Andi Misbahul Pratiwi (Mahasiswi Teknik Informatika Universitas Gunadarma dan Ketua Umum LISUMA) [email protected] Bertolak dari apa yang diungkapkan novelis Inggris Virginia Woolf mengenai perempuan dalam fiksi, “seorang perempuan harus mempunyai uang dan ruang bagi dirinya sendiri untuk menulis fiksi, dan itu membiarkan hal besar tetang sifat perempuan dan sifat fiksi tidak terpecahkan”, perlu digarisbawahi bahwa terdapat dua syarat penting yang harus terpenuhi yaitu perempuan harus punya uang dan ruang untuk bisa melakukan sesuatu demi kemajuan dirinya. Bukan hanya dalam konteks menulis fiksi, namun bisa jadi dua hal itu “uang dan ruang” perlu terpenuhi ketika perempuan berkarier di dunia politik. Kebutuhan akan ruang dalam berpolitik tentu dibutuhkan oleh perempuan maupun laki-laki. Apakah ruang berpolitik yang diberikan kepada perempuan sudah membuka kesempatan perempuan? Mengingat bahwa pada pemilu 2014 terjadi penurunan jumlah perempuan di parlemen. Apakah ada upaya peningkatan trust terhadap wakil rakyat perempuan? Mengingat bahwa anggota legislatif tahun 2009 ada yang tersandung kasus korupsi besar. Lewat tulisan ini kita akan bersama-sama menelusuri sejauh mana kebutuhan akan ruang dan uang bagi perempuan untuk berpolitik.
Berdasarkan tabel di atas, secara kuantitas persentase keterwakilan perempuan DPR-RI periode 2014-2019 mengalami penurunan yaitu menjadi sekitar 17% atau 97 orang perempuan, dari total 560 anggota DPR-RI. Pada tahun 2009-2014 persentase keterwakilan perempuan mencapai 18% atau sebanyak 103 orang. Meskipun demikian, jika diakumulasi keterwakilan perempuan dari periode 1999-2004 s.d 2014-2017 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 9% menjadi 17,3% .
Di masa orde lama dan baru (1955-1997), upaya negara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan secara khusus di dalam parlemen masih belum dilakukan. Tindakan afirmasi terhadap keterwakilan perempuan baru terlahir di masa reformasi, tepatnya ketika pemilu 2004 dilangsungkan. Pemilu 2004 telah mengakomodir affirmative action dengan diterapkannya kuota minimal 30% keterwakilan perempuan pada saat pencalonan anggota legislatif, itu menunjukkan bahwa ada sebuah narasi kebijakan yang memberikan ruang terhadap perempuan untuk berpolitik secara kompetitif dan bukan berarti memberikan jalan ‘tol’ bagi perempuan. Narasi kebijakan ini tentunya perlu diiringi dengan kapabilitas perempuan di ranah politik untuk menjadi wakil rakyat, tidak semata-mata diberikan jalan pintas bagi perempuan untuk menduduki kursi karier politiknya. Sehingga perempuan perlu memanfaatkan itu sebagai sebuah ruang yang terberi. Implikasi terhadap UU Pemilu tahun 2003 pasal 65 ayat 1 mengenai kuota minimal 30% itu maka akan ada minimal 1 nama bakal calon legislatif (caleg) perempuan pada setiap 3 nama bakal calon setiap partai. Ruang administratif yang telah dibuka tentunya tidak berarti memberikan peluang besar terpilihnya caleg perempuan. Dalam hal ini besar kecilnya peluang terpilihnya caleg memiliki kecenderungan terhadap nomor urut yang diberikan. Pada pemilu 2004 caleg dengan nomor urut 1 mencapai 73,6% yang berhasil menduduki kursi legislatif, kemudian 19% untuk nomor urut 2 dan 0,6% dengan nomor urut 5. Dapat disimpulkan bahwa caleg dengan nomor urut kecil memiliki kesempatan yang lebih besar untuk masuk menjadi anggota legislatif. Sedangkan tercatat di dalam daftar calon tetap pemilu 2004, hanya 9,17% caleg perempuan yang ditempatkan pada nomor urut satu. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengenai ruang tadi. Nomor urut ditentukan oleh partai dimana caleg yang memiliki kapabilitas pengetahuan dan materi yang diunggulkan oleh partai. Menyoal mengenai nomor urut ini berarti perempuan perlu menciptakan ruangnya sendiri dan tidak hanya mengandalkan ruang yang terberi (kuota 30%). Sehingga menurut saya perlu diciptakan sebuah ruang konstruksi kepercayaan kader partai terhadap caleg perempuan dan perlu dibuktikan dengan uji publik yang dipubllikasikan sehingga nantinya akan menjadi domino effect terhadap rakyat sebagai pemilih. Disini perempuan perlu menunjukkan kemampuannya secara kompetitif agar dapat menduduki nomor strategis dalam pencalonan, inilah yang dimaksud dengan ruang yang perlu diciptakan. Dalam percaturan politik modern, mengenai ruang yang diberi dan diciptakan memiliki pengaruh penting, namun selain itu kebutuhan akan dana politik untuk membiayai kampanye turut memainkan peranan utama di arena kompetisi politik. Hampir semua peserta pemilu masih beranggapan, jika kemenangan dalam suatu kontes electoral di tentukan dengan seberapa masif kampanye politik yang dilakukan. Pada pemilu 2014, iklan politik membanjiri media massa nasional kita. Media massa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lukman Hakim, “Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan persepsi memengaruhi sikap dan perilaku seseorang”. Selain itu, Jurgen Habermas mengemukakan “Language (media massa melalui bahasa yang digunakan) is also a medium of domination and social force”, dari pendapat di atas dapat kita kerucutkan bahwa ternyata berita-berita melalui media cetak maupun elektronik dapat menggiring opini publik sehingga bisa menjadi alat dominasi ataupun kekuasaan. Dengan model kampanye di televisi, koran, bahkan dunia maya untuk memberikan citra terbaik bagi sang caleg tentunya membutuhkan dana (uang) yang tidak sedikit. Fenomena kampanye politik melalui media massa ternyata tidak sebatas terkait dengan soal uang, mengingat ruang di media massa seperti televisi ini pun terbatas. Contoh yang paling jelas terlihat misalnya ANTV dan TVOne yang dimiliki pengusaha Aburizal Bakrie yang juga ketua umum partai Golkar, sehingga iklan dan program-programnya tentunya untuk menaikkan elektabilitas partai dan caleg. Begitu juga dengan Metro TV dan harian cetak Media Indonesia Group yang dimiliki oleh Surya Paloh. Kemudian MNC Group dan harian cetak Sindo yang berada dibawah kepemilikan Hary Tanoesoedibjo. Ketiga pemilik media di atas bukanlah pengusaha biasa namun juga praktisi politik. Maka disadari ataupun tidak, ini akan berdampak pada kecenderungan media tersebut mengarahkan gagasan-gagasan politik dan pencitraan tokoh partai masing-masing. Ternyata dalam persaingan politik bukan hanya dibutuhkan uang yang relatif tinggi untuk modal, namun ada ruang khusus yang tidak dapat dimiliki semua caleg, terlebih lagi caleg perempuan. Sehingga lobi politik dan relasi jaringan juga diperlukan untuk dapat mengakses ruang-ruang elitis tersebut sebagai salah satu strategi kampanye. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan rata-rata biaya kampanye caleg sebesar 1,18 miliar. Angka itu memiliki tingkat kewajaran dan peluang terpilihnya caleg besar. Berikut ini tingkat kewajaran investasi politik caleg DPR: (1) dibawah Rp 787 juta: kurang/sedikit, (2)Rp 787 juta-Rp 1,18 miliar: optimal, (3)Rp 1,18 miliar-4,6 miliar: wajar dan peluang terpilih besar, (4) Rp 4,6 miliar-9,3 miliar: tidak wajar, (5) diatas 9,3 miliar: tidak rasional. Data diatas memberikan sebuah pemandangan mengenai kalkulasi kebutuhan untuk kampanye politik. Sekali lagi bahwa ongkos politik di negeri ini tidak murah. Para caleg perlu memutar otak bagaimana mendapatkan dana kampanye tersebut. Kembali pada pernyataan Woolf mengenai uang dan ruang, menurut saya, seorang perempuan untuk dapat memenuhi syarat penting tersebut memerlukan sebuah strategi yang andal. Tidak hanya mengandalkan ruang yang terberi melalui tindakan afirmasi maupun kebijakan-kebijakan publik yang diberikan, perempuan juga harus menyiasatinya dengan menciptakan ruang sendiri bagi dirinya bahkan golongannya. Dengan basis pengetahuan yang baik mengenai politik, maka ruang politik pun akan memilih perempuan. Kemudian perihal kebutuhan akan uang dalam kontes politik tentunya menjadi hal yang mutlak ada, namun uang tidak selalu menjamin seberapa besar ruang yang didapat. Tentunya ketika dalam hal teknis ruang dan uang sudah terpenuhi maka yang menjadi PR penting bagi kaum perempuan adalah mengenai pendidikan politik dan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat perempuan berdasarkan Meritokrasi[1]. Sehingga keterwakilan perempuan di legislatif memiliki pengaruh secara substansi bukan hanya deskripsi memenuhi UU pemilu tahun 2003 pasal 65 mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan. Perempuan di legislatif perlu memiliki value dan power lebih sehingga dapat menjadi wakil rakyat yang diandalkan dan menepis paradigma masyarakat mengenai keterwakilan di legislatif meningkatkan angka korupsi dikalangan politisi perempuan. Daftar Pustaka 1. Ringkasan Laporan, “Penelitian perempuan dan politik”, women research institute-IDRC, 2009 2. http://lukmanhakim.multiply.com/journal/item/11 diakses pada tanggal 22 oktober 2014, pukul 19.00 Wib 3. http://www.puskapol.ui.ac.id/press-release/profil-anggota-legislatif-2014-2019-potensi-dominasi-fraksi-makin-kuat.html diakses pada tanggal 22 oktober 2014, pukul 20.00 Wib 4. Martany Dina, Signifikansi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia, 2014 Catatan Belakang [1] Meritokrasi menitik beratkan kemampuan dan kelebihan seorang individu berdasarkan kepada kualitas pribadi tanpa dipengaruhi faktor keturunan, Bahasa, agama, status sosial, gender, dsb.
2 Comments
jane
18/1/2018 11:04:06 pm
Halo,
Reply
solusi cepat kaya
2/11/2018 09:01:43 pm
,,.,KISAH NYATA ,
Reply
Leave a Reply. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |