Paha mama yang duduk di tengah sanggar itu berwarna lain. Mama itu sudah cukup umur, nenek-nenek, tapi masih rajin datang ke sanggar untuk membuat noken. Beberapa kali aku singgah ke sanggar itu sering mendapati mama tua itu sedang asyik dengan nokennya. Pernah sekali aku melihatnya duduk bertelanjang dada membelakangi tungku kecil—tampaknya mama tua sedang butuh menghangatkan tubuhnya—sambil menganyam noken. Paha mama berwarna lain itu agaknya karena memintal. Sanggar Semenawut berada di kampung Ats, salah satu kampung di Distrik Atsy Kabupaten Asmat. Sanggar ini khusus untuk mama-mama. Nama sanggar diambil dari nama istri moyang Ats. Dorang[1] percaya dengan memberi nama moyang maka roh moyang akan memberi perlindungan. Mama Monika, yang dituakan di sanggar ini, bercerita, “Roh moyang beri semangat, anyam noken tidak ada rasa lelah.” Menganyam noken bisa dilakukan dimana saja tanpa harus di sanggar. Yang membuat berbeda adalah rasa kebersamaan. Sanggar memberi semangat. Ada pembeda yang cukup mencolok antara laki-laki dan perempuan di tanah lumpur ini. Orang-orang Asmat percaya—tidak bisa diganggu gugat—bahwa hanya perempuanlah yang boleh tahu noken dan laki-lakilah yang boleh tahu ukir. Pembagian peran untuk nguri-uri ciri khas Asmat diperankan berdasarkan jenis kelamin. Mama-mamalah yang bertugas membuat noken dan bapa-bapa membuat ukiran. Jika dibalik maka pamali. Membuat satu noken membutuhkan proses panjang, dari mengambil bahan mentah hingga menganyam dan noken siap pakai. Tidak boleh sembarangan mengambil bahan baku untuk membuat noken. Semua ada aturan mainnya. Membuat noken sangat ramah lingkungan dan merawat persaudaraan. Sangat jarang ditemui mama-mama pergi ke dusun[2] sendirian. Biasanya mama-mama akan pergi berombongan ke dusun untuk mencari bahan-bahan noken atau pangkur[3] sagu. Bahan baku anyaman noken terbuat dari akar muda pohon pandan yang masih bergelantungan, disebut dengan nama bou. Mengambil akar muda ini tidak boleh berlebihan, secukupnya saja. Tidak ada istilah ambil banyak sekalian agar tidak usah bolak-balik ke dusun. Bahan lainnya adalah pucuk sagu muda yang terbuka disebut dengan junum. Selain itu dibutuhkan pucuk sagu muda yang tertutup biasa disebut pisis. Untuk menambah semarak noken (aksesori) dibutuhkan bahan-bahan lainnya seperti: jua (pisau rumput untuk memberi warna), tuwus (daun cuamek[4]), tisen (manik-manik warna putih), derek (manik-manik warna merah), pife (bulu tulang sayap kasuari) dan yothefak (bulu tulang burung mambruk bagian sayap dan ekor). Ambil yang dibutuhkan saat ini bukan saat esok. Kepercayaan untuk mengambil sagu dan bahan-bahan noken dari dusun yang diukur berdasarkan kebutuhan itu dipercayai turun temurun. Jika ada jawaban ‘itu sudah dari moyang’ artinya tidak usah dipertanyakan, ikuti saja. Tidak ada mama-mama yang berani melanggar aturan itu. Dibalik aturan yang tidak pernah dipertanyakan mama-mama tersebut tersimpan makna yang mendalam untuk menjaga ekosistem hutan. Orang-orang Asmat belum mempunyai kebiasaan menanam sagu (jiwa peramu), semua tumbuh dan berkembang biak dengan sendirinya. Maka mengambil secukupnya adalah jalan terbaik agar ekosistem tetap terjaga. Hal itu berbeda dengan mengambil pohon-pohon lainnya, seperti kayu besi atau pohon-pohon yang kualitasnya baik (nilai ekonomis/komersialisasi). Ada banyak kisah tentang penebangan liar. Bisa dipastikan yang melakukan penebangan liar (mengambil sesuka hati) itu bukanlah mama-mama. Satu pohon sagu rata-rata menghasilkan 2 caufa[5] junum/pisis. Sehari hanya boleh mengambil junum/pisis paling banyak dari 5 batang sagu. Tidak boleh ambil berlebih karena akan ada akibatnya (pamali). Junum/pisis tersebut diambil secara bersama-sama (bantu membantu), bukan satu orang ambil sendiri-sendiri. Hasilnya dibagi-bagi. Selesai ambil dari satu pohon sagu berpindah ke pohon yang lain dengan cara yang sama (jangan sampai merusak sagu, karena sagu belum saatnya dipangkur). Kebersamaan selalu dijaga karena kondisi alam. Pohon sagu tidak bisa dikatakan pohon ukuran kecil ketika sudah menghasilkan junum/pisis. Ada cerita lain dibalik kebersamaan tersebut. Mama Monika berkata “dong ambil sendiri takut setan to”. Pada dasarnya situasi alamlah yang membuat suasana kebersamaan itu terjaga. Tatkala alam masih belum “ternodai” maka kebersamaan itupun masih akan terus terjaga. Takut setan itu hanyalah alasan kecil yang sebenarnya tidak berlaku secara umum. Benar dorang memercayai adanya roh jahat (roh penggoda) yang tinggal di pohon-pohon tertentu. Selesai mengambil bahan-bahan secukupnya maka tiba saatnya pulang dari dusun. Bahan-bahan tadi digunakan sesuai dengan selera. Pada dasarnya ada dua macam noken. Perbedaan itu akan memengaruhi aksesori yang akan digunakan. Noken dengan bahan dasar akar pandan biasanya menggunakan aksesori bulu sayap/ekor burung bangau. Noken tersebut bukan hasil pintal tapi anyaman biasa. Berbeda dengan bahan dasar junum. Junum tersebut dikupas, ambil kulit luar yang tipis (yang tebal dibuang). Junum siap dipintal. Proses pintal adalah junum digulung-gulung diatas paha/betis (daerah kaki)[6]. Ketika menggulung junum diberi pelumas—biasanya dengan air ludah, seperti menghitung uang jari dijilatkan lalu mulai hitung uang lagi. Sekarang ada juga yang menggunakan pelumas pintal dengan air, beberapa bapa-bapa menggunakan abu tungku untuk pelumas pintal. Hasil pintal tersebut diberi nama semen. Bahan yang harus diproses lainnya adalah pisis. Pucuk sagu tersebut dibelah dua—berdasarkan garis yang sudah ada—lalu diikat ujungnya dan siap dianyam. Noken buatan mama-mama yang bahan dasarnya diambil dari dusun tersebut semua ramah lingkungan. Ketika tiba waktunya nanti noken itu rusak (karena dimakan usia) tidak ada sampah yang akan merusak tanah. Noken tersebut akan menyatu dengan tanah. Dari alam kembali lagi ke alam. Hasil anyaman noken tidak hanya digunakan oleh mama-mama saja. Mama-mama “tahu noken” tapi semua orang boleh memakai noken. Catatan Belakang: [1] Dorang sebutan untuk mereka (jamak) [2] Dusun artinya hutan. Tempat berburu atau mencari sagu, jarak rumah dengan dusun tidak bisa dikatakan dekat [3] Pangkur maksudnya proses mengambil sagu, mulai dari menebang hingga menyarikan tepung sagu. [4] Nama asmat buah manis [5] Satuan ukuran untuk satu buah [6] Proses mengulung-gulung diatas paha/betis hanya berlaku untuk perempuan. Jika laki-laki yang memintal maka menggunakan telapak kakinya. Biasanya laki-laki memintal dari bahan pohon fu. Hasil pintalan tersebut bukan untuk membuat noken tapi menghiasi ukiran, tombak, perahu, ikat kepala, alat penikam dll. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |