Sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sudah menempuh lebih dari 100 sks, saya wajib mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) sebagai salah satu syarat kelulusan. Bagi sebagian besar mahasiswa UGM, KKN menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu. Kami diperbolehkan membentuk tim sendiri dan memilih lokasi yang kami inginkan, di pelosok manapun dari Aceh sampai Papua. Saya belajar di Fakultas Filsafat, yang termasuk didalam klaster Sosio-Humaniora. Oleh karena itu, letak Fakultas saya berdekatan dengan kampus Sosio-Humaniora lainnya seperti Fisipol, Hukum, Ilmu Budaya, Ekonomika dan Bisnis serta Psikologi. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa saya jarang bertemu dengan mahasiswa dari klaster lain seperti Agro, Kesehatan dan Teknik. Melalui KKN inilah kami, seluruh mahasiswa UGM dari berbagai klaster disatukan dalam berbagai tim yang terdiri dari 20-30 mahasiswa untuk belajar pada masyarakat selama kurang lebih 50 hari. Saya mengikuti KKN UGM periode 2013 di Pulau Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan 27 rekan dari tiga klaster yaitu Sosio-Humaniora, Agro dan Teknik, tim KKN kami mengusung tema “Inventarisasi Budaya”. Untuk sampai ke Alor, kami menghabiskan waktu 2-3 hari perjalanan dari Yogyakarta. Memang terdengar sangat lama, dan sesungguhnya ada cara yang lebih cepat untuk menuju ke Alor. Namun setelah melalui jalur udara dari Surabaya menuju Kupang, kami ber 27 dan satu dosen pemimbing lapangan memilih jalur laut selama 18 jam dari Kota Kupang menuju Pulau Alor. Sesampainya di Alor, sebagian besar dari kami yang belum pernah bepergian ke Indonesia bagian Tengah atau Timur, merasa belum bisa beradaptasi dengan kondisi alam dan masyarakat setempat. Masyarakat Alor masih memelihara adat dan tradisi dari leluhurnya. Menurut tradisi yang ada, setiap tamu yang akan tinggal beberapa waktu di sana harus disambut dengan baik dan “diangkat” menjadi keluarga. Sistem “anak angkat” yang mengharuskan kami terpisah satu sama lain dan tinggal bersama orang tua angkat masing-masing, sangat membantu proses adaptasi kami. Saya tinggal di desa Sebanjar, Kecamatan Alor Barat Laut dan diangkat anak oleh keluarga Djasa Samiun. Selama hampir lima puluh hari tinggal bersama, saya mengamati keluarga saya hidup dengan cara yang sederhana serta selalu mematuhi adat istiadat yang berlaku. Bapak angkat saya sangat disegani oleh anggota keluarga lainnya di rumah. Bapak mempunyai dua istri, saya memanggilnya dengan sebutan Mama Kecil dan Mama Besar karena ukuran tubuh mereka yang berbeda cukup signifikan. Baru beberapa hari tinggal bersama, saya merasa sedikit aneh dan kurang paham dengan cara hidup keluarga angkat saya, yang mungkin juga merepresentasikan cara hidup masyarakat Alor. Bapak saya lebih banyak di rumah untuk menonton televisi atau duduk di pinggiran rumah. Sesekali bapak pergi beberapa jam dan kembali lagi ke rumah, namun hal itu jarang terjadi. Sedangkan dua mama angkat saya terlihat lebih sering di rumah kecuali pagi hari. Mama kecil banyak menghabiskan waktunya mengurus jagung-jagung dalam “rumah lumbung” yang sisanya digantung di atap dapur. Sedangkan mama besar bertugas mengurus kebun sayuran di samping dan belakang rumah. Disamping itu, mereka berdua juga mengurus beberapa pekerjaan rumah lainnya seperti memasak, mencuci atau membersihkan rumah. Waktu KKN kami kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadan. Terdapat dua kepercayaan yang dianut mayoritas masyarakat Alor yaitu, Islam dan Kristen. Orang islam tinggal di pesisir, sedangkan orang kristen tinggal di gunung. Kami tinggal di pesisir, oleh karena itu kami yang sebagian besar muslim menjalankan ibadah dan berbagai perayaan bulan ramadan bersama-sama warga. Terdapat kebiasaan atau mungkin bisa disebut tradisi masyarakat Alor untuk berkumpul, berbincang dan makan di dalam masjid setelah salat tarawih. Saya dan teman-teman lain memutuskan ikut berbincang-bincang di dalam masjid. Saya baru sadar kalau tidak ada perempuan lain yang ikut duduk di dalam masjid selain saya dan teman perempuan lain dari tim KKN saya. Setelah mengamati beberapa saat, yang menjadi perhatian saya adalah beban para mama dalam kebiasaan ini. Para mama menyiapkan makanan di dapur-dapur, lalu menyajikannya ke dalam masjid agar bapak-bapak bisa memakannya sambil mengobrol. Saya melihat beberapa mama hanya berdiri di belakang jendela masjid sambil melihat kami yang di dalam masjid berbincang. Setelah kami selesai berbincang, barulah para mama masuk untuk membereskan piring dan makan bila mungkin ada yang tersisa. Karena rasa penasaran saya pada cara hidup masyarakat Alor, saya menanyakan pada teman-teman lain bagaimana pengalaman mereka tinggal bersama keluarga angkatnya. Kebanyakan dari keluarga teman-teman saya juga memiliki pola yang sama, yaitu peran mama lebih “aktif” dalam mengurus rumah tangga. Memang ada beberapa yang tidak, namun hanya sedikit diantara keluarga angkat kami. Terkadang mama besar membawa saya jalan-jalan. Beberapa kali kami pergi ke pasar tradisional yang diadakan hanya dua kali seminggu. Sesekali mama juga membawa saya ke rumah perempuan penenun di dekat rumah pada siang hari. Dan setiap sore sebelum waktu buka puasa, mama selalu mengajak saya memasak. Mama memperlihatkan saya bagaimana memilih sayur yang baik, memetik buah, menumbuk jagung atau mengolah hasil tangkapan ikan dari laut. Saya yang sebelumnya tidak bisa memasak, “dipaksa” mama belajar mengolah dedaunan menjadi sup yang bisa dimakan, menumbuk biji kenari menjadi sepotong kue, serta mol (sejenis menggiling) jagung supaya bisa dicampur dengan beras untuk ditanak. Setiap hari mama selalu membangunkan saya dari tidur siang untuk memasak karena dia memahami memasak sebagai kodrat perempuan. Kehidupan tidak akan bisa berjalan bila manusia tidak punya energi, maka manusia harus makan dan minum. Uniknya, kemampuan mengolah makanan menurutnya diturunkan sebagai “kerja perempuan”. Semakin lama saya tinggal, semakin saya mengagumi mama angkat saya dan perempuan Alor lainnya. Dipertengahan KKN, saya menderita sakit perut yang lumayan hebat. Saya pikir, mungkin disebabkan karena sambal Alor yang sangat pedas dan asam, yang saya campur dengan sup daun kelor tiap harinya. Beberapa teman akhirnya menemani saya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Hanya ada satu Rumah Sakit Pemerintah di Pulau Alor yang jaraknya sekitar 1-2 jam dari desa saya. Karena oto (angkutan umum) sangat jarang melewati desa kami, maka seringkali kami menyewa sepeda motor warga untuk pergi ke kota. Sesampainya di rumah sakit, saya berkonsultasi dengan dokter muda yang kebetulan sama-sama dari Yogyakarta. Setelah memeriksa saya, dokter bilang mungkin gejala usus buntu. Namun dia hanya memberi beberapa antibiotik dan penahan rasa sakit, yang sewaktu saya tebus tidak lebih dari sembilan ribu rupiah. Saya menanyakan apakah mungkin dilakukan operasi? Dia menyarankan untuk tidak buru-buru melakukan operasi karena tidak ada satupun dokter spesialis di Pulau Alor. Saya sungguh kaget, entah karena waktu itu menjelang Idul Fitri sehingga para dokter yang sebagian besar perantau pulang ke Jawa, atau memang tidak pernah ada sama sekali? Saya lupa menanyakannya. Walaupun sudah mendapat obat dari dokter, saya masih was-was bila penyakit saya tidak kunjung membaik. Tidak disengaja saya bertemu dengan seorang mama sepulang dari rumah sakit. Berawal dari perkenalan dan perbincangan sederhana, saya menceritakan sakit yang sedang saya alami dibagian perut kanan. Saya sedikit kaget dan kurang percaya ketika mama tersebut bilang, dia tahu obat untuk penyakit saya. Dia melihat ke sekeliling dan mencabut rerumputan berwarna ungu dan memberikan kepada saya untuk dijemur hingga kering, lalu direbus dengan pinang kering. Entah dari mana resep tersebut dia dapatkan, namun saya pikir tidak ada salahnya mencoba obat tradisional setempat. Saya tidak begitu khawatir meminumnya ketika mama tersebut bilang dia sendiri pernah mencobanya dan berhasil. Alhasil, percaya tidak percaya sejak hari itu saya tidak lagi merasa sakit di perut bagian kanan. Pengalaman berinteraksi dengan perempuan Alor mengingatkan saya kepada tulisan Vandana Shiva yang menyuarakan ekofeminisme. Dalam salah satu bukunya, Bebas dari Pembangunan dia bicara mengenai pekerjaan perempuan di India untuk memproduksi dan mereproduksi kehidupan yang akhirnya dianggap “kurang produktif”. Di Alor, perempuanlah yang mewarisi kemampuan mengambil biji jagung langsung dari wajan panas yang terbuat dari tanah liat, lalu menumbuknya di atas batu, serta menjadikannya jagung titi yang selalu tersedia setiap sore di atas meja makan. Hanya para mama yang mampu mengingat bagaimana daun kelor yang tumbuh di depan rumah bisa jadi santapan lezat. Melalui perempuan juga, masyarakat Alor mengingat bagaimana cara meramu rumput, daun atau pinang menjadi obat yang bisa menyembuhkan sakit. Memang, kita tidak bisa mengesampingkan peran bapak seperti, memancing atau menombak ikan di laut. Namun perlu diingat, para mama yang mempunyai ingatan dan pengetahuan untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang bisa dimakan. Menurut Shiva, pekerjaan-pekerjaan yang seringkali tidak tampak ini sangat erat dengan alam dan kebutuhan. Perempuan melestarikan alam melalui pemeliharaan siklus ekologi, melestarikan kehidupan manusia melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar akan pangan, gizi dan air. Namun, perendahan serta kurangnya penghargaan terhadap pekerjaan perempuan tersebut yang akhirnya menciptakan pemahaman akan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Tinggal bersama masyarakat selama hampir dua bulan, menunjukkan kepada saya bahwa perempuan Alor mempunyai peran yang signifikan dalam merawat alam. Walaupun, akhirnya saya sendiri mempertanyakan rasa kagum saya pada “kerja perempuan” yang menurut mereka sudah diwariskan dan dijalankan sejak lama. Seperti dalam kebiasaan setelah salat tarawih, perempuan tidak diizinkan atau sebaiknya tidak ikut berkumpul di dalam masjid. Pada saat itu, walaupun saya perempuan, saya dibiarkan masuk. Menurut pendapat pribadi saya, hal tersebut mungkin karena mereka menilai saya sebagai “perempuan dari Jawa” yang dianggap berpendidikan. Saya berpikir, apakah bila semua perempuan Alor mendapatkan akses pendidikan tinggi seperti saya, mereka juga akan mendapatkan “hak istimewa” seperti saya untuk duduk berbincang di dalam masjid setelah salat tarawih? Pada akhirnya saya buntu pada pemikiran untuk membiarkan “kerja perempuan” di Alor—dengan banyaknya beban kerja serta kurangnya penghargaan pada perempuan—sebagai usaha penghargaan dan pelestarian tradisi, atau memberikan pemahaman mengenai pilihan untuk menentukan sendiri kerja seperti apa yang masing-masing mereka inginkan? Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |