Akhiriyati Sundari (Mahasiswa Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga) [email protected] Pendahuluan Tubuh perempuan selalu memasuki hiruk-pikuk pembahasan di segala ranah. Karenanya tidak ada diskursus lain yang memiliki daya tanding lebih yang mampu menyamai atau menyaingi diskursus ramai atasnya kecuali perbincangan tentang tubuh perempuan. Tubuh perempuan dari masa ke masa selalu mengalami kontestasi untuk diperebutkan oleh pihak-pihak yang berasal dari luar dirinya. Konstruksi sosial yang ditopang oleh ragam struktur sosial, berkembang setingkat dinamika yang mengiringi laju jaman. Ada titik yang dibidik sekaligus disasar dari perebutan wacana dan tubuh perempuan, yakni ketundukan dan kepasrahan. Dalam hal ini pihak laki-laki adalah tertuduh utama dengan bias sekaligus eros patriarkalnya, yang selalu merasa memiliki ‘hak istimewa’ untuk membuat berbagai penilaian atas tubuh perempuan. Laki-laki merasa seakan memiliki privilese untuk mengintervensi dengan meletakkan standar nilai tertentu kepada tubuh perempuan. Semuanya bekerja dalam bingkai patriarki yang mendudukkan posisi perempuan dan tubuhnya dalam posisi subordinat. Dimensi kekuasaan digunakan sebagai mesin kerja untuk mencapai tujuan. Foucault dalam masterpiece-nya tentang seksualitas mengatakan bahwa gagasan seksualitas dan kekuasaan sangat membantu analisis sosial dalam mengurai berbagai ketimpangan akibat relasi kekuasaan yang tidak seimbang terutama dalam kehidupan modern. Dalam perspektif ini, kekuasaan sebagai rezim wacana dianggap mampu menggapai, menembus, dan mengontrol individu sampai kepada kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Kekuasaan sebagai rezim wacana ini dianggap sebagai praksis yang mampu mengubah konstelasi sosial. Darinya lalu muncul pengetahuan sebagai daya topang kekuasaan. Hubungan kekuasaan dan pengetahuan ini menurut Foucault adalah ketika wacana yang ada menahbiskan dirinya sebagai yang memiliki otoritas, otonomi atas klaim kebenaran dan kontekstual, seperti yang ada pada psikiatri, kedokteran, pendidikan, dan agama. Di dalam Islam, tubuh perempuan diidentifikasi sebagai yang memiliki rahim. Konteks mikronya bahwa hal ini mengindikasikan perempuan sebagai jenis kelamin yang ‘membawa kehidupan’, lengkap dengan sifat rahim [baca: kasih sayang] yang meng-endors pada wujud rahim di dalam tubuhnya. Sedang konteks makronya adalah perempuan memiliki keistimewaan yang khas dan tak bisa dipertukarkan. Karenanya Islam sangat menghormati perempuan sebagai manusia utuh yang sama dengan laki-laki. Titik tekan Islam paling utama dalam membingkai perbedaan laki-laki dan perempuan hanyalah pada tingkatan amal saleh. Yakni sejauh mana kedua jenis kelamin berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan dan bermanfaat bagi orang lain. Suara Islam yang genius ini kemudian hadir di tengah-tengah masyarakat dimana konstruksi sosial patriarkalnya amat parah. Budaya yang lestari pada akhirnya menjadi tungkai bajak dan mengeliminir semangat universal Islam yang terkandung dalam kitab suci. Membincang Seksualitas dalam Wacana Islam: Pernikahan Wacana Islam dimaksud di sini adalah segala hal yang terbingkai dalam segala dialektika dan perdebatan tentang Islam. Bangunan terpenting yang menjadi acuan wacana ini adalah bersumber dari kitab suci [Syafiq Hasyim, 2002]. Bagaimana Al-Qu’ran sebagai kitab suci berbicara tentang seksualitas? Tentu saja hal ini terkait dengan pola relasi laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Ranahnya adalah seputar perkawinan, perceraian, relasi pergaulan suami-istri di dalam rumah tangga, masa tunggu sesudah bercerai [iddah], hingga persoalan yang menyangkut homoseksualitas. Kitab suci membingkai urusan seksualitas di dalam Islam hanya boleh dilakukan melalui lembaga perkawinan. Hubungan seksual yang dilakukan diluar perkawinan dianggap ilegal disebut sebagai zina. “Dan janganlah kamu mendekati zina karena itu sekeji-kejinya perbuatan” [QS Al-Isra (17): 32], ayat yang keras melarang perbuatan zina dengan penekanan ‘mendekati saja tidak boleh, apalagi melakukan’ ini sesungguhnya hendak merespon masa lalu, dimana jaman pra-Islam, kegiatan seksual dapat dilakukan dengan bebas tanpa ikatan pernikahan sekalipun. Terpapar di dalam kitab suci pula bentuk respon terhadap masa lalu adalah dengan membatasi kepemilikian istri menjadi maksimal empat. Struktur sosial bangsa Arab pada masa pra-Islam yang disebut sebagai jahiliyah telah menempatkan perempuan sebagai istri yang bermakna ‘properti’. Hanya barang yang diambil kegunaannya semata sehingga dalam satu keluarga sebagai struktur sosial terkecil, adalah lumrah terdapat sembilan bahkan ratusan istri [poligami, pada kepala-kepala suku bangsa pagan kala itu]. Lantaran barang yang hanya diambil kegunaannya maka si pemilik properti [suami] bebas untuk berbuat sesuka hatinya, misal dengan mencampakkan begitu saja ketika merasa si istri sudah tidak berguna. Dari sini tampak secara jelas bahwa poligami bukanlah ajaran Islam, melainkan telah ada sebagai produk sosial umat terdahulu. Semangat yang disuntikkan Islam adalah memartabatkan manusia dalam resapan-resapan cinta melalui hubungan perkawinan sebagai hal alami yang naluriah. Lebih lanjut Al-Qur’an kemudian memberikan topangan spiritual bagaimana laki-laki dan perempuan yang terikat di dalam lembaga perkawinan itu seharusnya bergaul. Ada relasi yang setara dan seimbang, sebagai prasyarat mutlak yang harus diketahui untuk mencapai tujuan harmoni, bermartabat, dan bermoral. Metafora indah “mereka [para istri itu] adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” [QS Al-Baqarah [1]: 187], menunjukkan bahwa masing-masing relasi adalah resiprokal seimbang. Pakaian bersifat menutupi, memperindah, dan melindungi. Seyogyanya demikian pula dalam relasi suami-istri. Kasih sayang dan cinta kasih adalah perlambang adibusana, karenanya suami-istri secara moral dilarang saling menyakiti, secara moral harus menghargai dan menghormati satu sama lain dengan menghindari hegemoni-dominasi, termasuk dalam urusan seksual. Fatima Mernissi menyebut bahwa Al-Qur’an sesungguhnya tidak pernah menjustifikasi poligami. Justru Al-Ghazali lah yang melakukannya, karenanya Mernissi menganggap bahwa bahwa ada kekeliruan dari para pemikir Islam, yang tidak melihat poligami sesungguhnya sangat merugikan perempuan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan perempuan yang harus dipertimbangkan dalam praktik pergaulan yang ma’ruf tersebut, terutama pada kebutuhan seksual istri. Poligami dipandang sebagai lebih jauh dari sekadar memberikan hak seksual laki-laki, yakni menyediakan ruang bagi laki-laki untuk memperturutkan hawa nafsu seksualnya tanpa kenal batas. Padahal dalam adagium populer telah gamblang dikatakan bahwa ‘nafsu [seksual] itu seperti anak kecil [bayi] yang menyusu, ia akan terus meminta’. Selain sumber kitab suci, dalam wacana Islam terkait seksualitas, sunnah Nabi Muhammad SAW adalah rujukan penting kedua. Sunnah Nabi mencakup ucapan, tindakan/perilaku dan hal-hal atau peristiwa apa saja yang dilangsungi selama hidupnya. Nabi Muhammad sebagai orang suci dan dipilih oleh Tuhan dengan status ma’shum, bebas dari salah—lantaran seluruh makrokosmos dan mikrokosmos hidupnya adalah wahyu Tuhan, menjadi duplikasi yang tampak mata sebagai ejawantah ajaran kitab suci. Sejarah hidup Nabi mengisahkan perkawinannya dengan Siti Khadijah didahului oleh lamaran yang dilakukan Khadijah. Bukan oleh Nabi sendiri, melainkan Khadijah yang meminta. Perkawinannya dilandasi cinta dan saling penghormatan. Garis bawah dari sejarah telah mencatat bahwa Khadijahlah yang aktif dan Nabi pasif, menerima. Terlepas dari status kelas yang melekat pada diri Khadijah sehingga yang bersangkutan dimungkinkan memiliki ‘daya aktif’ melamar, di situ sekali lagi memperlihatkan ada keterlibatan perempuan dalam tindakan ‘memulai lebih dulu’ terhadap pasangannya. Tidak ada penolakan sama sekali dari Nabi, artinya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Landasan ini pulalah yang dapat dipakai sebagai teropong bahwa dalam kehidupan seksual suami-istri, kedua belah pihak setara, tidak selalu suami yang aktif, tetapi istri pun. Tidak ada ordinat dan subordinat dalam relasi perkawinan Nabi dan Khadijah. Bahkan tidak mempermasalahkan status diri Khadijah sebelum menikah dengan Nabi. Kekuasaan Pengetahuan: Memasung Seksualitas Perempuan Perebutan wacana di dalam fungsi otorisasi akan klaim kebenaran terhadap tubuh perempuan sesungguhnya telah berlangsung sekian lama di dalam Islam. Idealisasi yang termaktub dalam kitab suci berikut sejarah Islam awal yang dibangun oleh Nabi Muhammad direduksi secara kasar sejak Nabi wafat. Dimulai dari jaman kekhalifahan empat hingga mengecambah ke dinasti-dinasti politik sesudahnya, posisi perempuan ‘dikembalikan’ ke dalam rumah. Ke ranah domestik. Ketika jaman Nabi perempuan turut pula terlibat aktif di ranah publik tak terkecuali dalam urusan ibadah ritual di masjid, maka sesudah Nabi wafat perempuan bahkan tidak boleh pergi ke masjid. Maka dimulailah aneka ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan itu termasuk di ranah seksual. Perempuan mengalami berbagai tindakan tidak adil juga kekerasan terkait seksual. Mengutip Abdul Munir Mulkhan [2002], sedikitnya ada tiga persoalan menyangkut ketidakadilan seksual pada perempuan; pertama, tradisi Islam dalam fikih [formula aturan hukum yang berkembang pasca Nabi] yang menempatkan perempuan sebagai ‘pelayan kebutuhan seksual laki-laki’ dan ‘pembangkit birahi seksual’. Kedua, kecenderungan konsumerisme tubuh perempuan dalam peradaban industri modern. Ketiga, tradisi lokal [khususnya Jawa] yang masih melekatkan stereotype kepada perempuan sebagai ‘penumpang’ kemuliaan [kelas sosial] laki-laki. Ketiga, persoalan itu berkelindan dan melahirkan gagasan subordinasi pada perempuan. Gagasan yang menumbuh pada relasi kuasa yang timpang ini tak ayal menumbuhkan bibit-bibit kekerasan seksual terhadap perempuan. Perempuan hanya dilihat sebagai seonggok daging bernama tubuh seksual. Subjek yang melihat adalah laki-laki. Melihat di sini dimaknai sebagai penguasa tatapan. Foucault menganasir hal ini sebagai tindakan kekuasaan-pengetahuan yang menerapkan strategi kekuasaannya untuk mengatur [seksualitas] perempuan. Ada histerisasi tubuh perempuan yang menunjukkan bahwa tubuh [perempuan] dikaitkan dengan tubuh sosial untuk menjamin kesuburan dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga termasuk kehidupan anak. Jadi tubuh perempuan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab biologi dan moral. Khasanah fikih klasik hingga hari ini masih memberikan kacamata patriarki yang sarat bias gender dalam mengatur seksualitas perempuan. Khitan perempuan, sebagai contoh, dikatakan bahwa ia adalah perintah agama. Padahal sesungguhnya sunat perempuan adalah tradisi yang berasal dari 4000 tahun sebelum Nabi Isa lahir. Ada pada masa Fir’aun, karenanya dulu dikenal dengan istilah pharaonic circumcisium [Jurnalis Uddin, 2013]. Hingga kini hanya di Yaman, Irak, Iran, Pakistan, India, Malaysia, dan Indonesia. Alasan dibalik pelaksanaan khitan perempuan ini adalah untuk mengerem nafsu seksual perempuan, yang dianggap lebih besar kadarnya daripada laki-laki sehingga membahayakan. Anggapan ini semata adalah mitos. Produk sosial dari jaman Fir’aun. Akan tetapi, institusi agama melestarikannya sebagai bagian dari ajaran agama. MUI tahun 2008 melakukan penolakan terhadap edaran Kementerian Kesehatan tahun 2007 yang melarang pelaksanaan khitan perempuan dari sudut pandang medis [Jurnal Perempuan 77]. Ketegangan pihak pemegang otoritas agama terhadap entitas di luarnya, adalah bentuk dari perebutan wacana tubuh perempuan. Sebagai medan politik, tubuh perempuan ditundukkan. Tubuh perempuan dipindai dengan tatapan laki-laki dus patriarki dalam sederet stigma negatif. Ada yang buruk dalam tubuh perempuan sekaligus ada yang menguntungkan dari tubuh perempuan. Tatapan patriarki ini lalu dilanggengkan dalam struktur sosial, mengokohkan diri sebagai pemegang kekuasaan. Strategi kedua menurut Foucault dari permainan kekuasaan-pengetahuan adalah pedagogisasi seks anak dengan tujuan anak jangan sampai jatuh dalam aktivitas seksual, karena mengandung bahaya fisik dan moral serta dampak kolektif maupun individual. Pedagogisasi ini juga untuk melawan onanisme [Haryatmoko, 2013]. Dalam setiap generasi sejak kecil, diajarkan tentang bahaya seksualitas yang dilakukan tidak di dalam pernikahan. Institusi agama membingkainya dalam fikih yang masih normatif, yang mengajarkan hanya ketakutan tanpa didukung oleh pengetahuan positif yang memadai. Anak tidak diberikan pendidikan seksualitas sejak dini lantaran anggapan tabu. Sehingga anak telah sejak dini pula dijauhkan dari pengetahuan yang memadai tentang tubuhnya. Otoritas agama hanya berkutat di seputar fikih yang lebih banyak mengatur soal thoharoh [tata aturan kebersihan] dalam kaitannya dengan sembahyang wajib [termasuk di dalamnya batasan tentang menutup aurat di dalam sholat]. Disusupkan pendidikan moral di dalamnya semata bahwa lagi-lagi tubuh perempuan adalah ‘sumber dosa’, karena itu jangan dekat-dekat. Walhasil, tidak mengherankan ketika pedagogisasi ini di lain pihak justru mengungkung hak anak untuk mengetahui kesehatan reproduksi secara benar. Saat marak kasus pernikahan dini, pernikahan anak-anak usia remaja ke bawah, persoalan-persoalan terkait kesehatan reproduksi dan seksual ini menjadi kian rumit dan blunder. Tidak ada kesiapan mental dan fisik. Anak-anak didorong begitu saja masuk ke kegelapan dunia seksualitas sehingga rentan dengan bahaya yang sulit dihindari seperti AKI, anemia, pendarahan, ekslampsia, juga tidak menutup kemungkinan penyakit menular seksual. Kasus pernikahan anak ini juga tidak bisa begitu saja dilepaskan dari konstruksi masyarakat yang digarisbawahi oleh tafsir-tafsir agama. Kerapkali misalnya, menganggap bahwa pernikahan anak akan menyelamatkan si anak dari pergaulan buruk yang menggiring pada hubungan seksual diluar pernikahan sebagaimana dilarang oleh agama, apalagi anak perempuan korban perkosaan [kekerasan seksual]. Ada pula yang menyandarkan diri pada sejarah Nabi bahwa pernikahannya dengan Siti Aisyah adalah termasuk pernikahan dini, karenanya dipandang sebagai sebuah syariat yang harus dipatuhi. Belum ditambah lagi argumen yang dipaksakan dan direkayasa secara panjang oleh konstruksi sosial stigmatis di masyarakat, bahwa pernikahan anak lebih baik daripada perempuan yang sudah ‘cukup umur’ namun belum menikah. Status single perempuan distigmatisasi oleh patriarki sebagai ‘kerawanan sosial’. Pernikahan anak juga tidak jarang bermotifkan ekonomi yang lagi-lagi ditopang oleh agama bahwa menghindari kemiskinan itu wajib agar tak terjerembab ke kekufuran. Tidak bisa tidak menurut tafsir ini, solusinya adalah menikahkan anak. Instrumen ini secara terus-menerus melanggengkan relasi kuasa yang timpang dalam mengatur seksualitas perempuan. Selanjutnya menurut Foucault, adanya sosialisasi perilaku prokreatif dimaksudkan untuk kesuburan pasangan; sosialisasi politik dilaksanakan melalui tanggung jawab pasangan terhadap tubuh sosial; dan sosialisasi medik termasuk praktik kontrol kelahiran atau KB. Pada masa Orde Baru, tangan otoritas keagamaan bergandeng tangan dengan kekuasaan untuk melakukan pengontrolan tubuh perempuan melalui program KB. Nilai keagamaan berlabuh dalam program yang sarat kepentingan politik negara dalam biopolitik modern. Tubuh perempuan menjadi sasaran utama ragam alat kontrasepsi tanpa mempertimbangkan kebutuhan kesehatan tubuh perempuan itu sendiri. Perempuan ditekan untuk tidak memiliki kedaulatan atas tubuhnya sendiri. Strategi kuasa pengetahuan sebagaimana diungkap Foucault di atas sejatinya dijadikan instrumen oleh agama melalui pengendalian atas tubuh perempuan. Subjek yang saling mengait ini memiliki tujuan yang satu yakni kepatuhan dan ketundukan. Darinya maka sebuah rezim akan langgeng dalam status quo. Seluruh peristiwa ini dibingkai dari frame patriarki yang mengusung rezim seksualitas dalam agama. Kuasa pengetahuan selanjutnya hadir dalam problem modernitas yang melahirkan anak kandung bernama kapitalisme. Di wilayah ini, tubuh perempuan diperebutkan kembali untuk dijadikan objek konsumerisme. Tidak terkecuali tubuh perempuan yang ditarik melalui wilayah keagamaan yang dipromosikan melalui media. Terdapat rezim kapitalisme di sini yang berhasrat hanya untuk penumpukan kapital. Standar tubuh perempuan dilabeli oleh patriarki melalui narasi-narasi perempuan ideal, cantik, langsing, berkulit putih, lembut, berambut panjang, bisa melahirkan anak, dan sederet panjang ukuran-ukuran subjektif lainnya, kemudian direproduksi oleh media secara massif dan vandalistik. Tidak terbatas pada media-media yang hanya dipajang dan dilihat secara dekat melalui media elektronik dan media cetak, persepsi patriarki atas tubuh perempuan dinarasikan pula secara jauh melalui ‘sampah visual’ yang bertebaran di ruang-ruang publik dengan tak terkendali. Baliho-baliho, spanduk, dan billboard berkibar gemebyar, menyesaki ruang-ruang publik di jalanan, berjajar-jajar tak karu-karuan dengan tiang-tiang serta kabel-kabel listrik yang bergelantungan sebagai penanda buruknya sistem tata kota di negara yang gamang dengan modernitas ini. Idealitas dalam wilayah tafsir agama yang membungkus perempuan dengan penertiban moral, turut pula diblow-up media dengan narasi-narasi ‘iklan syariah’. Iklan perempuan berjilbab sebagai contoh, tak ketinggalan memasuki arena publik dalam promo massal produk-produk tertentu berlabel agama [contoh jilbab zoya bersertifikat halal]. Tubuh perempuan lagi-lagi direbut otonominya di sini sebagai pendulang pundi-pundi dalam bingkai kapitalisme. Bahwa perempuan muslim yang kaffah selain membungkus tubuhnya dengan hijab agar tak mengundang birahi laki-laki, juga harus memastikan bahwa produk yang dipakainya adalah halal [berlisensi islami]. Begitu ribetnya tubuh perempuan harus didorong melesak ke dalam kapitalisme berjubah agama. Rezim seksualitas dihasilkan dari koalisi halus antara kapitalisme dan agama. Penutup Tubuh perempuan disorot dan diregulasikan dalam kancah paling esensial dari laku hidup manusia [agama], melalui penertiban perilaku, pakaian, dan segmen-segmen hidup yang lain. Tafsir-tafsir agama diwacanakan secara massif tanpa celah kritis sedikit pun, untuk memberikan satu narasi tunggal tentang stereotype perempuan melalui presentasi sebagai konstruksi cultural, yakni media. Bahwa media adalah struktur yang paling berperan dalam mereproduksi cara masyarakat mendudukkan dan memandang perempuan. Cara pandang ini diadopsi untuk memperlihatkan kekuatan media dan otoritas mainstream keagamaan dalam membentuk opini yang mendukung pandangan dominan tentang perempuan. Tubuh perempuan dikontrol agar menjalani ketundukan dan kepatuhan dengan frame patriarki, ditopang secara kokoh oleh sebuah rezim seksualitas. Pada akhirnya, dalam gerusan modernitas yang terus-menerus dipiyuh oleh kapitalisme ini, tubuh perempuan mulai kehilangan otonomi. Pada setiap laju sejarah, hal ini akan terus dimainkan sebagai ajang politik, padahal sejatinya justu menunjukkan sebuah tontonan lemah dari patriarki yang tidak pernah bisa menundukkan ego pallus-nya. Daftar Pustaka: Jeremy R. Carette (ed.), Agama, Seksualitas, Kebudayaan; Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Michel Foucault, Yogyakarta: Jalasutra. 2011. Mochamad Sodik (ed.), Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. 2004. Christina Siwi Handayani, Gadis Arivia, dkk, Subyek yang Dikekang; Pengantar ke Pemikiran Julia Kristeva, Simone de Beauvoir Michel Foucault, Jacques Lacan, Jakarta: Komunitas Salihara. 2013. Michel Foucault, Kuasa/Pengetahuan, Yudi Santosa (penerj.), Yogyakarta: Bentang Budaya. 2002. Irwan Abdullah, Nasaruddin Umar, dkk, Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. 2001. Abdul Moqsit Ghozali, Badriyah Fayumi, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Cirebon: Rahima. 2002. Jurnal Perempuan edisi 15, “Wacana Tubuh Perempuan”. 2001. Jurnal Perempuan edisi 71, “Perkosaan dan Kekuasaan”. 2011. Jurnal Perempuan edisi 77, “Agama dan Seksualitas”. 2013. remotivi.com, “Perempuan tanpa Otonomi; Wajah Ideologi Dominan dalam Sinetron Ramadhan”. 2014. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |