Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] Dunia teknologi dikenal sebagai dunia laki-laki. Kebanyakan definisi teknologi memiliki bias laki-laki. Sebagaimana dikatakan Judy Wajcman seperti dikutip Salim Alatas dalam “CyberFeminisme: Mencari Hubungan Teknologi, Media Baru dan Feminisme”, bahwa munculnya cyberfeminisme telah memberikan suara ke aliran baru dari teori gender yang mencakup ide-ide utopis cyberspace menjadi area bebas gender (gender-free) yang menjadi kunci bagi pembebasan perempuan. Cyberfeminis, menurut Wajcman, mengklaim bahwa internet menyediakan dasar teknologi untuk membentuk masyarakat baru dan keragaman subjektivitas yang inovatif. Teknologi digital memfasilitasi kaburnya batas-batas antara manusia dan mesin serta batas-batas laki-laki dan perempuan, yang memungkinkan pengguna untuk memilih identitas mereka, penyamaran mereka dan menganggapnya sebagai identitas alternatif. Eksplorasi identitas ini kemudian menantang pengertian tentang subjektivitas dan mensubversi fantasi maskulin yang dominan. Teknologi yang didominasi oleh laki-laki akan berkonspirasi untuk mengurangi pentingnya teknologi perempuan, seperti hortikultura, memasak, perawatan anak dan sebagainya dan kemudian mereproduksi stereotip perempuan sebagai bodoh dan tidak mampu secara teknologi. Kekuatan abadi dari identifikasi antara teknologi dan kejantanan (manliness), tidak melekat dalam perbedaan jenis kelamin biologis. Ini lebih merupakan hasil dari sejarah dan budaya konstruksi gender. Stereotip ini memengaruhi pilihan karier perempuan termasuk pemilihan bidang studi yang tidak merata dan menjadi hal yang identik. Terdapat penggolongan bidang studi di kampus, bahwa jurusan tertentu bersifat maskulin dan yang lainnya feminin, sehingga timbul pandangan bahwa perempuan yang menggeluti bidang teknik adalah perempuan tomboy. Sejak saya duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saya diperkenalkan dengan komputer, jaringan, multimedia, hardware, sofware yang kita kenal sebagai teknologi. Kemudian, saya melanjutkan studi saya di perguruan tinggi di bidang teknologi informasi. Hal itu membuat saya harus berinteraksi dengan perangkat teknologi dan mengamati perkembangan teknologi setiap hari. Saya tidak ingin ketinggalan pengetahuan mengenai perkembangan terbaru new media dengan teman-teman di kampus. Sebagai mahasiswi Jurusan Teknik Informatika Universitas Gunadarma yang terkenal dengan IT-nya, saya merasa sebagai kaum minoritas. Lingkungan tersebut membuat saya menjadi kaum minoritas bukan karena jurusan yang saya pilih tidak eksis, melainkan karena hanya terdapat kurang lebih 250 perempuan dari 1000 mahasiswa teknik informatika di angkatan saya dan hanya ada 10 perempuan dari 45 mahasiswa di kelas. Persentase jumah perempuan di jurusan teknik ini sangat berbanding jauh dengan jurusan lain seperti ekonomi, akuntansi dan psikologi. Hal tersebutlah yang membangun opini publik bahwa teknologi adalah ruang laki-laki dan mengamini bahwa komputer adalah alat bagi laki-laki. Dalam hal perbandingan kemampuan, saya tentu percaya diri dan meyakini bahwa saya bisa melakukan apa yang selama ini laki-laki lakukan. Seperti merakit komputer, membangun jaringan wireless, membuat aplikasi. Saya percaya bahwa setiap orang bisa karena belajar, seperti halnya bayi ketika belajar berjalan membutuhkan proses. Jawaban atas perempuan menjadi kaum minoritas dalam dunia teknologi adalah soal pilihan dan soal perspektif yang telah terbangun sejak dahulu sebagai konstruksi sosial. Laki-laki tahu bahwa kekuatan bersumber dari penguasaan teknologi yang membuat manusia lebih mudah menyelesaikan tugas, teknologi sebagai alat bantu dan mereka mencoba menguasainya sehingga berusaha menutup ruang-ruang tersebut bagi perempuan. Indikasi tersebut dilihat sejak proses pembedaan mainan anak-anak. Anak laki-laki ketika kecil diberikan mainan mobil, pesawat, robot sehingga mereka terbiasa dengan perangkat “keras” kemudian anak perempuan diberi mainan boneka dan orang tua mereka tentu tidak akan menukar mainan anak perempuan dan laki-lakinya. Mainan seharusnya bebas nilai, tidak ada kepemilikan gender tertentu seperi halnya warna dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bebas nilai, astronomi, teknologi informasi, hukum, teknik bukan hanya ilmu laki-laki namun juga perempuan, begitu juga ilmu memasak, tata busana, psikologi bukan hanya milik perempuan. Hasil penelitian dari UNESCO untuk kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia menggambarkan bahwa perempuan belum dibesarkan dan dilatih untuk bergelut di bidang teknologi. Mitos Dewa Teknologi Hefaistos (bahasa Yunani: φαιστος, Hēphaistos) dalam mitologi Yunani adalah dewa teknologi, pandai besi, pengrajin, pemahat, logam, metalurgi, api, dan gunung berapi. Dalam mitologi Romawi dia dikenal sebagai Vulkanus. Hefaistos adalah putra dari Zeus dan Hera. Dia adalah dewa yang pincang. Dia beperan sebagai pandai besi bagi para dewa dan sering membuat berbagai alat dan senjata yang sangat berguna bagi para dewa. Hefaistos disembah di semua pusat industri dan manufaktur di Yunani terutama di Kota Athena. Bengkel dan pusat pemujaannya terletak di pulau Lemnos. Simbolnya adalah palu, landasan besi dan penjepit. Dia juga kadang-kadang digambarkan sedang memegang kapak. Ada kuil Hefaistos yang terletak di dekat agora di kota Athena. Hefaistos banyak membuat benda-benda ajaib untuk para dewa bahkan sebagian besar benda berkekuatan khusus dalam mitologi Yunani diceritakan dibuat oleh Hefaistos, diantaranya adalah helm dan sandal bersayap Hermes, perisai Aigis, korset Afrodit, tongkat Agamemnon, baju perang Akhilles, lonceng perunggu Herakles, kereta perang Helios, bahu Pelops, busur dan anak panah Eros, Pandora dan kotaknya, serta Talos. Hefaistos dalam budaya populer membuat mesin tiruan dari burung hantu Bubo dalam film tahun 1981, Clash of the Titans. Tokoh Hefaistos juga muncul dalam beberapa episode dari seri televisi Hercules: The Legendary Journeys dan Xena: Warrior Princess. Sebuah Planet minor yang ditemukan pada tahun 1978 oleh astronom Uni Soviet, Lyudmila Chernykh, diberi nama 2212 Hephaistos. Mitos teknologi berpihak terhadap laki-laki, dewi-dewi dalam mitos kebanyakan digambarkan memegang profesi feminin. Mitos hefaistos sebagai dewa teknologi menunjukkan superioritas laki-laki dalam profesi. Mitos tersebut memengaruhi partisipasi perempuan dalam industri teknologi. Perusahaan IT Kebanyakan dari kita tentu mengenal dan mempunyai akun google, yahoo, facebook, twitter, blogspot, kaskus, path. Tahukah kita siapakah pencipta jejaring sosial tersebut? Mereka adalah kaum laki-laki. Larry Page (Google), Jerry Yang Chih-Yuan (Yahoo), Mark Zuckerberg (Facebook), Andrew Darwis (Kaskus), Dave Morin bersama Shawn Fanning dan Dustin Mierau (Path), Jack Dorsey bersama Noah Glass, Evan Williams dan Biz Stone (Twitter), Evan Williams (Blogspot). Kemudian perusahaan yang bergerak dibidang IT seperti yang kita kenal Microsoft dan Apple juga didirikan oleh laki-laki, yaitu Bill Gates dan Steve Jobs. Begitu juga kebanyakaan dari perusahaan telekomunikasi di Indonesia direktur utamanya adalah laki-laki. Kita tentu ingat pesawat terbang pertama di Indonesia yang dibuat oleh mantan presiden B.J. Habibie dan tim diberi nama Gatotkaca. Kemudian sebagian saham maskapai Garuda Indonesia dimiliki oleh Chairul Tanjung. Meskipun perusahaan industri didominasi laki-laki, kita perlu bangga terhadap ibu Susi Pudjiastuti yang menjadi CEO maskapai Susi Air, yang membuktikan eksistensi perempuan di bidang teknologi. Jumlah perempuan di industri teknologi begitu minim, menurut Pusat Nasional untuk Perempuan dan Teknologi Informasi, hanya ada 6 persen perempuan yang menjadi kepala eksekutif dari 100 perusahaan teknologi. New York Times menemukan bahwa hanya 8 persen dari startups usaha yang didukung dan didirikan oleh perempuan. Saya memperhatikan RRT akhir-akhir ini, industri perdagangan di bidang teknologi mereka berkembang pesat dan kebanyakaan pekerja atau bisa saya sebut buruh teknologinya adalah perempuan. Perempuan banyak dipekerjakan sebagai perakit komputer, tukang solder dan packaging barang. Mereka hanya menginginkan pekerja perempuan karena dinilai perempuan dapat bekerja lebih teliti dan rapi. Bukan hanya di bidang teknologi namun di bidang konveksi perempuan juga banyak menjadi buruh pabrik. Dalam proses penggunaan teknologi seperti media sosial saya tentu tidak meragukan bahwa perempuan perkotaan turut terlibat. Media online lainnya yang sangat fleksibel adalah e-banking, online shop, online ticket reservation. Media online tersebut membantu memperbaiki pelayanan publik jauh lebih baik dan cepat. Tentunya perempuan bisa memanfaatkan itu untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi dan pengetahuan perempuan, seperti online shop untuk bisnis ekonomi kreatif. Pemanfaatan teknologi yang tidak arif Hari ini semua orang menggunakan teknologi yang fungsinya memudahkan komunikasi jarak jauh, lintas negara dan benua. Dengan hadirnya teknologi wifi, internet, cloud computing, robotic, media sosial, dll, perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup manusia agar lebih baik. Boleh jadi teknologi itu diciptakan oleh laki-laki namun perempuan juga dapat merasakan manfaatnya secara menyeluruh. Seperti halnya perempuan kini dapat mengakses informasi dengan cepat karena adanya internet, semua pekerjaan domestik perempuan dapat dipermudah dengan adanya mesin cuci, pemanggang makanan, penyedot debu dan perangkat rumah tangga lainnya. Teknologi menjadi sebuah kegagalan modernitas jika ia tidak dapat menyelesaikan masalah sosial yang ada. Mulai dari masalah pertahanan negara, kemiskinan, pengangguran, sampah, transportasi dsb. Seharusnya teknologi bisa menyelesaikan itu. Fenomena yang ada berkaitan dengan pengaruh besar teknologi terhadap eksistensi manusia di lingkunganya. Siapa yang menguasai teknologi maka dia menguasai pasar, maka dia menguasai ekonomi, maka dia di level stratifikasi teratas. Salah satu contoh yang banyak terjadi di lingkungan mahasiswa adalah berkaitan dengan handphone. Handphone menjadi ukuran kelas seseorang. Sebagai seorang mahasiswi teknik saya pernah menanyakan kepada seorang teman mengenai alasan dia membeli hp merk Apple. Saya bertanya “kenapa kamu memilih membeli handphone itu, padahal gak bisa bluetooth kalau berbeda brand, kan jadi susah kalau mau transfer file?”. Kemudian teman saya menjawab “karena sedikit yang pakai handphone ini, kalau aku pakai terlihat eksklusif”. Saya cukup kecewa mendengar jawaban teman saya seperti itu, padahal dia bisa menjawab dengan lebih baik, misal dengan menyebutkan spesifikasi kamera, memori maupun prosesor yang digunakan sehingga lebih terasa rasional. Kemudian saya banyak bertanya kepada teman-teman saya yang lainnya, jawabannya hampir sama yaitu eksklusivitas pada merk handphone tertentu. Jika ditanyakan lebih lanjut apa yang mereka lakukan setiap harinya dengan hp yang rata-rata harganya 4-5 juta itu, jawabannya adalah akses media sosial sepanjang hari. Bahkan suatu ketika saya pernah pergi makan dengan teman-teman dan masing-masing sibuk dengan gadget yang membuat komunikasi face to face terasa jauh dibandingkan dengan komunikasi di dunia maya. Belum lagi merenggangnya interaksi antara orang tua dan anak, kakak dan adik karena penggunaan teknologi handphone yang tidak arif. Belum selesai dengan penggunaan handphone, kita beralih dengan penggunaan mobil yang berdampak pada kemacetan, kemudian plastik yang membuat munculnya fenomena sampah. Pemanfaatan teknologi yang tidak arif bukan hanya berdampak terhadap penurunan kualitas manusia namun juga berdampak pada alam. Manusia sudah menumpang hidup dengan alam namun merusaknya dengan alasan teknologi dan modernitas. Seharusnya teknologi menjadi alat pembantu bagi manusia bukan sebaliknya teknologi yang memperbudak manusia. Bukan teknologi yang tidak adil namun manusia selalu ingin menguasai. Kita tidak bisa memungkiri perubahan sosial yang ada bahwa teknologi menjadi sebuah kebutuhan, yang harus dilakukan adalah memfungsikannya secara maksimal dan mengontrol diri dari perbudakan teknologi. Pemanfaatan teknologi yang dilakukan secara tidak arif akan berdampak negatif terhadap manusia, terhadap ekologi dan terhadap keseimbangan alam. Daftar Referensi: https://salimalatas.wordpress.com/2013/11/02/cyberfeminisme-mencari-hubungan-teknologi-media-baru-dan-feminisme/ (diakses pada tanggal 1 Desember 2014, 23.00 Wib) http://nacculla.wordpress.com/2013/12/04/dewa-dewi-dalam-mitologi-yunani/ (diakses pada tanggal 1 Desember 2014, 23.00 Wib)
alisca damayanti
3/7/2015 03:55:46 am
Artikel yang bagus. Terima kasih atas info yang diberikan. Mudah dipahami dengan pemilihan kata yang ringan.
Missy Fidmatan
28/1/2016 08:02:08 am
Assalamualaikum dek. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |