Satu bulan sudah saya menjejaki dunia sebagai manusia mandiri. Dunia di mana setiap manusia khususnya perempuan harus menempati status sosial yang dikekalkan di masyarakat. Kebebasan seorang perempuan harus terbatasi oleh aturan masyarakat, perempuan lajang dilarang berjalan sendirian, dilarang untuk keluar malam dengan atau tanpa laki-laki. Perempuan penuh mitos yang membelenggu, dimanakah harus saya taruh kemerdekaan berpikir dan berkreasi? Peran gender dalam masyarakat ternyata juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap perempuan dalam aktivitas organisasi. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin dan ini berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Subordinasi dapat terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya juga akan ke dapur. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari pemahaman gender yang minim. Saya pernah menemukan kasus tentang salah satu calon anggota DPRD Kab. Banyumas yang tidak bisa memenangkan pemilihan legislatif karena dia lebih dikenal dengan nama suaminya. Saat dirinya menjajaki kursi pileg hanya sedikit saja orang yang mengenalnya sebagai “perempuan merdeka”. Fenomena lain yang saya temui adalah ayah saya sebagai Pegawai Negeri Sipil menuntut ibu saya untuk menenggelamkan nama pemberian orang tuanya. Latar belakang ibu yang hanya sebagai ibu rumah tangga dan populer karena suami yang memiliki peran kuat di masyarakat maupun organisasi, memaksanya dikenal dengan nama suami, bukan namanya sendiri. *** Tentang organisasi Dharma Wanita, Dharma Wanita Persatuan adalah organisasi kemasyarakatan yang menghimpun dan membina istri Pegawai Negeri Sipil RI dengan kegiatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sosial budaya serta tidak terkait dengan kekuatan politik manapun, tetapi hak berpolitik anggota tetap dihormati. Secara garis besar, tujuan organisasi Dharma Wanita adalah mewujudkan kesejahteraan anggota dan keluarganya melalui peningkatan kualitas sumber daya anggota untuk mendukung tercapainya tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kegiatan yang dilaksanakan Dharma wanita persatuan diarahkan untuk: (a) Mengutamakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari pengurus dan anggota; (b) Memilih kegiatan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kesempatan organisasi; (c) Dalam melaksanakan kegiatan mendahulukan yang penting sesuai dengan skala prioritas; (d) Mengutamakan kualitas penanganannya daripada kualitas yang ditangani, serta diupayakan secara tuntas; (e) Menjaga citra yang baik sebagai istri pendamping aparat pemerintah di tengah masyarakat yang dinamis. Sedangkan fungsinya adalah sebagai wadah untuk melakukan pembinaan, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok organisasi. Di samping tugas dan fungsi pokok yang ada di dalam kelompok organisasi dharma wanita persatuan, organisasi tersebut juga memiliki tujuan yaitu mewujudkan kesejahteraan anggota dan keluarganya melalui peningkatan kualitas sumber daya anggota guna mendukung tercapainya tujuan nasional. Wewenang pengurus organisasi Dharma Wanita adalah (1) Menetapkan kebijaksanaan teknis organisasi berdasarkan hasil musyawarah nasional, anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan juga kebijaksanaan organisasi satu tingkat diatasnya; (2) Mengesahkan organisasi, pengurus dan atau ketua satu tingkat dibawahnya; (3) Melaksanakan pembinaan organisasi pada unsur pelaksana di lingkunganya; (4) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh unsur pelaksana di lingkungannya; (5) Melaksanakan program dan kegiatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada organisasi satu tingkat di atasnya. Kewenangan anggota hanya sebatas kewenangan normatif yang harus dipatuhi. Sepanjang perjalanannya, organisasi dharma wanita hanya memiliki kegiatan yang monoton dan tidak inovatif. Tidak ada isu keperempuanan yang dibahas di dalamnya, padahal harapannya organisasi ini bisa mencegah istri dari tindakan kekerasan yang barangkali dialaminya dalam keluarga. Peran sebagai istri para pejabat pemerintahan akan membawa mereka pada arus identitas patriarki. Secakap apapun istri seorang PNS golongan II tidak akan menjadikannya sebagai ketua dharma wanita di salah satu instansi. Sebaliknya istri seorang pejabat Eselon II yang tidak memiliki kemampuan memimpin organisasi, siap tidak siap, mau tidak mau harus mau menjadi ketua dharma wanita. Dengan menyandang nama suaminya, istri seorang pejabat tersebut mendapatkan kehormatan lebih dan mendapatkan “fasilitas sosial” yang lebih baik. Jadi, jangan heran jika kegiatan dharma wanita yang sering terlihat hanya arisan, studi banding, dan seminar kecantikan. Penyadaran akan pentingnya memaksimalkan kegiatan dharma wanita selain kegiatan di atas seharusnya menjadi perhatian para pegiat gender dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Fenomena yang sering terjadi hari ini adalah bagaimana peran dan fungsi seorang ibu atau istri rumah tangga dianggap lebih rendah dari peran ayah atau suami yang bekerja dan mendapatkan upah secara materiil dan dianggap sebagai titik ukur dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Anggapan atas keistimewaan laki-laki sebagai pemilik kuasa tertinggi sebagai seorang pencari nafkah inilah yang kemudian menimbulkan penyingkiran kerja perempuan baik sebagai istri atau ibu. Bahwa kerja perempuan dalam relasi keluarga dianggap sebagai peran kedua karena fungsi domestik yang dijalankannya tidak mendapatkan upah atau gaji secara materiil seperti halnya laki-laki. Aktivitas perempuan dalam sektor domestik pada organisasi binaan seperti Dharma wanita seharusnya mulai dibenahi secepat mungkin agar kehebatan seorang perempuan dapat terwadahi dengan baik. *** Saya selalu mendengar di setiap pertemuan dharma wanita yang mengungkapkan bahwa laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan logika dari pada perasaan, sedangkan perempuan lebih mengutamakan perasaan daripada logika. Sehingga tidak jarang, perempuan dianggap tidak dapat menjadi pemimpin atau menduduki suatu jabatan tertentu. Tetapi pernahkah Anda mempertanyakan dalil atau dasar ungkapan tersebut? Dapatkah dibuktikan secara ilmiah? Tidakkah ungkapan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah itu mengakibatkan diskriminasi dan ketidakadilan? Saya rasa ungkapan semacam itu sudah seharusnya dimasukkan dalam keranjang sampah, bukan hanya karena tidak ada pembuktian ilmiah, tetapi juga akan menimbulkan bentuk-bentuk ketidakadilan dan pembatasan hak-hak tertentu pada salah satu pihak, yaitu perempuan. Kondisi perempuan dalam organisasi yang terkungkung dalam beban identitas patriarki membuat saya semakin gerah, kenapa? Karena perempuan tidak dapat melakukan suatu hal tanpa mendapat izin suaminya, walaupun hal tersebut baik untuk kesejahteraan keluarganya. Saya amat meyakini bahwa perempuan-perempuan yang bergerak pada sektor domestik merupakan nuklir dahsyat bagi negeri ini. Melihat posisi perempuan pada organisasi Dharma Wanita yang saya temui selama ini membentuk anggapan bahwa perempuan dapat saling menjatuhkan. Sehebat apapun seorang perempuan, jika mereka merupakan istri seorang yang tidak memiliki kehebatan sosial maka tidak akan hebat pula kariernya di ranah sosial. Ini juga akan memengaruhi konsepsi akan perannya di masyarakat, pemikirannya selalu berasal dari keputusan suaminya. Peran perempuan di sebuah organisasi binaan seperti Dharma Wanita belum dapat dikatakan sebagai tindakan yang memberdayakan secara maksimal. Penguasaan dan dominasi masih sangat dipengaruhi oleh peran domestiknya. Maka diperlukan sebuah penyadaran dan kesadaran perempuan sebagai individu untuk berusaha membebaskan dirinya dari identitas patriarki yang kuat. Sebagaimana dikatakan Soekarno, “Dan kamu, wanita Indonesia, achirnja nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saja memberi peringatan kepada kaum laki-laki untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perdjoeangan, tetapi kamu sendiri harus mendjadi sadar, kamu sendiri harus terdjun mutlak dalam perdjoeangan”.
23 Comments
muhammad
11/3/2016 11:27:20 am
Assalamualaykum warahmatullahi wa barokaatuh
Reply
rosawati
17/1/2017 02:44:21 pm
Iya memang betul, jika semua orang beragama islam dan berpikiran sama seperti yang anda utarakan. Duduk perkaranya kan posisi sosial perempuan di pengaruhi oleh jabatan seorang lelaki. bukankah di ranah sosial perempuan dan laki laki itu seharusnya setara dan tidak ada perbedaan dalam mengakses posisi jabatan.
Reply
sastrahuda
11/8/2016 08:35:31 pm
assalamualaikum
Reply
rosawati
17/1/2017 02:42:48 pm
Maaf sebelumnya, ini konteks nya adalah perempuan pegiat Dharma Wanita, jika istri anda memilih menjadi IRT ya tidak masalah, sama sama baik. ga ada yang salah. yang salah jika suami melarang istri untuk berorganisasi. trims
Reply
Samiran Shamir
15/8/2017 04:36:30 am
Waduh kok jadi bedebat, yang disampaikan mba rosawati tidak salah, kita merasakan kok bahwa ada kondisi seperti itu di INdonesia, bahkan kondisi ini juga mengkristal dalam kehidupan wanita dan pria, yang mengakibatkan semakin jauhnya perbedaan hak antara pria dan wanita. Karena itulah maka sangat penting organisasi dhara wanita sebagai wadah bagi para wanita istri pegawai, juga wanita pegawai, dalam rangka sharing tentang kondisi real saat ini dan memberdayakan wanita dalam mencapai tujuan bangsa. Wanita diyakini mempunyai energi yang sangat besar, memiliki amunisi yang sangat kuat, maka pemberdayaan wanita dalam kancah organisasi dharma wanita akan menambah kekuatan bangsa Indonesia dalam membangun bangsanya menuju cita cita bangsa.
Reply
Siti Khotimah
20/4/2018 05:18:27 pm
Assalamualaykum Mbak. Artikel mbak sangat membantu dan mengispirasi. Komentar ini tidak lebih untuk memberikan apresiasi dan semangat 🙂
Reply
rumi
21/3/2019 01:38:37 pm
Seharusnya tidak perlu ada perkumpulan istri-istri pegawai. Pada realisasinya malah menyusahkan kantor.
Reply
anna
26/5/2021 07:17:07 pm
Sangat setuju...
Reply
Zaskia
21/5/2022 07:28:39 am
Betull bgt, istri itu tugasnya sdh sangat berat, mengurus rumah dan anak anak, apalagi jika istri bekerja punya karir tentunya ia jg harus mengurus pekerjaanny, istri tidak pernah memberi beban suami untk ikut acara d kantor istri, tetapi istri harus selalu mengikuti kegiatan d kantor suami, spt kegiatan dharma wanita dan iik, jika jelas kegiatan, tujuan, dan sasaran kegiatan gpp, jk hny sekedar kumpul2 kan jd mjd beban buat istri apalagi buat istri yg punya banyak kesibukan..tks
Moon
30/10/2023 08:41:43 am
Bener juga
Nad
5/4/2021 01:31:26 pm
Mbak Rosa mewakili pikiran dan kegelisahan saya. Saya memiliki karir yang cukup (bahkan sangat bagus). Begitu suami juga karirnya semakin bagus, istri-istri atasan suami mengajak untuk ikut kegiatan ini. Tentu saya nggak bisa karena saya juga memiliki aktivitas profesional sendiri, yang nggak mungkin seenaknya tidak hadir di urusan pekerjaan saya.. Semua istri-istri itu pada umumnya akhirnya membuat pernyataan yang nyinyir "harusnya tau sendiri kalau suaminya sudah promosi", "orang lain kerja juga tapi nggak gitu-gitu amat, masak nggak bisa izin", "dari departemen suami harus ada yang mewakili dong, masak semua nggak mau" soalnya saya juga nggak akan menganjurkan istri bawahan suami untuk ikutan Dharma Wanita sih.... dan sejauh ini saya juga tetap tidak mau. Saya hanya mau melakukan sesuatu yang jelas ada manfaatnya dan tentunya saya suka menjalaninya. Begitu ya Mbak Rosa? Salam. Semoga kegelisahaan ini ditanggapi dengan aksi nyata oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Reply
Sry
18/6/2021 03:59:43 am
Sedang gundah krn persoalan dharmawanita dg segala kegiatan dan wajib unt diikuti. Walaupun pemerintah sedang gencar melarang pertemuan tatap muka. Akhirnya aku dan keluargaku terkena covid. Dan juga beberapa teman lain yg juga diwajibkan ikut berbagai acara keramaian. Siapa yg harusnya bertanggung jawab? Krmana kami harus mengadu? Adakah ruang pengaduan ke mentri BUMN agar statement beliau ttg pencegahan covid di lingkungan BUMN dapat diperbaiki? Krn tidak mungkin ke atasan dg resiko jabatan suami. 😭
Reply
Rosawati
18/8/2021 11:02:53 pm
Kegiatan Dharma Wanita sndiri seharusnya dapat pula mendukung kebijakan pemerintah dalam hal penanganan pandemi, peran perempuan jangan hanya terkungkung pada jabatan suami. bisa jadi keberanian saudari dapat berdampak baik bagi perusahaan suami. bukankah seperti itu seharusnya Dharma Wanita? salam hangat
Yanti tiba
24/5/2022 05:08:37 pm
Kasus yg sama spt saya
Rosawati
18/8/2021 11:00:16 pm
Wah, Keren sekali, saya di sini bukan untuk menyudutkan perempuan yg berad diposisi atas karena suaminya, di sini saya menyayangkan bahwa mengapa dharma wanita masih terkungkung pada aktivitas yang monoton, kasarnya tidak berdampak "jangka panjang" bagi perempuan itu sendiri. sehat selalu kak
Reply
Mei
26/4/2021 01:09:10 pm
Suami seorang pegawai & atasan suami sy tidak mempuanyai istri, terpaksalah sy yg diwajibkan menjadi ketua DWP, padahal sy baru menikah & sy tidak paham seperti apa seharusnya. Sy merasa tidak memenuhi kualifikasi. Apakah menurut kakak, sy bisa menolak posisi ini? Saya merasa sangat terbebani mengikuti organisasi ini bahkan terpaksa harus menjadi ketuanya.
Reply
Rosawati
18/8/2021 11:06:05 pm
Halo, kakak mengetahui takaran potensi yang kakak miliki, bukan menjadi keharusan untuk menduduki jabatan tsb, hanya saja kurangnya keterbukaan "istri pejabat" dalam menolak jabatan ini (Ketua Dharma Wanita), berharap ada gebrakan baru tentang manfaat organisasi ini, mungkin bisa di mulai dari diri sendiri, yakni mengakui kekurangan dan memperkenalkan potensi diri yang dapat berguna bagi kelangsungan organisasi.
Reply
Fitria
12/12/2021 07:06:19 pm
Dharma Wanita saat pertama kali didirikan adalah lebih bersifat politis, yaitu untuk memantau ASN dan keluarganya. Organisasi ini sebenarnya lebih bersifat 'diskriminasi gender', krn jika istri yg PNS, tidak ada kewajiban bagi suaminya untuk mengikuti organisasi yg berafiliasi ke kantor istrinya. Sementara jika istri, meskipun juga berkarir, terjaring oleh organisasi yg berafiliasi ke kantor suaminya. Diskriminatif dan sangat tidak adil.
Reply
Yanti sofyan
24/5/2022 05:23:40 pm
Tulisan ini gak sengaja saya baca saat mencari kata kunci di google "bagaimana cara keluar anggota darmawanita"😭
Reply
sari
8/12/2022 06:09:03 pm
Menanggapi tulisan mba Rosa, dan komen komen pembaca, saya sebagai istri PNS yang juga bekerja sebagai PNS, menggaris bawahi tulisan mba Rosa " anggota dharma wanita terkungkung arus identitas patriarki. Secakap apapun istri seorang PNS golongan II atau III tidak akan menjadikannya sebagai ketua dharma wanita, Sebaliknya istri seorang pejabat Eselon II yang tidak memiliki kemampuan memimpin organisasi, siap tidak siap harus menjadi ketua dharma wanita. Dan mendapatkan kehormatan lebih dan mendapatkan “fasilitas sosial” yang lebih baik".
Reply
SARI
8/12/2022 06:18:55 pm
Maka tidak ada kesempatan bagi suaminya untuk menduduki jabatan walaupun suaminya itu berpotensi menduduki suatu jabatan tertentu karna tidak ada jalan bagi istrinya untuk mendekati ketua DWP, karena biasanya ketua DWP sudah dijilat istri istri pejabat lain yg selalu ikut rapat dan arisan, dan ketua DWP adalah istri pemimpin tertinggi di suatu instansi atau wilayah, dan para suami biasanya mengikuti bujukan istri nya, kebanyakan sih begitu, diskriminasi dan kolusi dan nepotisme masih sangat merajalela di negara kita.
Reply
30/11/2024 08:16:52 pm
Permisi ibuuu,izin bertanya ya saya mahasiswi semester 5,kebetulan saya sedang menyusun proposal, dan judul nya ini berkaitan dengan dharma wanita persatuan, judul proposal saya "keharmonisan rumah tangga wanita karir menurut dharma wanita persatuan" nah pertanyaan saya simple disni, apakah ibu-ibu yang berada di dharma wanita juga bisa disebut sbg wanita karir?? sedangkan pengertian kedua nya menjelaskan dengan maksud yang berbeda antara wanita karir dan dharma wanita persatuan tersebut??
Reply
Leave a Reply. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |