Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta) [email protected] Kaum perempuan di Indonesia masih terbelenggu oleh nilai-nilai budaya yang masih melekat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pemahaman tentang keperempuanan di Indonesia banyak ragamnya tergantung pada suku, kelas sosial dan agama. Sebagian besar masyarakat berharap agar perempuan mampu menjadi ibu dan istri, itulah yang disebut sebagai perempuan utama. Tujuan perempuan dilahirkan ke dunia seakan-akan hanyalah untuk menikah dan merawat keluarga. Pandangan ini mengakibatkan hampir semua perempuan dipojokkan ke dalam urusan-urusan reproduksi dan domestik seperti menjaga rumah dan mengasuh anak. Bahwa keberhasilan dan kemampuan seorang perempuan selalu diukur dari keberhasilan mereka untuk mengelola rumah tangga. Kodrat perempuan seringkali disebut sebagai pembenaran atas perbedaan tugas laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai “konco wingking” dimana peran pengambilan keputusan perempuan hanya terpenjara pada ranah privat/keluarga. Bahkan dalam sistem budaya jawa menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga. Perempuan berada dalam posisi sulit untuk menemukan jati dirinya bahkan tidak berani untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Mereka menjadi terikat secara sistemik sehingga semakin terpenjara di dunia yang tidak merangsang pertumbuhan kepribadiannya. Konsep ibu rumah tangga sebagai penanggung jawab urusan keluarga yang dibawa ke dalam ranah publik mampu memengaruhi cara pandang dan sikap sosial masyarakat terhadap perempuan. Perempuan didoktrin bahwa mereka bekerja layaknya tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan apalagi kekuasaan. Setinggi apapun posisi mereka, tetap saja kedudukannya lebih rendah dibandingkan laki-laki. Mitos tentang perempuan memang terasa melekat erat dalam diri perempuan, sehingga menekan ruang geraknya agar tidak bergerak terlalu berlebih. Setiap tindakan perempuan yang dianggap progresif hampir selalu menuai kritik. Bahkan masyarakat Jawa mengatakannya sebagai sesuatu hal yang saru atau tabu, sehingga perempuan dianggap tidak patut jika melanggar konsensus sosial itu dan dipandang menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Di sisi lain, perempuan diklaim untuk turut berperan serta memajukan pembangunan bangsa. Peran ganda perempuan disebut-sebut sebagai justifikasi bahwa selain mengurus rumah, perempuan juga berkewajiban untuk berkiprah aktif dalam pembangunan. Peran mereka di ranah publik tidak serta merta mampu melepaskan tanggung jawabnya terhadap rumah tangga. Di satu sisi perempuan dituntut aktif dalam pembangunan, namun di sisi lain perempuan terikat oleh nilai-nilai tradisional yang masih diyakini oleh masyarakat. Peran perempuan di ranah publik untuk berorganisasi pun masih mengikuti budaya “ikut suami”. Organisasi Dharma Wanita, Organisasi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, Persatuan Istri Anggota Dewan, Bhayangkari, dan organisasi perempuan lainnya cenderung menguatkan peran laki-laki dan tidak terlepas dari perannya untuk keluarga. Semakin tinggi posisi ataupun status sosial istri dalam sebuah organisasi, akan turut menyumbang peningkatan status suami di ranah publik. Kebebasan ruang gerak perempuan di ranah publik apalagi politik sejatinya merupakan kebebasan semu. Perempuan seakan-akan telah memiliki “pagar” yang tidak boleh dilanggar atas kodratnya sebagai perempuan. Mereka dikondisikan patuh atas pembatasan itu dan menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Konstruksi sosial masyarakat memberikan cara pandang yang berbeda terhadap sosok perempuan. Pertama, agama-agama di dunia memiliki pembatasan atas tubuh perempuan. Perempuan dianggap kurang mempunyai kemampuan berpikir yang memadai sehingga perlu untuk selalu didampingi, dididik bahkan dilindungi. Kedua, perempuan diyakini memiliki kelemahan fisik yang bersumber dari kemampuan reproduksinya. Sesungguhnya perempuan memiliki kelebihan biologis dibandingkan laki-laki akan tetapi dalam konsep sosial masyarakat kelebihan ini dipandang sebagai kelemahan perempuan. Ketiga, perbedaan derajat sosial budaya. Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi oleh kaum laki-laki atas kaum perempuan seakan-akan sudah menjadi akar sejarah panjang dan mendarah daging. Perempuan selalu ditempatkan sebagai the second human being (manusia kelas kedua) atau pun jenis kelamin kedua yang berada di bawah superioritas kaum laki-laki. Keempat, sejarah tidak berpihak pada perempuan. Kisah Adam dan Hawa membawa perempuan dalam sebuah tarikan sejarah panjang. Dari awal kisah itu bermula, perempuan dianggap sebagai sumber bencana dan kerusakan. Perempuan dianggap sebagai manusia penggoda yang mengakibatkan Adam turun ke bumi setelah tergoda untuk memakan buah terlarang. Sejak saat itu, kemana pun perempuan pergi semestinya didampingi, dilindungi dan dibimbing agar tidak “menggoda” manusia lain. Kelima, perbedaan perspektif. Dikotomi pembedaan laki-laki berperan dalam ranah publik dan perempuan dalam ranah privat membawa perempuan semakin terpenjara di rumah. Mereka akan merasa bersalah apabila meninggalkan keluarga ataupun melepaskan tanggung jawab mereka sebagai ibu rumah tangga. Beberapa poin di atas sedikit banyak ikut menyumbang cara pandang masyarakat terhadap perempuan. Konsep pemaknaan perempuan yang diwacanakan terus-menerus di dalam kehidupan sosial masyarakat itulah yang memunculkan alasan mengapa perempuan tidak pantas memasuki dunia politik. Dalam perkembangan peradaban manusia, rasionalitas modern berusaha membawa masyarakat menuju abad pencerahan dimana manusia mampu melepaskan mitos dan berpijak pada logos menuju emansipasi pengetahuan. Perkembangan pola berpikir manusia telah mengubah pandangan tentang perempuan. Semula perempuan hanya mengurus ranah domestik kini mulai berkembang ke ranah publik, terutama dalam berpolitik.
1 Comment
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |