Isu gender, ekologi dan kemiskinan tidak dapat dilihat secara terpisah di era yang sudah menjelang posmodern ini. Kompleksitas permasalahan yang terjadi di Indonesia hari ini tidak dapat memaksa kita untuk menutup mata atas ketidakadilan terhadap perempuan, atas eksploitasi sumber alam dan situasi kemiskinan yang melanda wilayah-wilayah, dari pelosok desa hingga perkotaan. Perjuangan Kartini di masa lalu sudah semestinya dilanjutkan, untuk membebaskan belenggu kebodohan, untuk keluar dari lingkar kemiskinan, dan untuk keberlangsungan ekologi dan generasi. Berbicara tentang isu perempuan, terutama perempuan pedesaan, tidak terlepas dari isu lingkungan dan isu kemiskinan. Masih hangat dalam ingatan kita tentang perjuangan sembilan perempuan asal Rembang, Jawa Tengah, yang membekam kaki mereka dengan semen. Sembilan perempuan tersebut adalah korban eksploitasi lingkungan yang terjadi di wilayah mereka, pegunungan Kendeng. Mereka yang hidup miskin (dimiskinkan) dan menjadi penonton atas eksploitasi di tanah mereka sendiri. Wajar jika mereka ingin lepas dari jerat yang menghancurkan alam yang menjadi sumber bagi hidup mereka. Apa yang bisa mereka lakukan? Demo di depan istana, menyemen kaki mereka, pertanda protes, berharap suara mereka di dengar. Keputusan tetap berasal dari atas. Perempuan di Indonesia sudah sejak lama ditindas oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memihak. Eksploitasi alam adalah salah satunya, lewat pembangunan perusahaan-perusahaan secara masif yang kian menggusur kebudayaan asli—notabenenya identik dengan perempuan. Alam memiliki hubungan erat dengan perempuan, banyak kebudayaan nusantara yang menunjukkan bahwa perempuan menjaga alam bak menjaga anak mereka sendiri, seperti pada kebudayaan Dayak di Kalimantan Barat. Perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan kenseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi (Tong 1998, h.359). Sembilan perempuan Rembang menyuarakan pembebasan alam tempat mereka bernaung, mencari makan dan melahirkan, membangun generasi-generasi penerus bangsa. Rembang merupakan tempat R.A. Kartini mengembuskan napas terakhir, tidak ada salahnya sembilan Srikandi dari Rembang itu disebut sebagai Kartini masa kini. Kegigihan dan keberanian mereka untuk membela kaumnya yang tak berdaya akibat tangan-tangan penguasa; patriarki. Pergolakan emansipasi era kini tidak hanya dapat dilakukan dengan berdemo, berjemur di tengah terik matahari; melainkan melalui tulisan-tulisan bagi kaum tertindas dan tak berdaya. Namun bagaimana mereka dapat menulis jika pendidikan saja mereka tidak punya. Banyak kartini-kartini di Kalimantan yang hanya bisa terdiam bisu karena ketidakberdayaan. Sawah dan ladang mereka dijadikan lahan sawit, hutan mereka dijadikan lahan sawit dan lahan tambang. Environmentalis yang berorientasi manusia menekankan bahwa kita akan membahayakan diri kita sendiri jika kita membahayakan lingkungan. Dalam esainya yang secara luas dimuat dalam berbagai antologi, “The Land Ethic”, Aldo Leopold menulis bahwa kita harus memikirkan alam sebagai “mata air energi yang mengalir melalui siklus tanah, tumbuhan, dan binatang” (Tong 1998, h. 363). Leopold percaya bahwa bumi adalah suatu sistem kehidupan, suatu persimpangan elemen yang saling berkait dan saling bergantung dengan sangat rumit, yang berfungsi sebagai keseluruhan organisme, jika terdapat satu elemen saja yang sakit maka keseluruhan sistem akan sakit juga, dan satu-satunya cara untuk mengobatinya adalah dengan merawat dan menyembuhkan bagian yang sakit. Tangan-tangan lembut perempuan merupakan tangan penjaga dan perawat alam yang paling magis. Oleh karena itu isu ekologi dan isu perempuan tidak dapat dipandang sebagai suatu masalah yang terpisah. Tangan-tangan ganas penguasa menjadikan hutan tempat satwa bernaung menjadi lahan produktif perkebunan sawit di berbagai daerah di Kalimantan dan Sumatra. Lewat campur tangan penguasa jugalah lahan pertanian Rembang rata menjadi pabrik pengolahan semen. Lalu dimana lagi perempuan-perempuan miskin mencari makan untuk menghidupi anak-anak mereka, jika tanah mereka telah di rampas.
Pandangan ekofeminisme merupakan varian yang relatif baru dari etika ekologis, istilah ekofeminisme sendiri muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku Françoise d’Eaubonne yang berjudul Le Féminisme ou la mort. Dalam buku ini diungkapkan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam (Tong 1998, h. 366). Perusakan alam sama dengan kekerasan terhadap perempuan, terdapat kaitan erat antara pemenuhan kebutuhan (ekonomi) dengan rusaknya lingkungan. Lebih dari sebagian penduduk Indonesia menggantungkan hidup pada alam. Jika alam rusak dan sumber pangan tidak lagi menjangkau rakyat kecil maka tidak menutup kemungkinan bencana kelaparan akan mewabah di pelosok-pelosok negeri. Pada sejarah masa lalu, R.A. Kartini juga mengalami konflik batin dan ketakutan di awal, hingga akhirnya tumbuh tekad dan keberanian untuk merampas kemerdekaan kaumnya (perempuan—Jawa) yang pada waktu itu dikekang dan dibatasi untuk menimba ilmu, bahwasanya perempuan hanya menunggu dipinang dan dimadu saja. Perlawanan Kartini melalui surat-suratnya yang dibukukan berjudul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" tahun 1911, Kartini berbicara tentang kondisi perempuan pribumi, dan juga kondisi sosial yang terjadi saat itu, di mana perempuan benar-benar termarginalkan. Pada tahun 1922, buku itu terbit dalam versi bahasa melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, dan pada tahun 1938 menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulis versi Armijn Pane. Pemikiran Kartini mengubah maindset orang-orang Belanda zaman itu terhadap perempuan Jawa. Perhatiannya terhadap status perempuan di Indonesia juga menjadi perhatian bagi negara-negara luar. Sejarah pergerakan Kartini melalui tulisan ini patut kita lanjutkan dalam generasi sekarang dan generasi ke depan. Bukti perjuangan Kartini-Kartini dari berbagai daerah patut kita apresiasi dan dukung, seperti Mama Aleta Ba’un (Mama=sebutan untuk ibu) dan yang baru-baru ini sembilan Srikandi Rembang. Jika perempuan dapat melahirkan generasi-generasi baru, tanah tidak akan dapat melahirkan tanah, lalu ke mana generasi-generasi itu akan tinggal? Berbagai eksploitasi terjadi di depan mata kita; mulai dari eksploitasi alam dan perusakan lingkungan hingga kepada eksploitasi manusia dan berbagai kekerasan sebagai akibat dari situasi politik. Arus globalisasi sudah merambah dan cukup mengusik kehidupan tenteram di pedesaan, bahkan mungkin “desaku yang indah dan asri” akan menjadi kenangan masa lalu bagi negeri ini, ketika yang berdiri pabrik-pabrik, yang berkicau burung-burung raksasa dan alam tinggal menangis. “Karena kita tidak bergembira bukan karena memotong padi; kita bergembira karena memotong padi yang kita tanam sendiri”—Multatuli. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |