Masih hangat dalam benak saya, pelajaran sejarah tentang bagaimana Yunani dianggap sebagai negara-kota yang selalu menjadi titik awal kita jika hendak berbicara tentang konsep di masa kini dan di masa mendatang. Tidak banyak pula dari kita yang mau dan mampu melihat kronologis dari peristiwa yang telah berabad-abad lamanya untuk direfleksikan sekarang, terutama, jika hendak bicara tentang kedudukan perempuan. Sebagaimana kita yang selalu memakai bahasa latin untuk melekatkan menjadi istilah, Demokrasi yang selalu kita tarik cikal bakalnya adalah negara-kota Yunani, Agora, yang memiliki kebiasaan berbicara di dalam suatu podium dimana kita semua berkedudukan sama dan saling berbicara, bahkan berdebat didalamnya. Tentu saja rekonstruksi demokrasi yang selalu kita hadirkan dalam imajinasi kita memiliki catatan seperti budak dan perempuan tidak ikut serta bersuara karena dianggap bukan warga negara. Diskusi filsafat dengan pembicara Rocky Gerung dan dimoderatori oleh Gadis Arivia[1] yang adalah pendiri Jurnal Perempuan, mengembalikan saya pada ingatan imajinasi yang saya temukan di lembaran buku Dunia Sophie ketika SMA. Suatu podium besar dimana semua orang berhak bersuara. Menyampaikan pendapatnya. Saling berargumentasi agar ilmu pengetahuan bisa terus berkembang. Tapi sekarang, mungkin beberapa catatan bisa dihapus seperti perempuan, kini sudah dianggap sebagai warga negara. Sebagai mahasiswa sejarah saya menilik kembali ke belakang. Pada apa yang telah manusia lalui hingga sampai di titik yang sekarang. Berbekal imajinasi tentang podium diskusi masa Yunani, saya menelaah apa yang telah perempuan lakukan hingga kesadarannya terbangun dan mendapati dirinya adalah seorang manusia yang dijadikan perempuan[2]. Di Eropa sendiri banyak hal terjadi hingga perempuan bisa mengembalikan dirinya menjadi manusia, walau masih dalam proses, tapi sesungguhnya proses tidak akan pernah berhenti. Kita bisa menilik jalannya Merkantilisme dan kebangkitan awal Kapitalisme, jalannya revolusi industri di Inggris, Revolusi Prancis, Kelahiran Amerika, Kebangkitan Asia. Semua (His)tory yang membawa gerakan perempuan ikut serta walau lebih terlihat seperti gerakan parsial. Jauh sebelum revolusi berkibar, perempuan sebagai manusia telah memiliki kesadaran untuk menjadi manusia. Tetapi ketika itu, waktu dan ruangnya belum tepat. Dinamika politik, sosial, budaya yang terus berjalan dinamis digiring waktu membuka peluang bagi perempuan mematenkan kesadarannya. Mengatakan pada dunia bahwa ia juga ingin diperlakukan sebagai manusia, sebagai warga negara. Menjadi bagian dari story. Berakhirnya perang dunia mengobrak-abrik pula pemikiran modern yang menggunakan filsafat sebagai semen untuk membangun arogansi sehingga dianggap sahih, menjadi absolut, kaku, dan melegalkan kekerasan. Dari sana pula kita melihat kesalahan tindakan yang telah kita lakukan selama ini. Setelah banyak darah tumpah, perang yang menimbulkan janda dan penderitaan, lingkungan yang hancur digerogoti alat-alat besi, kita sampai di titik jenuh dan gerakan perempuan menggeliat dari rahim New Left[3] di Amerika. Melalui globalisasi dan modernisasi perempuan menancapkan kedudukannya dalam sejarah, berupaya menularkan kesadarannya ke banyak perempuan lain di seluruh dunia. Walau lebih sering ditulis sebagai pemeran pembantu di dalam sejarah, apalagi di sejarah kita, sejarah Indonesia yang ditulis oleh tangan patriarki[4], pelan-pelan perempuan di seluruh dunia berproses melalui meme yang menghidupkan kembali perempuan sebagai manusia. Melalui tulisan, gerakan perempuan bangun dan kemudian bangkit. Walau sekali lagi, masih proses. Hal tersebut membawa kita pada masa sekarang. Tidak lagi hanya laki-laki yang mengisi podium dan berbicara, kini ada perempuan dalam podium tersebut dan punya hak untuk ikut berbicara. Saya katakan proses karena nyata-nyatanya, dalam kuliah tersebut para pembicara dan penanya masih dari kalangan laki-laki. walaupun sudah ada Denisa sebagai pembuka acara dan Gadis Arivia sebagai moderator. Kita belum mencapai perempuan sebagai warga negara secara utuh. Kita masih berproses, perempuan hanya hadir dan malu bicara. Usaha kita masih belum cukup, jalan kita masih panjang. Dan sembari menulis ini, saya berpikir ulang, apa yang telah saya lakukan dan apa yang harus saya lakukan setelah ini. Dalam bingkai waktu saya akan terus berupaya untuk menyebarkan kesadaran. Atau sebenarnya saya sendiri juga masih belum sadar. Catatan Belakang: [1] Diskusi Filsafat berjudul “Filasafat dan Arogansi” pada tanggal 19 September 2014 di FIB UI [2] Simone de Beauvoir dalam Bukunya The Second Sex (1949) yang banyak dikutip menuliskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan dijadikan perempuan. [3] New Left pada tahun 1960-an bernama gerakan Kiri Baru yang membawa nafas-nafas tentang kemanusiaan, kesetaraan dan feminisme masuk di dalamnya. [4] Baik Soekarno yang mengeluarkan buku berjudul Sarinah (1936) yang meng’ideal’kan perempuan, begitu pula Soeharto yang mengeluarkan kebijakan terhadap perempuan yang disebut oleh Julia Suryakusuma sebagai Ibuisme Negara. Dua-duanya memosisikan perempuan adalah bagian dari laki-laki karena itu berhak diatur. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |