Indriyani Sugiharto (Mahasiswi Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada) [email protected] Sewaktu saya duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) ada tanggal dimana saya disulap ibu dengan dandanan mirip dia di foto pernikahannya lengkap dengan kebaya, gelung dan make up menor untuk berangkat ke sekolah, yaitu tanggal 21 April. Pasalnya, setiap tanggal itu saya tidak mengenakan seragam merah putih atau pramuka tetapi kebaya. Satu hari sebelum tanggal 21 April, guru selalu mengingatkan murid-muridnya “Jangan lupa bilang ibu besok Kartinian, ya?” Betapa senang hati saya bila tanggal itu tiba. Disamping rasa girang saya bisa memakai kebaya dengan rambut digelung, pada tanggal 21 April kegiatan belajar mengajar juga dikosongkan. Seharian saya dan teman-teman hanya sibuk memperhatikan baju dengan banyak ornamen kelap-kelip yang kami pakai satu sama lain. Pada waktu itu saya masih SD jangankan bertanya, rasa ingin tahu apakah yang dimaskud ibu guru dengan istilah Kartinian-pun tidak ada. Pesan guru yang seolah ditujukan pada ibu-ibu kami pun menjadi salah satu hal yang membuat saya acuh pada makna dari tanggal 21 April yang terjadi bertahun-tahun pada pemahaman saya. Kartinian adalah hari dimana seorang ibu akan bertugas untuk mendandani anaknya seperti pengantin dengan adat jawa. Sewaktu saya duduku di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kebiasaan tahunan untuk memakai baju adat setiap tanggal 21 April masih berjalan. Namun ada yang berubah dalam kebiasaan menyambut tanggal 21 April dibandingkan tahun-tahun sebelumnya di SD. Guru mulai memberitahu makna tanggal 21 April yaitu perayaan menyambut Hari Kartini. Waktu itu saya hanya menanggapi sebatas “Oh gitu”, namun salah seorang teman di kelas yang dianggap pintar sedikit cerewet bercerita kenapa kita harus merayakan tanggal 21 April sebagai hari Kartini. Menurutnya, Kartini adalah tokoh emansipasi. Sejak kecil telinga saya memang akrab dengan kata emansipasi. Kata tersebut lebih sering terdengar oleh saya pada bulan April, khususnya di pertengahan bulan April.
Tambah teman saya, karena Kartini kami perempuan sekarang bisa bersekolah. Tidak mempedulikan dan tidak juga mengerti apa arti dari kata emansipasi, pada waktu itu saya tidak sepakat dengan alasan teman yang menyatakan saya bisa sekolah karena Kartini. Saya tidak mengenal Kartini, begitupun orang tua saya. Saya pun sampai berpikir memangnya kalau saya mau bayar SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) saya minta Kartini? Tidak. Sekarang saya berstatus sebagai seorang mahasiswa. Saya mulai mengingat lagi pernyataan teman saya yang mengatakan karena Kartini perempuan bisa sekolah. Pada waktu itu saya tidak tahu sebenarnya apa hubungan menjadi perempuan dan sekolah? Saya hanya bisa bertanya pada diri sendiri setelah satu persatu teman perempuan saya menikah pada usia yang sangat dini. Mengapa Tina tidak kuliah malah jadi SPG (Sales Promotion Girl)? Mengapa Ayu yang bekerja di Korea setelah lulus SMA terlihat tidak bahagia? Saya pun tidak tahu pasti apakah mereka benar-benar memilihnya atau mungkin mereka memang tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Terlepas dari itu, selama di Universitas tidak ada lagi kebiasaan memakai baju adat ke kampus pada tanggal 21 April. Kebiasaan menyambut Hari Kartini diubah dengan beberapa undangan seminar atau diskusi dengan topik perempuan. Namun saya juga tidak mengatakan bila sekarang saya sudah mengerti betul siapa Kartini dan kenapa kita harus merayakan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. “Ibu kita Kartini, Putri Sejati?” Telah banyak artikel yang saya temukan mengenai betapa besar Kartini berjasa bagi bangsa Indonesia khususnya perempuan. Telah banyak juga saya temukan artikel yang mempertanyakan mengapa harus Kartini? Mengapa tidak Tjoet Nja’ Dhien? Mengapa tidak Dewi Sartika? atau lainnya.
Kartini dianggap membukakan jalan bagi perempuan-perempuan di Indonesia pada kesetaraan gender, khususnya dalam pendidikan. Melalui kumpulan surat-suratnya yang dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” terlihat ketidaksepakatannya pada tata cara dan aturan yang mengikat perempuan jawa.
Ketidaksepahaman Kartini atas aturan tersebut cukup beralasan karena dia harus menjalani masa pingitan yang telah membelenggunya, serta tidak diizinkannya Kartini melanjutkan sekolah di Belanda oleh ayahnya. Bahkan demi melarang keinginannya untuk bersekolah, akhirnya dia dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang dan meninggal saat melahirkan anak pertamanya Raden Mas Soesalit. Beberapa mengatakan kisah hidup seorang Kartini yang begitu poupuler tak lepas dari lingkungan yang turut membentuk karakternya, serta pertemanannya dengan orang-orang kolonial dan kaum elite pribumi semasa sekolah, oleh karena itu dia bisa menguasai bahasa Belanda dan mendapatkan pendidikan model barat yang sekuler dan sosialis.[4] Hal tersebutlah yang menjadikan kecurigaan beberapa pihak bahwa Kartini sengaja dipilih oleh Belanda, salah satunya karena ayahnya yang memegang pemerintahan di Jepara. Bila bicara mengenai tokoh perempuan yang berjuang pendidikan, banyak yang mempertanyakan mengapa Dewi Sartika (1884-1947) atau Rohana Kudus yang bahkan sempat mendirikan sekolah-sekolah tidak sepopuler Kartini?
Hampir semua dari kita pernah diajarkan lagu “Ibu Kita Kartini” sewaktu kecil. Banyak juga dari kita yang sudah hafal. Saya kemudian berpikir, apakah karena kalimat Ibu kita Kartini, Puteri sejati maka pada tanggal 21 April sewaktu SD saya selalu memakai kostum kebaya dengan gaya Kartini serta menganggap ke-sejati-an seorang pahlawan perempuan harus memakai kebaya dengan gelung rapi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi saya seorang pahlawan perempuan harus turun ke medan perang membawa senjata, apalagi naik kuda. Kartini-Kartini dalam Pendidikan, Gizi dan Lingkungan Hidup Dalam sebuah program magang di Rumpun Tjoet Nja’ Dhien, LSM dengan fokus pada isu Pekerja Rumah Tangga yang kebetulan sama dengan nama tokoh perempuan dari Aceh, kemudian saya mengenal Kartini. Kartini yang saya kenal disini biasa dipanggil Lek Jum. Lek Jum merupakan salah satu pegiat sekaligus peserta “sekolah mingguan” bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Sewaktu magang, saya hampir seminggu tiga kali bertemu dengannya. Di malam senin, rabu dan jumat dia selalu bersiap dengan pulpen dan catatan di tangan untuk mengikuti kelas bahasa Inggris bersama saya dan satu teman magang dari Amerika. Sedangkan di hari minggu Lek Jum akan datang paling awal untuk mengikuti “sekolah mingguan” di Sekolah PRT. Terdapat beberapa kelompok atau serikat Pekerja Rumah Tangga di Jogja, Lek Jum bergabung dalam Serikat PRT Tunas Mulia. Ilmu yang dia dapatkan dari kelas bahasa Inggris dan sekolah PRT kemudian akan dilanjutkan ke teman-teman PRT di Serikat PRT Tunas Mulia yang tidak bisa bergabung dalam “sekolah mingguan”. Lek Jum yang tidak pernah lelah membagi ilmunya dan berjuang membela hak-hak Pekerja Rumah Tangga adalah Kartini. Kartini lain yang saya kenal bernama Boi dan Ina. Saya biasa menyebutnya Mama Boi dan Mama Ina karena mereka merupakan ibu angkat saya selama menjalankan tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kepulauan Alor. Selama hampir dua bulan menjalankan KKN saya tinggal dan diangkat menjadi anak oleh satu keluarga. Rumah yang saya tinggali dihuni oleh sekitar lebih dari sepuluh anggota keluarga besar Bapak Djasa Samiun. Mama Boi dan Mama Ina adalah istri dari ayah angkat saya Djasa Samiun. Walaupun secara pribadi saya tidak setuju pada poligami, namun ada yang menarik perhatian saya pada keluarga ini. Menurut keterangan kakak angkat saya, selama menikah lebih dari 30 tahun tidak pernah terjadi perselisihan serius diantara ayah dan mama-mama kami. Beberapa hari menjadi anak angkat, saya mulai paham akan pola komunikasi dan pembagian kerja dalam keluarga angkat saya. Ayah saya yang mengalami cedera kaki dan susah berjalan tidak dapat melakukan kerja berat. Mama Boi sehari-hari mengurus kebun sayur pribadi mulai dari mencangkul, menanam, menyirami sampai memanen. Sedangkan Mama Ina bertugas mengolah semua bahan makanan sehari-hari dari hasil kebun. Setiap Selasa Mama Boi dan Mama Ina berangkat pagi buta ke Pasar tumpah yang hanya ada seminggu sekali untuk menjual sayuran atau melakukan barter dengan penjual lain. Walaupun keluarga kami tidak punya cukup uang untuk membeli ayam atau daging tapi Mama Boi dan Mama Ina terus menanam sayur yang dipetiknya setiap pagi dan sore hari agar anak-anak dan cucunya bisa terus kenyang. Mama Ina dan Mama Boi yang berjuang demi untuk memenuhi gizi anak cucunya adalah Kartini. Satu lagi Kartini yang pernah saya temui adalah Aleta Baun. Saya yakin beberapa sudah akrab dengan nama tersebut. Aleta Baun dikenal sebagai perempuan yang memimpin perjuangan mengusir penambangan marmer yang ada di Nausus dan Anjaf, bukit yang dikeramatkan oleh suku Mollo. Bagi suku Mollo yang tinggal di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, air, hutan, tanah dan batu adalah bagian dari identitas mereka. Keberanian yang ada pada diri Aleta Baun mengilhami suku Amanatun dan Amanuban untuk bergabung dalam perjuangan melawan kerusakan alam tersebut. Melalui festival tahunan Ningkam Haumeni, suku Mollo, Amanatun dan Amanuban bersatu untuk bersumpah melawan segala bentuk penambangan yang akan merusak alam dan kebudayaan mereka.[6] Pertengahan tahun 2014 saya dan tiga teman berkesempatan datang dalam festival Ningkam Haumeni di Fatu Nausus, Timor Tengah Selatan. Festival yang diisi dengan banyak kegiatan mulai dari diskusi dengan topik pangan, menanam sayur dan ubi serta berbagai acara adat di lokasi bekas tambang marmer digelar selama beberapa hari. Kegiatan yang dilakukan oleh ketiga suku tersebut mengingatkan mereka akan perjuangan sebelumnya dalam melawan pertambangan. Banyak hal yang membuat saya kagum, mulai dari warna warni tenun khas timor yang mereka pakai sampai komitmen mereka yang hanya makan dari hasil di tanah mereka. Selama beberapa waktu tinggal disana, saya disuguhkan dengan pangan lokal yaitu jagung, sorgum, madu dan jeruk hutan. Aleta Baun adalah Kartini. Catatan Belakang: [1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. [2] Surat R. A Kartini kepada Estelle Zeenhandelaar, 18 Agustus 1899. [3] Surat R.A Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899. [4] Iffati Aulia Rachmaingati, “Bukan Kartini Biasa” , diakses dari https://morfobiru.wordpress.com/2012/09/19/bukan-kartini-biasa/, pada 14 April 2015 pukul 20.00 WIB. (Peringkat dua kompetisi esai AKAMIGAS tahun 2010 dalam rangka memperingati Hari Kartini) [5] Tiar Anwar Bachtiar, “Mengapa Harus Kartini?” , diakses dari http://insistnet.com/mengapa-harus-kartini/, pada 14 April 2015 pukul 22.00 WIB. [6] Nunuy Nurhayati, “Sumpah Darah di Baukit Keramat”, Tempo, edisi 23 September 2012. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |