mereka ikut terkontaminasi racun limbah seperti merkuri. Hal ini sangat serius, pembiaran perusakan hutan oleh perusahaan tambang tanpa pengelolaan limbah yang baik sama saja membunuh generasi yang tiada berdosa. Hampir di setiap aliran Sungai Kapuas terdapat perempuan dan anak-anak yang (bertahan) hidup dalam keterbatasan. Mereka berburu ikan untuk makan, tanpa mengetahui ikan telah tercemar oleh zat kimia berbahaya. Mereka beranggapan bahwa ikan itu masih segar karena baru saja ditangkap. Secara tidak langsung, keluarga pengonsumsi ikan terkontaminasi oleh zat berbahaya. Belum lagi anak-anak suka berenang, tanpa sengaja menelan air sungai. Sedikit banyak zat kimia masuk ke dalam tubuh si anak. Anak-anak Bu Alya, sangat suka bermain air di sungai. Kulit mereka dekil dan hitam, bagian kaki terdapat bercak koreng. Hal itu karena kebiasaan anak-anaknya yang tidak mandi menggunakan sabun. Atau setidaknya mereka tidak dapat membilas badan mereka dengan air bersih, karena tidak ada. Kebiasaan anak-anak yang tidak dipantau ini, tumbuh terus-menerus, sehingga kuman penyebab penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh anak-anak. Ditambah lagi, karena Bu Alya dan Pak Umin sibuk bekerja, maka sedikit waktu untuk memantau anak-anak mereka. Keluarga, Perempuan dan Limbah Saya tinggal bersama sebuah keluarga di pinggiran sungai Kapuas. Rumah mereka adalah rumah sewa, bukan rumah milik pribadi. Mereka warga asli, memiliki KK (Kartu Keluarga) asli, tetapi tidak memiliki rumah permanen. Terdapat tiga anak di tengah keluarga itu, yang tertua kelas satu SMP, dan dua orang lagi masih duduk di bangku SD. Pak Umin bekerja sebagai sopir dan istrinya bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Sedangkan anak tertua mereka, yang baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), bekerja sambilan sebagai buruh cuci. Rumah mereka berdiri di atas air, jika Sungai Kapuas pasang. Sehingga toiletnya langsung mengalir ke sungai. Kondisi ini adalah kondisi umum bagi masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Kapuas, hampir setiap rumah memiliki toilet yang langsung mengalir ke sungai. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, sebagai antisipasi pencemaran limbah rumah tangga di Sungai Kapuas. Limbah rumah tangga seperti detergen untuk mencuci pakaian, toilet, dan sampah-sampah rumah tangga menjadi penyumbang atas pencemaran air di Sungai Kapuas. Peringatan tanpa disertai dengan solusi tidak akan membangun kesadaran masyarakat. Buang Air Besar (BAB) di sungai merupakan kebiasaan masyarakat di pinggir sungai yang sulit untuk di ubah. Namun, saya yakin jika masyarakat difasilitasi dengan one family one toilet, kemudian dibekali dengan pemahaman kesehatan, masyarakat akan mengubah kebiasaannya. Sore itu anak-anak masih bergumul dengan air pasang, mereka senang sekali bermain air dikala pasang. Mereka masih sangat polos, tak kurang dari sepuluh orang jumlahnya. Sedangkan bapak-bapak ada yang sedang memasang pukat, ada pula yang menebar jala. Untuk apa lagi kalau bukan mencari ikan buat lauk keluarga mereka. Saya masih duduk di muka pintu, menikmati sunset yang mulai turun meninggalkan bumi khatulistiwa. Isu perempuan dan isu lingkungan memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipandang secara terpisah. Isu lingkungan juga merupakan isu feminis, dalam hal ini ekofeminis. Karena opresi terhadap alam sama dengan opresi terhadap perempuan. Sebagaimana diungkapkan Greta Gaard, “ecofeminists have described a number of connections between the oppressions of women and of nature that are significant to understanding why the environment is a feminist issue”.[ii] Bu Alya tidak tamat SD (Sekolah Dasar), begitu pula dengan Pak Umin. Bu Alya masih cukup kuat membantu suaminya bekerja, menopang perekonomian keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. “Yang terpenting, anak-anak saya bisa bersekolah” ucapnya. Mental fight to survive sudah tertanam dalam diri mereka sehingga mereka mampu bertahan hidup di kota, dengan penghasilan seadanya. Sekilas keluarga mereka tampak bahagia hidup dalam kesederhanaan, namun di balik itu terdapat perjuangan dan mimpi untuk generasi dan anak-anak mereka. Tidak ada akses air bersih di rumah mereka, padahal air sungai menjadi tempat pembuangan limbah industri dan rumah tangga. Tetapi mandi, mencuci sayur, mencuci pakaian mereka lakukan menggunakan air sungai yang kondisinya bau dan tidak layak—mereka tergantung pada air limbah (sungai). Rata-rata masyarakat di bantaran sungai tidak memiliki akses air bersih. Hanya untuk minum mereka membeli air galon isi ulang seharga Rp 6.000 per galon. Imbauan pemerintah hanya sebatas “jangan membuang sampah di sungai”, tetapi tidak mengimbau untuk jangan menggunakan air sungai, tentu diikuti dengan solusi yang implementatif. Perempuan yang hidup di bantaran sungai, seolah-olah sudah terbiasa dengan kondisi hidup mereka, tanpa mereka menghiraukan akibat-akibat yang timbul terhadap keluarga mereka. Kemiskinan sebenarnya lebih dari sekadar rendahnya konsumsi dan minimnya pendapatan, gambaran yang lebih mendalam mengenai orang miskin adalah bahwa mereka adalah orang yang cenderung tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi, bahkan lulus sekolah dasar saja sudah merupakan suatu keistimewaan, apalagi memiliki keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.[iii] Masyarakat miskin di wilayah perkotaan, bukan perkara memiliki penghasilan rendah semata, melainkan akses masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup. Catatan belakang: [i] Pencemaran di Hulu Hingga Hilir, di akses tanggal 13 September 2016 dari: http://nasional.kompas.com/read/2008/09/17/10331232/pencemaran.di.hulu.hingga.hilir [ii] Gaard, G (ed.) 1993, Ecofeminsm: Women, Animals, Nature, Temple University Press, Philadelphia. [iii] Stamboel, K A 2012, Panggilan Keberpihakan: Strategi Menangani Kemiskinan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |