“(3/12) Seorang wanita paruh baya di Sumedang, Jawa Barat tak kuasa membendung emosi karena mendapati salah seorang keluarganya tewas.” Demikian salah satu kutipan pembuka dari rangkuman berita tentang minuman keras (miras) oplosan yang lagi-lagi merenggut nyawa yang dimuat di news.liputan6.com. Berita ini menjadi salah satu dari sejumlah rentetan kabar tewasnya para lelaki dalam beberapa hari terakhir akibat menenggak miras oplosan. Di daerah Sumedang, Jawa Barat, tercatat tujuh pria tewas karena pesta miras oplosan, sedangkan pada 27 Agustus lalu tiga pria asal Garut, Jawa Barat menjadi korban dan enam orang diberitakan tewas di Bantul, Yogyakarta setelah pesta miras oplosan pada 11 Desember lalu. Akibat rentetan peristiwa tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah yang diwakilkan Satuan Polisi Pamong Praja menyisir dan menciduk para pembuat miras oplosan, beberapa pabriknya sudah ditutup, razia juga dilakukan terhadap warung-warung yang menjual minuman berbahan dasar methanol tinggi ini. Miras oplosan umumnya minuman beralkohol dengan kandungan ethanol atau methanol yang dicampur spirtus. Spirtus, zat yang biasa dipakai dalam pembakaran dalam industri, ketika dicampur dengan minuman methanol atau ethanol yang berkadar alkohol hingga 40%-60% sudah barang tentu membuat peminumnya tewas dalam jangka waktu dua hari. Alkohol yang masuk ke tubuh, mengalami dehidrogenase (ADH) berubah menjadi asam frostat begitu diolah oleh hati. Hati akan bekerja keras mengolah zat ini, dan asam frostat yang dihasilkan menyebabkan gangguan irama jantung, shocked hingga kehilangan kesadaran. Dari penjabaran di atas, bisa kita lihat bahwa meminum miras oplosan sama saja dengan bunuh diri. Tetapi apakah mereka yang meminumnya sadar betul risiko yang akan mereka hadapi ketika meneguk minuman tersebut? Saya yakin sekali sesungguhnya, para peminum miras oplosan ini sadar akan akibat yang ditimbulkan dari minuman ini. Tetapi mereka tetap melakukan. Bagaimana peristiwa ini dimaknai dalam perspektif feminisme? Jika kita cermati seluruh korban tewas dari tragedi miras oplosan ini adalah laki-laki. Laki-laki dituntut untuk menjadi jantan dan perkasa. Patriarki menyematkan beban tanggung jawab yang diluruhkan pada seluruh darah dan daging manusia biasa ini. Ditambah, paradigma modern memperlombakan kejantanan pria. Lihat saja iklan-iklan obat kuat yang bertebaran di surat kabar ataupun pinggir jalan raya. Berimpitan tempat dengan penjual batu nisan dan pasang reklame. Laki-laki dipaksa untuk menjadi yang paling jantan nan perkasa, pemberani, memberangus emosi dan tak takut mati. Laki-laki yang tewas karena miras ini adalah korban dari praktik patriarki yang menuntut mereka untuk selalu perkasa dan tak takut mati. Mereka sesungguhnya tahu bahwa dampak miras oplosan mampu memisahkan tubuh dengan ruh mereka, tetapi tetap dilakukan atas nama “tes kejantanan”, barang siapa paling jantan, dia tidak mati bunuh diri. Sama halnya dengan praktik merokok sebagai solidaritas peer group laki-laki. Beberapa teman saya mengaku hanya merokok ketika sedang berkumpul bersama teman-temannya. Rokok adalah simbolisasi dari maskulinitas dan kejantanan. Siapa yang menolaknya dianggap “tidak macho”. Ketika kejantanan dan kelaki-lakian mereka dipertanyakan, maka taruhan atas harga diri mereka juga di ujung tanduk. Eksistensi pria diukur dari maskulinitasnya. Maka mereka berlomba untuk menantang maut, membunuh emosi dan perasaan. Menjadi mesin yang jauh dari sifat lemah lembut dan kasih sayang. Karena kedua sifat tersebut tidak memiliki nilai maskulin. Benar jika lelaki berpikir dengan rasio, tetapi rasio itu membawa mereka pada jurang perlombaan maskulinitas yang tiada berujung bahkan hingga setelah mereka menikah. Maraknya penjual obat kuat dan pengobatan alternatif penyakit lemah syahwat adalah salah satu indikator. Feminisme mengembalikan esensi manusia menjadi manusia. Tidak peduli apakah jenis kelaminnya perempuan, laki-laki, kelamin ganda, transgender, transeksual, ataupun memilih tidak berkelamin/bergender. Feminisme menguliti dan melihat manusia menjadi seorang manusia dan memperlakukannya sebagai manusia. Feminisme, melalui perspektif pengetahuan pengalaman perempuan tumbuh bersama tubuhnya dengan pendekatan ethics of care, mencoba melepaskan jubah tanggung jawab dan keperkasaan pada diri laki-laki agar laki-laki bisa bangga menjadi dirinya yang penuh cinta dan kasih sayang tanpa merasa bersalah atau malu. Laki-laki diajarkan untuk berkasih dan tidak tunduk pada pacuan hidup. Feminisme mengulurkan tangan pada laki-laki untuk bersama-sama memproduksi cinta dan kasih pada sesama. Agar semua manusia bisa dianggap dan diperlakukan sebagai manusia. Lelaki tidak harus berlomba menjadi jantan, kami (perempuan) menerima lelaki yang mampu bekerja sama dan membagi kasih, kami tidak melihat kejantananmu. Perempuan melihat kasih dan sayangmu seutuhnya. Lomba Kejantanan yang kalian lakukan hanya untuk saling dipamerkan pada sesama laki-laki. Dan yang tersisa dari tragedi miras ini adalah para janda yang ditinggal suami yang tewas akibat menenggak miras oplosan. Mereka masih belum terbebas dari kemiskinan. Ditambah dengan gelar janda yang kini harus mereka semat. Beban hidup luruh pada pundak mereka. Ketika suami berlomba pesta kejantanan berujung maut, tinggallah para janda dan anak-anak mereka yang meneruskan kemiskinan dan kesengsaraan hidup mereka. Sumber: http://health.liputan6.com/read/2146759/indonesia-darurat-miras http://news.detik.com/read/2014/12/12/014701/2775176/1536/satu-lagi-korban-miras-oplosan-di-bantul-tewas http://www.tempo.co/read/news/2014/08/27/058602711/Keracunan-Miras-Oplosan-Tiga-Warga-Garut-Tewas
muda
10/2/2015 12:49:46 pm
Kejantanan merupakan harga diri seorang lelaki ( maskulin). Namun Faktanya dalam pandangan medis, dalam hubungan seksual lelaki memiliki durasi yang pendek, setelah mencampai orgasmenya ia akan butuh waktu untuk berhasrat lagi. Berbeda dengan perempuan ia bisa bertahan cukup lama. Seorang Perempuan PSK eks dolli ketika ditanya berapa Tamu yang beliau layani permalamnya, antara 15-19 orang /malam jawab beliau. Sedangkan laki-laki paling kuat hanya bisa sampai 3 kali saja setelah itu butuh seminggu atau sebulan lagi. Olehnya itu laki-laki butuh sesuatu diluar dirinya agar dipandang jantan oleh perempuan. Mungkin dengan miras oplosan ataupun dengan obat kuat. Sedangkan perempuan, tidak butuh. Hal ini bisa dijadikan salah satu bukti bahwa Laki-laki itu lemah dan perempuan itu kuat. Hidup Perempuan!!! Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |