![]() Judul Buku : Politik Hukuman Mati di Indonesia Editor : R. Robet dan Todung Mulya Lubis Penerbit : Marjin Kiri, Tanggerang Cetakan : I, Maret 2016 Halaman : 292 hlm Hukuman mati di Indonesia masih tetap dipertahankan meski banyak penolakan dari masyarakat internasional, terutama dari negara yang sudah menghapus hukuman mati. Data yang dilansir dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa sejak Desember 2014, 160 dari 193 negara anggota PBB telah menghapus hukuman mati, dan memberlakukan moratorium. Bahkan dalam sebuah forum terbuka, Sekjen PBB, Ban Ki-Moon mengatakan dengan tegas hukuman mati tidak memiliki tempat di abad ke-21.
Di tengah menguatnya dukungan dari berbagai negara di dunia untuk menghapus hukuman mati, Indonesia tetap mempertahankan hukuman mati secara legal. Peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati diantaranya, KUHP, UU Narkotika, dan UU Anti terorisme. Alasan utama hukuman mati tetap diberlakukan karena masih kuatnya kepercayaan pemerintah dan juga masyarakat bahwa hukuman mati akan memberikan efek jera dan efek penggentar (general deterrence). Dengan sanksi hukuman mati, diharapkan memberi rasa takut di kalangan pelaku kejahatan agar tidak terulang di masa depan. Inilah alasan yang seringkali disampaikan oleh Presiden Jokowi untuk tetap melanjutkan eksekusi terpidana hukuman mati dan menolak permohoan grasi yang diajukan para tersangka. Sikap “tegas” Presiden Jokowi mendapat dukungan luas dari masyarakat dengan minimnya suara protes atas hukuman mati (berkaitan dengan presentase masyarakat yang pro dan kontra perlu diteliti lebih lanjut). Namun jika hendak dikaji lebih mendalam, benarkah hukuman mati dapat meminimalisir tindakan kejahatan? Buku Politik Hukuman Mati di Indonesia yang ditulis oleh lintas akademisi ini memberikan penjelasan bahwa efek jera yang “dijanjikan” dari hukuman mati hanyalah mitos. Hukuman mati tidak lepas dari konfigurasi politik yang mempengaruhi. Hal ini tampak dari diskursus hukuman mati yang didominasi oleh elit, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dalam artian, belum ada keterbukan pemerintah untuk membahas hukuman mati ini melibatkan masyarakat luas, terutama pihak-pihak yang menolak hukuman mati. Buku ini diawali oleh tulisan Wilson yang meninjau hukuman mati persepektif historis. Artikel yang berjudul "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati" membahas praktik hukuman mati dari zaman kerajaan, masa penjajahan, hingga pasca Indonesia merdeka. Dalam artikel ini, Wilson memaparkan bahwa hukuman mati yang bersifat kejam sudah ada sejak zaman feodalisme kerajaan yang pernah besar di Nusantara pada abad ke-16, seperti kerajaan Mataram di Jawa dan kerajaan Islam Aceh di Sumatera. Pada masa kerajaan, hukuman mati dikenakan bagi mereka yang memberontak sang raja. Melalui hukuman mati, raja membangun legitimasi kekuasaannya sehingga rakyat bisa tunduk dan patuh. Kemudian hukuman mati berlanjut diterapkan oleh Belanda di era VOC dan melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Tujuan hukuman mati sejak dulu sama, yakni menegakkan supremasi ekonomi-politik dan supremasi moral penguasa untuk melakukan “kontrol” atas tertib sosial dan politik (hlm. 4). Sedangkan Iqrak Sulhin mengulas hasil penelitian yang pernah dilakukan di Amerika Serikat tentang hukuman mati. Melalui artikel berjudul Mitos Penggentar Hukuman Mati, Sulhin menemukan bukti empiris berupa hasil riset di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa ancaman hukuman mati, bahkan pasca eksekusi sekalipun tidak serta merta menurunkan angka kejahatan. Salah satu riset yang diulas hasil penelitian Radelet dan Lacock yang dituangkan dalam artikel “Do Executions Lower Homicide Rates? The Views of Leading Criminologists”.Temuan menarik penelitian yang dilakukan tahun 2009 itu menunjukkan hanya 2,6% dari responden yang setuju dengan pernyataan bahwa eksekusi mati memberikan efek penggentar, dan 86,9% lainnya tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Jadi, mayoritas kriminolog Amerika Serikat meyakini bahwa hipotesis penggentarjeraan hanyalah mitos dan tidak memiliki bukti yang akurat (hlm. 95). Artikel lain yang lebih reflektif ditulis oleh Todung Mulya Lubis. Artikel ini berada di urutan terakhir, seakan menjadi penanda bahwa sudah waktunya hukuman mati diakhiri di Indonesia. Dalam artikel berjudul "Hukuman Mati dan Tantangan ke Depan: Suatu Studi Kasus tentang Indonesia", pengacara dan aktivis HAM ini memberikan catatan penting kenapa hukuman mati mesti dievalusi dan direkomendasikan untuk dihapus dalam sistem hukum Indonesia. Beberapa argumen yang diajukan, diantaranya: Pertama, hukuman mati bertentangan dengan HAM, padahal konsitutsi Indonesia berupa UUD 1945 mengakui dengan tegas bahwa HAM tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Kedua, tidak ada bukti hukuman mati berdampak mencegah kejahatan. Sehingga dalih hukuman mati dapat membawa efek jera tidak memiliki pondasi yang kuat. Ketiga, risiko salah menghukum. Dalam kasus ini, Lubis mencontohkan kasus yang menimpa Sengkon dan Karta yang dihukum karena pembunuhan yang tidak pernah mereka lakukan. Keempat, korupsi hukum, di kalangan para hakim, pengacara, jaksa dan polisi masih marak tindakan korupsi. Kultur lembaga peradilan yang koruptif akan membuat proses hukum cacat dan tidak adil (hlm. 263-365). Kesembilan artikel yang ada dalam buku ini membangun narasi yang sama, bahwa hukuman mati di Indonesia selama ini ditopang oleh dasar yang tidak kokoh. Namun karena ortodoksi dalam pandangan hukum, hukuman mati tetap dipaksa menjadi bagian dari sanksi hukum yang ada di Indonesia. Buku ini mengajak pemerintah dan masyarakat untuk mendiskusikan kembali hukuman mati sebagai diskursus terbuka. Jika memang pemerintah meyakini bahwa hukuman mati dapat membawa efek jera, sudah semestinya keyakinan itu ditopang dari riset yang kredibilitasnya dapat diuji, bukan hanya sekadar dari asumsi politik semata. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |