Abdurrohman Azzuhdi (Mahasiswa Jurusan Islam dan Kajian Gender Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] Pendahuluan Pada tulisan ini saya akan membahas tentang politik kekuasaan pada tubuh perempuan. Berangkat dari adanya Qanun Syariat yang diberlakukan oleh pemerintah daerah. Sebuah peraturan daerah (Perda) Aceh lainnya mewajibkan semua umat Muslim di Aceh mengenakan busana Islami, yang didefinisikan sebagai pakaian yang menutupi aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak menunjukkan bentuk tubuh. Meski bentuk Qanun tersebut berlaku pada laki-laki dan perempuan, pada praktiknya, pengaturan atas berpakaian terhadap perempuan lebih represif. Perempuan ditempatkan sebagai “tiang” negara yang harus dikontrol dalam setiap tindak tanduknya, termasuk dalam hal berpakaian. Razia-razia yang dilakukan oleh petugas syariat yang disebut dengan Wilayatul Hisbah (WH) nyatanya lebih banyak menyasar perempuan. Bentuk pelembagaan ini sebagaimana yang disebut oleh Peter Berger dengan internalisasi ide. Penerapan Qanun yang tidak merata menjadikan sebuah penindasan dan kontrol bagi perempuan, sekaligus mengandung kepentingan oleh oknum tertentu. Bagi Millet, seorang pemikir feminis, hal ini menunjukkan perempuan sebagai komoditas yang dibungkam dan tubuh mereka dikontrol.
Aceh merupakan bagian dari negara ini yang diizinkan oleh hukum nasional menerapkan peraturan daerah syariat yang bersumber dari agama Islam. Menurut para pendukungnya, syariat adalah sebuah panduan yang lengkap tentang semua hal yang penting dalam hidup. Bagi pendukungnya, Islam adalah agama universal yang menata seluruh aspek kehidupan masyarakatnya, termasuk hal berpakaian, berkeluarga bahkan bernegara. Ide-ide yang muncul dari Islam diangap sebagai sebuah ajaran yang mutlak tafsirnya dan harus diaplikasikan dalam ranah kehidupan. Melanggarnya berarti melaggar tata aturan Tuhan atas makhluknya. Pelanggaran terhadap aturan syariat haruslah dihindari, maka atas pemahaman demikian kelompok ini berusaha “seindah” mungkin melaksanakan pertintah Islam dalam kaca mata mereka. Dan tentunya pemahaman seseorang, bagaimanapun indahnya, tidaklah semua orang bisa menerimanya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA) hingga saat ini telah mengesahkan lima (5) Perda yang diilhami Syariat tentang berbagai hal, mulai dari pemberian amal, judi, hingga pengaturan ritual Islam dan perilaku Muslim yang sepantasnya. Berdasarkan penelitian Human Rights Watch ada dua undang-undang yang penerapannya bermasalah. Hal tersebut berupa kebijakan yang melarang individu-individu berjenis kelamin berbeda yang tidak menikah untuk bersama dalam situasi-situasi tertentu, dan kebijakan yang mengharuskan masyarakat untuk berbusana muslim di muka publik. Kebijakan-kebijakan tersebut melanggar hak-hak dasar yang dilindungi oleh UUD 1945 Undang-Undang Dasar Indonesia (UUD 1945) maupun hukum hak asasi internasional yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia dan mengikat secara hukum (Human Rights Watch, 2010:2). Bila ditilik dari kacamata teori sexual politics Kate Millet yang terjadi pada perempuan Aceh merupakan struktur kekuasaan patriarki. Perempuan tidak pernah menjadi agen mereka sendiri. Mereka adalah semacam komoditas yang dibungkam kebebasan mereka dan secara seksual dikontrol oleh orang lain, yang dalam hal ini adalah Qanun yang diterapkan oleh Wilayah Hisbah. “Ideologi” menjadi bagian penting dalam analisa Millet, dimana ia diidentikkan dengan maskulin dan feminin. Kepribadian feminin diidentikkan dengan sikap pasif, kebodohan, kepatuhan dan kebajikan. Sedangkan maskulin sering dilekatkan dengan kekuatan, agresif, kecerdasan dan kemanjuran. Peran maskulin seperti biasanya melibatkan kepemimpinan dan ambisi (Kate Millet, 1970: 30). Lebih jauh Millet berargumentasi bahwa sex merupakan wujud politik yang dilandasi paradigma hubungan kekuasaam yang dilegitimasi oleh ideologi patriarkal. Akar dari sebuah penindasan merupakan pembedaan yang keterlaluan terhadap gender. Perasan superior telah mengakar pada jenis gender tertentu, sehingga menampilakn inferioritas pada gender yang lain. (Gadis Arivia, 2003: 107). Pada kutipan bukunya, Millet menulis:
Pada kasus tersebut menunjukkan bahwa petugas WH sendiri memiliki beragam pemaknaan atas cara berpakaian yang benar. Pada Qanun No. 11 Tahun 2002, pasal 13 ayat 1 disebutkan:
Berikut ilustrasi lebih mendalam bagaimana Qanun No. 11 Tahun 2002 tersebut diterapkan. Erni, seorang mahasiswi mengungkapkan pengalamannya terkena razia WH, dengan dalih tidak mengenakan busana Islami, sebagaimana kutipan berikut:
Pemerintahan di tingkat kabupaten di Aceh, yang dapat menerapkan hukum Syariah, berupaya menerapkan standar yang lebih ketat atas perilaku dan penampilan pribadi yang mereka akui bersumber dari Syariah. Pada bulan Juli 2010, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat menerapkan peraturan daerah tentang busana Islami dapat diterima, bahkan dengan kekhususan yang melebihi peraturan di tingkat provinsi, Pemkab juga memberikan wewenang kepada pasukan WH setempat untuk mewajibkan perempuan yang mengenakan celana panjang yang tidak sesuai dengan peraturan untuk segera menggantinya dengan rok yang disediakan oleh pemerintah. Pemerintah setempat mengatakan bahwa mereka telah membeli 20.000 rok semacam itu sebagai upaya memfasilitasi penerapan hukum, dan petugas-petugas WH mulai membagi-bagikannya pada bulan Mei 2010, bahkan sebelum Perda tersebut berlaku. (Human Rights Watch, 2010: 66). Rezim Syariah Aceh tampaknya mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintahan lainnya di Indonesia. Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2009 menemukan bahwa sejumlah pemerintah daerah di berbagai tempat di Indonesia telah mencontoh hukum Aceh dalam menerapkan peraturan busana dan perilaku yang berdasarkan pada Islam yang jelas-jelas membatasi hak-hak perempuan. Bila dianalisa dengan kacamata politik seksualitas, penerapan aturan berjilbab adalah sebuah langkah untuk melakukan kontrol dan penguasaan atas perempuan. Pola penerapan kebijakan untuk menghasilkan individu seperti ini diterapkan secara teratur untuk mencapai tujuan kekuasaan. Pada masyarakat yang pro syariah penerapan yang masif ini dengan mekanisme sosial yang persuasif, membujuk dan meyakinkan. Namun tidak demikian dengan kelompok yang tidak sepakat dengan sistem syariah. Mereka akan melihat hal tersebut sebagai sebuah langkah yang represif. Sejarah seksualitas mencatat bahwa tujuan kekuasaan itu memberi warna yang sangat dominan. Menganalisa sejarah seksualitas berarti berusaha memahami bagaimana dengan memaksakan norma-norma moral, kekuasaan ingin mendapatkan tenaga produktif, memudahkan distribusi kekayaan dan mendapatkan kepatuhan dari seluruh tubuh sosial. Wacana seks menjadi bagian dari strategi kekuasaan menghadapi penduduk. Negara hendak melihat seks dari warga negaranya dan apa yang dilakukan dengan seks tersebut. Antara negara dan individu seks menjadi pertaruhan, dan pertaruhan publik. Seluruh bentuk wacana, pengetahuan, analisa dan larangan ada di dalamnya. (Haryatmoko, 2003: 222-223). Pelembagaan Jilbab Persoalan ini berangkat dari sebuah peraturan daerah Aceh, yang mewajibkan semua umat Muslim di Aceh mengenakan busana Islami, yang didefinisikan sebagai pakaian yang menutupi aurat (bagi laki-laki, bagian tubuh dari lutut hingga pusar, dan bagi perempuan, seluruh tubuh kecuali tangan, kaki, dan wajah), yang tidak tembus pandang, dan tidak menunjukkan bentuk tubuh. Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa perempuan Muslim diwajibkan mengenakan jilbab (tutup kepala Islami) di muka publik setiap saat dan dilarang mengenakan pakaian yang menunjukkan bentuk tubuh. Walaupun hukum ini berlaku bagi baik laki-laki maupun perempuan, tetapi hukum ini memberikan pembatasan lebih ketat terhadap perempuan daripada laki-laki dan memiliki dampak diskriminatif. Tak mengherankan, perempuan merupakan pihak yang paling banyak ditegur sesuai dengan hukum. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA) hingga saat ini telah mengesahkan lima (5) Perda yang diilhami Syariat tentang berbagai hal, mulai dari pemberian amal, judi, hingga pengaturan ritual Islam dan perilaku Muslim yang sepantasnya. Internalisasi aturan terkait dengan pemakaian busana muslimah ini tercermin pada ayat selanjutnya pasal 13, dimana pelembagaan tersebut harus dibudayakan oleh instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha atau institusi masyarakat. Sederhananya semua yang terkait dengan lembaga pemerintah dan lembaga swasta wajib mengatur dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Bahkan, pemerintah tingkat Kabupaten Aceh menerapkan standar yang lebih ketat atas perilaku pelanggaran terkait dengan perda syariat. Parahnya lagi petugas WH diberi wewenang oleh Pemkab untuk mewajibkan para perempuan mengenakan celana panjang yang dianggap Islami. Dagelan lain adalah, bentuk pembelian sekitar 20.000 (dua puluh ribu) rok oleh pemerintah pada bulan Mei 2010 sebagai respons logis atas pelarangan setelan bawahan yang dipakai oleh perempuan. Pembelian ini tidak lain adalah bertujuan sebagai pengganti celana yang dipakai oleh perempuan yang terken razia. Komisi nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2009 saja telah menemukan beberapa adaptasi hukum Islam aceh pada beberapa tempat di Indonesia yang jelas-jelas membatasi hak-hak perempuan. Pemberlakuan aturan berjilbab oleh lembaga resmi Negara jelas merupakan bentuk kontrolisasi atas tubuh perempuan. Tubuh perempuan selalu dijadikan objek kekuasaan dan hasrat. Alasan normatif sering sekali digunakan sebagai tendensi atas kebenaran putusan lembaga yang memiliki otonomi daerah. Meski Islam mengatur cara berpakaian laki-laki dan perempuan, namun tidak berarti mengekang ekspresi perempuan dalam menyuarakan hak tubuhnya dalam memilih bungkus. Konstelasi pelembagaan jilbab mengalami pasang surut dinamika yang cukup menarik. Pada masa orde baru, penggunaan jilbab di ranah publik ditentang keras (baca: dilarang) oleh penguasa rezim. Kala itu, hampir setiap elemen masyarakat mengalami kesulitan dalam merepresentasikan identitasnya. Semua gerak dan gerik harus melalui kontrol dan izin dari penguasa rezim. Pertarungan antara penguasa rezim orde baru dan komunitas Islam menciptakan gap yang begitu kentara. Komunitas ini dipengaruhi gerakan Islam transnasional yang kental dengan pengaruh ideologi Timur Tengah. Ibarat “kentut” yang telah lama ditahan, di masa reformasi, “kentut” tersebut telah keluar dengan segenap bau sampah yang terendap selama puluhan tahun. Kelegaan tersebut sekaligus memberi “efek kejut” yang luar biasa. Para aktivis mulai kehilangan kendali, membabi buta dan menyerang saudara sebangsa yang tidak se-ide, reformasi. Sementara kelompok Islam yang sebelumnya menahan “kentut” mulai keranjingan dan menggulirkan ideologi Islamisasi. Diantara salah satu indikator yang masif muncul adalah wacana kewajiban berjilbab. Jilbab yang pada mulanya sebagai sebuah aspirasi keinginan anak sekolah bergeser menjadi sebuah kewajiban. Hal yang pada awalnya diperjuangkan sebagai simbol kebebasan kini telah berubah menjadi undang-undang yang mengungkung dan sebagai alat kontrol. Ani Kurniasih dalam Tesisnya menyebut bahwa wacana “keharusan” berjilbab tidak terlepas dari peranan kelompok tertentu yang mengambil kendali secara politis. Perempuan kini tidak lagi ber-himmah “Sudah saatnya saya mengenakan jilbab”, melainkan lebih agresif dengan “Kapan kau akan berjilbab?” (Ani Kurniasih: 2013, 72) Kontrol atas busana tidaklah semata terkait dengan masalah syariat atau ketentuan yang mengatur kerja internal Islam. Pengharusan masyarakat berbusana muslim di publik, sebenarnya telah menggar hak-hak dasar yang dilindungi oleh UUD 1945 maupun hukum hak asasi internasional yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia dani mengikat secara hukum. Adanya aturan tersebut jelas merampas kebebasan dan kenyamanan perempuan dalam berekspresi. Dalam Qanun tentang pelaksanaan syariat Islam, kajian menyatakan bahwa ketentuan Qanun hanya menempatkan perempuan dan anak perempuan sebagai objek yang diatur karena ketubuhan, pakaian dan tindak-tanduknya yang dianggap berpotensi merusak akhlaq dan moral masyarakat. Sementara itu Qanun tidak mengatur adanya kelembagaan yang secara khusus menangani persoalan anak, anak perempuan dan perempuan. Pelanggaran kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik (KIHSP). Ketentuan yang dimaksud adalah sebagaimana aturan kewajiban bagi orang Islam untuk berbusana Islami (pasal 13 ayat 1), dan ketetapan pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya (pasal 13 ayat 2). Pelanggaran atas pasal ini dikenai pidanya sebagaimana:
Hal lain yang saya amati atas semangat Pemda Aceh menerapkan Qanun Syariat Islam adalah respons traumatik atas bencana Tsunami yang menimpa Aceh di tahun 2004. Wacana kemaksiatan dianggap sebagai salah satu faktor musibah Tsunami. Aceh sebagai salah satu daerah cikal bakal Islam di Nusantara semacam dianggap tidak mencerminkan spirit Islam. Merebaknya maksiat dan banyaknya manusia yang mengumbar aurat menjadi isu penting seputar refleksi pasca Tsunami. Isu pelaksanaan Hukum Syariat pra tahun 2000 tidaklah sekuat setelah tahun tersebut, atau bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali, kecuali segelintir Kelompok Separatism Aceh. Dengan judul membumikan Syariat Islam di Tanah Rencong, hendak mengembalikan kejayaan kerajaan Islam Aceh pada masa lalu. Memang benar kerajaan Islam di Aceh pernah berjaya di masa silam seperti kerajaan Pasai dan Kesultanan Aceh. Bahkan karena sangat religiusnya kesultanan Aceh, disematkanlah gelar “Serambi Makkah”. Yang artinya Aceh adalah bagian dari Makkah sebagai bibit awal kemunculan Islam. Memang tidak dipungkiri, di masa kesultanan Aceh muncul banyak sekali nama-nama ulama besar seperti Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf Sinkel, Syamsuddin Sumatrani dan lain sebagainya. Merasa jauh dari nilai-nilai Islam inilah kemudian spirit kembali ke hukum syariat menguat. Disamping mulai kuatnya kelompok-kelompok Islam transnasional di Aceh. Padahal, sebenarnya Aceh pernah memiliki riwayat mengerikan terkait konflik berlatar agama. Yakni disaat Hamzah Fansuri yang berfaham Wahdat al-Wujud menjadi mufti Kesultanan Aceh, digantikan oleh Nuruddin Ar Raniri yang bertasawuf sunni-akhlaki. Pembakaran karya dan pembantaian manusia adalah rekam sejarah yang tidak pernah bisa dilupakan. Romo Magnis, sering mengingatkan bahwa hukum yang berdasar pada norma agama akan sangat bermasalah bila diterapkan pada masyarakat yang majemuk. Hal ini disebabkan karena setiap kelompok keberagamaan menginginkan keyakinan dan tata nilai agamanya untuk diadopsi. Batas-Batas Aurat yang Masih Kabur Persoalan kontrol atas tubuh perempuan pada penerapan aturan “berbusana Islami” semakin diperparah dengan batas-batas aurat yang masih kabur. Fakta lapangan mendiskripsikan bahwa antara satu polisi syariat, Wilayatul Hisbah (WH), dengan polisi yang lain memiliki gambaran yang berbeda soal bagian tubuh yang termasuk aurat. Lekuk tubuh dan celana di satu sisi dianggap sebagai aurat dan pada kesempatan lain tidak dianggap. Multitafsir seperti ini akan sangat menguatkan diskriminasi antara satu orang dengan yang lainnya. Padahal sebenarnya tata aturan berpakaian itu diperuntukkan untuk laki-laki dan perempuan. Namun demikian selama ini perempuan menjadi objek paling terekspos oleh razia-razia polisi WH. Berikut wawancara oleh Human Rights Watch dengan salah seorang mahasiswi bernama Erni yang terkena razia pada tahun 2010:
Pertama, kelompok yang menyatakan seluruh anggota badan adalah aurat. Quraish Shihab mengutip 3 hadist yang digunakan kelompok yang memiliki argumen tersebut. Meski hadist pertama disebutkan berkualitas shahih namun Quraish Shihab menilai tidak dapat digunakan patokan untuk mencetuskan hukum seluruh anggota adalah aurat. Kemudian hadist yang kedua bernilai lemah. Sedangkan yang ketiga lebih berisi narasi tentang perempuan Arab yang kesehariannya menggunakan penutup tubuh. Namun demikian Quraish Shihab menyaksikan sebab realitanya hal tersebut tidak ditemukan secara absolut, yang ada malah hadist yang menerangkan sebaliknya (Quraish Shihab: 2004, 124-127). Kedua, kelompok yang mengecualikan wajah dan telapak tangan. Setidaknya ada lima hadist yang dikutip oleh Qurais Shihab. Kesemuanya saling menguatkan, meski ulama lain memberikan pemahaman yang lain. Sebagaimana dikutip Quraish Shihab, Muhammad al-Beltagy, Guru Besar dan Ketua Jurusan Syariat Islam Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo, mengemukakan bahwa di Mesir cadar digunakan oleh perempuan di kalangan maju dan kaya. Sedangkan perempuan yang bekerja di perkebunan demikian miskin perkotaan tidak memakainya dan tampil secara terbuka (Quraish Shihab: 2005, 158). Ketiga, pandangan ulama kontemporer. Penulis buku “Jilbab” tersebut mengawali dengan pendapat yang dikemukakan oleh Qasim Amin, pemikir kenamaan Mesir. Pada bukunya yang berjudul “Tahrir al-Mar’ah” disebutkan bahwa nash tidak secara jelas menyebut bagian mana yang termasuk aurat. Maka demikian diperbolehkan menampakkan bagian tubuh, meski kepada mahram. Namun bagian mana yang diperbolehkan juga tidak dijelaskan secara eksplisit. Muhammad Abduh, mufti Mesir saat itu, meski tidak menyatakan secara langsung, ia nampak menyetujui pemikiran Qasim Amin tersebut (Quraish Shihab: 2005, 167-168). Selain dari pemikir Mesir, Quraish Shihab juga menuturkan substansi makalah dari Sarlito Wirawan, seorang psikolog dari Indonesia. Makalah yang disampaikan dalam diskusi ilmiah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 April 1998 menjelaskan bahwa pakaian itu memengaruhi pemakai dan orang yang melihatnya, hanya saja hal tersebut sifatnya subjektif. Bila pakaian yang dipakai terlalu vulgar bisa jadi pemakainya malu dan orang yang melihatnya kemungkinan bisa terangsang. Namun demikian pelajar putri yang memakai pakaian renang, masyarakat Bali primitif masa lalu dan Papua tetap membiarkan dada mereka terbuka dan tidak mengundang rangsangan sekitarnya. Pada kesimpulannya, tata berbusana menurut Quraish Shihab adalah: 1) jangan tabarruj (berlebihan); 2) jangan mengundang perhatian pria; 3) jangan memakai pakaian transparan (Quraish Shihab: 2005, 167-168; 250-254) Fleksibelitas Islam dalam mengatur hal berpakaian serta adanya multitafsir ulama soal pakaian yang menutup memberikan ruang pemahaman yang variatif. Sedikit banyak hal tersebut juga memengaruhi petugas WH dalam menentukan mana pakaian yang sesuai dengan standar syariat. Meski Aceh sendiri telah mulai mendeklarasikan dirinya mengikuti Madzhab Syafi’i, tetapi ulama Syaf’iyah sendiri memberi ruang untuk berbeda pendapat. Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa tubuh perempuan tidak hanya dikontrol oleh konstitusi UU daerah, tetapi juga oleh petugas Wilayah Hisbah (WH). Kebijakan yang Diskriminatif Pada pengamatan Perda ini saya tidak hendak mengatakan ketidaksepakatan saya atas Perda Syariat yang ditetapkan oleh pemerintah Aceh melalui otonomi daerahnya. Namun tidak juga mendukung penerapan Perda tersebut yang ternyata berakhir pada represifitas aparat Wilayah Hisbah. Tetapi saya lebih melihat belum adanya kematangan dalam konsep dan bentuk aplikasi Perda tersebut. Hal demikian tentu akan dimanfaatkan oleh oknum tertentu dan atau akan ditafsirkan dengan tidak tepat oleh petugas. Hal ini ada kalanya disebabkan karena arogansi aparat atau memang wawasan tentang keagamaan yang masih minim. Maka yang dihasilkan adalah perlakuan yang diskriminatif. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa undang-undang tersebut lebih banyak diberlakukan kepada kelompok miskin, terutama perempuan. Perempuan dalam kategori ini adalah mereka yang sering beraktivitas dengan berjalan kaki, bersepeda atau bermotor. Berbeda dengan perempuan dengan strata sosial yang lebih tinggi yang dalam aktifitasnya sering menggunakan mobil. Meski sama-sama tidak mengenakan pakaian Islami, nyatanya perempuan yang menggunakan mobil tidak diberhentikan. Lebih lanjut, bahwa masyarakat miskin lebih banyak jam bekerja di luar dengan kategori kerja kasar. Tentulah ini tidak bisa dibatasi laki-laki saja, tentu perempuan ikut terlibat sebagai penyokong ekonomi keluarga. Namun banyak petugas WH tidak memperdulikan hal tersebut. (Human Rights Watch, 2010: 7) Beberapa hasil wawancara juga menyebutkan bahwa petugas WH cukup selektif dalam melakukam razia. Mereka yang memiliki kedekatan hubungan dengan pejabat atau pegawai daerah dapat lolos begitu saja, bahkan terkesan sengaja dilepaskan oleh petugas. Kepala petugas WH bernama Marzuki menyebutkan, bila diantara kerabatnya terkena razia, cukup ia menyebutkan bahwa dirinya adalah kerabat Marzuki, maka otomatis petugas WH tidak akan menahannya. Seorang narasumber yang diwawancarai Human Rights Watch menuturkan:
Ketidakmatangan dan diskriminasi atas penerapan Perda tentang Qanun Syariat semakin memperjelas terjadinya kontrol atas tubuh. Perempuan menjadi korban dalam segenap tata norma yang dianggap sebagai aturan dogmatis. Bentuk kontrol atas internalisasi ide ini semakin menempatkan posisi perempuan pada apa yang disebut oleh Simone de Beauvoir dengan Second Sex. Bentuk kontrol tubuh ini akan sangat melukai bahkan menyiksa perempuan miskin dan komunitas dunia ketiga, yang meminjam istilah Spivak dengan kelompok “subaltern”. Mereka tidak dapat berbicara, ada namun eksistensinya tidak diakui. Hanya dapat bertahan dengan “etika subversif” ala James Scott, yaitu bertahan dengan kondisi yang sangat minim. Semuanya adalah bentuk pelanggaran kebebasan hak dasar manusia. Negara seharusnya tahu dan segera mengambil tindakan atas penindasan tersebut. Daftar Pustaka: Ani Kurniasih, Jilbab Sebagai Lokus Pengolahan Diri: Sebuah Kajian Otoetnografis, Thesis pada Pascasarjana Jurusan Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogayakarta, 2015. Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, (Surabaya: Insan Cendekia, 2002). Gadis Arivia, Filsafat Berperpektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003). Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media Kekerasan dan Pornografi, (Jakarta: Pustaka Kompas. 2003). Human Rights Watch, Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia (New York: Human Rights Watch, 2010). Kate Millet, Sexsual Politics (New Yor: Garde City, Doubleday, 1970). Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003). Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2004). Zainal Abidin Dkk, Analisis Qanun-Qanun Aceh Berbasis Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Demos, 2011). Perda: Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |