Johanna G.S.D. Poerba (Mahasiswi Prodi Ilmu Sejarah, FIB, UI) [email protected] Jika mengingat Kartini maka kata-kata berikut yang muncul di pikiran penulis: kebebasan, belenggu tradisi, dan sosok laki-laki. Terlahir sebagai seorang perempuan di tengah masyarakat Jawa masa kolonial adalah sebuah kondisi yang tak menguntungkan bagi seorang Kartini. Pada masa itu perempuan, khususnya mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, hanya memiliki satu tujuan dalam hidup yaitu menjadi Raden Ayu. Itu berarti menikah dan mengabdikan diri pada pria yang menjadi suami mereka. Sosok laki-laki, terlepas dari nilai negatif atau positif di mata Kartini, pada nyatanya memberikan sumbangan pada pemikirannya. Mungkin selama ini kita hanya mengenal Kartini hanya sebatas korban dari budaya patriarki yang dipaksakan padanya oleh laki-laki. Kemudian ia lalu memberontak dan menjadi pejuang emansipasi. Padahal pada kenyataannya kisah dan pemikiran Kartini tidak sesederhana itu. Mengenai gelar yang disematkan pada Kartini yaitu sebagai pejuang emansipasi perempuan, ini seringkali masih menjadi perdebatan diantara mereka yang mempelajari sejarah. Tetapi marilah kita meletakkan perdebatan panjang ini ke samping untuk sementara. Mari menggeser fokus sebentar dan membicarakan kisah Kartini dari sudut pandang yang lain yaitu peran seorang Ayah dan pandangan Kartini akan kesetaraan bagi laki-laki. Bermula dari Ayah Dalam kumpulan surat Kartini pada sahabat-sahabatnya yang diterjemahkan oleh Armijn Pane dan juga yang dibahas didalam tulisan Pramoedya, terungkaplah bahwa pembentukan karakter dan gagasan dalam diri Kartini adalah juga jasa dari sang Ayah, R. M. Adipati Ario Sosroningrat. Adapun jika ditelusuri, cara pandang Bupati Jepara yang modern pada masanya ini diturunkan dari kakek Kartini yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hal yang umum di kalangan Bumiputera dan kakek Kartini berhasil melihat kekurangan itu dan belajar mengatasinya. Ia memberikan pendidikan bagi anak-anaknya dan menanamkan pemahaman akan pentingnya pendidikan dalam benak mereka. Alhasil ayah Kartini dan juga pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat yang juga merupakan Bupati Demak, menurunkan nilai tersebut pada anak-anak mereka. Kartini sempat mengecap pendidikan bersama saudara-saudaranya. Namun pintu itu tertutup baginya ketika ia menginjak usia dua belas tahun. Meskipun demikian, akses Kartini pada pengetahuan tak sepenuhya tertutup karena kemudian ia sering bertukar pikiran dengan teman-teman penanya. Sebutlah Zeehandelaar, Ovink-Soer, Abendanon, de Booij, dan lainnya. Dalam surat-surat tersebut terbaca keinginan terbesar Kartini yaitu pembebasan. Pembebasan pribadinya dan juga pembebasan bagi kaum perempuan yang dirasanya senasib dengannya. Cita-cita ini tentunya dimaksudkannya bagi seluruh perempuan bukan hanya bagi perempuan yang berdarah biru sebab meskipun para perempuan yang tak berstatus bangsawan bebas untuk bekerja dan keluar masuk rumah, tetap saja pendidikan adalah mimpi bagi mereka dan budaya patriarki sebagai belenggu pada kaki mereka. Ayah Kartini, meskipun di satu sisi menjadi yang paling berpengaruh dengan meletakkan fondasi dari terbukanya pikiran Kartini, juga merupakan sosok yang menahan Kartini untuk melebarkan sayapnya. Ia belum mampu lepas dari nilai-nilai tradisi yang telah ia serap dari usia dini. Ia sempat melarang Kartini melanjutkan studinya dan ia pulalah yang “mengunci” Kartini dari dunia luar. Tentu saja jika Bupati Jepara ini mampu memberikan kebebasan sepenuhnya pada Kartini (yang berarti mendobrak budaya patriarki yang sudah lama sekali berlaku) maka ialah yang akan dijuluki sebagai pahlawan emansipasi bukan putrinya. Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli pernah menulis sebuah buku berjudul Kartini: Pribadi Mandiri. Di dalam buku ini terdapat khusus sebuah bab yang berjudulkan Dilema Seorang Ayah. Tentu jika kita tidak tergesa-gesa dan mau melihat dari sudut pandang lain maka kita akan menyadari bahwa Adipati Ario Sosroningrat di satu sisi adalah juga korban tradisi dan budaya patriarki. Selaku seorang Ayah, ia pasti ingin mengabulkan keinginan putrinya yang cemerlang namun di sisi lain ia mendapat tekanan dari keluarga dekat dan juga beberapa pejabat Belanda di Jawa yang memandang negatif pendidikan bagi perempuan. Meskipun demikian, menurut Kartini sosok ayahnya sajalah yang mampu mengerti hasrat dan mimpinya akan kebebasan. Oleh karena itu besarlah kasih Kartini pada sang Ayah dan kasih inilah yang menurutnya mampu untuk memadamkan keinginannya menggapai cita-cita. Menggugat Patriarki Setiap orang yang mendukung terwujudnya kesetaraan gender tentu akan berupaya mengusik keberadaan budaya patriarki. Hal yang sama dilakukan oleh Kartini. Memasuki usia kepala dua, ia sudah mengkritik banyak hal seperti poligami, posisi perempuan dalam rumah tangga, hak pendidikan dan pengambilan keputusan bagi perempuan. Mungkin untuk saat ini, perbincangan mengenai kesetaraan gender dapat kita temui dengan mudah. Publik tampaknya sudah lebih awam dengan istilah kesetaraan gender meski belum menjangkau semua kalangan. Menjadi hal yang spesial ketika seorang perempuan Jawa yang belum mengenyam pendidikan tinggi dan terkurung dalam kungkungan adat yang begitu kental dapat berpikir begitu kritis. Lagi hal yang ia kritik adalah sesuatu yang sudah dipandang “biasa” dan mendarah daging. Ketika Kartini membicarakan persoalan poligami, ia berbicara sebagai pembela, saksi, dan juga korban. Poligami seperti sudah menjadi hal yang dibenarkan pada masa itu. Kartini menyaksikan hal itu menimpa adik perempuannya, Kardinah, dan juga dilakukan oleh Ayah yang ia kagumi (mungkin ia menggugat sosok ayahnya secara tersirat). Bahkan ia pun nyatanya terjerat poligami ketika akhirnya menikah. Perlawanan Kartini terhadap praktik poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa dia pada kesadaran bahwa ia sendiri sudah hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat, yang didukung adat-istiadat, bahkan juga dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama yang ada pada masa itu.[1] Seperti sebelumnya telah disinggung, Kartini juga mempermasalahkan posisi perempuan dalam rumah tangga. Pada jamannya, keputusan keluarga adalah keputusan laki-laki selaku kepala keluarga. Perempuan dipandang tidak penting keberadaannya kecuali sebagai partner dalam reproduksi dan pengasuh anak. Bahkan pernikahan pun dapat dilaksanakan meskipun si mempelai perempuan tidak ada di tempat saat upacara pernikahan dilangsungkan. Hal inilah yang disayangkan Kartini karena menurutnya sepantasnya laki-laki memperlakukan istri mereka sebagai sahabat dan rekan yang sederajat posisinya. Kesetaraan itu Ditujukan bagi Semua Pihak Keras sekali Kartini mengkritik laki-laki Jawa dan budaya patriarki yang melingkupi masyarakat Jawa saat itu. Meskipun demikian, ia sadar bahwa musuh dari ketidakadilan yang menimpa perempuan bukanlah laki-laki melainkan suatu sistem budaya bernama patriarki. Hal ini tercermin dalam suratnya pada Zeehandelaar. “Lagi pula hendaklah aku menghapuskan pembatas antara laki-laki dan perempuan yang diadakan orang dengan amat telitinya, sehingga menggelikan. Yakinlah aku, bila pembatas itu lenyap, hal itu akan menguntungkan laki-laki terutama.”[2] Masih sering penulis temui orang-orang dengan persepsi yang salah akan istilah kesetaraan gender di masa ini. Mendengar konsep feminisme dan kesetaraan gender, ada yang memandangnya sebagai ancaman atau upaya para perempuan untuk mengungguli dan menindas kaum laki-laki. Penyebab dari adanya kesalahpahaman ini adalah ketidaktahuan atau informasi yang salah. Sayang keterbatasan akses pada informasi atau kemalasan seringkali menjadi penghalang bagi orang-orang ini untuk memahami dengan betul apa itu kesetaraan gender. Penting bagi kita untuk belajar dari pemikiran Kartini ini. Ia mengerti bahwa dasar dari pemikiran laki-laki yang merendahkan perempuan merupakah hasil doktrinasi semenjak usia dini. Pada masanya (mungkin masih banyak juga diterapkan pada masa ini), anak laki-laki dididik untuk tampil perkasa. Tidak boleh menangis, kuat secara fisik maupun mental. Ketika seorang anak laki-laki menyimpang dari didikan yang diajarkan oleh orangtuanya (celakanya seringkali ibu mereka juga turut mengajarkan ini) maka ia akan dicela “Lemah! seperti anak perempuan saja.” Akibatnya, laki-laki yang tumbuh dengan didikan ini terbiasa dengan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang tak sederajat, lebih lemah, dengan dirinya. Mereka kemudian merasa berkewajiban untuk menjadi seorang pemimpin, pelindung, dan menanggung kehidupan perempuan dan keluarganya. Meletakkan beban dua orang di atas satu pundak. Kita dapat melihat betapa banyaknya laki-laki yang juga berinisiatif menentang patriarki dan terinspirasi oleh semangat Kartini. Oleh karenanya, menumpas patriarki bukan berarti membela perempuan dengan membabi buta dan menyudutkan laki-laki tanpa memandang duduk persoalan. Karena sejatinya kesetaraan atau keadilan gender adalah kerjasama diantara laki-laki dan perempuan. Catatan Belakang: [1] Th. Sumarna, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1993, hlm.19 [2] Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang / R.A.Kartini, Perum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm. 65 Daftar Pustaka: Pane, Armijn. 1992. Habis Gelap Terbitlah Terang / R.A.Kartini. Jakarta: Perum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka. Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara. Sumartana, Th. 1993. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Soebadio, Haryati dan Saparinah Sadli. 1990. Kartini Pribadi Mandiri. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Soebadio, Haryati. 1990. Peranan Kartini untuk Masa Depan. Dalam Aristides Katoppo (Ed.). Satu Abad Kartini: Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tondowidjojo, John. 1993. Mengenang R.A.Kartini dan Tiga Saudara dari Jepara. Surabaya: Yayasan Sanggar Binatama. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |