(Mahasiswa Jurusan Ilmu Filsafat, FIB, Universitas Indonesia)
rendi95lustanto@gmail.com

Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030 mendatang. Pernikahan anak dapat mengambil hak pendidikan dan hak kesehatan reproduksi perempuan. Pernikahan anak juga berdampak buruk bagi pembangunan sumber daya manusia dan memunculkan masalah kependudukan. Ini merupakan suatu temuan yang sangat mencengangkan. Apakah kita sebagai masyarakat yang peduli terhadap bangsa ini hanya akan berpangku tangan? Ini bukan sebuah prestasi namun sebuah ironi. Dimana letak keseriusan pemerintah dalam mengatasi problem ini? Dengan angka sebesar itu, bagaimana nasib pendidikan mereka? Bukankah relitasnya akan sangat sulit bagi mereka untuk melanjutkan pendidikanya, mereka akan sibuk untuk mengurus rumah tangga, mengurus urusan domestik dll. Walaupun ada opsi untuk melanjutkan pendidikan dengan program kejar paket A, B atau C, Itu seakan menjadi suatu harapan yang utopis.
Menurut saya yang mendorong tingginya angka pernikahan anak di usia dini adalah faktor ekonomi, kebanyakan mereka berasal dari latar belakang keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah, mereka berasumsi jika seorang anak perempuan sudah menikah setidaknya beban keluarga akan semakin berkurang karena akan ditanggung oleh suami mereka. Namun pada kenyataannya apakah seperti itu, malah bisa jadi menambah permasalahan baru ketika pasangan muda ini belum mapan secara ekonomi dan akhirnya dapat mengakibatkan berbagai konflik baru muncul.
Jika direnungi lebih mendalam, hal ini disebabkan ketika subordinasi perempuan ditopang melalui hegemoni maskulinitas yang beroperasi di tataran keluarga sebagai unit ekonomi. Sedangkan dalam kasus pernikahan anak peran keluarga sangat dominan, represi dari kepala keluarga--yang biasanya adalah kaum laki-laki--sebagai penentu kebijakan dalam skala rumah tangga sangat kuat--dalam pengambilan keputusan untuk menikahkan anaknya di usia yang masih belia, dengan harapan supaya cepat meringankan beban ekonomi keluarga. Bahkan realitasnya di berbagai daerah hal ini bisa ditentukan oleh suatu otoritas yang berupa aturan aturan adat atau sabda dari kepala suku yang menganjurkan untuk segera menikah. Jadi segalanya tidak dapat dilepaskan dari adanya kontrol otoritas baik berupa power dari pihak yang memiliki kuasa maupun karena faktor ekonomi.
Hal ini menjadi faktor penentu atau struktur kunci yang menentukan posisi perempuan bersifat sosio-ekonomi, dikarenakan adanya semacam stigma bahwa perempuan merupakan individu yang selalu bergantung terhadap laki-laki. Tidak hanya itu, persepsi bahwa rumah itu identik dengan perempuan dan dunia tempat bekerja itu identik dengan laki-laki, hal ini semakin mendukung tesis awal saya, jika seorang wanita sudah bisa menjalankan fungsi domestiknya maka sudah layak untuk menikah walaupun usianya belum memadai.
Bila kita analogikan menggunakan pemikiran Michael Foucault, ini semua tidak bisa lepas dari kontrol otoritas yang berupa uang. Ketika relasi kekuasaan ini berasal dari ekonomi, kemudian akan menjalar kepada relasi kekuasaan yang menyetuh ranah tubuh, dan dibumbui akan hubungan seksual yang terjalin. Jika kita hubungkan dengan seks bisa diartikan sebagai hubungan ekonomi, karena sudah memberi nafkah lahir, maka timbal baliknya suatu kewajiban untuk memberikan nafkah batin berupa seks.
Ketika hubungan seks sudah masuk dalam tataran ekonomi seperti diatas, dapat kita analogikan bahwa satu-satunya yang dapat dipertukarkan hanya tubuh itu sendiri, tubuh perempuan dijadikan sebagai komoditi, atau benda, bahkan sebagai mesin; mesin reproduksi, mesin hasrat yang identik dengan pekerja, sedangkan laki-laki sebagai pasar, atau permintaan, dan perempuan sebagai penyedia. Nah, problem pernikahan anak ini tidak bisa kita lepaskan dari problem power berupa ekonomi kemudian berimbas juga terhadap status kepemilikan tubuh perempuan itu sendiri.
Mungkin bisa saja analogi ini berlaku pada mereka yang menjadi aktor dalam pernikahan anak. Kita harus menguatkan genggaman untuk bersatu memperjuangkan permasalahan ini, karena ini bukan sekadar permasalahan hukum, namun ini sebuah permasalahan kemanusiaan yang dibentengi oleh sosial, ekonomi dan kultural. Dibutuhkan usaha ekstra untuk merobohkan hegemoni besar yang telah menempel kuat pada masyarakat Indonesia, sehingga angka pernikahan anak di indonesia dapat menurun.
Daftar Pustaka:
http://print.kompas.com/baca/2015/06/20/Pernikahan-Dini-Memicu-Masalah (Diakses pada Senin, 16 November 2015, pukul 14:37)