Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Wacana Feminis

KDRT bukan Aib, Perlu Dilaporkan

19/2/2016

 
Fitri Lestari
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
​Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum)

fitrilestariindonesia@gmail.com
PictureDok. Pribadi
Di dalam suatu rumah tangga dapat terjadi ketidakharmonisan yang diakibatkan oleh faktor sosial, ekonomi, budaya ataupun lingkungan. Ketidakharmonisan tersebut dapat menciptakan tindakan kekerasan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dijelaskan bahwa: 1) Kekerasan fisik adalah adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 2) Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 3) Kekerasan seksual meliputi pertama, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kedua, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
​
Kekerasan dalam rumah tangga masih saja bak gunung es yang terlihat hanya permukaannya saja padahal tumpukan-tumpukan itu ada tapi tertutup air dimana ketakutan akan aib keluarga menjadi salah satu penghalang memerdekakan dan membebaskan diri dari adanya kekerasan yang biasanya dilakukan oleh suami. Berdasarkan catatan laporan yang masuk sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2015 ada 369 kasus terhadap perempuan dan paling tinggi pada kasus KDRT.[1]
​

Saya mengkhawatirkan ibu-ibu rumah tangga tidak dapat membebaskan dirinya dari kekerasan hingga mengakibatkan dampak kesehatan yang berat apabila korban tidak melaporkan sebagai akibat “kepasrahan” dan tidak mendapat pemulihan.[2] Ditambah lagi luka psikis yang membelit pikiran korban seperti insomnia, rasa cemas, stres yang tentunya akan menganggu aktivitas korban. Dibutuhkan sebuah keberanian untuk membebaskan diri dari belenggu dominasi maskulin di ranah domestik (keluarga). Lalu muncul pertanyaaan di benak kita apa yang sebenarnya melatarbelakangi perempuan sebagai korban dari kekerasan laki-laki? Hal itu bersumber pada konstruksi sosial dan budaya yang memberikan sifat (ciri) kepada kaum perempuan dan laki-laki. Penyifatan itu sendiri tentu saja tidak netral dan sangat sarat dengan kepentingan. Konsep ibu sebagai penjaga rumah, perempuan yang lemah lembut merupakan contoh dari konstruksi sosial dan budaya. Konstruksi ini membuat perempuan dalam relasi pernikahan seringkali diposisikan sebagai “pelayan” laki-laki.[3] Kaum the survival of the fittest—yang dari zaman dulu dilihat dari kuatnya fisik—dimapankan dan dilegitimasi oleh budaya bahkan undang-undang yang patriarki.

Budaya hukum patriarki bersemai secara mapan, terbukti dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang membedakan dengan tegas peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat 3 “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Pasal 34 ayat 1 dan 2 ditetapkan: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” dan “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Terlihat secara jelas bahwa undang-undang tersebut menempatkan istri secara ekonomi menjadi sangat tergantung kepada suami.[4] Sehingga tidak mengherankan bila hukum yang dimunculkan adalah yang tidak memberi keadilan kepada perempuan. Dalam hal ini budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang, dan hukum melegitimasinya.[5] Maka, suatu hari hukum perkawinan harus diperbaiki.[6]
Dengan lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ini maka diharapkan dapat menyadarkan korban bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus dilaporkan untuk melindungi korban.

​Setidaknya kekerasan tersebut harus dihentikan. Maka perlu dukungan dari keluarga, saudara, lembaga-lembaga hukum ataupun LSM untuk berani bertindak dan membebaskan diri dari keterpurukan dan penindasan. Dengan dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum maka perlu merealisasikan tujuan hukum, menurut Baharuddin Lopa, “Pada dasarnya tujuan hukum ialah menegakkan keadilan, sehingga ketertiban dan ketentraman masyarakat dapat diwujudkan.” (Baharuddin Lopa, 1996: 126). Karena pembungkaman yang dilakukan mengakibatkan martabat manusia masih berada dalam ketertindasan. Idealisme hukum yang menjunjung keadilan masih belum berlaku dalam realita akibat dari kuatnya kemapanan yang terus dilegitimasi melalui sosial budaya bahkan undang-undang sendiri. Bukan lagi saatnya perempuan menjadi objek, dikalahkan dan disubordinatkan menuju tataran (status) yang amat inferior.[7] Bukannya manusia adalah subjek maka kita harus mempertahankan diri kita sebagai subjek dan tidak akan menggantungkan diri kita dengan mereka yang saat ini masih mendominasi diberbagai aspek kehidupan. Haruslah perempuan itu independen!

Catatan Belakang:

[1] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/23/nzthuw336-lbh-apik-kasus-kdrt-dominasi-kekerasan-perempuan (diakses pada 17 Februari 2016).

[2] https://intanghina.wordpress.com/2008/06/03/pemulihan-sebagai-hak-istri-korban/ (diakses pada 17 Februari 2016).

[3] Budi Wahyuni. 1997. Terpuruk Ketimpangan Gender. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta. Hal 3.

[4] Mohammad Taufik Makarao dkk. 2013. Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rineka Cipta: Jakarta. Hal 201.

[5] Sulistyowati Irianto. 2006. Perempuan & Hukum Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan Dan Keadilan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Hal 314.

[6] Ayu Utami. 2013. Pengakuan Eks Parasit Lajang. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta. hal 292.

[7] Abdul Wahid dkk. 2011. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Refika Aditama: Bandung. Hal 102.


Comments are closed.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa