Unsiyah Siti Marhamah (Mahasiswa Islam dan Kajian Gender, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] Kejadian 65’ sepertinya tak lekang oleh waktu untuk dibahas kembali baik dalam tataran akademis maupun sebagai cerita dalam wacana keseharian, termasuk novel dengan tema 65’. Peristiwa 65’ sungguh tragis, memakan jutaan orang, perlu dicatat mereka mempunyai nama. Sejarah yang menjadikan hitam dan putih bagi sebagian kalangan namun sangat meninggalkan luka pahit dan kesunyian bagi korban, keluarga korban dan bagi mereka yang menjunjung tinggi human rights. Saskia Melalui Novel The Crocodile Hole berusaha mengungkap kebenaran tragedi 1965 yang telah membuat perhatian dunia internasional sehingga muncul International People’s Tribunal (IPT) 1965. Dengan berbagai macam usaha akhirnya IPT 1965 telah mencapai puncaknya setelah setengah abad kejadian messacre ini berlalu. Penokohan pada novel ini berangkat dari cerita tentang identitas Tommy yang datang dari Belanda dan motif keberadaanya di Indonesia. Tommy adalah seorang narrator, investigator, sekaligus protagonis, meskipun disini ia bukan superior. Di tahun 1980, Tommy datang ke Indonesia untuk melakukan sebuah penelitian, tujuannya adalah untuk menulis beberapa artikel terkait sejarah di Indonesia terkhusus kasus 1965. Dalam perjalanan penelitiannya, ia banyak menemukan fakta-fakta yang ganjil dimana sejarah yang diketahui khalayak umum pada masa itu justru sama sekali bertentangan dengan apa yang diperolehnya dalam penelitian, terlebih menyoal Gerwani. Tommy adalah seorang peneliti yang mempunyai ambisi kuat untuk mengetahui bagaimana Gerwani apakah terlibat atau tidak dalam peristiwa 65’. Melalui bantuan beberapa orang Indonesia yang menemaninya saat berada di Indonesia, diantaranya Tante Sri, dia melakukan investigasi tentang peristiwa genosida terburuk pada masa itu dan perihal informasi atau stigma terhadap Gerwani. Tante Sri banyak menceritakan sejarah yang (di)rahasia(kan) di tahun yang disebut sebagai penindasan ideologi dan fantasi seksual, melalui informasi yang didapat dari orang-orang yang benar-benar mengalami masa kelam itu, sebut saja Galeng di penjara pada tahun 1965. Sempat beberapa tahun di penjara laki-laki sebelum akhirnya dipindahkan ke Pulau Buru. Pulau Buru adalah tentang kelaparan dan penyiksaan yang tak tertahankan. Tante Sri sempat ditangkap kemudian selama beberapa tahun ia mendapat pukulan dan hajaran. Tante Sri dan Galeng, mereka berdua adalah orang-orang yang membela Soekarno, yang ketika itu Soekarno masih menjadi presiden secara resmi. Mereka mencetak dan mendistribusikan pamflet yang berisi pembelaan terhadap orang-orang yang benar, hingga suatu ketika Soekarno direhabilitasi. Komisi Tante Sri berharap pembunuhan dan penyiksaan akan segera terhenti, dan akan terjadi gencatan, sehingga kehidupan akan berjalan kembali normal. Bukankah Soekarno selalu melindungi mereka? sayangnya, bintang itu telah pudar. Kisah-kisah di penjara-penjara telah diceritakan kepada Tommy. Galeng dan Tante Sri menyatakan kepadanya fakta-fakta secara singkat dengan kalimat yang ringan (Wieringa, 2015). Diceritakan juga mengenai kejadian-kejadian di dalam penjara yang horor melebihi rumah hantu. Mereka telah mencium bau yang sama, yaitu bau busuk yang mengerikan, mendengar bunyian kunci dan bergaung suara hentakan boots prajurit. Di tahun 1980, Tommy mencium kekejaman yang terjadi pada 15 tahun yang lalu. Tommy menghirup bau busuk dari pipa pembuangan air kotor di kamar mandinya. Lalu, membawanya pada lubang kecil di lantai dimana ia biasa menyelesaikan urusan-urusannya. Seperti ada aroma besi yang baunya menyengat? Membuat pingsan? Bekas lumuran darah di lantai? Luka bernanah? Ada yang menarik dari novel Saskia, ialah fakta yang disampaikan melalui karya sastra. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui beberapa buku diantaranya Plantungan: Pembuangan Tapol Perempuan. Sumiyarsari menuliskan “Suasana penjara yang berada di Plantungan mengisahkan bagaimana para Tapol mereka telah kehilangan hak-hak asasinya, kemudian mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh, belum lagi mengalami pelecehan seksual. Apa yang dilakukan oleh para penjaga Tapol sungguh amoral, namun menutup-nutupinya dengan meningkatkan program-program keagamaan yang ada di sel tahanan agar terlihat menjunjung tinggi moral” (Sumiyarsi, 2010,:117). Selanjutnya, isi dari novel The Crocodile Hole menyoal pada masa orde baru, telah ditemukan organisasi perempuan sudah tidak sekuat organisasi senior mereka yaitu Gerwani. Seolah, organisasi perempuan yang ada telah dibatasi ruang geraknya, tidak lagi kritis dengan masalah-masalah politik, mereka cenderung dikotakkan dalam lingkup domestik semisal mendatangi pesta suami-suami mereka yang kala itu sebagai pejabat negara, kemudian perkumpulan ibu-ibu PKK dan arisan. Kesemuanya itu bagi Tommy sangat aneh, karena Gerwani yang dikenal sebagai organisasi perempuan yang diakui kuat secara internasional mengalami kemunduran dan kehilangan eksistensinya. Asumsi Tommy atas kejadian ini semua aialah adanya pengendalian organisasi perempuan oleh kekuasaan orde baru. Selain tentang Gerwani, novel ini juga menceritakan bagaimana ketidakterlibatan Gerwani dengan PKI. Meskipun anggota Gerwani adalah keluarga komunis, namun bukan menjadi alasan yang pasti bahwa anggota Gerwani juga PKI. Memang ada kecocokan antara ideologi Gerwani dan PKI, yaitu sama-sama memperjuangkan sosialisme. Artinya, menganggap bahwa perempuan bisa ke luar dari ranah domestiknya kemudian untuk mengekspresikan keinginan perempuan seperti misalnya masuk dalam anggota legislatif. Ketika itu beberapa pimpinan Gerwani menjadi anggota DPR, tujuan mereka adalah untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Dalam perjalanannya Gerwani ikut bagian dalam perjuangan politik PKI. Pada tahun 1961, hubungan antara Gerwani dan PKI dinyatakan secara terbuka hingga akhirnya salah seorang tokoh feminis pendiri Gerwis, yaitu S.K. Trimurti mengundurkan diri, karena diangkatnya tema-tema sosialis dan komunis (Hikmah, 2007:173), Sedangkan dalam novel The Crocodile Hole Tante Sri diceritakan sebagai salah satu informan Tommy yang selalu memberikan informasi atas apa yang dia butuhkan terkait Gerwani. Banyak anggapan bahwa Gerwani dituduh sebagai anggota PKI, namun faktanya sampai dengan dinyatakan organisasi terlarang, Gerwani masih belum secara resmi menjadi bagian dari organisasi perempuan PKI yang legal. Meskipun, sudah ada perencanaan untuk bergabung ketika terselengggara konferensi persiapan kongres V Desember 1965 (Hikmah, 2007:173). Hal senada juga dituliskan oleh Saskia bahwa meskipun kedekatan hubungan antara anggota Gerwani dan PKI, kemudian apa yang diusung oleh PKI sesuai dengan garis ideologi Gerwani, namun secara resmi Gerwani tidak pernah berafiliasi dengan PKI (Saskia, 1998.:23). Jadi bisa dikatakan secara ringkas bahwa hubungan Gerwani dan PKI adalah hubungan yang mendua dan rumit. Sedangkan keterlibatan Gerwani dalam peristiwa 65, berdasarkan kisah hidup Sulami, beliau mengatakan “Pada bulan September tahun 1965 itu, DPP masih sempat bersidang tiga kali. Sama sekali tak pernah membicarakan terjadinya G30S. Dengan demikian, tidak juga ada surat instruksi apapun ke daerah, misalnya instruksi mengikuti latihan sukawati untuk ikut serta dalam gerakan itu. Jadi, organisasi kami tak ada sangkut pautnya dengan G30S. Semua kegiatan waktu itu tertuju pada persiapan kongres. Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu pun sepi, tidak ada orang lain kecuali saya bersama seorang aktivis bagian terjemahan dan dua orang supir, seorang pegawai Poliklinik Anak “Melati” milik DPP Gerwani, memang di hari-hari biasa kesibukan luar biasa karena panitia kongres ada disitu. Kami tahu kejadian itu pada jam enam, oleh salah seorang wakil DPP yang datang secara mengejutkan memberitahukan bahwa dini hari tadi telah terjadi penculikan dan pembunuhan atas beberapa anggota Dewan jenderal di lubang buaya, tempat latihan para sukawan pertahanan rakyat (Sulami, 1999: 2-3). Novel ini juga mengangkat tema seksualitas, dimana Tommy yang telah banyak diceritakan diatas, mempunyai hubungan asmara dengan seorang perempuan bernama Dede. Hubungan mereka tak banyak diketahui namun bagi orang-orang yang dekat dengannya mengetahui hal demikian. Mereka cenderung menyetujuinya. Disinilah terdapat pesan dibalik novel yang banyak menceritakan mengenai kebenaran sejarah juga mengambil langkah untuk mengangkat hal yang tabu seperti masalah seksualitas. Namun, itu adalah dahulu, kini para penulis bebas berekspresi menuliskan apa yang ingin mereka tulis. Novel The Crocodile Hole berdasarkan riset ilmiah Prof. Saskia E Wieringa di tahun 1980-an mengenai kekerasan yang dialami perempuan-perempuan Gerwani. Hasil penelitian ini pun sudah dibukukan dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Sudah selayaknya dibaca sebagai pengetahuan kebenaran sejarah agar masyarakat mampu mengambil pelajaran dari masa lalu yang sangat kelam. selain itu sastra digunakan sebagai salah satu medium untuk mencapai kebenaran. Seperti halnya yang dikatakan bahwa : “Sastra adalah jalan keempat ke kebenaran... setelah jalan agama, jalan filsafat dan jalan ilmu pengetahuan.” (Andries Teeuw) Tak ayal lagi pembelajaran atas kejadian massacre yang luar biasa, yang tak kalah penting adalah pelurusan sejarah bahwa fitnah yang ditujukan kepada anggota Gerwani adalah murni rekayasa kepemimpinan Soeharto kala itu. Gerwani sebelum 65 dikenal sebagai gerakan perempuan yang sangat kuat, pro terhadap perjuangan perempuan dan politis sehingga dikhawatirkan akan mengganggu ketertiban negara. Keinginan pemimpin diktator untuk menguasai Indonesia secara keseluruhan mengundangnya untuk melakukan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Untuk itu gerwani telah mencapai kehancuran baik dari segi ideologi maupun politiknya pasca genosida pada 30 September 1965. Berdasarkan data forensik terbaru kejadian 65 yang telah menghabiskan nyawa lebih dari tiga juta orang, kemudian ratusan ribu terluka baik secara psikis maupun fisik. Semoga sejarah tidak berulang, Allohuma firlahum. Daftar Pustaka : Wieringa, Saskia E. 2015. The Crocodile Hole. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , 1998. Kuntilanak Wangi: Organisasi-organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta : Kalyana Mitra. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , 2010. Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia. Yogyakarta : Galang Press. Sumiyarsi Siwirini C. 2010. Plantungan: Pembuangan Tapol Perempuan. Yogyakarta : Pusdep Universitas Sanata Dharma. Hikmah Diniah. 2007. Gerwani bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia. Yogyakarta : CarasvatiBooks. Sulami. 1999. Kisah nyata wanita di penjara 20 tahun karena tuduhan makar dan subversi, perempuan, kebenaran dan penjara. Jakarta : Cipta lestrari. Majalah BHINNEKA. 2015. Surabaya : Yayasan Bhinneka Nusantara. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |