Witriyatul Jauhariyah (Mahasiswi Jurusan Islam dan Kajian Gender Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] Pendahuluan Kasus kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini bagaikan fenomena gunung es, sejak kasus Yuyun mulai mencuat, rentetan kasus kekerasan seksual mulai muncul ke permukaan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (Catahu) tahun 2016, yang diluncurkan setiap tahun untuk peringati Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret, mencatat beragam kasus peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tahun 2015. Komnas Perempuan memberikan catatan penting dan menyimpulkan bahwa pada tahun 2015 kekerasan terhadap perempuan memperlihatkan pola meluas, sehingga penting agar negara hadir secara maksimal untuk terlibat dalam pencegahan, penanganan, serta tindakan strategis untuk menjamin rasa aman perempuan korban kekerasan. Temuan Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah domestik atau rumah tangga maupun dalam relasi perkawinan, tetapi juga terjadi meluas di masyarakat umum maupun yang berdampak dari kebijakan negara.[1] Kasus Yuyun misalnya adalah potret nyata kekerasan seksual pada anak perempuan, ia adalah seorang pelajar Kelas 2 SMPN 5 Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang diperkosa oleh empat belas pemuda dibawah umur dua puluh tahun seusai pulang sekolah. Secara bersama-sama para pelaku yang habis pesta minuman keras (tuak) menyekap, memperkosa secara bergiliran, memukuli, mengikat dan membuang mayatnya ke dalam jurang. Menurut Kapolsek Padang Ulak Tanding AKP Eka Chandra para pelaku mengaku sering menonton film porno yang diputar melalui DVD di rumah dan telepon genggamnya.[2] Manajer Program Cahaya Perempuan Women Crisis Center, Juniarti menyebutkan sepanjang 2016, terdapat 36 kasus kekerasan anak dan perempuan yang terjadi. Sebelumnya, di Kabupaten Rejang Lebong pada tahun 2015, peristiwa kekerasan mencapai 84 kasus dan menurutnya pemberlakuan darurat kekerasan anak dan perempuan wajib dilakukan Pemda Rejang Lebong agar Pemda memiliki arah dan tujuan jelas dalam penuntasan persoalan ini[3]. Kasus kekerasan seksual lain yang cukup sadis yaitu kisah seorang gadis berumur delapan belas tahun bernama Eno Parihah yang diperkosa oleh tiga pemuda di Tangerang. Gadis ini dibunuh di asramanya. Pelaku sengaja membunuh Eno setelah diperkosa sebab pelaku khawatir dilaporkan ke pihak berwajib. Mereka membunuh Eno dengan cara memasukkan gagang cangkul ke liang vaginanya hingga menembus paru-parunya[4]. Kasus Yuyun dan Eno ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh kekerasan seksual yang terjadi pada anak perempuan di negri ini. Salah satu penyebabnya adalah budaya patriarki yang masih subur di masyarakat. Anak laki-laki diajarkan dengan ego maskulinitas sementara femininitas diabaikan dan di anggap sebagai sifat yang nista. Para orang tua sangat bangga ketika anak laki-laki mereka mempunyai sifat maskulin, macho dan jantan. Sementara mereka diolok-olok jika anak laki-laki mempunyai sifat feminin. Sebagai contoh, masyarakat seperti membiarkan jika ada laki-laki bersiul dan menggoda kaum hawa yang melintas di jalan, tindakan mereka seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab sebagai laki-laki mereka beranggapan harus berani mengahadapi perempuan, laki-laki dianggap sebagai kaum penggoda sementara kaum hawa adalah objek atau makhluk yang pantas digoda dan tubuh perempuan dijadikan sebab dari tindakan kekerasan itu sendiri. Dalam bukunya Gender Trouble, Judith Butler menjelaskan, dalam kerangka heterosexual matrix, jenis kelamin kita sudah ditentukan secara biologis. Dengan kata lain, jenis kelamin kita baik perempuan atau laki-laki berdasarkan konvensi budaya dan bahasa yaitu feminin dan maskulin. Jadi, yang menentukan apakah seseorang itu feminin atau maskulin adalah konstruksi sosial dan budaya berdasarkan jenis kelamin kita pada saat kita dilahirkan. Maka gender (maskulin dan feminin) adalah konstruksi sosial[5]. Jika maskulin dan feminin adalah konstruksi sosial, maka konsekuensi logis atas kekerasan seksual terhadap perempuan juga merupakan kostruksi sosial. Artinya, tindakan kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan adalah sesuatu yang bisa dibentuk, dipelajari dan ditiru secara individual dan sosial. Jika kekerasan seksual terhadap perempuan adalah konstruksi sosial, mestinya tindakan tersebut dapat direkonstrusi sehingga dapat dihentikan. Namun pada kenyataannya, mengapa kekerasan seksual terhadap perempuan semakin marak? Dan apa penyebab dibalik suburnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan? Untuk itu, tulisan ini mencoba mencari akar kekerasan seksual terhadap perempuan dan dapatkah kekerasan seksual terhadap perempuan hentikan? Seks, Seksualitas dan Gender Seks adalah perbedaan biologis perempuan dan laki-laki, yang sering disebut jenis kelamin yaitu penis untuk laki-laki dan vagina untuk perempuan. Jadi jelas bahwa Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara fisik yang melekat pada masing-masing jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan tidak dapat dipertukarkan. Maka perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan mutlak.[6] Sementara seksualitas menurut WHO adalah suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi[7]. Seksualitas menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk prilaku yang beraneka ragam. Seksualitas adalah tentang bagaiamana seseorang mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai makhluk seksual. Maka tidak ada istilah normal atau abnormal dalam perspektif seksualitas. Seksualitas berbeda dengan seks, ia merupakan sesuatu yang kompleks dan sensitif. Ruang lingkupnya lebih luas, tidak hanya pada aspek biologis, tetapi meliputi perilaku, sikap, kepercayaan,nilai-nilai dan norma serta orientasi. Sifatnya yang sensitive karena menyangkut hal yang pribadi, sementara kompleksitasnya meliputi aspek kehidupan seperti keluarga, agama, pendidikan, gender, hukum dan lain-lain. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual, identitas peran atau jenis. Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks. Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.[8] Sementara Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan cirri-ciri manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya, dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Oakley (1972), mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Senada dengannya, Mansour Fakih, dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menjelaskan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.[9] Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor non biologis lainnya yang dapat dipertukarkan. Dari sini juga nampak perbedaan antra sex dan gender. Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang. Menurut Rubin dalam esainya Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality, gender dan seksualitas mempunyai persamaan, keduanya merupakan konstruksi sosial dan mempunyai basis biologis pada seks, bersifat politis, yaitu pengorganisasian ke dalam sistem kekuasaan, yang mendukung dan menghargai individu serta kegiatan tertentu, sembari menekan dan menghukum yang lainnya. Antara seksualitas dan gender jelas berhubungan, bahkan perkembangan sisitem seksual mengambil tempat dalam konteks hubungan gender. Tetapi keduanya bukan hal sama karena terbentuk dari basis sosial yang berbeda. [10] Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial, kultural, melalui ajaran agama maupun negara. Masyarakat, Negara dan ajaran agama turut serta menciptakan sikap dan prilaku berdasarkan gender. Konsep gender yang selama ini berkembang dalam masyarakat telah menciptakan ketimpangan dan menjadi akar dari budaya patriarki. Perempuan dibentuk dan didefinisikan sebagai makhluk yang lemah dan emosional, sementara laki-laki makhluk yang kuat dan rasional. Perbedaan konsep gender secara sosial ini telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat, serta menyebabkan ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki. Laki-laki diberi beban yang sangat berat dalam tatanan sosial masyarakat. Definisi dan ciri-ciri maskulin yang dibentuk telah menempatkan laki-laki sebagai super power, mendapat beban yang sangat berat, untuk itu ia berhak mendominasi baik dalam keluarga maupun masyarakat. Maka, jika laki-laki gagal menjalankan perannya, maka ia dianggap sebagai makhluk lemah dan mendapat posisi yang rendah dalam masyarakat. Sementara dampak ketidakadilan gender dalam masyarakat yang sangat patriarkis lebih dirasakan oleh kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Akses perempuan dalam segala aspak menjadi sangat terbatas dan menempatkan mereka pada posisi subordinat. Mereka tidak mempunyai tanggung jawab besar dalam keluarga dan masyarakat, dan mau tidak mau perbedaan perlakuan tersebut dapat membentuk mereka menjadi makluk yang (di)lemah(kan). Konsep perbedaan gender yang telah diwariskan secara turun temurun, telah melahirkan karakter yang menuntut seseorang berpikir, bersikap dan bertindak berdasarkan definisi dan ciri-ciri sesuai dengan ketentuan sosial budaya dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh, laki-laki sejak kecil diajarkan untuk menjadi pelindung dan kepala keluarga, dibekali ilmu bela diri dan pendidikan yang tinggi, sementara perempuan diajarkan sebaliknya. Maka tak heran jika perempuan menjadi korban kekerasan laki-laki sebab kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan kekerasan yang berbasis gender. Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (Gender Based Violence) Kekerasan adalah penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah. Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. [11] Kekerasan seksual termasuk dalam ruang lingkup pelecehan seksual, yaitu segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehinga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi, perbuatan seperti main mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual hingga perkosaan. Jadi kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah terhadap hal-hal yang berdasar pada perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Bentuk kekerasan seksual atau bentuk kekerasan lain yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan tak lain merupakan bentuk ekspresi maskulinitasnya dalam relasi atau interaksinya dengan perempuan. Sebagian laki-laki menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan merupakan bentuk kemampuan dalam mendominasi dan mengendalikan orang lain. Menurut Michael Kaufman seorang aktivis di Kanada yang memimpin kampanye "Pita Putih", mengungkapkan faktor-faktor di balik kekerasan terhadap perempuan, dengan merujuk kepada apa yang ia sebut sebagai malapetaka (kekuasan yang dimiliki oleh laki-laki menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri) dan amunisi di dalamnya. Sedikitnya ada tiga faktor berkaitan yang merupakan amunisi laki-laki dalam memperlihatkan kekuasaan dan otoritasnya, yaitu (a) kekuasaan patriarki (patriarki power), (b) hak-hak istimewa (privilege), (c) sikap yang permisif (permission).[12] Dari sini nampak jelas bahwa kekuasaan patriarki menjadi pemicu utama dibalik diskriminasi atau kekerasan terhdap perempuan. Dalam budaya patriarki, terjadi subordinasi dan kesenjangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan serta dominasi. Budaya patriarki diperkuat melalui institusi baik sosial maupun politik. Negara juga ikut andil dalam pelegalan budaya ini, sebagai contoh nampak dalam undang-undang perkawinan yang melegalkan pernikahan poligami sekalipun dengan syarat tertentu. Poin kedua, yaitu hak-hak istimewa (privilege), sebagai contohnya adalah hak-hak istimewa dimiliki oleh laki-laki sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, mereka bebas bermain di luar rumah, jenis permainan pun berbeda dan cenderung ekstrem, jika anak laki-laki bisa sekolah sampai ke luar negeri. Dalam ranah publik misalnya, setelah mereka berkeluarga, rapat RT dan rapat lain dalam menentukan kebijakan desa sarat didominasi laki-laki, sekalipun kepala rumah tangganya adalah seorang perempuan (Ibu). Sikap permisif (membolehkan) tindakan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan yang biasanya dianggap wajar dalam masyarakat. Contoh sederhana, pemukulan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya masih dianggap persoalan privat bagi masyarakat tertentu, dan itu dianggap lazim manakala terjadi perselisihan atau pertengkaran dalam rumah tangga. Tentu sangatlah wajar jika sikap permisif ini tetap dipelihara akan menimbulkan efek negatif, tindakan kekerasan atau pelecehan yang dilakukan laki-laki dianggap persoalan privat dan wajar terjadi. Kekerasan terhadap perempuan senantiasa langgeng terjadi sebab perempuan dengan tubuhnya yang khas dipahami sebagai makhluk sekunder, objek, dapat diperlakukan seenakknya dan dapat menjadi hak milik. Dalam berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, kita dapat melihat beberapa faktor yang mendasari tindakan tersebut, antara lain: a) Karakteristik fisik dan reproduksinya perempuan memang lebih mudah menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, seperti perkosaan atau penghamilan paksa; b) Dalam relasinya dengan laki-laki, pemaknaan sosial dari perbedaan biologis tersebut menyebabkan memantapnya mitos, streotipe, aturan, praktik yang merendahkan perempuan dan memudahkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat berlangsung dalam keluarga dan relasi personal, bisa pula di tempat kerja atau melalui praktik-praktik budaya; c) Dari sisi ekonomi, perempuan dapat dijadikan sarana pengeruk keuntungan, sehingga merebaklah pelacuran, perdagangan perempuan (woman trafficking), atau pornografi; d) Kekerasan terhadap perempuan sekaligus dapat digunakan sebagai sarana terror, penghinaan, atau ajakan perang pada kelompok lain. Kesucian perempuan dilihat sebagai kehormatan masyarakat, sehingga penghinaan atau perusakan kesucian perempuan akan dipahami sebagai penghinaan terhadap masyarakat.[13] Lalu apakah kekerasan terhadap perempuan dapat dihentikan? Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan bagaimana keadilan dalam masyarakat ditegakkan. Keadilan terhadap perempuan akan sulit ditegakkan jika budaya patriarki masih berlaku dalam segala aspek kehidupan dalam masyarakat. Budaya patriarki tersebut disadari atau tidak telah merongrong hak asasi dan ketentraman bagi perempuan. Sekalipun dalam konferensi HAM PBB di WINA (1993)[14] mengeluarkan deklarasi dan program aksi yang menegaskan dua butir penting berikut: a) Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta penghapusan dan diskriminasi berdasar jenis kelamin, merupakan tujuan utama masyarakat sedunia; b) Kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya, tidak sesuai dengan martabat danharga diri manusia, serta harus dihapuskan. Pasal 1 dalam deklarasi tersebut menyebutkan :
Maka kesadaran dari semua pihak baik individu, masyarakat, dan Negara untuk mendobrak budaya patriarki menjadi salah satu kunci besar dalam menghentikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi marak terjadi. Jika budaya patriarki tidak dapat dihapuskan maka harapan berakhirnya kekerasan seksual terhadap perempuan hanya isapan jempol belaka. Kesimpulan Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan universal. Tidak hanya endemis tetapi juga pervasive dan berulang-ulang terjadi dimana-mana dalam kurun waktu yang sangat panjang. Di balik suburnya kekerasan seksual terhadap perempuan adalah disebabkan budaya patriarki yang menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan dalam masyarakat. Ketidakadilan dalam masyarakat dapat kita lihat dari praktik perlakuan hak istimewa terhadap laki-laki. Sejak kecil laki-laki diajarkan agar mepunyai sifat yang berani, kuat, tangguh sehingga sifat tersebut selalu ingin mereka tampakkan kepada siapapun. Sifat kejantanan yang dimilki oleh laki-laki seolah-olah menjadi kebanggaan yang mereka dan diekpresikan dalam bentuk antara lain pelecehan terhadap perempuan. Kekerasan seksual terhadap perempuan mustahil untuk dihentikan apabila keadilan sulit ditegakkan. Apabila budaya patriarki senantiasa direproduksi dan dilanggengkan baik oleh individu, keluarga, masyarakat, serta Negara yang dikemas dan disosialisasikan melalui undang-undang, maka diskriminasi akan tetap berlaku dan menimbulkan ketidakadilan, baik berupa kekerasan maupun tindakan yang lainnya. Kuncinya adalah, kekerasan seksual dapat dihentikan jika masyarakat dan Negara dapat menghentikan ketidakadilan dan menghapus budaya patriarki. Daftar Pustaka: Butler, Judith, 2002, Gender Trouble. New York: Taylor & Francis e-Library. Fakih, Mansour, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset. Jurnal Perempuan 26, 2002, "Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan", Jakarta, YJP Press. Suryakusuma, Julia, 2012, Agama Seks dan Kekuasaan (Kumpulan Tulisan, 1979-2012), Depok, Komunitas Bambu. The Vienna Declaration And Programme Of Action, United Nations, 1993. Sumber Internet: https://m.tempo.co/read/news/2016/05/03 https://beritagar.id/artikel/berita/rahmat-alim-pembunuh-eno-yang-pendiam-dan-irit-bicara http://www.komnasperempuan.or.id http://www.kompas.com http://www.unesco.org/jakarta Catatan Akhir: [1]http://www.komnasperempuan.co.id. diakses pada 18 Mei2016 pukul 12.00 WIB [2] https://m.tempo.co/read/news/2016/05/03 diakses pada 10 Mei 2016 pukul 16.30 WIB [3] http://www.kompas.com diakses pada 10 Mei 2016 pukul 15.40 WIB [4] https://beritagar.id/artikel/berita/rahmat-alim-pembunuh-eno-yang-pendiam-dan-irit-bicara diakses pada 19 Mei 2006 pukul 13.51 WIB [5] Butler, Judith, 2002, Gender Trouble. New York: Taylor & Francis e-Library [6] BKKBN 2006. http://www.bkkbn.go.id diakses pada 10 Mei 2016 Pukul 12.14 WIB [7] Word Health Organization (WHO) https://www.who.int/2013 diakses pada 16 Mei 2016 pukul 16.15 [8] BKKBN 2006. http://www.bkkbn.go.id [9] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 1999. hal 5-7 [10] Julia Suryakusuma, 2012, Agama Seks dan Kekuasaan (Kumpulan Tulisan, 1979-2012), Depok: Komunitas Bambu, hal: 162. [11] Word Health Organization (WHO) https://www.who.int/2013 diakses pada 16 Mei 2016 pukul 16.30 [12] Jurnal Perempuan Edisi 26, "Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan", Jakarta, YJP Press, hal: 102 [13] Jurnal Perempuan Edisi 26, "Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan", Jakarta, YJP Press, hal: 126 [14] The Vienna Declaration And Programme Of Action, United Nations, 1993 Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |