Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
Wacana Feminis

Kuasa Maskulinitas Mengungkung Kesadaran

26/10/2015

 
Rendi Lustanto
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Filsafat, FIB, Universitas Indonesia)
[email protected]
PictureDok. Pribadi
Ketika perempuan dikungkung dalam mitos-mitos yang diciptakan oleh laki-laki, semua konsep mengenai hakikat perempuan dibentuk dalam budaya yang didominasi oleh laki-laki. Perempuan, di era posmodern sekarang harus beranjak untuk mengendalikan tubuhnya sendiri, mereka harus mempunyai kesadaran untuk menciptakan perspektif baru untuk lepas dari bayang-bayang hitam maskulinitas. Kebanyakan dari perempuan secara tidak sadar, dituntut untuk berpenampilan menarik oleh pasangannya, atau bahkan perempuan itu berpenampilan menarik untuk pasangannya. Dari contoh sederhana ini saja dapat terlihat bahwa kecantikan pun dikontruksi oleh laki-laki, padahal semestinya setiap perempuan dapat menentukan seperti apa dirinya. Mereka tak kuasa jika berhadapan dengan dominasi semu maskulinitas yang menggerogoti kehidupan mereka. Saat hegemoni budaya maskulinitas tetap tertancap, maka perempuan masih tersandera dalam sebuah masa yang dapat digambarkan seperti abad kegelapan di benua Eropa. Perempuan harus membangun sebuah armada tangguh untuk menggempur tembok maskulinitas yang kokoh dan sempurna itu dengan gerakan kesadaran. Jika perempuan tidak dapat keluar dari penjara maskulinitas, ia bahkan dapat menjadi agen pendukung sistem patriarkat.
 
Fakta bahwa maskulinitas telah memberangus otonomi femininitas dapat dianalogikan seperti sistem kapitalis yang menguasai struktur ekonomi. Kita pun kadang merasa acuh terhadap fenomena bahwasanya taring maskulinitas pun sudah tertancap diseluruh lini kehidupan kita. Tak terkecuali dengan karya sastra. Jika kita membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, kita akan merasakan taste yang berbeda, karena dalam karyanya Pramoedya cenderung menonjolkan kekuatan sebuah tembok maskulinitas era kolonialisme. Hal ini sangat terlihat dalam novelnya yang berjudul Gadis Pantai, yang bercerita tentang seorang perempuan yang tidak bisa lepas dari dinamika masyarakat feodal kala itu, terlebih ketika unsur patriarkal sangat menonjol. Wanita dalam masyarakat Jawa hanya memiliki peran yang terbatas yaitu tiga M (manak, masak, macak) atau dalam bahasa Indonesia peran wanita hanya melahirkan anak, memasak di dapur dan berdandan.
 
Seharusnya karya satra sekarang harus mulai memikirkan suatu inovasi yang baru untuk mencoba melawan tembok maskulinitas yang sangat kokoh di negeri ini, mungkin dengan melakukan gerakan sastra yang baru dan berdampak positif bagi kesetaraan gender. Sehingga rekayasa mindsite mengenai budaya patriarkal yang disokong oleh maskulinitas akan luluh dan masyarakat akan menerima konsep yang diusung yaitu kesataraan dalam segala bidang. Ketika suatu gagasan mengenai pandangan dan posisi politis yang menuntut pengakuan kesataraan itu dapat diterima oleh masyarakat, setidaknya hal ini menjadi sebuah pencapaian yang sangat menggembirakan karena dapat membangun armada yang mampu menggempur kekuatan yang kokoh dengan berawal dari titik kesadaran. Saat sebuah jalur yang sebenarnya bisa menjadi sarana alternatif untuk menyuarakan pembaharuan sudah dikuasai, lantas akankah kita tetap diam seolah tak terjadi apapun?
 
Disaat kondisi seperti ini, kaum perempuan menginginkan munculnya sosok yang berhasil membuat perubahan yang mendasar, sosok perempuan yang mampu mengatakan dengan lugas, “Ketika pena ada di tangan, saya ingin tubuh saya berbicara, saya ingin pikiran saya menunjukkan otot-otot ketangguhan namun tetap dalam nuansa kelembutan”. Mungkin jika kondisi seperti itu dapat tercapai, maka bukan hal yang mustahil upaya untuk menyuarakan kesetaraan akan diterima dengan penuh kesadaran oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, saya akan meminjam terminologi dari Michael Foucault untuk menggambarkan betapa dominannya kontrol maskulinitas terhadap femininitas, Foucault menggunakan istilah “politik ketubuhan”, memang jika kita berpikir lebih dalam, kondisi seperti ini sangat terkait dengan kedudukan politis suatu identitas. Ketika maskulinitas yang dikonstruksi secara kultural ditopang oleh semua atribut hasil konvensi sekelompok manusia, maka peran perempuan direduksi secara halus oleh kultur yang mereka anut ketika kebebasan yang seharusnya mereka dapatkan tersandera oleh diri mereka sendiri. Kondisi ini kurang disadari oleh banyak perempuan di negeri ini. Mereka belum bisa menjadi subjek dalam relasinya dengan pasangannya. Pada umumnya relasi antara laki-laki dan perempuan masih berkutat pada level subjek-objek. Kebanyakan perempuan masih menjadi objek dalam relasi tersebut.
 
Mengenai relasi dengan subjek lain, seorang filsuf eksistensialis yaitu Martin Buber menggunakan konsep relasi untuk menggali hubungan yang setara antar subjek. Jika hubungan antara laki-laki dan perempuan masih bersifat subjek-objek, maka mereka masih dalam taraf I-it. Relasi yang ideal adalah jika hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah mencapai relasi subjek-subjek, karena dalam relasi ini dimungkinkan terdapat dialog yang setara, tidak terdapat upaya untuk mengobjekkan perempuan. Jika seorang laki-laki dan perempuan sudah dapat menjalin relasi yang berbentuk subjek-subjek, maka oleh Martin Buber relasi ini dinamakan I-thou. Pada taraf ini akan terjadi sebuah relasi yang penuh, dan mereka akan mencapai tahap eksistensinya karena akan memahami sang liyan yang pada kasus ini baik laki-laki maupun perempuan secara whole being.
 
Perlahan namun pasti perempuan Indonesia harus beranjak dari penjara patriarkat yang disokong kekuatan maskulinitas. Sudah saatnya perempuan berada dalam posisi subjek-subjek ketika membangun relasi dengan laki-laki. Seperti yang dicita-citakan R.A Kartini, wanita Indonesia harus memiliki kesadaran untuk menyadarkan sesamanya, bukan malah menjadi agen pemberangus kesadaran itu sendiri. Perempuan harus menjadi makhluk yang memiliki peran ganda yaitu produksi dan reproduksi. Produksi dalam artian penggalian ide-ide baru mengenai gagasan menyadarkan kaumnya, sekaligus reproduksi dalam artian meengevaluasi gerakan-gerakan yang sudah ada agar tetap relevan dengan kondisi sekarang.


yani
31/10/2015 10:48:41 am

Saya sangat berterimakasih banyak kepada
KI WAHYU yg sudah membantu saya sekeluarga,karna sekaran ini saya sudah punya usaha dan bisa melunasi semua hutang2 saya bakhan saya juga sudah bisa membahagiakan kedua orang tua saya bersama keluarga saya. itu semua atas bantuan yang memberikan angkanya yaitu 2320 , sudah banyak paranormal yg saya hubungi tapi tdk pernah membuahkan hasil sehingga saya mencoba mengikuti nomor ritual KI WAHYU dan alhamdulillah berhasil dan bagi anda yg ingin seperti saya silahkan HBG
085 325 591 222 KI WAHYU jangan percaya sama nomor ritual paranormal yg lain,nomor ritual KI WAHYU meman selalu tepat dan terbukti. atau SILAHKAN ANDA BUKTIKAN SENDIRI.



Comments are closed.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024