Lola Loveita (Mahasiswi Jurusan Filsafat, FIB UI) [email protected] “Even in my childhood, the word "emancipation" enchanted my ears; it had a significance that nothing else had, a meaning that was far beyond my comprehension, and awakened in me an ever growing longing for freedom and independence—a longing to stand alone.”[1] –Raden Ajeng Kartini Lebih dari seratus tahun yang lalu seorang perempuan di negeri ini menuliskan surat-surat yang berisi pergelutannya sebagai perempuan yang hidup di tengah kondisi jaman yang mengalienasi. Namanya Kartini. Sebagai salah satu pejuang perempuan di Indonesia Kartini paling familiar dengan saya semenjak Taman Kanak-kanak. Setelah beranjak dewasa dan mengenyam pendidikan di sekolah, bapak dan ibu guru selalu melekatkan nama Kartini dengan sebuah kata: emansipasi. Makna emansipasi di dalam gagasan Kartini lebih kental dipahami di dalam konteks pendidikan. Baginya, pendidikan akan membebaskan perempuan dari belenggu yang membodohinya dan dengan begitu memajukan perempuan. Dari situ saya bertanya apakah hari ini belenggu itu sudah terpatahkan? Kartini dan Kerinduan Akan Kebebasan Hidup di tengah Kolonialisme dan Feodalisme, Kartini kecil beruntung karena dapat mengenyam pendidikan, tidak seperti anak-anak pribumi kebanyakan saat itu. Sebagai seorang putri dari Bupati Jepara Kartini diberikan kesempatan untuk bersekolah. Kartini bersekolah sampai dengan usia 12 tahun karena setelah itu di dalam budaya Jawa, perempuan masuk ke dalam tahap remaja putri sehingga harus dipingit, yaitu tinggal di dalam rumah tanpa berhubungan sedikitpun dengan dunia luar sampai ia dilamar dan dinikahkan oleh seorang laki-laki. Melalui pendidikan, terutama buku-buku, Kartini memahami konsep-konsep akan kebebasan dan kesetaraan. Kartini begitu terpengaruh dengan peradaban Eropa.[2] Ide mengenai emansipasi memang datang dari berbagai revolusi yang terjadi di Eropa. Meski gagasannya bernuansa pro-kesetaraan, Kartini hidup di tengah-tengah budaya yang sangat patriarkis. Hal itu yang menyebabkan kesedihan dan kegelisahannya akan nasib para perempuan yang juga ia rasakan sendiri, misalnya di dalam hal pendidikan dan pernikahan. Tubuhnya memang bagaikan dipenjara di dalam rumah dengan tembok-tembok pagar tetapi kegelisahan-kegelisahan dan berbagai gagasannya ia terbangkan melalui surat-suratnya. Gugatan-gugatannya terhadap sistem yang ada ia tuangkan melalui surat-surat. Kartini paham betul bahwa perempuan begitu dirugikan oleh sistem yang telah memangkas hak-haknya. Pemahaman itu menjadi dasar bagi impiannya untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi perempuan. Baginya, pendidikan akan memandirikan dan membebaskan perempuan. Pemahaman dasar Kartini mengenai pendidikan dipengaruhi oleh modernisasi. Sepanjang pemikirannya ia seperti memeras apa-apa yang baginya baik dari budaya Timur dan Barat. Berangkat dari pengalaman eksistensialnya, Kartini ingin perempuan memiliki kebebasan dan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Pendidikan bagi perempuan bukan hanya di lingkup formal tetapi juga di dalam keseharian sebagai ibu rumah tangga. Kartini mengatakan “Dan betapakah ibu bumi putra itu sanggup mendidik anaknya, bila mereka itu sendiri tiada berpendidikan?”[3] Kartini percaya bahwa seorang perempuan akan menjadi seorang ibu dan memiliki peran penting di dalam pendidikan. Perempuan sebagai ibu harus diberikan kebebasan dan kemandirian utamanya di dalam pendidikan agar kelak ia dapat mendidik anak-anaknya. Dengan begitu perempuan berperan penting dalam membangun peradaban dan memajukan bangsa. Perempuan dan Pendidikan di Indonesia Seratus tahun setelah Kartini berhasil mendirikan sekolah untuk perempuan, tentu ada kemajuan terkait permasalahan kultural dan struktural di bidang pendidikan dan keseteraan gender di Indonesia. Tetapi nyatanya itu tidak cukup dan masih jauh dari harapan. Angka buta huruf pada perempuan masih jauh lebih tinggi dari laki-laki. Ada 14.9 juta masyarakat Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf dan 70% dari mereka adalah perempuan.[4] Kemajuan di dunia pendidikan dapat dilihat misalnya semenjak tahun 1990 sampai dengan 2010 terjadi peningkatan signifikan angka partisipasi sekolah, tetapi dibandingkan dengan laki-laki pada taraf SMA perempuan masih tertinggal 4-5%.[5] Penyebab dominan yaitu masalah ekonomi dan menikah muda. Tentunya kedua hal itu menghambat akses untuk bersekolah. Kendala akses ini yang menyebabkan ada 5% anak-anak Indonesia putus sekolah.[6] Di antara 5% itu ada perbedaan jumlah yang begitu signifikan antara perempuan dan laki-laki terkait alasan menikah muda. Perempuan yang putus sekolah dengan alasan menikah muda atau mengurus rumah tangga mencapai 27.78% sedangkan laki-laki angkanya 3.55%.[7] Bukan hanya kekurangan murid perempuan, dunia pendidikan di Indonesia juga kekurangan pendidik perempuan. Di dalam struktur pendidikan laki-laki masih menguasai posisi-posisi atas. Permasalahan lain yang juga penting adalah banyaknya sumber bacaan sekolah yang seksis. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan terlihat masih lebih dekat dengan laki-laki. Kita bisa lihat sejarah dunia pendidikan didominasi oleh laki-laki dalam arti nama-nama perempuan banyak yang tidak muncul. Begitu pula yang terjadi di dunia filsafat. Misalnya, pada waktu itu di perkuliahan yang saya ikuti, Gadis Arivia menginstruksi seluruh mahasiswa untuk menuliskan nama-nama filsuf perempuan dari zaman Yunani sampai dengan hari ini. Hasilnya tidak ada yang bisa menulis sampai dengan sepuluh nama, bahkan tujuh. Artinya, pengetahuan tentang filsuf perempuan (baru namanya saja, belum pemikirannya) sangatlah memprihatinkan, padahal ada ratusan nama filsuf perempuan dari 600 SM sampai dengan hari ini.[8] Mary Wollstonecraft sendiri menggaungkan feminisme dimotivasi oleh kerinduan akan pendidikan. Ia mengkritik konsep pendidikan Jean Jacques Rousseau yang tidak memihak pada perempuan. Perempuan seringkali dianggap tidak lebih rasional dengan laki-laki padahal nyatanya perempuan mampu menyumbangkan karya-karya yang penting di bidang keilmuan, khususnya sains. Bagi Wollstonecraft inferioritas yang dialami terjadi karena kualitas pendidikan yang tidak setara. Intan, Jaenab dan Susi: Kartini, Aku Mau Sekolah Intan, Jaenab dan Susi adalah sedikit dari anak-anak perempuan yang bersekolah di SDN Puncak Manggah, Desa Cimahpar, Sukabumi, Jawa Barat. Mereka duduk di kelas 4, 5 dan 6 SD. Bulan Januari lalu saya mengenal mereka ketika singgah selama 25 hari di sana. Mereka adalah perempuan-perempuan kecil yang pintar dan semangat bersekolah. Di SDN Puncak Manggah tahun lalu hanya ada dua anak beruntung yang melanjutkan jenjang pendidikan ke SMP. Sebagaimana yang disebutkan di atas, faktor ekonomi dan menikah muda menjadi alasan dominan. Ditambah lagi soal jarak ke SMP atau SMA terdekat yang jauh dan tidak ada kendaraan umum. Kebanyakan anak laki-laki yang bersekolah di SMP harus memiliki motor. Medan yang naik-turun, licin dan berbatu mau tidak mau harus diterobos karena jika tidak, mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk menyewa tempat tinggal di dekat sekolah. Anak-anak perempuan di sana bukannya tidak mau atau tidak mampu mengendarai motor tetapi mereka tidak dimampukan karena stereotip. Adalah anomali jika melihat perempuan naik motor mengangkang. Perempuan di sana kebanyakan memakai rok, sebagian besar ibu-ibu menggunakan kain yang dililit-lilit. Ayah dari anak-anak perempuan itu mungkin bisa mengantarkan mereka ke sekolah tetapi kesibukan di sawah yang sangat menyita waktu dan tenaga menyulitkan itu untuk terjadi, sehingga pilihan yang paling mungkin adalah dengan menyewa kos-kosan atau tinggal di asrama dekat sekolah. Bagi anak-anak Desa Puncak Manggah kendala yang ada untuk bersekolah berlapis-lapis dan bagi perempuan lapisannya lebih tebal. Di tengah persoalan itu yang paling menyebalkan adalah pertanyaan-pertanyaan warga, orang tua murid dan bahkan anak-anak perempuan sendiri,“buat apa perempuan sekolah?”. Pertanyaan itu mungkin merupakan lapisan yang paling dasar yang menjadi alasan mengapa banyak sekali dari mereka yang berhenti sekolah dan menikah di usia yang sangat dini. Pemahaman bahwa setelah lulus SD anak-anak perempuan tinggal di rumah saja, memasak di tungku, menunggu dilamar oleh laki-laki, menikah, dihamili dan mengurus anak sangat banyak ditemukan di antara mereka. Bahkan, lucunya, saya mendengar dari beberapa warga, jika perempuan di atas 20 tahun seperti saya belum menikah, akan dianggap “tidak laku”. Saya bersyukur tidak semua anak-anak perempuan di sana memiliki pemahaman itu. Sebentar lagi Intan, Jaenab dan Susi akan lulus SD. Mereka mempunyai mimpi untuk lanjut bersekolah, bahkan sampai ke perguruan tinggi! Saya sempat iseng bertanya, “kalo nanti pas lulus ada yang ngelamar gimana?” mereka dengan yakin menjawab, “nggak mau atuh, Teh!.” Mendengar optimisme seperti itu, semoga mereka tidak hanya ingin sekolah, tetapi pada akhirnya cukup beruntung untuk dapat bersekolah sampai ke perguruan tinggi dan mengubah paradigma di desanya. Kartini Hari Ini Progresivitas pemikiran Kartini terhadap kesetaraan merupakan sumbangan yang besar bagi kemajuan perempuan Indonesia di bidang pendidikan. Di setiap ruang dan waktu yang berbeda, ada keperluan-keperluan yang berbeda pula yang mewarnai strategi para perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Pada saat itu bagi Kartini senjata untuk melawan subordinasi perempuan adalah pendidikan. Mustahil tanpa itu. “Perempuan adalah soko guru peradaban”, katanya. Kartini mungkin ada di dalam antinomi. Di tengah memperjuangkan kesetaraan, Kartini berada dalam budaya dan adat yang begitu mendeterminasi. Pemahaman akan peran perempuan masih sangat dipengaruhi oleh faktor tersebut. Pendidikan perempuan yang mengarah kepada peran menjadi ibu rumah tangga belum mencerminkan adanya pembagian peran yang adil di dalam keluarga. Seakan-akan mutlak bagi perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak, sedangkan laki-laki sama sekali lepas dari hal itu. Meski begitu Kartini adalah salah satu perempuan yang telah menciptakan revolusi dan membuka jalan bagi perempuan untuk berpendidikan. Terima kasih Kartini, pada hari ini perempuan memiliki kesempatan untuk bersekolah, meski setelah seratus tahun lebih lamanya kesetaraan itu belum juga mewujud, dalam pendidikan, ekonomi, hukum, dan lainnya. Tetapi semangat perjuangan Kartini masih hidup sampai hari ini dan selalu bermultiplikasi, supaya Intan, Jaenab, Susi dan semua anak-anak perempuan Indonesia tidak terkurung di dalam bilik-bilik tanpa lubang, tanpa tahu bahwa di luar ada pilihan. [1] Kartini, Raden Adjeng. Letters of A Javanese Princess. Trans. Agnes Louise Symmers.1921. London: Duckqorth&Co. Hal 4. [2] Ibid hal xiii. [3] Pane, Armijn. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka, 1979. Hal 85. [4] Laporan MDGs 2010. Rahayu, Ruth Indiah. “Ketika Anak Perempuan Bisa Sekolah: Adakah Kesetaraan Gender?” Jurnal Perempuan: Sekolah Mahal 70. Jakarta: YJP Press, 2011. hal 22 [5] Ibid hal 32. [6] Ibid hal 33. [7] Ibid Hal 33. [8] Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: YJP Press, 2003. Hal 315-321. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |