Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] "Gender is not something we are born with, and not something we have, but something we do (West and Zimmerman: 1987) – something we perform" (Butler: 1990). Sejak sepuluh tahun terakhir kata ‘gender’ telah memasuki perbendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir di semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu? Berbicara mengenai konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperi rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai payudara.[1] Gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian Sedangkang gender adalah konstruksi sosial. Jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin,maskulin, ataupun keduanya, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak dari bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Sehingga muncul seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini–mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya–secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.[2] Sifat-sifat biologis melahirkan perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan sesungguhnya terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi gender akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah kembali, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.[3]
Kaum perempuan melakukan hal-hal dalam ranah domestik seperti mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. “one is not born, but rather becomes a woman” dalam pemikiran Simone De Beauvoir, seorang feminis eksistensialis abad ke-20 apa yang dinamakan sebagai perempuan adalah sebuah “menjadi”, dikonstruksi secara sosial. “Gender is not something we are born with, and not something we have, but something we do” (West and Zimmerman: 1987) – “something we perform” (Butler: 1990). Hal demikian dibolak balikkan oleh budaya, ketika bayi perempuan dikonstruksi menjadi perempuan coba kita lihat di lingkungan sekitar bahwa ketika bayi perempuan lahir maka ia akan dibungkus pakaian berwarna merah muda dan diberi boneka hingga ia dewasa menjadi seorang insinyur dapat saja ditertawakan karena tidak sesuai dengan diri perempuannya padahal dapat saja ia menjadi insinyur bahkan dapat menjadi insinyur seperti laki-laki yang lain, pemikiran yang memandang ketidaknormalan hal tersebut sungguh tidak relevan bila dihubungkan dengan gender maka peran gender sangat penting ketika aktivis perempuan dengan lantang menyuarakan perlunya kesetaraan bagi perempuan. Perempuan dapat juga layak bergerak dalam bidang politik, hukum, budaya, dan sosial. Hal-hal yang selama ini berbau perempuan seperti mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai “kodrat perempuan” padahal itulah yang dalam sejarah ini dikonstruksi secara sosial atas dominasi-dominasi kekuataan dan kekuasaan maskulin. Karena urusan mendidik anak anak, merawat kebersihan rumah tangga dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Jenis pekerjaan tersebut bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal.[5] Bahkan dalam perkembangan zaman di Jerman terdapat houseman dimana seorang ayah berperan juga dalam merawat anak dan rumah tangga untuk keseimbangan peran antara ayah dan ibu sehingga ibu tidak terus menerus bergulat dalam domestic area. Bahkan dalam sebuah kartu pos anti hak pilih “The Suffragette Madonna” tertulis “Poor man, thinking that nurturing a child is a sign of weakness or inferiority.” Karena selama ini produk sejarah melahirkan bahwa yang kuat kemudian diagungkan, “prehistoric times when physical force was very important, those who are strongest had all the right and power” (Simone de Beauvoir, The Second Sex). Yang demikian adalah proses pembentukan citra baku yang dimulai sejak beratus abad yang lalu di saat peradaban manusia ditegakkan berdasarkan prinsip the survival of the fittest.[6] Prinsip ini lebih banyak mempertimbangkan proses fisik sebagai pra-syarat penguasaan struktural sosial. Sebagai akbatnya, perempuan secara fisik tidak setegar laki-laki, menjadi termarginalisasi dari sektor “persaingan budaya”. Dalam proses sosialisasi di kemudian hari, hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih banyak merefleksikan “kelaki-lakian” (masculine) atau apa yang kemudian disebut dengan sistem “patriarki”.[7] Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan dengan kesetaraan dengan kaum pria. Dalam sejarah telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perjalanan peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki dalam urusan bermasyarakat. Jadi sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang dimainkan perempuan hanya berputar di ranah domestik, seperti dalam kosa kata Jawa “dapur, sumur, kasur”, sementara kaum laki-laki menguasai peran-peran penting didalam masyarakat. Dari sanalah muncul yang disebut dengan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan dari ranah, publik hingga privat, dari urusan domestik hingga persoalan reproduksi. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa disebut sebagai faktor penyebab utama mengapa kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[8] Dalam pembahasan gender, gender dapat menentukan berbagai pengalaman hidup, menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan ketrampilan. Gender dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan bergerak. Gender akan menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak secara autonom. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi apa nantinya.[9] Catatan Belakang: [1] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 7 [2] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 2 [3] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 9 [4] Nina Rosenstand, 2002, “The Human Condition an Introduction to Philosophy of Human Nature”, New York: Mc-Graw Hill, p. 187 in a thesis from Ukaulor, Chidimma Stella, 2012, “Feminism In The Philosophy Of Simone De Beauvoir: A Critical Analysis”, Awka : Nnamdi Azikiwe University, p. 18 [5] Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 11 [6] Herbert Spencer, the Origin of Sosiology, (Oxford, 1976) dalam buku Bainar, 1998, “Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan”, Yogyakarta : PT Cidesindo, hal 12 [7] Christ Weedon, Feminist Practices and Post Structuralist Theory (London : Blackwell, 1989) dalam Ibid. [8] Sri Yuliani, “Pengembangan Karir Perempuan Di Birokrasi Publik; Tinjuan dari Perspektif Gender” (Surakarta: Jurnal Pust Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No. 16 Tahun XIV Tahun 2004) [9] Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 5. Daftar Pustaka : Bainar, 1998, “Wacana Perempuan dalam keindonesian dan Kemodernan”, Jakarta: Pustaka CIDESINDO David Graddol, Joan Swann, 2003, “Gender Voices”, Pasuruan: Penerbit Pedati Eckert, Penelope and McConnell-Ginet, “An Introduction To Gender”, New York : Cambridge University Press Julia Cleves Mosse, 2003, “Gender dan Pembangunan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mansour Fakih, 2013, “Analisis Gender & Transformasi Sosial”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ukaulor, Chidimma Stella, 2012, “Feminism In The Philosophy Of Simone De Beauvoir: A Critical Analysis”, Awka: Nnamdi Azikiwe University Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |