Apa yang ada dalam pikiran kita ketika kita menyaksikan pembunuhan masal? Tidak beradab dan aksi terorisme. Inilah yang terjadi di sebuah klub malam di Orlando, Florida, US beberapa hari lalu. Portal berita luar negeri, NBC News menyebutkan terdapat 50 orang meninggal dan 53 orang terluka dalam tragedi itu, dan disebutkan “deadliest mass shooting in U.S. history”. Ini berarti aksi terorisme pertama kalinya yang menelan korban paling banyak di US. Hal ini merupakan sebuah tragedi kemanusiaan, terlepas dari siapa yang menjadi korban. Namun tak sedikit diantara kita (orang Indonesia) yang mengamini tragedi ini, merespons karena LGBT selayaknya, sepantasnya, sepatutnya layak diperlakukan seperti itu. Saya menilai bahwa respons seperti ini merupakan suatu ancaman bagi kelompok LGBT di Indonesia. Bolehkah sejenak kita merespons sebuah kejadian tanpa melihat identitas? Mereka merupakan manusia, yang seharusnya hidup aman dan damai, terlepas dari orientasi seksualnya. Saya tidak mengatakan bahwa semua orang Indonesia membenarkan tragedi ini, bahwasanya terdapat kelompok-kelompok yang mengutuk kejahatan kemanusiaan itu. Termasuk saya pribadi, sangat mengutuk tragedi ini. Tragedi ini merupakan sebuah aksi terorisme, dimana terdapat korban berjatuhan. Teroris sendiri menggunakan kekerasan untuk menarik perhatian akan maksud atau alasan dibalik tindakan mereka. Ibarat bom waktu, aksi teroris dapat terjadi kapan pun dan di mana pun, tanpa dapat kita prediksi. Aksi ini merupakan ancaman serius bagi keamanan internasional dan nasional. Terorisme memang bukan satu-satunya ancaman terhadap keamanan global dalam konteks human security, tetapi aksi terorisme juga patut diperhitungkan dalam mengancam keamanan hidup kelompok tertentu (human security dalam konteks lokal dan nasional). Terdapat tipologi terorisme menurut Gregory D. Miller yaitu terorisme separatis-nasional, terorisme revolusioner, terorisme reaksioner, dan terorisme religius (Winarno, 2014). Pendapat saya, aksi terorisme di Orlando termasuk di dalam tipologi terorisme reaksionisme. Kelompok teroris ini memang berjumlah kecil dan sulit untuk di lacak keberadaannya. Mereka ini reaktif terhadap isu-isu yang mengemuka, dan ini merupakan reaksi atas keberadaan kelompok LGBT di Orlando, bisa saja dari kelompok anti-LGBT. Miller (dalam Winarno, 2014) menegaskan bahwa kelompok teroris ini melakukan aksi teror dengan cara membunuh orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan pikiran mereka. Benar adanya, aktor teroris ini membunuh dengan brutal orang-orang tanpa alasan. Kelompok “anti” ini memang tidak terorganisir, tetapi mereka akan meniru aksi yang sama untuk mencapai tujuan mereka—yang notabenenya adalah sama pula. Hal ini menunjukkan bahwa tragedi Orlando ini dapat menjadi pintu bagi aksi terorisme lainnya di berbagai belahan dunia, terlebih di Indonesia, dimana terdapat sejumlah besar kelompok anti LGBT (homophobia). Berarti bahwa terdapat ancaman serius bagi kelompok LGBT di Indonesia, karena aksi teror serupa bisa saja terjadi oleh kalangan “anti” ini. Meskipun pelaku teroris di Orlando tidak terdapat hubungan dengan kelompok homophobia di Indonesia, tetapi aksi serupa dapat saja dilakukan dengan tujuan serupa pula. Pada dasarnya terorisme terhadap kelompok LGBT sudah berlangsung sejak lama di Indonesia. Bagaimana bisa? Menurut Wilkinson (dalam Winarno, 2014) yang mengkategorisasikan terorisme menjadi empat tipe, yaitu: (1) kriminal, (2) psychi, (3) perang, (4) political. Dalam hal ini saya cenderung melihat aksi teror yang terjadi di Indonesia adalah tipe yang pertama dan kedua, dimana tidak sedikit anggota kelompok LGBT yang dikriminalkan (mengalami kekerasan, dan lain-lain), dan kerapkali diserang secara psychi (dianggap menyimpang, sakit jiwa, dan lain-lain). Hal ini merupakan aksi terorisme yang dilakukan oleh berbagai kalangan homophobia terhadap kelompok LGBT di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa kelompok “anti” ini sangat membenci LGBT. Terlebih lagi, tidak ada payung hukum yang menjamin keberadaan kelompok LGBT di Indonesia, sehingga tindakan kriminal (teror) itu bisa dari kalangan apa saja. Karena aksi teroris ini menginginkan perhatian, dan mereka ingin semua orang tahu apa yang mereka maksud dan mereka mau. Seperti pendapat ahli media dan terorisme, Brigitte Nacos (dalam Winarno, 2014), “Terrorists do not win the hearts of...the people their target and even not those who look on in the international realm”. Realitas ini sudah seharusnya menjadi pembuka mata pemerintah Indonesia untuk membuat suatu regulasi konkret untuk perlindungan bagi kelompok LGBT. Bahwa tragedi Orlando dapat menciptakan iklim sosial baru, yang mana kekerasan dan kriminal mengancam anggota kelompok LGBT. Negara tidak seharusnya diam saja atas ketidakamanan yang dirasakan oleh salah satu kelompok warganya, terlebih mereka adalah kelompok minoritas. Bahwasannya siapapun korban dan pelakunya, aksi terorisme merupakan musuh kita bersama. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |