Masih segar dalam ingatan kita, dalam beberapa tahun terakhir ini marak sekali kekerasan seksual terhadap anak dan terhadap perempuan. Kedua hal ini terpisah, antara kekerasan yang terjadi terhadap anak dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Sebenarnya kasus demi kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia, sama sekali bukan hal kontemporer. Kejahatan seksual sudah lama terjadi terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Hanya saja sering terlupakan, timbul tenggelam dalam pemberitaan media massa. Dalam kata lain kekerasan seksual hanya booming ketika terdapat korban, setelah itu selesai, tanpa adanya upaya perbaikan-perbaikan manusianya (masyarakat). Tentu kita menyaksikan dalam pemberitaan media, bahwasannya baru-baru ini presiden Republik Indonesia menandatangani Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 32 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Perppu ini atas dasar menyikapi kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Namun darurat kekerasan seksual tidak hanya terjadi kepada anak-anak, tetapi juga terhadap perempuan. Perppu No. 1 Tahun 2016 merupakan perlindungan anak terhadap kejahatan seksual, lalu Perppu apa untuk perlindungan perempuan terhadap kejahatan seksual? Disisi lain dengan adanya ancaman hukuman kebiri kimiawi di dalam Perppu tersebut, menurut penulis bukan langkah semestinya dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Kemudian keberadaan Perppu ini hanya akan berlaku jika kekerasan seksual terjadi kepada anak-anak. Lalu bagaimana dengan kekerasan seksual terhadap perempuan (orang) dewasa dan bahkan laki-laki dewasa? Bukankah mereka juga butuh perlindungan hukum? Dalam menyikapi kekerasan seksual terhadap anak, UU Perlindungan Anak sudah cukup jelas untuk kita pahami bersama. Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur secara lebih baik dalam arti memberi jaminan terhadap anak-anak untuk tidak mengalami kekerasan seksual, ancaman pidana terhadap pelakunya lebih tinggi, dan terdapat ancaman minimal, bila dibandingkan dengan yang diatur dalam KUHP[1]. Berarti bahwa sudah terdapat jaminan hukum bagi anak-anak Indonesia untuk mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual. Pertanyaannya apakah dengan demikian kejahatan seksual akan berkurang? UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian mengalami perubahan menjadi UU No. 35 Tahun 2014, tidak juga memberikan perubahan signifikan terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sehingga kemudian pemerintah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2016. Materi hukumnya sudah sangat luar biasa baik, terdapat pula tambahan hukuman berupa pemasangan alat deteksi dan hukum kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Perlu menjadi catatan bahwasannya menyikapi perilaku kekerasan dan kejahatan seksual ini bukan semata pada materi penghukuman. Melainkan lebih dari itu, pendidikan moral dalam keluarga, lembaga pendidikan, dan kemasyarakatan juga perlu menjadi perhatian. Misalkan, seseorang yang berasal dari keluarga miskin, tidak bersekolah, keluarganya berantakan, pendidikan moral kurang, tidak memiliki pekerjaan, hal ini juga dapat menjadi pemicu seseorang menjadi pelaku kejahatan (termasuk kekerasan seksual). Jadi menurut hemat penulis, kekerasan dan kejahatan seksual itu merupakan ciptaan dari lingkungan sosial pelaku, bukan persoalan libido yang tidak terkendalikan. Sigmund Freud mengatakan bahwa dorongan libido pada diri manusia selalu menggedor-gedor dan meronta-ronta ingin dilampiaskan[2]. Pada kutipan ini, kata “manusia” perlu digarisbawahi. Manusia berarti semua orang tanpa pengecualian, termasuk saya dan anda adalah manusia. Apakah saya dan anda adalah pelaku kekerasan seksual? Karena alasan itu, kita (manusia) harus dikebiri kimiawi untuk menidurkan libido yang meronta-ronta itu. Pada kenyataannya, tidak semua manusia menjadi pelaku kejahatan seksual. Konteks manusia dalam teori Libido Sigmund Freud adalah general, tidak spesifik. Pada bagian lain tulisannya Freud mengatakan libido dalam diri manusia dapat dilampiaskan dengan berbagai cara, seperti membaca, memasak, bekerja, dan aktivitas lain. Menurut penulis landasan ini tidak dapat menjadi acuan untuk pemberlakuan kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual. Karena pelampiasan libido manusia bukan semata-mata pada aktivitas seksual. Pada sisi lain di dalam Perppu No. 1 Tahun 2016, menurut penulis peraturan ini hanya berorientasi kepada penghukuman pelaku. Sedangkan korban kekerasan seksual terabaikan. Tidak tercantum bagaimana si korban memperoleh keadilan hukum yang seadil-adilnya, tidak tercantum bagaimana langkah pemulihan psikologis dan sosial korban, dan tidak tercantum bagaimana keluarga korban mendapatkan perlindungan (serangan media massa dan lain sebagainya). Dalam UU No. 23 Tahun 2002 ayat (2): “setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.[3] Namun disisi lain, media massa memiliki otoritas dan wewenang untuk publish identitas siapa anak yang menjadi korban dan pelaku. Justru kerapkali korban dan pelaku dikriminalisasi oleh media massa dan media sosial. Tidak lupa dalam ingatan kita kasus perkosaan sadis yang menggunakan gagang cangkul, korban kemudian menjadi meme tren di media sosial. Demikian juga pelaku yang masih duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) menerima hujatan di media sosial. Patut dipertanyakan perasaan empati masyarakat kita yang terepresentasi oleh media sosial. Like dan share yang dengan gampang dilakukan, merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat kita belum teredukasi dalam menggunakan media sosial. Bagaimana perasaan keluarga korban, atau bahkan keluarga pelaku? Dalam hal ini penulis melihat bahwa penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab juga menimbulkan pelaku-pelaku baru atas kasus kekerasan seksual yang terjadi. Bagaimana pemerintah menyikapi hal ini? Apakah dengan hukuman kebiri kimiawi, kemudian kejahatan seksual akan selesai, atau setidaknya menurun? Berdalih kebiri kimiawi ini merupakan suatu tindakan terapi, itu sangat tidak benar. Memasukkan cairan kimia ke dalam tubuh orang yang tidak sakit, menurut hemat penulis adalah bentuk penyiksaan, terlebih terdapat unsur pemaksaan. Dalam penjelasan Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa setiap manusia memiliki non-derogable rights, satu diantaranya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan[4]. Manusia tidak terlahir sebagai penjahat. Tetapi setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi penjahat. Pemberlakuan hukuman kebiri kimiawi ini adalah bentuk kriminalisasi balik kepada pelaku. Sehingga yang tadinya orang itu sebagai pelaku, menjadi sebagai korban karena pemberlakuan hukuman kebiri ini. Sedangkan pembenahan lingkungan sosial, lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga yang merupakan tempat bernaung anak-anak seakan diabaikan. Perlindungan anak-anak hanya berfokus kepada tindak penghukuman terhadap pelaku saja, sedangkan antisipasi agar tidak terdapat korban masih belum terealisasi. Menyikapi kekerasan seksual (baik yang terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa) merupakan upaya kita bersama agar tidak terdapat korban yang berjatuhan. Revitalisasi masyarakat kita yang cenderung individualis menjadi catatan penting dalam memerangi kejahatan seksual. Dengan kepedulian terhadap sesama, saling melindungi, konsep mengasihi satu sama lain akan menjadi pemicu perdamaian, sehingga kekerasan dan kejahatan seksual akan terperangi. Catatan Akhir: [1] Irianto, Sulistyowati, "Hukum yang Tak Peduli Korban". Jurnal Perempuan. Edisi November 2011. Hal. 41-52. [2] Yuwono, Ismantoro Dwi, 2015, Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. [3] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. [4] Dewi, Kurniasari Novita, 2015, HAM dan Politik Internasional: Sebuah Pengantar oleh Ani W. Soetjipto (ed). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
sita van bemmelen
29/6/2016 11:38:21 am
Terima kasih Nikodemus Niko, telah mengangkat persoalan kekerasan seksual dari perspektif pelaku. Pelaku kejahatan seksual adalah manusia, seperti anda menggarisbawahi. Hak asasi manusianya, bebas penyiksaan, tetap berlaku dan harus dihormati. Menjatuhkan hukuman kebiri terkesan kebijakan 'darurat', guna memenuhi keinginan masyarakat akan adanya tanda bertindak pemerintah. Persoalan dasar: masih ada orang, sebagian besar laki-laki sayangnya, yang tidak menghormati hak perempuan dan anak. Mendorong perubahan mindset tentang itu merupakan kewajiban, baik dari pihak pemerintah maupun tokoh agama dan masyarakat, dan komunitas. Trims atas sumbangan pemikiran Anda 18/8/2017 10:32:39 am
Terima kasih atas posting Anda yang luar biasa! Saya sangat menikmati membacanya. Anda mungkin seorang penulis hebat. Saya pasti akan sering berkunjung ke website anda. Saya berterima kasih jika anda meluangkan waktu untuk berkunjung ke website saya. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |