Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
Wacana Feminis

Kuntilanak: Korban Patriarki

3/10/2014

2 Comments

 
Nadya Karima
(Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Indonesia) 
[email protected]
PictureDok. Pribadi
Ketika melintasi terowongan Casablanca. Banyak dari kita mengikuti anjuran mitos yang ada, membunyikan klakson. Seakan-akan kita takut pada kuntilanak merah yang akan melintas. Modernisasi berusaha menerjemahkan mitos-mitos menjadi logos (ilmu pengetahuan), melalui tulisan ini mari kita mencoba membedah mengapa kuntilanak menjadi ikon hantu yang ditakuti oleh banyak orang dan muncul sebagai bintang film di film horor indonesia.

Kuntilanak, secara fisik pada umumnya memiliki rambut panjang hitam menjuntai, berpakaian putih dan punya suara tawa yang khas. Kuntilanak adalah perempuan. Kuntilanak adalah perempuan yang menjadi korban perkosaan dan meninggal dengan janin dalam kandungannya serta menakut-nakuti kaum pria untuk membalas dendam karena tidak bertanggung jawab telah memerkosa dan menghamilinya. Mengapa kuntilanak bisa menjadi hantu dan meneror warga? Karena kuntilanak tidak diberikan kesempatan berbicara atas apa yang telah menimpa dirinya. Kuntilanak semasa hidupnya dituduh perempuan muda yang menggoda sehingga ia diperkosa. Padahal apakah benar kuntilanak menggoda atau memang para lelaki ini tidak bisa menjaga pikirannya untuk memiliki tubuh perempuan? Hingga perkosaan terjadi dan kuntilanak hamil pun tetap ia yang disalahkan. Sampai mati pun, ia diberikan imaji sosok yang menakutkan dan tertawa pilu.

Kuntilanak adalah perempuan yang terviktimisasi. Merujuk pada istilah yang digunakan oleh ilmu kriminologi, viktimisasi adalah keadaan menyalahkan korban atas kerugian yang ia derita (biasanya perkosaan). Viktimisasi rentan terjadi pada kasus perkosaan. Seringkali masyarakat menyalahkan korban perkosaan yang dianggap berpakaian terlalu seksi dan memancing berahi pemerkosa, atau korban pemerkosaan yang pulang malam sehingga diperkosa, atau korban perkosaan adalah wanita penggoda karena diasosiasikan hawa adalah penggoda yang membuat adam terusir ke bumi.

Menurut data korban perkosaan dari Rifka Annisa Women’s Center tahun 2004, korban perkosaan bisa siapa saja, berdasarkan umur termuda berumur satu tahun hingga 70tahun. Dari data tersebut kita tidak bisa memberi kesimpulan bahwa perempuan muda dan cantik rentan diperkosa. Viktimisasi terhadap korban perkosaan membuat korban bungkam karena disalahkan akibat  kerugian yang menimpa dirinya. Dan kuntilanak, hanya bisa tertawa yang sebenarnya merupakan ironi dari kepedihannya sebagai korban perkosaan tapi justru tidak bisa membela diri dan bercerita tentang apa yang dia rasakan. Kuntilanak malah dicap buruk oleh masyarakat dan menjadi hantu. 

Dan kita, masyarakat yang melakukan viktimisasi, ketakutan atas eksistensi kuntilanak. Perempuan-perempuan korban viktimisasi ini tidak mampu berbicara akan apa yang menimpa dirinya, sehingga ia hanya bisa membalas dendam terhadap apa yang telah terjadi padanya. Dan pelekatan imaji menyeramkan juga terjadi karena korban dibungkam oleh rasa takut dan bersalah sehingga muncul pemikiran ”dendam kuntilanak”. Sebenarnya, kuntilanak ini hanya perlu didengarkan, dan berhentilah menghakimi korban perkosaan dengan asumsi perempuan tidak baik yang rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Kita lebih takut terhadap dendam kuntilanak, bukan pada asumsi dan konstruksi terhadap tubuh perempuan. Perempuan lebih mudah diasosiasikan pada hal yang berbau jelek dan buruk sehingga hantu perempuan terkadang lebih jahat, hanya mengincar pria-pria yang dulu menyakiti dirinya, memperkosa dia hingga menjadi hantu.

Para feminis posmodern atau feminisme gelombang ketiga menolak keberpihakan terhadap kasus perkosaan melainkan bersikap. Bagaimana kita yang sudah masuk era posmodern ini memaknai kasus perkosaan dan menolak viktimisasi perempuan terhadap kasus yang menyangkut seksualitas. Perempuan harus mampu menuliskan pengalaman kebertubuhannya. Seperti yang digencarkan oleh Julia Kristeva dan Luce Irigaray. Perempuan dan laki-laki memiliki alat kelamin yang berbeda secara biologis, maka pengalaman kebertubuhannya pun sudah pasti berbeda. Sayangnya, sistem patriarki membuat akses perempuan pada tubuhnya sendiri terabjeksi. Perempuan dijauhkan dengan tubuhnya karena perempuan harus tetap pada labelnya sebagai perempuan baik-baik. Padahal, ketidaktahuan perempuan tentang tubuhnya yang membuat perempuan rentan terhadap pelecehan seksual.

Perkosaan terjadi akibat adanya relasi kuasa. Dengan memahami dan mengenal tubuh kita sendiri, kita bisa menguasai tubuh kita, sehingga kita mampu memahami dan menggunakan kuasa kita atas tubuh kita sendiri. Dekonstruksi terhadap posisi perempuan yang subordinat dari laki-laki bisa dilakukan. Hal ini dapat menghilangkan relasi kuasa yang memungkinkan terjadinya perkosaan. Kolonisasi tubuh perempuan. Perempuan harus mampu menguasai tubuhnya, mematahkan patriarki untuk menghapus relasi kuasa. Sehingga tidak ada lagi kuntilanak yang tertawa pilu.

Catatan: Tulisan ini terinspirasi oleh The Power of Horror karya Julia Kristeva yang membahas mitos Medusa. Sebelumnya juga ada novel karangan Toety Heraty penulisan ulang karya sastra Calon Arang: Korban Patriarki. 

2 Comments
Creates Tour link
22/7/2023 01:30:15 am

Good reead

Reply
reyhan link
30/10/2024 08:04:24 pm

thanks a lot of information keren

Reply



Leave a Reply.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024