Kopi, saya suka sekali kopi. Pembaca di sini pasti ada juga yang menyukai kopi seperti saya. Kopi berasal dari kata Kahwah kemudian menjadi Koffee dan Coffee, dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai kopi. Kopi pertama kali diperkenalkan ke Nusantara oleh Kolonial Belanda pada tahun 1830 dan menjadi komoditas ekspor utama bersama teh, gula dan indigo (nila). Kopi sempat menjadi primadona ekspor hingga tahun 1890 dan sampai sekarang pun Indonesia masih menjadi eksportir kopi nomor 2 terbesar di dunia. Jenis kopi yang pertama kali di tanam di Nusantara adalah Arabica, akibat wabah penyakit tanaman kopi yang melanda pada tahun 1860-an membuat jenis biji kopi beralih dari Arabika menjadi Robusta yang lebih resisten dari penyakit tanaman ini. Kopi dan kedai kopi bisa menjadi tolok ukur keamanan dan gairah politik serta demokrasi suatu negara. Berbeda dengan teh yang diminum dalam suasana formal. Bahkan Jepang punya tradisi upacara minum teh. Kopi diminum pada saat santai dan informal. Sekarang kita bisa dengan mudah menemukan kedai kopi dan café yang menyajikan kopi yang enak untuk sekadar bercengkerama atau melakukan lobi-lobi politik. Kopi juga pada bahasa sehari-hari bisa menjadi kata kerja yaitu ‘ngopi’ yang merujuk pada istirahat atau coffee break. Minum kopi telah menjadi kultur bagi beberapa masyarakat Indonesia hingga kini. Tengok saja Belitung, pulau asal gubernur Jakarta sekarang yang kita sapa dengan panggilan Ahok, memiliki julukan pulau dengan 1001 kedai kopi. Kopi Tarik Aceh yang terkenal, atau Kopi Papua yang menjadi primadona di lidah internasional, atau sebut saja kopi termahal di dunia, Kopi Luwak pun berasal dari Indonesia. Kebiasaan minum kopi juga dipakai menjadi nama grup lawak legendaris kita, Warkop, kepanjangan dari Warung Kopi. Menandakan betapa akrabnya masyarakat kita dengan budaya minum kopi. Di sepanjang jalan Margonda-Depok lebih dari 10 kedai kopi berupa kafe atau coffee shop berjajar saling menawarkan produk terbaiknya. Aktivitas meminum kopi identik untuk berkumpul, mengerjakan tugas bagi sebagian mahasiswa dan berbincang atau berdiskusi politik. Bandingkan jumlah kedai kopi di masa sekarang dengan masa orde baru yang populer dengan slogan stabilitas politik dan ekonominya, kedai kopi justru tidak sebanyak sekarang, karena kedai kopi sebagai ruang publik tidak dijamin keamanan dan kenyamanannya. Terlebih kita tidak bisa sembarangan bicara dan berkumpul di masa itu. Bisa kita asumsikan pertumbuhan kedai kopi berbanding lurus dengan kondisi keamanan dan gairah politik demokrasi suatu negara. Karena, kedai kopi jadi sarana berkumpul yang asyik untuk membicarakan politik, melakukan rapat ataupun lobi-lobi politik. Tapi bagaimana jika kopi dilekatkan dengan nilai-nilai maskulin? Kopi hitam selalu diidentikkan dengan laki-laki jantan dan macho sedangkan perempuan lebih lekat dengan latte, minuman susu berkopi (bukan kopi-susu melainkan susu-kopi). Begitu pula kedai kopi, kedai kopi identik dengan tempat berkumpul dan mengobrolnya bapak-bapak. Karena kedai kopi ini ruang publik, sedangkan para ibu-ibu, perempuan tersisih di ranah domestik. Ibu-ibu tidak minum kopi hitam di kedai kopi dan tidak membicarakan politik. Banyak lobi-lobi politik dan ide tentang peraturan atau kebijakan berasal dari pertemuan tidak formal di kedai kopi. Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa UI misalnya, selama tiga tahun saya berkuliah, tiga kali calon dan ketua BEM terpilih adalah laki-laki. Dimana perempuan? Sosialisasi gender memisahkan pergaulan perempuan dan laki-laki. Perempuan diletakkan di ruang domestik dan laki-laki di ruang publik. Laki-laki menguasai kedai kopi, melakukan lobi-lobi politik di sana, mencetuskan ide siapa mengusung siapa dalam rapat-rapat dan perkumpulan tidak sengaja mereka di ruang publik, di kedai kopi. Alhasil laki-laki yang sering nongkrong di kedai kopi menguasai panggung politik karena mereka membicarakan dan melakukan, sedangkan perempuan tersisih menjadi sekretaris atau seksi konsumsi. Semua karena perempuan tidak hadir di warung kopi. Kebijakan untuk dipilih dan memilih dalam demokrasi Indonesia dipastikan bersifat aseksual. Sayangnya ada beberapa hambatan bagi perempuan untuk mencapai posisi puncak, salah satunya perempuan harus sering melakukan lobi politik yang tidak selalu berada di kantor, ruang sekretariat, kelas. Lobi politik ada di ruang publik dan hambatan berupa glass ceilling yang menyulitkan perempuan masuk ke posisi puncak dan mengambil keputusan adalah ketidakhadirannya dalam lobi-lobi di ruang publik tersebut. Untuk mencalonkan seseorang mejadi ketua dalam kelompok yang didominasi laki-laki maka mereka akan melakukan lobi-lobi politiknya dalam aktivitas bersama yang bersifat maskulin seperti bermain futsal bersama, bermain dotA berjamaah, sampai nonkrong di kedai kopi. Dan akibat berbagai kegiatan tersebut dicap dan diberi nilai “milik laki-laki” serta merta perempuan tersisih dan terhambat kesempatannya untuk meraih posisi puncak. Apalagi jika ditambah dengan peraturan perempuan tidak boleh keluar malam, padahal banyak lobi-lobi dan diskusi politik dilakukan di malam hari karena itu kedai kopi pun biasa buka hingga pagi hari. Tetapi perempuan tidak boleh keluar pada malam hari, sehingga perempuan lagi-lagi melewatkan kesempatanya untuk berpolitik. Jika tidak ada stimulus affirmative action bagi perempuan untuk masuk ke ranah politik, bisa diprediksi akan semakin sulit perempuan terjun ke politik. Padahal kita tahu betapa pentingnya partisipasi perempuan dalam membuat kebijakan berdasarkan pengalaman kebertubuhannya. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |