"Kamu tidak boleh keluar rumah kalau enggak pakai jilbab ya Nad”, kata Ibu saya. Ini bukan ucapan pertama yang ibu saya katakan. Sudah lebih dari enam tahun yang lalu, tepatnya setelah saya kelas dua SMP, ibu saya selalu meminta saya memakai jilbab. Ini bukan pertama kalinya juga ibu saya berkata dengan halus, biasanya disusul bentakan, makian, dan lebih banyak saya tidak boleh keluar rumah sama sekali karena saya tidak mau menutup aurat saya.Ibu bilang aku dilahirkan dengan kulit kuning langsat yang mulus bagus, jadi sebaiknya ditutup. Terkadang ibu juga bilang bahwa rambut saya yang panjang bisa menimbulkan fitnah. Kebanyakan dia bilang bahwa tubuh perempuan itu aib. Maka dikutiplah ayat-ayat dari kitab suci yang menegaskan bahwa perempuan muslim harus menutup auratnya. “Apa yang salah dengan membiasakan diri memakai jilbab?” kata orang-orang di luar sana. Tapi mereka menghujat saya karena saya memakai jilbab namun masih berkata kasar, mereka juga melabeli saya perempuan kerdus (kerudung dusta) karena saya sering copot-pasang jilbab. Padahal saya tidak berdusta pada siapapun, apalagi pada Tuhan. Saya jujur bahkan pada diri saya sendiri. Saya benar-benar tidak mau menggunakan jilbab dan semakin lama saya menggunakan jilbab, jilbab ini terasa membakar kepala dan amarah saya. Pertengkaran dengan ibu saya juga tidak habis-habis. Segala umpatan dan makian keluar. Jilbab menjadikan saya dan ibu saya sama-sama monster yang memperjuangkan tubuh dan cara kami berekspresi. “Tapi aku cuma mau berpakaian seperti yang aku mau. Aku sudah belajar sejarah turunnya jilbab dan ibu sendiri tahu bahwa memakai jilbab tidak boleh dipaksa, seperti orang beragama seharusnya dengan hati dan iman, bukan karena dipaksa,” begitu penjelasan saya kepada ibu saya. Saya memberi penjelasan dengan lemah lembut bukan yang pertama kali. Saya sudah mencoba ratusan kali, secara tertulis maupun lisan, juga dengan meminta bantuan ayah dan saudara-saudara saya untuk memberi pengertian kepada ibu bahwa jilbab bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Tapi ibu saya tidak mau tahu. Seperti orang-orang lain di luar sana, dia berpikir bahwa saya kurang gigih, saya menjelaskan dengan cara yang salah, atau saya memang durhaka karena tidak mau mengikuti kemauannya. Saya mendapat fasilitas indekos walau sebenarnya rumah saya dengan kampus hanya berjarak 25 km, karena itu setiap minggu saya harus pulang ke rumah, bertemu ibu dan memakai jilbab di setiap situasi atau saya tidak diizinkan pulang atau keluar rumah. Hingga saya duduk di bangku kuliah semester enam, saya benar-benar tidak tahan lagi. Saya mulai ketakutan bahwa dunia akan bersikap seperti ibu saya. Saya tidak bisa marah kepada ibu yang menyayangi saya. Maka saya limpahkan semua ini pada jilbab. Tapi semua orang masih menuduh saya yang salah. Saya ketakutan. Saya takut masyarakat akan bersikap seperti ibu saya, memaksakan jilbab kepada saya. Saya takut pada masyarakat. Saya benci setengah mati pada jilbab. Saya tidak sudi memakai jilbab sama sekali, sampai saya mulai menyalahkan agama dan sangat membenci Tuhan yang melahirkan saya dari rahim ibu yang terobsesi dengan anak yang berjilbab. Saya terkena depresi berat. Saya dibawa ke psikolog dan berlanjut konsultasi ke psikiater. Tapi ibu saya tidak mau tahu. Semua penyakit saya adalah kutukan. Setan terlalu banyak di tubuh saya yang membuat saya enggan memakai jilbab. “Perempuan memang bengkok, karena itu bisa hancur suatu negeri apabila dipimpin perempuan,” kata Ibu mencatut dari hadis Nabi yang sahih. Monster itu adalah tubuh perempuan. Kulitnya, rambutnya, semua harus disembunyikan. Laki-laki dan perempuan, mereka ketakutan atas tubuh perempuan. Be-irahinya harus ditekan. Monster itu bisa menerkam imanmu, monster ini bisa mengalihkanmu dari surga yang kau rindukan, tapi kau buat hidupku tiap hari seperti di neraka. Setelah belajar feminisme sekarang saya mengerti bahwa yang salah bukan saya, ibu saya, atau agama yang saya anut. Saya benci kenapa saya harus menutup aurat untuk calon suami yang saya bahkan belum pernah temui, saya harus menjaga tubuh saya yang aib ini dengan dibungkus dan menyamakan tubuh saya laksana daging mentah yang dijual obralan. Kenapa saya harus merelakan kebebasan diri saya terhadap pria yang mungkin belum saya kenal? Apakah semua laki-laki harus gila dihormati seperti itu? Saya rasa tidak. Ayah saya selalu membiarkan saya untuk menjadi apa pun dan mengenakan pakaian apa saja asal sesuai norma, tapi ibu saya yang melakukan semua itu. Ibu saya begitu repot-repot. Dari situ saya memahami bahwa bukan laki-laki yang salah, tetapi ada suatu sistem yang membuat nilai laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Dan agama, yang menjadi alasan ibu saya untuk memaksakan jilbab kepada saya, menggunakan sistem tersebut. Sistem itu yang menekan saya sehingga saya mengalami neurosis. Sistem itu memang menguntungkan laki-laki, tapi justru ibu saya, perempuan yang menerapkan, menjaga dan mewariskan sistem itu turun temurun. Ibu saya menganggap saya, anak perempuannya, bukan bagian dari dirinya melainkan dirinya sendiri. Ibu saya seorang aktivis yang gigih memperjuangkan hak berjilbab di awal tahun 1990-an. Tapi ibu saya tidak memahami bahwa kini berjilbab dan tidak berjilbab adalah pilihan. Kini perempuan boleh memilih untuk berjilbab maupun tidak. Tapi ibu saya terlanjur tidak memisahkan dirinya dengan saya, ketika saya menolak jilbab, dia tidak bisa menerima dengan alasan apapun. Ibu saya berpikir bahwa saya harus cepat dinikahkan dengan seorang ustaz agar dia bisa membuat saya bertobat, mendapat hidayah dan mau mengenakan jilbab. Saya tahu saya tidak sendirian. Dan benar, saya menemukan beberapa teman yang mengalami kasus yang sama dengan saya, mengalami konflik ibu dan anak. Setiap ada kesempatan kami berusaha membahas ini di ruang publik dan kami jadikan diskusi. Konflik ibu dan anak tidak hanya terjadi pada saya dan teman saya, ini juga dapat terjadi pada anda atau teman dekat anda. Ada suatu sistem yang harus kita lawan bersama. Kami mau bergandengan tangan untuk bisa diperlakukan sebagai manusia. Manusia yang boleh memilih cara dirinya untuk berekspresi.
rizki shafaruddin ahmad
6/8/2015 06:12:46 am
Menurut saya ini soal pemahaman dalam berjilbab, maksud si ibu benar, namun bisa jadi cara penyampaiannya yang salah, sehingga anak merasa tertekan bukan berdasarkan kefamahan ilmu yang benar mengenai jilbab.
Irina
11/8/2015 01:34:05 am
Ada hal menarik yg saya tangkap dari tulisan ini, yaitu adanya debat pemakaian jilbab sebagai HAK dan sebagai KEWAJIBAN. Setuju, bahwa seharusnya jilbab itu menjadi hak perempuan, bukan sesuatu yg diharuskan. Saya byk menemui byk perempuan yg bangga menggunakan jilbab krn mrk merasa lbh nyaman utk menutupi rambut atau bagian tubuh tertentu, tp tak sedikit jg perempuan berjilbab yg jilbabnya mrk jadikan "insentif" utk menentukan nilai jilbab pd perempuan lain. Maka dari itu, penting halnya perempuan utk diberdayakan spy punya pendirian di tengah stiga sosial yg brutal.
Kaira
23/8/2015 05:30:12 am
Hello Nadya Karima Melati, menarik sekali persoalan jilbab ini. aku pun mengalami hal yang sama, bahkan aku hidup ditengah lingkungan sosial dimana agama sangat kuat mendominasi. Aku pun begitu, dilarang untuk tidak berjilbab jika keluar rumah. Aku jg pernah dicibir, dihujat karna ketauan tidak pakai jilbab saat posting di media sosial. Sampai aku berpikir seharusnya agama tidak menjadi beban bagi pemeluknya. Saya juga punya keadaan serupa, tapu untungnya kedua orang tua saya tidak memaksakan saya berjilbab. Tapi ada beberapa aturan yang masih sangat patriarkis dirumah tapi untungnya orang tua dan anak berbeda rumah. Jangan tajut untuk berekspresi. Tetap tunjukkan kalau kamu punya hak atas tubuh kamu.
shafira
9/11/2015 05:45:01 pm
Kamu akan tahu rasa yg dialami ibumu ketika mengandung dan melahirkan seorang anak dan berharap berkumpul bersama di surga Allah.
Mungkin karena pemahaman yg kurang, apapun itu. hidup memang pilihan. samapi akhir hayat pun kita tetap akan memilih. memilih surga atau neraka. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |