Anak-anak adalah bagian dari kehidupan manusia. Manusia sendiri pernah mengalami fase menjadi seorang anak. Anak sesungguhnya menjadi bagian dari diri manusia itu sendiri. Namun, kenyataannya, anak sering menjadi sosok yang dianggap benda semata. Daya tangkap dan pengelolaan emosinya yang masih dianggap labil sering menjadi alasan para orang dewasa untuk mengekang anak dalam sebuah kerangka teori mereka sendiri. Itulah budaya yang terjadi di Indonesia. Adanya sistem patriarkal yang cukup kuat mewarnai bangsa ini juga memberi dampak pada anak. Anak menjadi kelas ketiga, diabaikan bahkan dilupakan. Apalagi anak perempuan, posisi mereka sering dianggap rendah. Tidak dilibatkan dalam kehidupannya sendiri. Ia lebih diatur oleh orangtuanya. Hal ini juga yang tergambar dari perjalanan iman Kekristenan, yang terungkap dalam beberapa teks-teks di dalam Alkitab. Tidak banyak teks-teks di dalam Alkitab melibatkan sosok anak sebagai pemeran utama. Contohnya dalam kisah Yesus memberkati anak-anak di dalam Matius 19:13-15. Anak-anak yang penuh dengan kegembiraan diajak oleh orang tuanya hendak menemui Yesus. Seakan-akan Yesus adalah sosok ayah bagi mereka. Namun, di tengah kegembiraan itu, murid-murid Yesus malah menghalangi anak-anak itu untuk berjumpa dengan Yesus. Latar belakang kisah itu diwarnai oleh budaya Yahudi yang sangat kental pada masa itu. Salah satu budaya yang sangat terlihat adalah posisi laki-laki yang berada di atas perempuan. Yesus yang dibasuh kakinya oleh seorang perempuan pada masa itu dianggap sebagai sebuah penghinaan. Begitu pula dengan anak-anak yang datang hendak berjumpa, atau mungkin hendak memeluk Yesus pula. Tindakan mereka dianggap tidak sopan dan menghina budaya yang ada. Namun, apa yang Yesus lakukan? Ia justru menghardik para murid-Nya dan berkata, “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaku.” Bukankah ini kebalikan dari budaya yang berkembang pada masa dan tempat itu? Seorang anak kecil diizinkan menjumpai dan memeluk Yesus? Apakah Yesus gila? Apakah Yesus tidak menghargai budaya yang ada? Atau apa alasan Yesus melakukan hal itu? Dalam pandangan Patrick S. Cheng, Allah, dalam sosok Yesus, menyatakan cinta-Nya kepada manusia secara radikal dan holistik. Ia datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyatakan cinta yang telah lama dilupakan manusia. Dalam diri Yesus adalah cinta, dan cinta ini yang menjadi landasan dari setiap Ia bertindak dan berkata-kata.[1] Saya rasa Ia menyadari bahwa budaya saat itu sangatlah ketat dan ada sanksi tersendiri bagi yang melanggarnya. Namun, apa yang Ia lakukan? Ia memilih untuk menyatakan cinta-Nya kepada anak-anak itu dengan membiarkan diri-Nya dijumpai, dipeluk, atau bahkan mungkin diajak bermain oleh mereka. Rasa cinta Yesus kepada anak-anak adalah murni. Ia seakan-akan melupakan siapa diri-Nya, menolak ucapan para murid-Nya, dan memberi diri bagi anak-anak itu sebagai sahabat. Adakah saat ini orang yang memiliki cinta seperti itu? Ada, tetapi hukum di Indonesia sangatlah sepihak dan mengikat. Undang-Undang Perlindungan Anak hanya dianggap sebagai kata-kata dalam barisan buku Undang-Undang negara dan bukan menjadi pedoman hidup. Ketika Undang-Undang tersebut menjadi pedoman hidup, maka sewajarnya adalah menegakkan keadilan bagi anak. Lalu, dimanakah penegak hukum dan keadilan? Adanya Undang-Undang perkawinan anak di bawah umur bukanlah hal yang dapat dianggap mudah. Memaksa anak untuk kawin adalah sebuah tindakan yang menolak adanya keadilan. Mengapa? Karena anak-anak bukanlah barang dan boneka, yang dengan memakai akal orang dewasa dan secara sadar diatur umur perkawinan mereka. Jika perdebatan selanjutnya merujuk pada budaya di beberapa suku yang mewajibkan perkawinan anak, bagaimana dengan masa kini? Apakah budaya adalah hal yang statis, kaku, dan tidak mengalami pergeseran waktu? Apakah budaya seperti itu masih relevan? Apakah seorang anak tidak dapat mengalami proses pendewasaan diri dan memilih apakah mereka mau kawin atau tidak?
Kerajaan Allah di dalam Injil Matius sering diibaratkan sebagai sebuah kemuliaan. Kerajaan Allah adalah sebuah konsep yang Yesus gunakan untuk menunjukkan adanya kedamaian dan keadilan di dalam kehidupan kelak. Kerajaan Allah adalah sebuah suasana yang di dalamnya terdapat sukacita, kedamaian, keadilan, dan kesetaraan. Dalam beberapa perikop di dalam Injil Matius, yang menjadi empu dari kerajaan Allah bukanlah mereka para ahli Alkitab atau para tetua adat. Namun, yang empunya kerajaan Allah adalah mereka yang merendahkan hatinya seperti seorang anak. Anak digambarkan sebagai sosok yang rendah hati dan tulus tanpa pamrih melakukan sesuatu.[2] Bukankah ini adalah kejadian yang janggal pada zaman itu? Mengapa Yesus justru mengatakan demikian? Yesus memberi pemahaman bagi penduduk saat itu bahwa seorang anak yang dianggap kecil, tidak mengerti apa-apa, dan kurang diberi peran justru adalah sosok yang patut dibanggakan. Anak adalah subjek. Seorang anak memberi makna bagi orang dewasa, karena kehidupan orang dewasa tidak akan ada jika ia tidak mengalami masa kanak-kanak. Kembali kita berkaca dengan keadaan saat ini di Indonesia. Hukum di Indonesia melegalkan adanya perkawinan anak. Pengajuan untuk menaikkan standar umur perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pun gagal. Anak-anak dianggap telah siap untuk menjalani kehidupan perkawinan oleh negara, tetapi apakah negara menjamin kesejahteraan hidup mereka setelah melakukan perkawinan di bawah umur? Apakah negara menjamin para anak perempuan yang terpaksa kawin mendapatkan fasilitas kesehatan yang aman bagi proses persalinannya kelak? Apakah mereka dapat dipastikan telah siap secara holistik: tubuh, jiwa, dan mental? Negara lupa atau mungkin sengaja mengabaikan hal itu dengan berbagai alasan. Negara seakan mengabaikan pula kenaikan Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKIM) yang dialami oleh para anak perempuan di bawah umur. Negara melihat mereka hanya menjadi objek, entah objek seks, objek sosial, atau mungkin objek agama. Apalagi dengan berbagai lontaran ayat-ayat kitab suci yang membenarkan tindakan ini, apakah negara ingin AKIM terus meningkat? Dalam pandangan saya, persoalan ini adalah masalah yang sangat vital. Negara tidak bisa lagi menutup mata dan melihat semua kejadian dari adanya perkawinan anak sebagai sebuah fenomena. Ini semua telah menjadi nyata, menjadi sebuah realitas. Saya juga melihat gereja di Indonesia kurang berperan dan peduli dalam melihat persoalan ini. Masalah ini dianggap hanya sebagai masalah ‘dunia’, bukan gereja[3]. Banyak gereja yang belum menyadari persoalan ini sebagai persoalan vital. Jika perkawinan di bawah umur tetap terjadi, apakah gereja tetap diam dengan adanya AKIM yang meningkat dan penindasan kepada anak-anak yang ‘terpaksa’ kawin? Apakah suara gereja hanya untuk persoalan dosa, surga-neraka, dan kesucian? Apakah gereja telah lupa bahwa dirinya adalah bagian dari dunia, sehingga memiliki rasa tanggung jawab untuk memperjuangkan kedamaian dan keadilan? Catatan Belakang: [1] Cheng, Patrick S. 2011. The Radical Love. New York: Seabury Books [2] Guthrie, Donald. 2001. Teologi Perjanjian Baru 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia [3] Beberapa gereja beranggapan bahwa dunia itu berbeda dengan gereja. Gereja itu kudus, sedangkan dunia adalah jahat. Saya menganggap gereja dan dunia adalah satu bagian dan memiliki keterlibatannya masing-masing.
yani
31/10/2015 07:55:46 pm
Saya sangat berterimakasih banyak kepada Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |