Kebetulan minggu ini saya mendapat tugas untuk membuat refleksi kritis terhadap teori etika terapan yang saya dapatkan dari dosen di kelas. Tema besar yang sedang dibahas adalah equality and implication kemudian mengerucut terhadap problem realitas sosial yang ada dalam masyarakat pada umumnya. Saya tertarik untuk mengangkat isu tentang profesi mainstream perempuan sebagai sekretaris, karena setiap saya menemui atasan atau relasi pekerjaan selalu saya mendapati bahwa sekretarisnya adalah seorang perempuan. Sebenarnya fenomena profesi sekretaris sebagai profesi mainstream bagi perempuan tidak hanya kita temukan di Indonesia saja, namun di Amerika profesi ini bagaikan jamur yang tumbuh di musim penghujan. Seperti dapat kita lihat pada data sensus dari US bahwa tahun 2013 terdapat 4 juta orang yang berprofesi sebagai sekretaris dan 96 persennya adalah perempuan. Anehnya keadaan ini sama seperti 60 tahun yang lalu sejak artikel tersebut dirilis, meskipun sudah banyak perempuan yang memiliki gelar sarjana. Hal ini sebenarnya menunjukkan sebuah fenomena yang sangat unik. Ketika masyarakat mendapat paparan doktrinasi patriarki dengan intensitas tinggi maka berdampak pada munculnya efek kesadaran palsu bahwa yang layak menjadi sekretaris adalah perempuan dengan alasan bahwa perempuan lebih memiliki sifat-sifat rajin, kemudian secara psikologis lebih matang, dan memiliki tingkat agresivitas yang lebih rendah daripada laki-laki sehingga sangat cocok untuk menempati posisi ini. Coba kita renungkan lebih dalam mengapa paparan doktrinasi ini sangat pelik dalam masyarakat. Masih ingat ketika kita sedang berulang tahun, jika kita seorang anak laki-laki, maka orang tua akan menghadiahi kita mainan berupa mobil-mobilan atau pedang-pedangan. Sedangkan jika anak perempuan yang berulang tahun, maka orang tuanya akan memberikan hadiah berupa boneka barbie atau seperangkat mainan alat-alat masak. Jadi secara tak sadar terjadi doktrinasi bahwa perempuan harus bersifat lemah lembut, bergulat dengan urusan domestik, kemudian berpenampilan layaknya boneka barbie sedangkan laki-laki harus tampil gagah bagaikan kesatria pada kisah Mahabharata, pembawa pedang di gelanggang pertempuran atau sebagai seorang yang memiliki kekuatan fisik yang lebih daripada perempuan. Ini merupakan salah satu mekanisme doktrinasi yang sangat berhasil dalam menanamkan pola pikir patriarkis yang kemudian didukung oleh konstruksi sosial masyarakat yang membayangkan terdapat hierarki antara laki-laki dan perempuan. Imbasnya mungkin secara psikologis karena paparan doktrinasi yang begitu kompleks hingga kemudian berdampak pada munculnya ketimpangan relasi kuasa yang sangat mencolok ketika menjalin rumah tangga. Jika kita tarik relevansinya dengan contoh kasus yang saya jabarkan yaitu mayoritas profesi sekretaris diduduki oleh perempuan, tak lain karena pengaruh konstruksi sosial yang sangat kuat dan adanya mitos bahwa perempuan memang lebih layak menempati posisi tersebut karena memiliki kesabaran dan ketelatenan yang lebih tinggi. Hal ini mengingat sejak kecil memang sudah ditanamkan nilai-nilai bahwa perempuan memang dikodratkan menjadi manusia yang lemah lembut, pelengkap dari kaum laki-laki. Mampukah mitos ini dihapuskan dari pola pikir masyarakat agar terbentuknya kesadaran untuk mencapai kesetaraan? Memang ini merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi umat manusia. Bukan hanya problem di negara-negara berkembang saja, di negara maju seperti Amerika yang merupakan pelopor pergerakan kesetaraan gender pun masih terjebak dalam jeratan pola pikir patriarkis. Menurut Steven Goldbreg, seorang sosiolog dari Amerika menyebutkan bahwa saat ini masyarakat berada di posisi kepungan patriarki, dia menyebutnya sebagai the inevitability of patriarchy, ketika terjadi banyak sekali bentuk agresi yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan sehingga berdampak memengaruhi pandangan dalam diri perempuan itu sendiri. Seolah-olah memunculkan sebuah kesadaran palsu bahwa perempuan memang sangat layak untuk jadi sekretaris dan menempati posisi itu. Tak hanya itu, hal ini terjadi tanpa disadari oleh kaum perempuan sendiri. Mereka teredukasi secara politis dalam memainkan perannya dalam konteks ruang publik. Sehingga memang diperlukan formula yang jitu dan usaha yang keras agar kita sendiri tidak terjebak dalam kandang patriarki yang sempit dan berlumpur ini. Setelah teredukasi mengenai perannya dalam masyarakat, perempuan juga banyak yang terjebak dalam lumpur patriarki yang kemudian justru menjadi pelaku agresi itu sendiri atau menjadi perempuan patriarkis. Daftar Pustaka Kurtz, A. (2013, January 31). CNN money. Retrieved February 29, 2016, from CNN: http://money.cnn.com/2013/01/31/news/economy/secretary-women-jobs/ Singer, P. 2011. Practical Ethics, New York: Cambridge University Press.
sartina
9/4/2016 05:26:01 pm
SAYA IBU DINA DI MEDAN BESERTA KELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH SWT Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |