Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Wacana Feminis

Perempuan dalam Pengadilan Rok

21/8/2014

 
Milastri Muzakkar
(Penulis Buku Perempuan Pembelajar dan Calon Ibu)
milastrimuzakkar@yahoo.com
PictureDok. Pribadi
Pagi itu, kedatanganku di sekolah disambut berbeda oleh para guru. “Nah, begini dong. Kalau pakaiannya begini, baru seperti Ibu guru,” kata seorang guru sambil memerhatikan penampilanku dari jilbab hingga sepatu. Lalu diikuti dengan ucapan selamat dari beberapa guru lainnya. “Hehe…berarti sebelumnya saya tidak seperti Bu Guru, ya Bu?” candaku yang diikuti tawa para guru. Yah, sebelumnya, aku mengenakan baju batik atau kemeja yang dipadukan dengan celana kain untuk kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Namun, setelah beberapa siswa dan guru merasa aneh serta mempertanyakan tidak biasanya penampilanku di desa ini, maka jadilah pagi itu aku memakai setelan lengkap baju dinas berwarna cokelat. 

Semua berawal saat suatu hari kepala sekolah memanggilku ke ruangannya. “Bu Mila, apa Ibu tidak merasa aneh dengan penampilan Ibu?” Sambill tersenyum tipis namun juga dengan wajah sedikit aneh kujawab, “Aneh? Tidak Pak. Memangnya kenapa Pak?” “Di sini (Aceh) tidak ada Ibu guru yang memakai celana. Pasti pakai rok. Anak-anak saja pakai rok. Makanya mereka merasa penampilan Ibu Mila beda. Apa Ibu Mila tidak merasa aneh memakai celana sendiri?” lanjut kepala sekolah. Tanpa ingin memperpanjang masalah, aku pun mafhum dengan seruan itu. Sekolah memintaku memakai baju dinas dan menggunakan rok tentunya. Untuk konteks ini, berdiskusi apalagi berdebat panjang bukanlah solusi. Aku sedang menjalankan misi pengabdian lewat mengajar di daerah terpencil. Bermasalah sedikit, bisa menggagalkan misi besarku. Kutepuk dada, kutelan ludah, lalu sekuat tenaga menahan emosi di dalam diri.

Aceh adalah salah satu daerah yang masih mengidentifikasi perempuan lewat formalitas pakaian. Karena daerah ini serambi mekah, religius, katanya. Sayangnya, yang mesti menanggung jargon religius itu adalah perempuan. Segala jejak langkah, perkataan, penampilan, dan seluruh yang melekat pada tubuh perempuan menjadi hal yang patut diadili bersama. Sejak dulu, menjadi pengadilan bersama. 

Zubaidah Djohar dalam kumpulan puisinya yang bertajuk Pulang Melawan Lupa (2012), dengan sangat baik menggambarkan keterkungkungan perempuan yang dipagari oleh pakaian muslim yang bernama rok. Berikut adalah salah satu kutipan puisi yang berjudul “Negeri Tujuh Ribu  Rok”:

Di negeri  tujuh ribu rok, aku terhenti
menebar pandang pada langitr yang tak lagi biru
yang bercerita tentang tubuh-tubuh yang dipagari
konon katanya, agar pandangan liar tidak menggerayangi
agar kerusakan bumi tidak terjadi 
tapi tahukah engkau wahai pembuat pagar negeri?
liar ada di kepala nan tinggi
kerusakan bumi juga dari tanganmu yang tak berhati
lalu kenapa tubuh-tubuh rentan itu yang kau sekap tiada henti?
kau tertibkan demi pengakuan Islamnya negeri
Di negeri tujuh ribu rok, aku terhenti
Dan bertanya pada penguasa negeri
syariat mana yang tengah kau ceritai?
karena Sang Pencipta penuh kasih pada insane
menyuruhmu berpikir tentang affala ta’qilun dengan hati
dan melarangmu berbuat kerusakan di muka bumi ini

Dengan menjadikan pakaian longgar semacam rok sebagai ukuran, maka perempuan yang menggunakan jilbab dengan baju dan celana, oleh sebagian masyarakat dipandang sebelah mata, lalu ramai-ramai dihakimi dengan berbagai ucapan yang membakar telinga. Segala dalil agama pun berkumandang. Berbagai istilah pun dibuat tren. Jika dulu, biasa disebut “berjilbab tapi telanjang”, sekarang berganti menjadi “jilboobs”. Semua sama, bermuara pada pengerdilan dan penghinaan pada perempuan.

Hei.., come on! Rok atau pakaian muslim dalam bentuk dan dengan nama apapun bukanlah pagar yang menjadi ukuran pembatas—untuk sejarah dan kewajiban menggunakan jilbab atau hijab dapat diperdebatkan panjang tentunya. Bahwa ia sebagai identitas seseorang, iya. Namun bukan ukuran kadar keimanan atau kualitas seseorang. Yang menutup seluruh tubuh tak menjamin lebih baik dari mereka yang telanjang sekalipun. Bukan sebuah sebab-akibat. Mari jernihkan cara berpikir kita. 

Apakah perkataan dan perbuatan seseorang harus baik dulu baru boleh menutup diri dengan pakaian yang beridentitas muslim? Bagaimana jika ia belum merasa sanggup berjilbab, namun sanggup melakukan kebaikan bagi orang banyak? Haruskah ia menunda perbuatan baiknya hingga ia memakai jilbab? Mengapa kita tak berpikir bahwa mungkin saja ia telah berusaha berjilbab namun belum mampu melakukannya. Coba ingat, sepanjang hidup kita, sudah berapa banyak perempuan yang tak berjilbab atau berjilbab dengan pakaian ketat yang telah menolong kita? Ada berapa diantara mereka yang telah berjuang untuk kebaikan negeri kita? Barangkali lebih bermanfaat jika kita tidak memperdebatkan pakaiannya tetapi fokus pada sumbangsihnya untuk orang banyak. 

Bahkan Tuhan yang selalu dijual oleh mereka yang menghakimi pun tak pernah memaksakan firmannya kepada manusia. Tuhan sangat paham dengan segala ciptaan-Nya. Ia memberi ruang yang luas bagi hambanya dalam membaca, memecahkan dan menjalankan segala misteri alam semesta. Lalu mengapa kita yang hanya berpredikat hamba merasa paling benar dan berhak mengadili hamba lainnya? (*) 


Comments are closed.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa