Vistamika Wangka (Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia) vivi_stt@yahoo.com Pendahuluan: Mengapa Perempuan Bermigrasi? Suatu siang di Hong Kong, tiga tahun yang lalu, saya mendampingi seorang perempuan pekerja rumah tangga (PRT) migran, Yayuk, mengurus dokumennya ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong. Petugas di front office mempersilakan saya masuk, tetapi Yayuk diminta menunggu di ruang tunggu bagian luar. Saya kaget, yang punya urusan bukan saya, mengapa saya yang dipersilakan masuk? Tetapi Yayuk mengingatkan saya dengan lembut, “Memang begitu di sini, beda perlakuan untuk TKW dan non-TKW”. Saat itu saya teringat ucapan Konsul Jenderal KJRI Hong Kong beberapa hari sebelumnya bahwa KJRI adalah rumah bagi semua orang Indonesia. Orang Indonesia yang mana? Perlakuan terhadap perempuan PRT oleh negara mencerminkan bagaimana perspektif negara terhadap PRT migran, warga negara Indonesia yang jumlahnya sangat signifikan di luar negeri. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), PRT migran selalu menempati urutan pertama dari 20 jenis pekerjaan terbesar penempatan tenaga kerja luar negeri. Tahun 2015 terdapat 52.328 PRT baru yang berangkat ke luar negeri, paling tinggi di antara jenis pekerjaan lainnya seperti caregiver (44.941 orang), plantation worker (38.526 orang), dan lain-lain (1). Di Hong Kong sendiri, Departemen Imigrasi Hong Kong merilis total jumlah PRT migran asal Indonesia tahun 2015 sebanyak 150.239 orang, 99% adalah perempuan. Jumlah ini selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Indonesia menempati urutan kedua setelah PRT Filipina yang berjumlah 172.861 (Census and Statistics Department 2016, para. 1). Perempuan Indonesia menjadi PRT migran tidak semata-mata karena pilihan pribadi, tetapi juga akibat dari kebijakan pemerintah yang membuat perempuan terpinggirkan. Secara khusus, pada masa pemerintahan Soeharto, pemerintah menitikberatkan pembangunan yang bergantung pada modal asing baik berupa bantuan maupun utang. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi sasaran empuk imperialisme asing dan sumber kekayaan alam dikuasai perusahaan asing. Indonesia hanya menjadi penyedia bahan mentah karena kekayaan alamnya, buruh murah, sekaligus pangsa pasar yang menggiurkan. Akibatnya, hanya sedikit sektor produksi yang bisa menyerap banyak angkatan kerja, khususnya di perkotaan. Pabrik-pabrik yang terpusat di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar, mengakibatkan munculnya pola migrasi pertama yang sering dikenal dengan nama urbanisasi. Kenyataannya laju urbanisasi tidak disertai dengan kemampuan kota menyerap tenaga kerja, maka persoalan pengangguran semakin susah terpecahkan (Ibad et al. 2015, hal. 15). Ketika kota tidak lagi dapat menyerap tenaga kerja, maka terjadilah migrasi ke luar negeri. Di desa, pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertanian telah memarginalkan perempuan. Perempuan tidak memiliki akses kepemilikan atas tanah, karena tanah pertanian umumnya dikuasai segelintir tuan tanah. Dalam wawancara saya bulan Maret 2016 dengan beberapa perempuan muda pekerja migran di NTT yang telah kembali dari luar negeri, alasan mereka meninggalkan desa untuk menjadi pekerja migran adalah karena di desa tidak ada apa-apa yang bisa dikerjakan. Tidak ada lahan untuk digarap, tidak ada fasilitas sekolah menengah yang bisa mereka masuki, keluarga tidak punya uang untuk membiayai sekolah di kota dan lain-lain. Kalaupun ada kesempatan melanjutkan sekolah, maka kesempatan itu diberikan kepada anak laki-laki karena faktor keamanan atau karena anak laki-laki dianggap akan menjadi kepala keluarga nantinya. Kemiskinan berwajah perempuan, yang antara lain ditandai dengan tetermarginalnya perempuan dari akses terhadap ekonomi produktif dan permodalan, rendahnya akses perempuan terhadap pendidikan, serta rendahnya tingkat daya beli perempuan, membuat perempuan muda dari desa menjadi pekerja migran ke kota-kota maupun ke luar negeri. Ibad et al. (2015, hal. 16) menyatakan pelaku utama migrasi adalah perempuan dan berasal dari keluarga tani miskin di desa yang menjadi buruh migran di negeri lain seperti Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, Singapura, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Korea, dan sebagainya. Kegagalan pemerintah dalam memecahkan masalah pengangguran kemudian menjadikan ekspor manusia sebagai andalan. Hal ini membuat pekerja migran Indonesia dengan keterbatasan pendidikan dan keterampilan, hanya mengisi jenis pekerjaan rendahan dan upah sangat murah seperti pekerja rumah tangga. Dengan demikian, jelas bahwa dalam konteks perempuan PRT migran, tidak terjadi migrasi sukarela (voluntarily migration). Perempuan melakukan migrasi internasional sebagai pekerja rumah tangga karena mereka adalah angkatan kerja terlantar dan termarginal di tanah air, yang tidak memiliki kesempatan dalam proses produksi. Kebijakan Negara Mengenai Penempatan Pekerja Rumah Tangga Migran. Kebijakan negara ikut menentukan betapa migrasi perempuan, khususnya pekerja rumah tangga bukanlah migrasi sukarela. Untuk konteks Hong Kong, pemerintah mewajibkan calon PRT menggunakan jasa pihak swasta yaitu Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), dahulu dikenal dengan nama Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), karena belum adanya kerja sama antar kedua negara. Penempatan oleh pihak swasta ini ditetapkan dan diperkuat melalui undang-undang, khususnya UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Pasal 10 dari Undang-Undang ini, mengatur penempatan oleh pihak swasta. Jika tidak mengikuti aturan ini, maka seorang pekerja migran dianggap pekerja ilegal. Lebih jauh, pemerintah kemudian mengatur penempatan oleh pihak swasta ini dalam berbagai kebijakan, salah satunya dengan mengatur besaran biaya yang harus dibayarkan calon PRT Hong Kong. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) pada tahun 2012 mengeluarkan Keputusan Menteri No. 98 mengenai Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Calon PRT Tujuan Hong Kong. Selain diwajibkan mengikuti penempatan oleh pihak swasta, calon PRT juga dibebankan untuk menanggung biaya penempatan, sebagai berikut: Tabel 1. Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik Negara Tujuan Hong Kong SAR – Pembiayaan yang ditanggung TKI
Dari komponen di atas terlihat bagaimana calon PRT migran, suka atau tidak, wajib menanggung biaya penempatan, bahkan mereka membayar cukup besar uang jasa PPTKIS, dan uang peralatan/praktik selama penampungan, padahal peralatan untuk latihan pekerja rumah tangga biasanya alat-alat rumah tangga (setrika, mesin cuci) yang sudah dimiliki PPTKIS. Komponen ini tidak pernah disosialisasikan kepada calon PRT migran, dan tidak dibayarkan sebelum keberangkatan, sebaliknya dipotong dari gaji bulanan selama beberapa bulan bekerja, umumnya 6 (enam) bulan, dengan jumlah potongan setiap bulan sekitar 90% total gaji bulanan.
Kekerasan Ekonomi Perempuan PRT
Kesaksian dua perempuan PRT di atas dalam film dokumenter pendek Exploited for Profit mewakili pengalaman ratusan ribu perempuan PRT di Hong Kong yang mengalami kekerasan ekonomi akibat kebijakan negara mengenai penempatan. Kekerasan ekonomi terhadap perempuan pekerja migran merupakan bagian dari bentuk kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan bias gender. National Coalition Against Domestic Violence (NCADV) di Washington mendeskripsikan kekerasan ekonomi sebagai kontrol terhadap keuangan korban untuk mencegah mereka mengakses sumber daya, mengontrol pendapatan, mencukupi kebutuhan sendiri, dan memperoleh kemandirian ekonomi. Pelaku kekerasan ekonomi dapat mengontrol dengan cara membatasi pendidikan, pelatihan kerja, dan kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan (NCADV, para 1). Berdasarkan deskripsi ini, menurut saya perempuan pekerja rumah tangga mengalami kekerasan ekonomi karena terlihat aspek kekuasaan dan kontrol berkelindan membatasi perempuan mengakses sumber – sumber finansial. Dalam konteks penempatan pekerja rumah tangga migran di Hong Kong, pemerintah Indonesia memberi angin segar kepada pihak swasta untuk bertindak sewenang-wenang mengintimidasi dan mengeksploitasi perempuan PRT secara ekonomi. PPTKIS, bekerja sama dengan agensi Hong Kong, melakukan berbagai cara untuk mengikat perempuan PRT agar tetap bekerja selama masa potongan, tak peduli seberapa buruk kondisi kerja yang dijalani. Biaya penempatan yang saya tunjukkan diatas, menggunakan kurs HKD 1,100, dan PRT membayarnya dalam bentuk dolar Hong Kong. Hingga kini, perhitungan biaya penempatan belum berubah. Artinya secara langsung terjadi overcharging biaya penempatan karena selisih kurs yang sangat besar (Rp 1 = 1.650 HKD; HKD 13.436 setara dengan Rp 22.169.400). Pihak swasta mengambil keuntungan sekitar 8 (delapan) juta rupiah per PRT yang diberangkatkan. Selain overcharging, PRT migran di Hong Kong juga mengalami bentuk kekerasan ekonomi lainnya seperti mendapatkan gaji di bawah standar gaji minimum yang ditetapkan pemerintah Hong Kong, karena perjanjian antara agensi dengan majikan. Apesnya, mereka dipaksa untuk menandatangani tanda terima dengan angka yang sesuai dengan standar yang berlaku. Yang paling mengenaskan adalah, ketika periode potongan enam bulan berakhir, karena “perjanjian di bawah meja” majikan dengan agensi nakal, PRT dipecat secara sepihak, sehingga dalam kondisi tidak berpenghasilan (akibat pemotongan gaji enam bulan yang mencapai 90% total gaji setiap bulan), PRT migran tanpa pilihan, harus kembali lagi ke agensi untuk mencari pekerjaan baru. Lagi-lagi, agensi membebankan biaya agen yang sangat besar, sehingga dalam setahun atau lebih, PRT migran tidak mendapatkan apa-apa. Semua penghasilan dinikmati oleh agen. Mengapa Perempuan Pekerja Rumah Tangga? Menelisik lebih jauh, kekerasan ekonomi yang dialami perempuan PRT migran akibat kebijakan negara mengenai penempatan oleh pihak swasta terjadi karena jenis pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan perempuan yang tidak ada nilainya. Saptari dan Holzner (2016, hal. 26) menyebutkan di kebanyakan masyarakat ada pembagian kerja seksual dan gender di mana beberapa tugas dilaksanakan oleh perempuan dan tugas lain dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor ideologis di tingkat negara maupun rumah tangga memengaruhi jenis pekerjaan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan. Terdapat stereotip bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan, dan karena itu pembantu/pekerja rumah tangga umumnya perempuan. Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai jenis keterampilan yang telah diperoleh perempuan dari rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan mengasuh anak. Dengan demikian, perempuan tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus agar bisa melakukan pekerjaan ini (Saptari & Holzner 2016, hal. 477- 8). Faktor ideologis ikut juga menentukan status formal pembantu/pekerja rumah tangga. Baik pemerintah maupun para majikan menganggap pembantu berbeda dengan buruh karena hubungan kerja diwarnai oleh hubungan “kekeluargaan”. Pemahaman ini mengakibatkan tidak adanya pengaturan jam kerja bagi pekerja rumah tangga, dibandingkan buruh pabrik. Selain itu kondisi kerja pekerja rumah tangga mengisolasi mereka dari dunia sosial, dan mereka sering diperlakukan sewenang-wenang oleh anggota rumah tangga tempat mereka bekerja (Saptari & Holzner 2016, hal. 479). Pekerja rumah tangga migran terjadi karena meningkatnya penyerapan tenaga kerja pabrik di negara-negara maju, sehingga minat orang menjadi pekerja rumah tangga berkurang. Kondisi ini menyebabkan posisi pekerja rumah tangga diisi oleh perempuan dari negara lain. Ratna Saptari dan Brigitte Holzner menuliskan di negara seperti Singapura, posisi pembantu rumah tangga diisi oleh tenaga kerja migran dari negara lain seperti Sri Lanka, Filipina, Thailand dan Indonesia. Terserapnya tenaga kerja ke pabrik di Singapura mendorong upah pembantu rumah tangga menjadi meningkat dengan kondisi kerja yang lebih baik (Saptari & Holzner 2016, hal. 479). Secara internasional, pengertian pekerja rumah tangga merujuk pada definisi yang ditetapkan International Labour Organization (ILO) dalam Konvensi No. 198 tahun 2011 tentang Pekerjaan Yang Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga. Definisi lengkap ILO mengenai pekerjaan rumah tangga dan pekerja rumah tangga terlihat dalam rumusan berikut: Convention No. 189 defines domestic work as “work performed in or for a household or households”. This work may include tasks such as cleaning the house, cooking, washing and ironing clothes, taking care of children, or elderly or sick members of a family, gardening, guarding the house, driving for the family, even taking care of household pets. Who is a domestic worker? Under the Convention, a domestic worker is “any person engaged in domestic work within an employment relationship”. A domestic worker may work on full-time or part-time basis; may be employed by a single household or by multiple employers; may be residing in the household of the employer (live-in worker) or may be living in his or her own residence (live-out). A domestic worker may be working in a country of which she/he is not a national”. (International Labour Organization 2011, hal. 2) Dari pengertian ini, terlihat jelas ruang lingkup maupun jenis-jenis pekerjaan yang dikerjakan PRT seperti membersihkan rumah, mencuci baju, dan lain-lain. Seorang PRT berada dalam relasi kerja, baik kerja penuh waktu maupun paruh waktu. Rumusan ini juga memberi pengertian mengenai PRT migran sebagai pekerja yang bekerja di negara yang bukan negaranya (country of which she/he is not a national). Pada tulisan ini, saya menggunakan pemilihan kata pekerja (worker) dan migran (migrant) sebagaimana yang dimaksudkan ILO, walaupun Hong Kong secara resmi masih menggunakan istilah pembantu (helper) dan asing (foreign). Pemilihan kata ini penting karena memiliki makna yang berbeda. Pekerja lebih merujuk pada seseorang yang melakukan jenis pekerjaan yang dibayar, sedangkan pembantu berkonotasi tidak profesional dan lebih rendah. Kata “migrant” dalam kamus Merriam-Webster juga merujuk pada posisi seseorang yang berpindah untuk bekerja, sedangkan kata “foreign” hanya mengindikasikan berasal dari tempat atau negara yang berbeda. Gugatan terhadap Pemaknaan Perempuan sebagai Pekerja Rumah Tangga: Pemikiran Iris Young Mengenai Pembagian Kerja Iris Young dalam esainya “Beyond The Unhappy Marriage: a critique of Dual System Theory, mengkritik pandangan feminis Marxis mengenai dual system yang menganalisis ketertindasan perempuan dengan teori Marxisme dan Feminisme. Menurutnya feminisme Marxis kurang memadai melihat ketertindasan perempuan (Tong 2006, hal. 179-180). Dalam esainya, Young mengemukakan tiga argumen utama untuk melihat opresi terhadap perempuan yaitu pembagian kerja, pembagian kerja berdasarkan gender, serta pembagian gender dan kapitalis patriarki. Pembagian Kerja (Division of Labour) Analisis pembagian kerja merupakan kategori sentral material historis feminis untuk mempertajam karakteristik feminis sosialis yang sudah ada sebelumnya. Analisis ini menjadi kritik terhadap feminis marxis yang menjadikan kelas sebagai kategori sentral untuk menganalisis opresi terhadap perempuan. Bagi Young konsep kelas tidak cukup untuk melihat opresi terhadap perempuan, karena “kelas” buta gender dan tidak memberi ruang pada analisis perbedaan dan hierarki gender (Young 1981, hal. 50). Lebih lengkap Young menggambarkan perbedaan analisis kelas dan analisis pembagian kerja berdasarkan tujuannya masing-masing, seperti berikut: Class analysis aims to get a vision of a system of production as a whole, and thus ask about broadest social divisions of ownership, control, and the appropriation of surplus product. At such level, class pertaining to the relations of production and the material bases of domination remains hidden. Division of labour analysis proceeds at the more concrete level of particular relations of interaction and interdependence in a society which differentiates it into a complex network. It describes the major structural divisions among the members of a society according to their position in labouring activity and assesses the effect of these divisions on the functioning of the economy, the relations of domination, political, and ideological structures. (Young 1981, hal. 51) Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa analisis kelas hanya mempertanyakan bagaimana kepemilikian, kontrol dan keuntungan produksi, tetapi dominasi sebagai dasar material tetap tidak terungkap dalam analisis kelas. Sebaliknya, pembagian kerja lebih konkret melihat relasi dan interaksi dalam masyarakat, dan dapat menggambarkan secara terstruktur bagaimana pembagian kerja anggota masyarakat berdasarkan posisi perempuan dalam dunia kerja. Analisis pembagian kerja juga dapat menilai akibat dari pembagian kerja pada fungsi-fungsi ekonomi, relasi dominasi, serta struktur politik dan ideologi. Pembagian Kerja Berdasarkan Gender (Gender Division of Labor) Penggunaan istilah “pembagian kerja berdasarkan gender (gender division of labor)” bagi Young merujuk pada semua perbedaan gender yang terstruktur dalam kerja di masyarakat, meliputi tugas-tugas tradisional yang dilekatkan pada perempuan seperti mengasuh anak, menjaga orang sakit, memasak, dll, bahkan di ranah publik seperti dijadikan objek di pabrik-pabrik. Bagi Young analisis pembagian kerja berdasarkan gender menolong dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana pembagian kerja berdasarkan gender mendasari aspek lain dari organisasi ekonomi, bagaimana hal itu juga mendasari kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat, termasuk hierarki gender? Bagaimana transformasi dalam pembagian kerja berbasis gender membawa perubahan relasi antara perempuan dan laki-laki, relasi ekonomi, relasi politik dan struktur ideologi? (Young 1981, hal. 52-53). Bagi Young, analisis pembagian kerja berdasarkan gender memiliki sejumlah keuntungan. Pertama, analisis ini menempatkan relasi-relasi gender dan posisi perempuan pada pusat analisis material historis. Jika tidak melakukan hal ini maka akan sulit bagi feminis untuk dapat melihat bagaimana dominasi laki-laki dalam kerja, serta kehilangan elemen krusial dalam struktur dan relasi ekonomi secara keseluruhan. Kedua, analisis pembagian kerja berdasarkan gender dapat menjelaskan bentuk-bentuk lain dari pembagian kerja, misalnya pembagian antara kerja mental dan kerja manual. Ketiga, pembagian kerja berdasarkan gender dapat juga menjelaskan asal-usul dan pelanggengan subordinasi perempuan dalam struktur sosial. Sebagai contoh, pembagian kerja berdasarkan gender dapat memperlihatkan bagaimana laki-laki dalam masyarakat tertentu secara institusional menduduki posisi superioritas. Posisi ini bisa didapatkan laki-laki jika organisasi dari relasi sosial yang lahir dari aktivitas kerja memberi mereka akses dan kontrol terhadap sumber daya yang tidak dapat diakses dan dikontrol oleh perempuan dalam cara yang sama. Pembagian kerja berdasarkan gender dapat menjelaskan hal ini. Keempat, analisis pembagian kerja berdasarkan gender memungkinkan kita melakukan analisis material dari relasi sosial kerja dengan menggunakan terminologi gender yang spesifik tanpa menyamaratakan semua perempuan, karena situasi perempuan berbeda-beda (Young 1981, hal. 53-55). Pembagian Kerja Berdasarkan Gender dan Kapitalis Patriarki Dalam membahas pembagian kerja berdasarkan gender dan kapitalis patriarki, Young juga merujuk pada tulisan Heidi Hartmann “Capitalism, Patriarchy, and Job Segregation by Sex”, yang telah menunjukkan bukti opresi perempuan di era modern yang kompleks dan luas. Bagi Young, Hartmann dalam telaah sejarahnya telah memperlihatkan struktur dan perubahan-perubahan peran perempuan dalam proses kerja dan ekonomi di bawah kapitalisme, serta menyebutkan kapitalisme sebagai buta gender. Akan tetapi Hartmann dan feminis marxis tradisional lainnya mengasumsikan kapitalisme memiliki tendensi menghomogenisasi angkatan kerja dan mengabaikan pentingnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Teori Hartmann, kapitalisme membuat semua pekerja setara di pasar kerja tanpa melihat kelompok sosial yang beragam (Young 1981, hal. 57). Padahal Young dalam esai “Five Faces of Opression” menyebutkan bahwa pada struktur sosial, terdapat kelompok-kelompok yang berbeda seperti perempuan dan laki-laki, kelompok masyarakat berdasarkan umur, kelompok ras dan suku, kelompok agama, dan lain-lain (Young 2004, hal. 5). Menurut Young, kapitalisme yang melihat angkatan kerja dapat dipertukarkan apapun jenis kelaminnya, terjadi karena kapitalisme dilihat sebagai sistem yang terpisah dari patriarki. Padahal menurut Young, patriarki tidak terpisah dari kapitalisme. Lebih jauh, Young berargumen bahwa analisis pembagian kerja berdasarkan gender mengenai kapitalisme dapat mempertanyakan bagaimana sistem kapitalis terstruktur dalam relasi gender, sehingga memperlihatkan seperti apa situasi perempuan dalam kapitalisme. Bagi Young, situasi perempuan di bawah kapitalisme antara lain ditandai dengan marginalisasi. “My thesis is that marginalization of women and thereby our functioning as a secondary labor force is an essential and fundamental characteristic of capitalism” (Young 1981, hal. 58). Selain marginalisasi, Young juga mengemukakan situasi opresi lain yang dialami perempuan di bawah kapitalisme yaitu eksploitasi, ketidakberdayaan (powerlessness), imperialisme budaya, dan kekerasan sistematik (Young 2004, hal. 16-19). Young berharap argumennya mengenai analisis pembagian kerja berdasarkan gender dapat menjadi strategi penting bagi perempuan untuk mengorganisir diri sendiri. Sehingga, perempuan dapat mengembangkan keterampilannya, mengambil keputusan sendiri dan berjuang bersama melawan laki-laki dengan seksismenya. Young juga menekankan dalam level praktis perjuangan melawan kapitalisme tidak bisa dipisahkan dari patriarki, karena menganggap kedua sistem ini terpisah akan menyebabkan perjuangan politis yang terpisah (Young 1981, hal. 63-64). Kekerasan Ekonomi PRT dalam Kerangka Analisis Pembagian Kerja Kekerasan ekonomi yang dialami PRT migran di Hong Kong terjadi dalam bentuk overcharging biaya penempatan, gaji dibawah standar, pemotongan gaji dalam jumlah besar, keharusan berutang untuk menutupi biaya selama di PPTKIS, sebagaimana saya sebutkan pada bagian awal tulisan ini. Bentuk-bentuk kekerasan ekonomi ini tidak terlepas dari perspektif pemerintah dan pihak swasta yang tidak berpihak pada perempuan PRT. Menggunakan analisis pembagian kerja berdasarkan gender dari Iris Young menjadi penting di sini karena analisis ini tidak mengangkat isu kelas antara perempuan PRT migran dengan pemberi kerja (majikan), walaupun perempuan PRT berada dalam relasi yang lebih rendah dari pihak swasta dan negara dalam struktur sosial yang lebih makro. Sebaliknya, analisis pembagian kerja berdasarkan gender dari Iris Young saya gunakan untuk melihat bagaimana sistem kapitalis patriarkal telah memberikan pekerjaan rumah tangga kepada perempuan dalam pasar kerja dan pada akhirnya mengopresi perempuan. Poin-poin pemikiran Iris Young akan saya gunakan untuk melihat tiga pihak yang secara langsung terkait dengan pengalaman kekerasan ekonomi perempuan PRT migran akibat swastanisasi penempatan oleh negara yaitu perempuan PRT migran, pemerintah dan pihak swasta. Perempuan PRT Migran Dilihat dari Analisis Pembagian Kerja Berdasarkan Gender Dalam teorinya, Young menyatakan keuntungan analisis pembagian kerja berdasarkan gender adalah menempatkan posisi perempuan pada pusat analisis. Dengan penempatan ini, kita akan lebih mudah melihat bagaimana pengalaman perempuan PRT migran terkait dengan penempatan oleh swasta yang diatur negara. Salah satu pengalaman perempuan terkait swastanisasi penempatan adalah pengalaman kekerasan, secara khusus kekerasan ekonomi. Ada kewajiban membayar biaya penempatan dalam jumlah besar, walaupun perempuan tidak mengakses seluruh komponen yang ditetapkan pemerintah. Di penampungan PPTKIS, perempuan calon PRT yang tidak memiliki uang diminta berutang sejumlah biaya penempatan kepada perusahaan jasa peminjaman uang swasta yang telah bekerja sama dengan PPTKIS. Uang ini diterima oleh PPTKIS sebagai ganti biaya yang sudah dikeluarkan PPTKIS sesuai total biaya yang ditetapkan pemerintah, tetapi PRT migran diwajibkan mencicil biaya itu selama enam bulan. Dalam praktiknya, cicilan yang dikenakan per bulan sangat besar, mencapai 90% dari total gaji bulanan. Jika beruntung, cicilan dapat diselesaikan dalam enam bulan, tetapi jika sebelum masa pemotongan selesai, perempuan PRT dipecat majikan, dan perlu majikan baru, agen akan membebankan enam bulan potongan gaji lagi kepada PRT migran. Situasi ini membuat perempuan PRT migran terjebak dalam kekerasan ekonomi berkepanjangan, tidak memiliki pendapatan memadai dan tetap berada dalam kemiskinan. Seharusnya, perempuan PRT migran selaku pelaku ekonomi menjadi subjek yang bisa menikmati hasil kerjanya, akan tetapi kenyataannya, yang diuntungkan adalah negara dan pihak swasta. Pemerintah sebagai Pembuat Kebijakan Dilihat dari Analisis Pembagian Kerja Berdasarkan Gender Pemerintah Indonesia ketika mengeluarkan kebijakan mengenai penempatan dan perlindungan PRT migran, belum memiliki perspektif yang berpihak kepada perempuan, sehingga menyerahkan pelaksanaan penempatan kepada pihak swasta (swastanisasi). Melalui UU No. 39 tahun 2004, ditetapkan dua pihak yang menjadi penyelenggara penempatan, sebagaimana terlihat dalam ayat 10 dan 11, berikut ini:
b. Pelaksanaan penempatan TKI swasta.
Berdasarkan pemikirian Young tentang pembagian kerja berbasis gender, dapat dikatakan perspektif pemerintah masih melihat pekerjaan PRT adalah pekerjaan perempuan, yang tidak penting, karena itu pemerintah tidak mengupayakan perjanjian dengan negara tujuan seperti Hong Kong, Taiwan, Timur Tengah. Sebaliknya menyerahkan mekanisme penempatan kepada pihak swasta. Swastanisasi ini tidak dimaksudkan untuk mengefektifkan pelayanan karena peran pemerintah yang terlalu besar dan monopolistik, tetapi sesungguhnya memperlihatkan pemerintah abai memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap perempuan PRT di luar negeri. Hal berbeda terlihat jika dibandingkan dengan situasi kerja bagi pekerja migran Indonesia yang akan menempati jenis pekerjaan yang biasa dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, misalnya di Korea Selatan. Jenis pekerjaan yang ditawarkan di Korea Selatan adalah pekerjaan di sektor konstruksi, jasa, manufaktur, perikanan dan pertanian. Pemerintah Indonesia telah memiliki perjanjian government to government (G to G) dengan pemerintah Korea Selatan untuk penempatan tenaga kerja Indonesia di sana (BNP2TKI, para 1). Jika dilihat dari analisis pembagian kerja berdasarkan gender, bisa dikatakan pemerintah menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia yang umumnya hanya untuk jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, pembedaan perhatian pemerintah terhadap pekerja migran laki-laki dan perempuan ini memperlihatkan bahwa kelas laki-laki pekerja dianggap lebih tinggi dari kelas perempuan pekerja. Stigma yang tersosialisasi akibat ideologi patriarki bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah utama, oleh pemerintah dimaknai sebagai perhatian lebih kepada laki-laki pekerja migran dalam bentuk perjanjian kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah di negara penempatan. Pihak Swasta Sebagai Pelaksana Penempatan PRT Migran Dilihat dari Analisis Pembagian Kerja Berdasarkan Gender Menurut Young, salah satu keuntungan analisis pembagian kerja berdasarkan gender adalah analisis ini dapat menjelaskan asal-usul pelanggengan subordinasi perempuan dalam struktur sosial. Berkaitan dengan penempatan PRT migran di Hong Kong oleh pihak swasta, dapat dikatakan pelanggengan subordinasi terjadi kepada perempuan ketika mereka tidak memiliki posisi tawar diperhadapkan dengan aturan yang mewajibkan PRT hanya boleh ditempatkan oleh pihak swasta, walaupun mereka sebelumnya sudah pernah bekerja di Hong Kong. Aturan yang sama juga dikenakan dalam hal pembayaran biaya penempatan. Semua calon PRT diwajibkan membayar seluruh komponen, walaupun karena kondisi tertentu tidak ditampung di PPTKIS atau sudah pernah mengikuti pelatihan sebelumnya. Menghadapi kondisi ini, perempuan tidak punya pilihan. Posisi subordinasinya membuat perempuan tidak berdaya. Pihak swasta yang kapitalis patriarki, sebagaimana analisis pembagian kerja, secara institusional telah menduduki posisi superioritas dan mengontrol perempuan dalam proses menjadi PRT. Penutup Perempuan PRT migran mengalami kekerasan ekonomi karena pemerintah sejak awal mengabaikan mereka dan tidak pernah sungguh-sungguh menganggap mereka ada. Kebijakan pemerintah menyerahkan tanggung jawab penempatan PRT migran kepada pihak swasta adalah bukti negara abai melindungi perempuan PRT migran. Situasi ini merefleksikan penindasan terhadap perempuan dilakukan oleh negara dan pasar. Kapitalis patriarki terwakili dalam diri pemerintah dan pihak swasta yang tidak pernah berpihak kepada perempuan PRT migran, sebaliknya justru menjadikan mereka sebagai sumber pendapatan. Ada relasi kuasa dan kontrol yang mengakibatkan perempuan PRT migran tetap dalam posisi subordinat dan mengalami kekerasan ekonomi berkepanjangan. Di tahun 2013, judicial review terhadap pasal-pasal yang memberatkan perempuan PRT migran dalam UU No.39/2004 telah diajukan, termasuk pasal 10 dan 11 tentang penempatan oleh pihak swasta. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan judicial review ini. Sekali lagi perempuan dikalahkan. Para pembuat keputusan negeri ini memang tidak serius memikirkan kepentingan pekerja migran termasuk perempuan PRT karena mereka miskin, berasal dari kelas bawah, dengan latar belakang pendidikan rendah dan karena mereka perempuan. Benar kata feminis marxis bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, perempuan tetap dibutuhkan di pasar kerja, agar tetap bisa dieksploitasi. Situasi sosial yang diciptakan pemerintah dan pihak swasta sebagai representasi kapitalis patriarki membuat perempuan PRT berada dalam kerentanan, mudah dieksploitasi, dimanfaatkan, dan disunyikan dari semua proses dan pengambilan keputusan yang dibuat untuk diri mereka. Walaupun saat ini, revisi Undang-undang No.39/2004 diubah menjadi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN), agar aspek perlindungan mendapat perhatian, tidak hanya penempatan sebagaimana dalam UU sebelumnya, kenyataannya RUU ini tak kunjung disahkan menjadi Undang-undang. Sehubungan dengan itu, beberapa rekomendasi saya terkait kebijakan yang lebih berpihak kepada perempuan PRT penting dipertimbangkan:
Daftar Pustaka Amnesty International 2013, Exploited for Profit-Indonesian Migrant Domestic Worker Trafficked to Hong Kong, videorecording, Amnesty International, London. BNP2TKI 2015, Data Penempatan dan Perlindungan TKI Periode Tahun 2015, diakses 16 Desember 2016, http://www.bnp2tki.go.id/read/11034/Data-Penempatan-dan-Perlindungan-TKI-Periode -Tahun-2015.html BNP2TKI 2015, Materi Sosialisasi Bidang Penempatan TKI Program G to G Korea, diakses 17 Desember 2016, http://www.bnp2tki.go.id/read/10003/Materi-Sosialisasi-Bidang Penempatan TKI-Program-G-to-G-Korea.html Census and Statistics Department, The Government of Hong Kong 2016, Foreign Domestic Helpers by Nationality and Sex, diakses 14 Desember 2016, http://www.censtatd.gov.hk/hkstat/sub/gender/labour-force Ibad, I, Silitonga, F, Wahyudiono T, Tim Penulis SBMI 2015, Modul Pendidikan Dasar dan Menengah Buruh Migran, Tifa Foundation dan DPN SBMI, Jakarta. Merriam-Webster’s collegiate dictionary 1993, 10th edn., Merriam-Webster, Springfield MA. NACDV, Economic abuses, diakses 16 Desember 2016, http://www.mmgconnect.com/ projects / userfiles /file/dce-stop_now/ncadv_economic_abuse_fact_sheet.pdf Pantau PJTKI 2014, Sepuluh MoU Penempatan BMI, diakses 16 Desember 2016, http://pantaupjtki.buruhmigran.or.id/index.php/read/sepuluh-mou-penempatan-bmi Saptari, R & Holzner, B 2016, Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Kalyanamitra dan Jurnal Perempuan, Jakarta. Tong, RP 2006, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, trans. AP Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta. Young, I 1981, “Beyond The Unhappy Marriage: a critique of Dual System Theory”, dalam L Sargent (ed.), Women and Revolution, e-book, South End Press, Boston, diakses 10 Desember 2016, http://books.google.co.id/books/id/beyond+the+unhappy+marriage+a+critique+theory.irish+young Young, I 2004, “Five Faces of Oppression”, dalam L Heldke & P O’Connor (eds.), Oppression, Privilege & Resistance, e-book, McGraw Hill, Boston, diakses 16 Desember 2016, http://www.sunypress.edu/pdf/62970.pdf International Labour Organization 2011, Convention No. 189 Decent work for domestic workers. Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Berbicara tentang feminisme, kiranya bukan saja berbicara tentang penguasaan manusia atas manusia lain atau sesamanya. Tetapi lebih dari pada itu, feminisme juga merupakan sebuah gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Salah satu tujuan utamanya adalah hendak mengeluarkan kaum perempuan dari kondisi ketidakbebasan dan ketidakadilan. Feminisme merupakan gerakan politik yang banyak meninjau beragam macam aspek kehidupan manusia, terutama aspek ketidakadilan yang sudah lama diderita oleh kaum perempuan. Hal tersebut diperjuangkan oleh kaum perempuan yang kemudian melahirkan feminisme ke dalam tiga gelombang. Seperti telah disebutkan di atas, dalam sejarahnya, feminisme terbagi ke dalam tiga gelombang besar yang masing-masing saling menegasi, dan tentunya juga saling melengkapi satu sama lainnya. Ketiga gelombang besar tersebut diantaranya adalah feminisme gelombang pertama, yang mencakup aliran feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme anarkis, feminisme marxist, dan feminisme sosialis. Selanjutnya di gelombang kedua mencakup feminisme eksistensial dan feminisme gynosentris. Kemudian gelombang ketiga yang mencakup feminisme postmodern, feminisme multikultural, feminisme global, dan ekofeminisme dengan beragam macam variasinya. Pada feminisme gelombang pertama, aliran feminisme mencakup di dalamnya lebih berfokus pada kesenjangan politik, terutama dalam memperjuangkan hak pilih perempuan atau emansipasi di bidang politik. Aliran feminisme awal ini dimulai pada tahun 1792-1960 yang bermula dari tulisan seorang filsuf dan feminis abad 18 bernama Mary Wollstonecraft. Dalam karyanya yang berjudul A Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft menginspirasi gerakan dan perjuangan perempuan hingga berlanjut pada abad ke-20 dimana kaum perempuan berhasil mencapai hak pilihnya (hak politik). Dalam bukunya tersebut, ia menuliskan bahwa perempuan secara alamiah tidak lebih rendah dari laki-laki, tetapi terlihat seperti itu hanya karena mereka tidak memperolah banyak pendidikan. Ia mengusung supaya laki-laki dan perempuan dianggap setara dalam setiap dimensi kehidupan, terutama dalam hal sosial-politiknya. Sedangkan feminisme gelombang kedua lebih merupakan gerakan pembebasan perempuan atau biasa dikenal dengan istilah Women Liberation. Gerakan ini adalah gerakan kolektif yang revolusioner, sebagaimana nampak sejak kemunculannya pada tahun 1960 – 1980. Bisa dikatakan, inilah masa yang muncul sebagai reaksi kaum perempuan (feminis) atas ketidakpuasannya terhadap berbagai praktik diskriminasi. Terlebih diketahui bahwa secara hukum dan politis, hal ini sebenarnya telah dicapai oleh feminisme gelombang pertama tetapi dalam praktiknya tidak terealisasi secara maksimal. Selanjutnya yatu feminisme gelombang ketiga, atau dikenal juga sebagai posfeminisme. Aliran ini dimulai pada tahun 1980 sampai sekarang. Aliran ini begitu popular dan banyak dijadikan rujukan oleh para feminis modern. Meski demikian, banyak tokoh feminis yang menganggap bahwa feminisme gelombang ketiga berbeda dengan posfeminisme. Hal ini disebabkan karena posfeminisme merupakan gerakan yang menolak gagasan feminis gelombang kedua. Dilihat dari ide dan gagasannya misalnya, feminisme gelombang ketiga mengusung keragaman dan perubahan seperti globalisasi, postkolonialisme, poststrukturalisme, dan postmodernisme. Dalam hal ini, feminisme gelombang ketiga sangat dipengaruhi oleh postmodernisme yang merupakan pencetus lahirnya feminisme gelombang ketiga. Menurut Lyotard dan Vattimo, pengaruh postmodernisme terhadap feminisme gelombang ketiga dapat dilihat dari empat ciri. Keempat cirri tersebut, seperti menawarkan pendekatan revolusioner pada studi-studi sosial (mempertanyakan validitas ilmu pengetahuan modern dan anggapan adanya pengetahuan objektif), mengabaikan sejarah (menolak humanisme dan kebebasan tunggal), mempertanyakan rigiditas pembacaan antara ilmu alam (humaniora, ilmu sosial, seni dan sastra, fisksi dan teori, image, dan realitas), serta berfokus pada wacana alternatif (postmodernisme mencoba melihat kembali apa yang telah dibuang, dilupakan dianggap irasional, tidak penting, tradisional, ditolak, dimarginalkan dan disunyikan). Feminisme Gelombang Ketiga Telah disebutkan di awal bahwa gelombang ketiga mencakup empat aliran feminisme, yakni feminisme postmodern, feminisme multikultural, feminisme global, dan ekofeminisme. Seperti masing-masing gelombang dalam feminisme, keempat aliran ini juga saling menegasi, serta melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Feminisme postmodern bertitik tekan pada teks sebagai dasar berpikirnya. Ia membangun suatu anggapan mendasar bahwa realitas adalah teks, baik yang berbentuk lisan, tulisan, maupun image, yang dalam pengupayaannya nampak berusaha mengkritik cara laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki. Aliran feminisme ini juga menolak cara berpikir yang fanatik atau tradisional. Ia lebih menekankan pada interpretasi yang plural ketimbang subjektifitas. Di samping itu, sebagiamana Gadis Arivia ungkapkan dalam Filsafat Berperspektif Feminisme (2003) bahwa pemikiran feminisme postmodern ini melihat perempuan sebagai “yang lain”. Adapun soal alianasi perempuan, dilihat bersumber dari dua ranah, yakni tekanan atau rasa inferioritas dan cara berada, berpikir serta bahasa. Pengaruh eksistensialisme, psikoanalisa dan dekonstruksi sangat terasa dalam aliran feminisme postmodern. Baginya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Bahwa kita harus berusaha membongkar narasi-narasi besar, realitas, konsep kebenaran, dan juga bahasa. Upaya inilah yang kemudian melahirkan beberapa langkah dalam merekonstruksi pengalaman perempuan dalam dunia laki-laki: perempuan harus membentuk bahasanya sendiri; perempuan harus membuat seksualitasnya sendiri; dan harus ada usaha untuk menyimpulkan dirinya sendiri atau dikenal juga dengan undo phallocentric discourse. Feminisme multikultural senada dengan teori aliran feminisme sebelumnya yang juga melihat individu sebagai sesuatu yang terfragmentasi. Karenanya, feminisme multikultural lebih menyoal ide bahwa ketertindasan perempuan bersumber dari “satu definisi”, bukan dari kelas dan ras, preferensi seksual, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan lain sebagainya. Secara historis, feminisme multikultural pertama kali berlangsung di Amerika Serikat dimana ideologi yang mendukung adanya diversifikasi (ide tentang perbedaan) menjadi pilihan dalam gaya maupun ideologinya. Hingga memasuki abad ke-20, ide asimilasi dan identitas tunggal kemudian menjadi pilihan yang kuat. Hal yang ini selanjutnya memberi jalan pada etnisitas sekaligus integrasi, hingga melahirkan multikulturalisme dan berpengaruh kuat pada aliran feminisme multikultural. Hematnya, penyambutan baik terhadap multikulturalisme didasarkan pada pengagungan pada ide perbedaan. Bahwa bagi kalangan feminis multikultural semua orang sesungguhnya berbeda-beda, baik secara kulit, agama, ras, dan lain sebagainya. Selanjutnya, yakni feminisme global. Aliran ini lebih menekankan pada pentingnya melihat ketertindasan perempuan dari “sistem keterkaitan” (interlocking system). Fokus feminisme aliran ini adalah penindasan dunia pertama karena kebijaksanaan nasional yang mengakibatkan penindasan bagi perempuan di dunia ketiga. Hanya saja, jika feminisme multikultural fokus pada rasisme, etnisitas dan kelasisme, feminisme global justru lebih fokus pada isu kolonialisme, di samping soal politik dan ekonomi skala nasional. Mereka sepakat bahwa penindasan politik dan ekonomi lebih diperhatikan. Mereka melihat adanya perbedaan cara pandang antara feminis dunia pertama dengan dunia ketiga. Singkatnya, mereka memandang bahwa setiap perempuan itu berbeda, di setiap komunitas perempuan itu berada juga berbeda; sehingga penindasan yang terjadi pada perempuan mempunyai keunikan dan kondisi yang berbeda pula. Aliran feminisme keempat dari gelombang ketiga adalah ekofeminisme. Aliran ini adalah sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Basis gerakan ini adalah femininitas/perempuan. Dalam gerakan ekofeminisme, perempuan dianggap memainkan peran strategis. Semua peran dari perempuan ini berupaya untuk mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan asri. Seperti halnya feminisme multikultural dan global, ekofeminisme juga memberi pemahaman adanya keterhubungan antara segala bentuk penindasan manusia. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Carolyn Merchant bahwa ada empat hal yang saling berkaitan di mana peran perempuan menjadi penting, yakni ekologi, produksi, reproduksi dan kesadaran. Dari sejumlah paparan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa meskipun berbeda-beda secara fokus perhatian, baik antara gelombang feminisme maupun antar aliran feminisme, khususnya dalam gelombang ketiga, sejumlah aliran tetap menempatkan perempuan pada posisi yang semestinya. Artinya, dengan pengalaman ketertindasan yang dialami kaum perempuan, kalangan feminis berusaha memberi semangat, dorongan, serta inspirasi tentang pentingya peran dan posisi perempuan, terutama peran dan posisinya dalam ranah kultur maupun politik. Hematnya, cita-cita kebebasan perempuan adalah cita-cita kesetaraan manusia, sekaligus cita-cita kemanusiaan itu sendiri. Rena Asyari (lecturer, founder Seratpena) rena.asyari@gmail.com Judul : Selingkuh Dua Pemikir Raksasa Penulis : Elzbieta Ettinger Penerbit : Nalar Tahun Terbit : Juni 2005 Keterangan : Buku ini terjemahan dari buku asli yang berjudul “Hannah Arendt–Martin Heidegger” yang diterbitkan Yale University Press tahun 1995. Siapa yang tak mengenal Martin Heidegger filsuf terbesar abad 20 juga Hannah Arendt filsuf perempuan yang berani, berteriak lantang mengecam segala bentuk totalitarianisme? Dibalik nama besar mereka ada kisah romantis yang mungkin publik tak tahu. Tulisan ini berangkat dari judul buku Selingkuh Dua Pemikir Raksasa yang ditulis Elzbieta Ettinger yang diterbitkan oleh Nalar pada Juni 2005. Selingkuh Dua Pemikir Raksasa merupakan terjemahan dari judul Hannah Arendt-Martin Heidegger yang diterbitkan Yale University Press tahun 1995. Selingkuh merupakan perbuatan hasil pergulatan rasa, dan akan sangat menarik bila dilakukan oleh dua orang pemikir raksasa.
Arendt pertama kali bertemu Heidegger pada tahun 1924 ketika menjadi mahasiswa semester pertama di Universitas Malburg. Arendt yang berusia 18 tahun terkesima oleh sikap karismatik Heidegger yang saat itu berusia 35 tahun. Mahasiswa perempuan maupun laki-laki terpikat dengan teknik mengajar Heidegger. Ia selalu melemparkan struktur gagasan yang complex dan membuat mahasiswanya memecahkan teka-teki tersebut. Banyak mahasiswa yang tidak mampu memecahkan teka-teki Heidegger hingga ada salah seorang mahasiswanya bunuh diri setelah 3 tahun berkutat dengan teka-teki tersebut. Jika kita membayangkan menjadi Arendt, mungkin tak ada hal yang ingin dilakukan selain setiap hari ke kampus dan bertemu sang kekasih. Dicintai seseorang yang sudah mempunyai nama besar dan reputasi yang baik adalah hadiah dari semesta. Mungkin ini yang dirasakan Arendt, ketika dia berdebar-debar membaca surat-surat Heidegger untuknya. Awalnya Heidegger menyapa Arendt di surat pertamanya tertanggal 10 Februari 1925 dengan sebutan “Nona Arendt yang Terhormat”, sebuah penghormatan terhadap mahasiswanya, isi suratnya emosional, penuh pujian, lalu 4 hari berikutnya sapaannya pun berubah menjadi “Hannah Sayang”. Sang filsuf mulai berani mengutarakan perasaannya yang terlarang. Arendt semakin dibuai, semakin tergoda. Dua minggu kemudian terjadi perubahan pada catatan-catatan Heidegger, permulaan keintiman secara fisik pada hubungan mereka. Arendt menemukan sosok yang selama ini dicarinya, sosok ayah pada diri Heidegger. Arendt hormat, manut dan tunduk pada setiap apa yang dikatakan Heidegger termasuk harus berpura-pura, mengikuti semua aturan-aturan Heidegger, menjauh dan bertemu di tempat-tempat yang sulit. Heidegger tentu saja tak ingin publik tahu, dia yang telah beristri dan mempunyai dua orang putra ternyata terpincut pada gadis belia yang cerdas. Selain kecantikannya, kecerdasan Arendt yang memikat Heidegger. Arendt menjadi teman diskusi yang menyenangkan bagi Heidegger. Tapi hal tersebut tak berlangsung lama. Perubahan sikap Heidegger membuat segalanya menjadi berbeda. Dalam suratnya 22 April 1928, Arendt berujar “bahwa anda tidak datang sekarang, saya kira saya telah mengerti” bagi Arendt hidup adalah mencintai Heidegger “Saya akan kehilangan hak saya untuk hidup jika saya kehilangan cinta pada anda” Arendt putus asa. “Dan dengan kehendak Tuhan, saya akan lebih mencintai anda sampai mati”. Begitu mendalamnya cinta Arendt pada Heidegger. Arendt seolah tak sudi menerima pria lain selain Heidegger. Masa-masa kelam bagi Arendt pun datang. Nazi membuat Arendt yang Yahudi harus hidup serba taktis. Arendt pernah ditahan polisi di Berlin, lalu lari ke Paris. Di Perancis Selatan Arendt menjadi tawanan Nazi lalu kabur ke Amerika Serikat. Pada masa-masa itu Arendt menikah dengan Guenther Stern, pria yang tidak Arendt cintai. Stern merupakan salah satu murid dan pengagum Heidegger juga. Di saat yang bersamaan Arendt mendengar kabar bahwa Heidegger dipercaya Nazi sebagai rektor Universitas Freiburg pada April 1933. Meski kepemimpinan rektor Heidegger hanya berlangsung singkat kurang lebih 1 tahun, tetapi hal tersebut membuat Arendt sangat terluka. Laki-laki yang dicintainya bersekutu dengan Nazi. Arendt berkali-kali menampik dan mencoba memaafkan Heidegger atas dukungannya pada Nazi, bahkan membela mati-matian Heidegger dihadapan teman-teman dekat Heidegger yang juga kecewa akan sikap Heidegger pada Nazi. Tetapi Heidegger tak juga meminta maaf bahkan mengklarifikasi berita tersebut. Hanya ingatan bersama Heidegger ketika mereka menikmati Bach, Beethoven, Rilke, Thomas Namm, Soliloqui Heidegger tentang Socrates, Plato, Heraklitus yang membuat Arendt masih bisa menyimpan cintanya. Waktu tak pernah membuat segalanya terlupa. Arendt masih menyimpan cintanya untuk Heidegger meskipun ia pun bahagia dengan suami keduanya Heinrich Bluecher. Tahun 1950 Arendt bertemu kembali dengan Heidegger setelah melewati tahun-tahun yang suram selama 25 tahun. Arendt membuka kembali kenangan lamanya, dalam suratnya tertanggal 9 februari 1950 Arendt berujar “saya tinggalkan Malburg semata-mata karena anda”. Arendt menceritakan bagaimana tahun-tahun yang dilewati Arendt dengan menanti. Seperti Anna Karenina tokoh dalam cerita Leo Tolstoy, Arendt mengamati kepergian sang kekasih secara diam-diam dan tak diinginkan. Arendt kembali ingin menegaskan bahwa setiap langkah yang diambilnya itu karena Heidegger. Cintanya pada Heidegger mampu membuat Arendt melakukan sesuatu yang tak ia sukai sekalipun. Di mata Arendt, Heidegger tak berubah, pria yang sekarang sudah tua tersebut masih tetap menawan dan keras. Sejak pertemuan pertama setelah perang tahun 1950, mereka menjadi intim kembali. Terbukti dari banyaknya surat-surat yang dikirimkan oleh Heidegger tercatat tahun 1950 ada 16 surat, 1951 ada 6 surat, 3 surat di tahun 1952, 2 surat di tahun 1953 dan 1 surat di tahun 1959. Heidegger menggebu dia seperti menemukan gadisnya kembali, dimatanya Arendt masih menjelma menjadi sosok yang polos dan penurut. Tahun 1951 karya Arendt yang fenomenal Origin of Totalitarianisme terbit, hal tersebut menciutkan Heidegger. Sang filsuf raksasa seolah tak rela, gadis belia yang dijumpainya 27 tahun lalu telah menjadi sosok perempuan yang berpengaruh pada dunia. Nama Arendt menjadi besar. Heidegger kalang kabut, Heidegger takut jika Arendt berubah sikap dan mengacuhkannya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Arendt dengan segenap cintanya meyakinkan Heidegger bahwa dirinya menjadi besar karena tak lepas dari peran Heidegger. Dalam suratnya 8 Mei 1954 Arendt berujar “.... hal yang tidak saya lakukan kalau saja saya tak belajar dari anda di masa muda saya, tentang filsfafat dan politik”. Kekaguman dan kecintaan pada guru dan kekasihnya tersebut juga ditunjukkan Arendt dalam surat tahun 1974 “tak ada seorang pun yang mampu memberi kuliah seperti anda, juga tak ada yang lain sebelum anda”. Heidegger menua dengan cinta dari dua orang perempuan, Arendt dan istrinya. Sampai akhir hidupnya Arendt membantu menyelesaikan permasalahan Heidegger. Sang Filsuf perempuan pun wafat 4 Desember 1975, pemikirannya terus hidup dan namanya kini kian besar. Heidegger pun menyusul 6 bulan kemudian, dia wafat 28 Mei 1976. Buku ini menuai kontroversi karena Arendt seolah menjelma menjadi perempuan lemah yang tak berdaya di hadapan Heidegger. Yang saya lihat adalah sebaliknya. Arendt sosok yang berani dan jujur. Arendt jujur tentang perasaannya, jika ia tampak lemah semata itu hanya untuk menghormati gurunya, orang yang berjasa memantik pemikiran-pemikiran kritis Arendt. Di akhir hidupnya justru Arendt memenangkan pertarungan. Filsuf raksasa abad 20, Heidegger tak bisa melepaskan peran Arendt di masa tuanya. Selain menjadi filsuf perempuan yang namanya sangat besar, Arendt juga memenangi kisah percintaannya. Arendt layak diberikan penghormatan setinggi-tingginya. Setiap narasi tentang pelacuran yang mengemuka, sense knowledge kita pasti merujuk kepada perempuan nakal, atau apapun itu namanya yang mengatasnamakan perempuan. Pada kenyataannya, pelacuran juga dilakukan oleh laki-laki dan untuk laki-laki. Narasi ini tidak bisa langsung di-judge kepada orientasi seksual tertentu, seperti yang diberitakan media massa tentang “pelacuran gay”. Adanya eufemisme “pelacuran gay” yang dimaksud menurut saya merupakan pelabelan semata kepada jenis orientasi seks tertentu. Apakah jika terdapat lesbian yang menjadi pelacur kemudian disebut “pelacuran lesbian” atau biseksual yang menjadi pelacur disebut “pelacuran biseks”? Kunci terpenting adalah sikap kita terhadap euforia dari media. Publik seakan merespon bahwa gay adalah wabah karena menjadi sumber pelacuran; ini stigma. Apakah salah menjadi gay, dan pelacur? Pada kenyataannya tidak semua gay adalah pelacur. Tetapi, akan menjadi problem jika yang menjadi pelacur adalah anak-anak. Apapun eufemisme dalam penyebutannya, mereka adalah korban. Negara kita menuangkan peraturan melalui Undang-undang Perlindungan Anak, bahwasannya anak-anak berhak atas hidup aman dan layak. Berarti bahwa negara menghormati hak anak untuk hidup aman, salah satunya dari perbudakan seksual. Meski demikian, kita tidak dapat menutup mata bahwa masih banyak anak-anak di Indonesia yang menjadi pekerja di sektor berbahaya, salah satunya pelacuran. Pada masa yang sudah menjelang posmodern ini, jasa seksual merupakan industri bisnis yang laku keras. Terlebih lagi, jasa seks anak menjadi salah satu destinasi wisata bagi asing. Ini menunjukkan bahwa jaringan prostitusi internasional sudah lama bersemayam di negeri ini. Niko (2016) dalam tulisannya mengungkapkan bahwa boy prostitute eksis sejak lama di kota-kota besar di Indonesia, penyebabnya yaitu anak-anak dilingkari kemiskinan dan anak-anak dilingkari gaya hidup perkotaan. Fenomena anak yang terjun ke dalam dunia prostitusi tidak terlepas dari situasi kehidupan keluarga mereka. Fenomena di Afganistan misalnya, keluarga yang hidup miskin menjual jasa anak laki-laki mereka untuk ditukar dengan makanan, pakaian dan uang (Jones, 2014). Mereka menyebutnya “Bacha Bazi” yang artinya “boy for play”. Seorang anak laki-laki terjun ke dunia pelacuran bukan atas keinginannya sendiri, tetapi atas kepentingan tangan-tangan kuasa yang biadap. Wharton (2010) menyatakan bahwa pelacuran atau eksploitasi seks anak-anak ini merupakan bagian dari perdagangan manusia, dan harus dihentikan. Demikian pula dengan adanya fenomena pelacuran laki-laki (anak-anak) yang ada di Indonesia, sudah semestinya untuk dihentikan. Pembebasan anak-anak dari belenggu pelacuran, tidak semestinya melihat jenis kelamin ataupun orientasi seksual. Baik itu perempuan atau laki-laki, ataupun orientasi seksual gay dan lesbian, mereka memiliki hak yang sama untuk jaminan negara atas rasa aman dari perbudakan seksual orang dewasa. Tetapi pada lembaga-lembaga tertentu, sangat anti terhadap keberagaman seksualitas—seperti anti terhadap LGBT—akan sangat sulit menggapai perlindungan terhadap anak-anak yang berada dalam situasi seksualitas mereka sebagai LGBT. Sudah seharusnya kita sebagai masyarakat umum, awaree terhadap keberadaan sindikat-sindikat yang memperkerjakan anak pada sektor pelacuran, baik itu anak perempuan maupun laki-laki. Demikian pula terhadap anak-anak yang memiliki orientasi seksual tertentu, misalnya gay atau lesbian, yang diperkerjakan dalam lingkar pelacuran, masyarakat tidak acuh terhadap mereka. Namun, tidak bisa dipungkiri terdapat pula masyarakat yang over protective, sehingga orientasi seksual tertentu dijadikan kambing hitam adanya pelacuran anak-anak. Tentu kita semua tidak ingin adanya “Bacha Bazi” yang mengerikan itu ada dan tumbuh dalam masyarakat kita. Problematika kemudian muncul adalah anak-anak pelacur belum ditempatkan sebagai korban yang semestinya dilindungi oleh hukum. Hal ini tertuang pada pasal 293 ayat (1) “barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”, berarti bahwa pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk ini dapat dijatuhi hukum pidana (dalam konteks delik aduan) bila anak yang menjadi korban adalah bukan anak yang cacat (Yuwono, 2015). Kemudian menurut Soesilo (1996, dalam Yuwono, 2015) yaitu: “anak yang tidak bercacat kelakuannya berarti mengenai kelakuan dalam konteks seksual. Dalam hal ini membujuk seorang pelacur, meskipun belum dewasa, tidak termasuk di sini, karena pelacur sudah bercacat kelakuannya dalam lapangan seksual.” Fenomena adanya pelacuran laki-laki, menurut saya bukan sesuatu yang baru dan aneh. Mereka menawarkan jasa melalui media sosial, dengan jasa massage dan pijat. Atau bahkan mereka menawarkan jasa seks dengan tarif tertentu. Selagi mereka sudah dewasa, hal itu mungkin bukan suatu masalah, apalagi alasan mereka menjadi penyedia jasa seks bukan semata karena ingin mendapatkan uang. Sekali lagi, hal ini akan bermasalah jika anak-anak yang dijadikan sebagai pemuas seks. Pada era baru ini, akan banyak sekali fenomena-fenomena sosial yang akan mengemuka. Sebenarnya hal itu bukan merupakan sesuatu yang baru, hanya saja kita baru mengetahui bahwa fenomena itu ada dalam lingkungan sosial kita. Oleh karena itu, menurut saya penting kiranya menanamkan pendidikan-pendidikan yang melek gender dan “respect each other”. Hal ini penting karena masyarakat kita saat ini cenderung individualis dan tidak peduli (cuek), hal ini merupakan bahaya besar bagi bangunan perdamaian di negeri kita tercinta. Pendidikan melek gender menurut saya penting dilakukan untuk mengontruksi sikap peduli terhadap sesama manusia, tidak memandang jenis kelamin, orientasi seksual, bahkan agama, suku dan ras. Bagi saya, yang terpenting dalam persoalan melek gender adalah kepedulian atau respect kita terhadap sesama manusia. Begitu pula dengan sikap kita dalam menyikapi pelacuran laki-laki, jika kita tetap acuh dan cuek, ancaman dan bahaya besar senantiasa memangsa anak-anak kita. Daftar Pustaka: Jones, S. V. 2014. Ending Bacha Bazi: Boy Sex Slavery and the Responsibility to Protect Doktrin. Ind. Int’l & Comp. Law Review. Vol. 25, P. 63-78. Niko, N. 2016. Boy Prostitute: Kemiskinan dan Life Style. Yogyakarta: Deepublish. Wharton, R. L. 2010. A New Paradigm For Human Trafficking: Shifting the Focus from Prostitution to Exploitation in the Trafficking Victim Protection Act. William & Marry Journal of Women and the Law Review. Vol 16, P. 23-48. Yuwono, I. D. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Nila Sukmaning Rahayu Peneliti di Departemen Hubungan Internasional UGM crescentia.nila@gmail.com Munculnya pemimpin perempuan yang menjadi pemegang kekuasaan di pemerintahan belum berarti impian perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki di berbagai dinamika kehidupan telah tercapai. Sejarah mengenal Margaret Thatcher kemudian bermunculan sederet politisi perempuan ternama, sebut saja Theresa May, Angela Merkel, Hillary Clinton dan di dalam negeri sendiri kita pernah memiliki Megawati sebagai presiden. Selanjutnya, ketika sejumlah perempuan berhasil duduk di kursi kepemimpinan, dapatkah kita menyebut mereka sebagai ikon feminis? Apakah tolok ukur yang dapat dipakai untuk melihat feminis atau tidaknya seorang pemimpin perempuan? Apakah semuanya sesederhana itu? Mari kita cermati dengan skeptis. Pemimpin perempuan dapat dikategorikan sebagai ikon feminis jika memiliki rekam jejak politik yang tentunya dekat dengan upaya perlindungan hak-hak perempuan. Hak-hak tersebut antara lain meliputi hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, hak keterwakilan dalam politik, hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara, hak mendapatkan perlindungan di wilayah konflik dan bencana, serta kebebasan beragama dan perlindungan hukum. Mari kita kupas kepemimpinan para pemimpin perempuan di atas. Margaret Thatcher adalah perdana menteri perempuan pertama di Inggris. Ia menjadi panutan bagi publik terutama kalangan perempuan di Inggris yang percaya tidak ada mimpi yang tidak bisa diraih. Namun di saat yang bersamaan publik perempuan di Inggris tak pernah mengingatnya sebagai sosok yang feminis. Hal ini dikarenakan beberapa agenda politiknya tak pernah menyentuh hak-hak hidup perempuan dan anak-anak. Ia juga tak pernah merekomendasikan kandidat perempuan untuk duduk di dalam parlemen selama 11 tahun masa jabatannya. Salah satu kebijakannya yang paling diingat kala itu adalah saat Thatcer menghilangkan jatah susu gratis bagi anak-anak sekolah dasar usia 7 tahun di Inggris. Oleh karena kebijakannya itu, ia dijuluki “Margaret Thatcher, The Milk Snatcher.” Sebagai seorang perdana menteri perempuan, Ia tidak terlihat lembut sehingga karakternya menjadi tamparan bagi publik yang menganggap bahwa perempuan dekat dengan gambaran kolaboratif, damai dan merawat atau mendidik. Thatcher sangat berhati-hati dalam bertindak sebab ia menghindari stereotip politik perempuan dan sikapnya itu dibuktikan saat ia menolak adanya biaya perawatan anak dimasukkan kedalam pajak dan mengatakan bahwa pemerintah tidak harus memosisikan diri sebagai “Big Brother” pada isu-isu sosial. Thatcher juga tidak tertarik sama sekali pada isu-isu perdamaian atau hal-hal yang dianggap feminin dan sikapnya tersebut terlihat saat pemerintahannya menyikapi perang Falklands. Theresa May adalah perdana menteri perempuan terpilih kedua setelah Margaret Thatcher di Inggris. Kemenangannya di dalam pemilu juga tak menimbulkan efek selebrasi kaum feminis. Walaupun ia menyatakan dukungan terhadap legalisasi pernikahan sesama jenis dan menentang UU 28 yang melarang sekolah mempromosikan nilai-nilai homoseksualitas, serta menguatkan implementasi hukum terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga, di waktu yang bersamaan ia justru menunjukkan sikap ketidakpedulian terhadap pengadaan fasilitas pengobatan bagi migran perempuan serta menolak mengakhiri masa penahanan bagi narapidana yang sedang hamil di Pusat Penahanan Imigrasi Yarl’s Wood. Sebagai sosok yang pernah menjabat sebagai Menteri untuk Perempuan dan Kesetaraan, May dikritik oleh Partai Buruh karena mengabaikan upaya terkait pengurangan kesenjangan kelas dengan membuat kebijakan penghematan fiskal yang berdampak pada perempuan. Memang Theresa May berasal dari partai konservatif garis keras, dia juga mendukung pernikahan sesama jenis dan menentang rasisme namun sikapnya yang kurang mendukung kesetaraan perempuan membuatnya tidak cukup disebut sebagai seorang feminis. Angela Merkel adalah kanselir dari negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat dan menduduki posisi superior di Uni Eropa. Angela Merkel dianggap sebagai pemimpin perempuan yang paling kuat di dunia namun pengamat politik mengatakan jika hak-hak perempuan tidak pernah ada di dalam agendanya. Sejarah keberhasilan Angela Merkel di dunia politik sempat dijajarkan dengan tokoh Margaret Thatcher. Kala itu, partai pendukung Angela Merkel memenangkan dua kali pemilu dan popularitas Merkel dengan cepat melonjak naik. Ia disebut sebagai perempuan nomor satu dalam daftar 100 perempuan paling berpengaruh Forbes tahun 2013. Gaya kepemimpinan Angela Merkel cenderung kooperatif dan demokratis dengan mengedepankan diskusi dan musyawarah. Sayangnya Angela Merkel tidak memiliki catatan politik yang pro kepada isu-isu perempuan dan tak banyak promosi kesetaraan gender yang ia lakukan semasa kampanye. Selama kepemimpinannya sebagai kanselir, banyak masalah yang belum terselesaikan termasuk gaji dan prospek karier perempuan yang setara dengan laki-laki. Tidak sedikit publik perempuan di Amerika Serikat yang sebenarnya menginginkan Hillary Clinton untuk memenangkan pemilihan presiden beberapa minggu lalu dan jika ia terpilih maka tiga penguasa perekonomian terbesar di dunia yakni AS, Jerman dan Inggris kesemuanya adalah perempuan. Sebagaimana dalam kampanyenya, Hillary Clinton selalu mencanangkan agenda politik yang menjamin kehidupan publik perempuan di AS. Namun sepertinya Hillary Clinton harus menelan pil pahit kekalahannya. Selain citranya yang lekat dengan isu korupsi dan skandal e-mail semasa menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton tidak termasuk ikon feminis yang populer. Pasalnya ia pernah melontarkan ucapan yang menyinggung banyak perempuan yang memilih untuk bekerja di rumah. Pada tahun 1992 untuk menjatuhkan lawan politik suaminya pada pemilihan presiden, Jerry Brown yang kala itu menyerang posisinya sebagai istri seorang politikus, ia mengatakan bahwa ia lebih memilih untuk berkarier ketimbang berdiam diri di dalam rumah meminum teh dan membuat kue dan ia pun sukses menuai celaan karena dianggap menghina kaum perempuan. Selain itu publik juga mengamati sikap Hillary terhadap skandal Monica Lewinsky yang menimpa suaminya. Hillary Clinton dianggap tidak cukup berpihak pada perempuan dengan terus menutupi kasus tersebut. Pro dan kontra terus berlanjut hingga ketika Hillary Clinton memberikan pidatonya pada tahun 1995 dalam United Nations Fourth World Conference on Women, ia berucap “Women’s Rights are Human Rights,” dan menarik simpati banyak perempuan di dunia. Sikap Hillary Clinton tersebut memicu perdebatan apakah ikon feminis dapat dilekatkan pada dirinya. Megawati Soekarnoputri adalah presiden perempuan terpilih pertama di Indonesia. Ia merupakan sosok yang dianggap simbolik, inspiratif dan berani melawan rezim pemerintahan Orde Baru yang represif kala itu. Terpilihnya Megawati menjadi presiden mengawali tonggak sejarah bagi kesetaraan gender dan emansipasi wanita di tengah-tengah budaya patriarki Indonesia yang masih sangat kental. Namun semasa ia menjabat menjadi presiden pada rentang periode 2001 - 2004, banyak isu-isu perempuan yang menyita perhatian masyarakat tetapi kurang mendapat perhatian yang berarti dari pemerintah, sebut saja kasus Buyat, kasus TKI Nunukan, dan nasib buruh perempuan yang bekerja di luar Indonesia. Pada awal tahun 2000-an, pengiriman buruh migran Indonesia keluar negeri didominasi oleh perempuan dan seiring meningkatnya jumlah tersebut maka bertambah pula kasus diskriminasi dan kekerasan yang menimpa buruh perempuan. Pemerintahan Megawati dinilai tidak menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perbaikan nasib perempuan dan anak-anak khususnya yang berada dalam kondisi rentan seperti di pengungsian dan daerah konflik. Terlebih menurut pengamat, Megawati dianggap menguatkan kembali peran militer dalam politik Indonesia dan secara langsung berkontribusi besar terhadap berbagai pelanggaran HAM khususnya bagi terjadinya kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik. Selain itu, masalah perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 juga tidak membuat pemerintah membuat kebijakan untuk memberikan solusi pertanggungjawaban (sekitarkita 2002). Lalu, mengapa pembahasan peran perempuan begitu penting dalam kehidupan bernegara? Menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF), negara dengan partisipasi angkatan kerja perempuan yang setara dengan laki-laki mampu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) negara yang bersangkutan (Elborgh-Woytek et al. 2013, 4-5). Di sisi lain, Rahel Kunz, seorang pengajar di Institusi Studi Politik dan Internasional Universitas Lausanne Swiss, mencoba melihat posisi perempuan di dalam studi perdamaian dunia. Ia mengenalkan istilah “Gender and Security Sector Reform” di mana perempuan dituntut untuk lebih banyak berperan ke dalam sebuah operasi perdamaian dunia terutama ketika terjadi masalah gender based violence yang seringkali terjadi di zona konflik, suatu aksi kekerasan yang banyak menimpa perempuan dan anak-anak (Kunz 2014, 604-608). Karakter feminin yang ada pada perempuan dipandang dapat menjadi sebuah pendekatan yang mampu menghasilkan output yang berbeda dari laki-laki yang cenderung maskulin dalam hal pencarian akar konflik hingga tahapan penyelesaiannya. Lebih jauh lagi, Tarja Väyrynen mengungkapkan jika aktor perempuan terlibat dalam suatu upaya konflik resolusi maka diyakini mampu meningkatkan daya tahan perjanjian damai hingga 30% (Väyrynen 2010, 137-153). Mengenai dampak kandidat politik perempuan dan pejabat terpilih terhadap kehidupan pemilih perempuan di region pemilihan, kandidat perempuan cenderung memfokuskan agenda pada isu-isu seperti: kesetaraan gender, perawatan anak, pendidikan, aborsi, dan upah minimum (Herrnson, Lay & Stokes 2003, 244-248). Sayangnya hal tersebut tidak mutlak selalu terjadi. Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa baru-baru ini perempuan cenderung menunjukkan gaya kepemimpinan politik yang lebih kooperatif dan melebur dalam kemaskulinitasan dunia politik. Perdebatan juga datang dari studi yang mengatakan bahwa jenis kelamin legislator sebenarnya tidak berefek secara langsung terhadap penyelesaian isu-isu perempuan. Demikian pula, apabila partisipasi 70 persen laki-laki di dalam kongres diganti dengan perempuan dengan persentase yang sama belum tentu akan ditemukan perubahan apa-apa sebab agenda politik ditentukan seluruhnya oleh identifikasi partai dan bukan berdasarkan gender. Kemunculan kandidat perempuan dapat menjadi model panutan dan inspirasi bagi perempuan lain. Namun, efeknya bersifat euforia sesaat dan memudar dari waktu ke waktu. Sebagai pemilih perempuan, kita semua harus memastikan bahwa setiap perempuan dapat menikmati kesempatan yang sama untuk memajukan hidupnya dan bahwa suara perempuan terwakili oleh kandidat perempuan. Banyak feminis melihat kepemimpinan yang bergaya perempuan berpotensi lebih sensitif dan efektif dalam melihat isu-isu struktural yang menimpa kaum perempuan. Nilai-nilai feminis seperti kepedulian dan perdamaian serta kompromi harus lebih banyak mendominasi ranah publik dan politik. Namun yang seringkali ditemukan di lapangan adalah banyaknya kampanye oleh kandidat atau politisi perempuan yang dilakukan secara netral gender dan tidak terbuka serta konfrontatif dalam membawa isu-isu perempuan karena kekhawatiran pelabelan eksklusif terhadap isu-isu tersebut yang berujung pada prasangka dan diskriminasi jika nantinya terpilih. Seringkali pula, semua agenda politik dibuat dalam tempo yang singkat sehingga isu-isu perempuan diangkat hanya untuk mendulang lebih banyak suara. Untuk itu hal-hal yang sebaiknya diperhatikan oleh pemilih perempuan adalah kandidat—baik laki-laki maupun perempuan—yang memprioritaskan kemajuan bagi kaum perempuan di dalam agenda kebijakannya. Pemilih perempuan masa kini sebaiknya juga memprioritaskan fokus mereka pada kebijakan dan komitmen yang diusung oleh kandidat daripada jenis kelamin mereka. Pertanyaaan penting yang perlu diajukan adalah apakah dengan menempatkan perempuan di posisi elit kepemimpinan, maka di saat yang bersamaan akan ada manfaat yang mengalir ke massa perempuan? Jadi mari kita pertajam penilaian kita, apakah politisi perempuan tersebut hanyalah ikon perempuan atau ikon feminis? Referensi Young, Cathy 2013, Margaret Thatcher and Feminism, Real Clear Politics, diakses dari http://www.realclearpolitics.com/articles/2013/04/18/margaret_thatcher_and_feminism_118018.html pada 17 November 2016 Herrnson, PS, JC Lay & AK Stokes 2003, “Women Running ‘as Women’: Candidate Gender, Campaign Issues, and Voter-Targeting Strategies”, The Journal of Politics of Southern Political Science Association, vol. 65, no. 1. Lawless, Jennifer L & Fox, Richard L 2012, Men Rule The Continued Under-Representation of Women in U.S. Politics, Women & Politics Institute, Washington DC. Elborgh-Woytek, Katrin et al. 2013, Women, Work, and the Economy: Macroeconomic Gains from Gender Equity, IMF Discussion Note, SDN/13/10. Rahel, Kunz 2014, “Gender and Security Sector Reform: Gendering Differently?”, International Peacekeeping, vol. 21, issue 5. “Presiden Perempuan: Mampukan Mengubah Bencana Menjadi Berkah Bagi Perempuan,” sekitarkita, 22 Januari 2002, diakses pada 10 November 2016, http://sekitarkita.com/2002/01/presiden-perempuan-mampukah-mengubah-bencana-menjadi-berkah-bagi-perempuan/ Väyrynen, Tarja 2010, “Gender and Peace Building”, in Oliver V. Richmond (ed.), Palgrave Advances in Peacebuilding. Critical developments and approaches, Palgrave Macmillan, Hampshire. Muhammad Dluha Luthfillah (Islam dan Kajian Gender, Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dluhaluthfi@gmail.com Beberapa dekade lalu, teologi Kristen telah memformulasikan hubungan antara yang sakral dan ekologi. Usaha ini diikuti kemudian oleh para teolog dari agama lain termasuk Islam. Istilah yang digunakan adalah green religion, greener faith, eco-theology, “Green Islam”, environmental ethics, religious environmentalist dll. Namun para Sarjana Agama belum mencoba hubungkan ekologi dan gender. Mereka hanya membicarakan perang dan dampaknya pada perempuan, anak-anak, dan lingkungan. Termasuk sarjana muslim, dengan beberapa pengecualian. Rosemary Ruether telah mendaftar bagaimana Muslim environmentalist menafsirkan ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan. Beberapa narasi dan sumber-sumber agama tentang permasalahan alam dan perempuan disampaikan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Beberapa sarjana menawarkan hukum lingkungan melalui reinterpretasi yurisprudensi. Betapapun demikian, mereka tetap memulai usaha tersebut dengan berbicara tentang tauhid. Mereka membawa konsep tauhid kepada apa yang disebut inclusive tawhid, sebuah konsep yang mengajarkan keesaan Tuhan, kesatuan manusia dan kebersatuan alam semesta. Mengintegrasikan mikro-kosmos dan makro-kosmos. Konsep ini diamini oleh ayat Alquran; “Semua binatang di bumi, burung yang terbang juga adalah umma seperti kalian” (QS. 6:38). Dalam pandangan muslim umumnya, alam dipahami berserah diri pada dan mentasbihkan Allah. Manusia diberi kewajiban untuk mempergunakan alam (taskhir) tanpa merusak (ifsad). Lebih jauh, Muhammad Abduh, seorang pemikir Mesir, memiliki pandangan tentang ajaran Alquran terkait istikhlaf (QS. 53:24) dan taskhir (QS. 12:45) untuk manusia. Konsep ini memiliki beberapa unsur antroposentrisme di dalamnya. Dalam pandangan Abduh tersebut, terdapat bias antroposentris yang betatapun mengakui kekuatan yang dimiliki oleh bumi, menganggap kekuatan manusia lebih besar. Dengan konsep tersebut, manusia dan alam seharusnya dibawa agar berkoordinasi menciptakan spiritual harmony karena keduanya adalah manifestasi dari creative will yang satu. Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa alam diciptakan oleh Tuhan bukan untuk melayani manusia, karena yang disebutkan dalam Alquran hanya keuntungan bagi manusia dari alam. Dalam meraup keuntungan itu pun mereka diberi kewajiban untuk menjaga bumi (baca: alam) dari corruption (perusakan). Dengan nada yang agak sama, Fazlur Rahman mengatakan bahwa alam taat pada Tuhan dengan kemauan yang otomatis, tidak seperti manusia yang memiliki pilihan untuk taat dan tidak. Merujuk pada beberapa ayat Alquran, diantaranya QS. 3:83, QS. 57:1, QS. 59:1, QS. 24:41, beliau menunjukkan bahwa alam telah ber-Islam dan mengagungkan-Nya. Melalui ayat-ayat tersebut, beliau juga menangkap adanya kesatuan alam dan manusia. Selain itu, beliau menekankan kemampuan alam untuk melayani dan kemungkinan untuk dirusak manusia. Manusia bisa memanfaatkan alam selama itu untuk kebaikan. Dalam pemanfaatan itu pun manusia masih bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan pada alam. Selain hal-hal itu, larangan Alquran terhadap perusakan bumi menjadi titik tolak muslim untuk mengembangkan konsep penjagaan alam (nature preservation). Lebih jauh Rahman tidak menunjukkan hubungan antara concern terhadap alam dan diskriminasi terhadap perempuan. Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa krisis lingkungan berhubungan dengan penggunaan teknologi modern. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa teolog muslim tidak memberikan perhatian pada teologi alam (theology of nature). Padahal jika dihayati lebih dalam, al-Muhith (salah satu nama Allah) mengingatkan kita pada lingkungan kita. Mewakili dunia sufi, Rumi mengatakan bahwa yang bermasalah bukan alamnya, tapi hubungan manusia dengan alam. Menurutnya, arti moral dalam hukum alam itu ada sekalipun ia tidak terlihat (baca: tersembunyi) dari manusia. Othman Abd-ar-Rahman Llewellyn adalah sarjana kontemporer yang telah memformulasikan dasar Islamic environmental law, yang berkaitan dengan konsep tauhid (kesatuan ciptaan-Nya), taqwa, rahma (kasih), dan ihsan (tindakan yang memberikan keuntungan), juga khilafa. Beliau juga mengutip ayat wa ma min dabbatin fil ardli wa la tha’irin yathiru bijanahayh. Dengan itu maka masuk akal jika manusia dilarang melakukan perusakan alam (fasad fi al-ardl). Beliau juga menggunakan kaidah fiqh bahwa kepentingan umum lebih dipentingkan daripada kepentingan pribadi dan mencegah keburukan lebih dipentingkan daripada mencari keuntungan (dar’al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih). Beliau mempertimbangkan juga aturan yang muncul masa perang tentang larangan untuk mengganggu perempuan, orang tua, tumbuhan dan binatang. Dalam tataran praktis, ada beberapa sarjana dan organisasi Muslim yang mendiseminasikan formulasi normatif tentang hubungan alam, manusia dan Tuhan, Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES) di Birmingham dan The Islamic Foundation for Science and Environment di Delhi adalah dua contohnya. Beberapa pesantren di Indonesia juga mulai bisa digolongkan dalam kategori ini. Begitu juga organisasi islam seperti Muhammadiyah dan NU, bahkan MUI. Riska Dwi Agustin riskaagustin91@gmail.com (Mahasiswa Jurusan Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga) Salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 merupakan organisasi yang pada mulanya hanya beranggotakan kaum laki-laki. Melihat fenomena ini Ny. Djunaisih sebagai perintis organisasi Muslimat NU memiliki gagasan bahwa, “Dalam agama Islam tidak hanya laki-laki saja yang harus dididik berkenaan dengan ilmu agama melainkan perempuan juga harus dan wajib mendapat didikan yang selaras dengan tuntutan dan kehendak agama Islam” (Afif 11). Gagasan tersebut disampaikan dalam pidatonya dalam Kongres NU ke-13 di Menes Banten tahun 1938 yang menjadi cikal bakal lahirnya Muslimat NU (Ma’shum dan Ali Zawawi 110). Meskipun gerakan yang diprakarsai ini sarat dengan pengaruh tradisi dan budaya patriarki namun kaum perempuan pada masa itu berhasil bangkit dan menyuarakan pentingnya perempuan berorganisasi dan berperan aktif tidak hanya di wilayah domestik. Dalam momentum yang sama hadir pula Ny. Siti Syarah sebagai pembicara kedua yang turut mendukung pendapat Ny.Djunaisih dalam isi pidatonya. Sehingga, kedua tokoh tersebut memiliki peran besar terhadap berdirinya Muslimat NU pada rentang waktu 1938-1952 yang sampai sekarang menjadi salah satu badan otonom dalam tubuh organisasi NU. Organisasi Muslimat NU kemudian memprakarsai lahirnya Fatayat NU sebagai organisasi pemudi Islam yang keduanya memiliki hubungan seperti saudara kakak dan adik dengan segala suka dan duka persaudaraan. Tampilnya kedua perempuan dalam acara Kongres NU ke-13 di Menes, Banten ini didukung oleh keputusan fatwa Bahtsul Masa’il ad-Diniyah pada tahun 1935, bahwa seorang perempuan yang berdiri di tengah-tengah laki-laki lain itu haram hukumnya, kecuali jika bisa “sunyi” (terhindar) dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jaiz). Hal ini karena suara perempuan tidak termasuk aurat, menurut pendapat yang ashhah. Keputusan tersebut berdasarkan landasan dari kitab Ittihaf al-saddah al-Muttaqin, Syarah al-Sittin, al Fawa al-Kubra al-Fiqhiyah (Asrori & Muntaha 157). Muslimat NU pada mulanya bernama NOM (Nahdlatoel Oelama Moeslimat) yang kemudian menyelenggarakan rapat umum NOM pada Kongres NU ke-14 tahun 1939 di Magelang. Pada kesempatan ini dihadiri oleh enam perempuan NU dari sejumlah wakil daerah untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Mereka adalah Ny. Saodah dan Ny. Gan Antang keduanya dari Bandung, Ny. Badriyah dari Wonosobo, Ny. Sulimah dari Banyumas, Ny. Istiqomah dari Parakan dan Ny. Alfiyah dari Kroya Cilacap. Inti dari pidato yang disampaikan oleh perempuan-perempuan NU tersebut adalah diperlukan adanya pergaulan di dalam perkumpulan untuk mendukung tugas penting para perempuan, karena mereka memegang peran penting dalam mencerdaskan bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan membentuk organisasi perempuan di dalam Organisasi Islam Tradisional tersebut (Aboebakar 615). Selanjutnya pada Kongres NU ke-15 tahun 1940 di Surabaya diadakan rapat tertutup yang dipimpin oleh Ny. Djunaisih dan Siti Hasanah sebagai penulisnya. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan: pengesahan NOM oleh NU, pengesaahan Anggaran Dasar NOM oleh Kongres NU, adanya Pengurus Besar NOM, menetapkan daftar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat, rencana menerbitkan majalah NOM, bertamasya keliling kota Surabaya pada hari Kamis 12 Desember 1940 (Zuhri 44-45). Rekam jejak perjalanan ini belum selesai karena pada Kongres NU ke-16 di Purwokerto tahun 1946 disahkan secara resmi lahirnya NOM dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) sebagai organisasi perempuan di bawah naungan NU. Diterimanya NOM oleh PBNU ini tidak terlepas dari dukungan sebagian tokoh NU yang saat itu memiliki pemikiran bahwa sudah sampai pada tahap diperlukannya kehadiran perempuan dalam perjuangan dan organisasi, agar paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai paham keagamaan NU dapat diterima merata antara laki-laki dan perempuan (Afif 27). Kemudian pada kongres NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NUM menjadi badan otonom NU dan mengubah namanya menjadi Muslimat NU yang dikenal secara luas sampai saat ini (Zuhri 81). Muslimat NU merupakan organisasi yang berasas Islam dan berideologi menurut paham Ahlus Sunah Wal Jama’ah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Latar belakang terbentuknya Muslimat NU ini tidak terlepas dari keadaan sosial, pendidikan, ekonomi dan politik masyarakat dalam menempatkan perempuan pada posisi yang serba tidak menguntungkan pada saat itu. Kedua tokoh perempuan progresif Ny. Djunaisih dan Ny. Siti Syarah inilah yang kemudian memperjuangkan hak-hak kaum perempuan agar memiliki kesempatan berpendidikan yang sama seperti laki-laki pada umumnya. Kaum perempuan tidak hanya terjebak dalam kesibukan-kesibukan pekerjaan domestik tetapi juga secara alamiah mereka memiliki ruang untuk mengembangkan potensi, bakat dan minat yang dimiliki di ranah yang lebih luas yakni publik. Demi mewujudkan organisasi Muslimat NU sering sekali terjadi perdebatan yang alot diantara tokoh-tokoh NU (Natsir 22). Pasalnya ciri khas organisasi NU memang dikenal dengan ketradisionalannya yang sangat patriarkis dalam memperlakukan perempuan. Apalagi pada masa itu masih cukup dominan pandangan yang berlaku pada sebagian tokoh NU, khususnya para ulama yang menampik kehadiran perempuan di pentas organisasi karena alasan syar’i (Ma’sum & Zawawi 70). Sehingga, tidak bisa dipungkiri bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melahirkan Muslimat NU benar-benar tidak singkat. Beberapa kiai yang telah dahulu memahami kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan seperti K.H Muhammad Dahlan yang memiliki andil besar mendukung kelahiran Muslimat NU memulai perannya sebagai seorang laki-laki yang turut memperjuangkan hak perempuan. Hal ini dibuktikan dengan dukungan terhadap istri Ny. Chadijah Dahlan menjadi ketua pertama pada NUM. Begitu juga dengan K.H Wahid Hasyim yang mendukung istrinya untuk berorganisasi dan mendapat jabatan kepengurusan di Muslimat NU. Istilah konco wingking yang tersemat pada kaum perempuan saat itu justru menjadikan kaum perempuan tidak mendapatkan akses yang sama untuk aktif dalam kegiatan di luar rumah. Mereka hanya diarahkan berfokus pada kegiatan-kegiatan monoton setiap harinya sebagai ibu yang dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, mengurus anak, membersihkan rumah, mengurus suami. Satu sisi kebanyakan kaum perempuan memang merasa nyaman dengan posisi sesuai konsep ‘ibuisme’ yang diterapkan oleh rezim Suharto ini. Mereka secara terang-terangan tidak menyadari bahwa hal demikian justru akan membawa banyak kemunduran jika tidak diimbangi dengan proses belajar secara terus-menerus untuk mengembangkan keilmuan yang telah mereka miliki (Dahlan 21). Sebagai akibatnya, kaum perempuan pada saat itu memang sangat menggantungkan segala aspek kehidupannya pada kaum laki-laki. Dalam menentukan suara pun kaum perempuan tidak memperoleh hak untuk berpendapat meskipun di dalam rumah sendiri. Semua keputusan hanya berhak diputuskan oleh kepala keluarga, suami yang memegang hak penuh dalam menentukan urusan-urusan berkeluarga. Apakah suami dalam hal ini termasuk dalam kategori amanah atau tidak hal ini menjadi urusan nomor sekian, karena pada dasarnya istri akan selalu ditempatkan mengikuti suami dari belakang istilah dalam bahasa Jawa: suwargo nunut neroko katut. Ironis, bagaimana bisa kaum perempuan akan berkembang lebih mandiri jika mereka terkungkung dalam budaya patriarki yang justru mereka anggap sebagai hal yang menyenangkan karena merasa hidupnya sudah ‘ditanggung’ sepenuhnya oleh kaum laki-laki. Selain itu, dalam aspek mendapatkan hak berpendidikan kaum perempuan tidak diprioritaskan. Apalagi jika memang mereka terlahir dan besar dalam keluarga menengah ke bawah. Bisa dipastikan bahwa anak laki-laki akan mendapatkan lebih banyak dukungan mendapatkan kesempatan berpendidikan karena dianggap lebih mampu dalam mengenyam pendidikan baik formal maupaun nonformal. Mereka diarahkan untuk menjadi pemimpin masa depan sedangkan akses kaum perempuan dipangkas begitu saja untuk dikondisikan menjadi orang rumahan yang tidak tahu dunia luar. Kehidupan kaum perempuan hanya sebatas dapur, kasur dan sumur. Dalam sejarahnya, pesantren yang pertama kali menerima santri-santri perempuan adalah Mamba’ul Ma’arif di Denanyar Jombang pada tahun 1921 yang sebelumnya hanya menerima santri-santri laki-laki pada tahun 1917 dan menyelenggarakan pendidikan bagi laki-laki (Muafiah 2). Keadaan-keadaan perempuan seperti ini kemudian juga diperparah dengan beberapa hal pelik yang dialami oleh kaum perempuan. Pernikahan R.A Kartini anak dari seorang bangsawan Bupati Rembang dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang. Dia dipaksa kawin dengan suami yang telah beristri dan dilarang melanjutkan sekolahnya ke Belanda (Muhadjir Darwin 284). Dalam sumber literasi lain Sukarno pada karyanya Sarinah ‘mendewi tololkan’ istrinya sebagai mutiara yang selalu ditolong sampai mati dan tidak pernah menjadi akil baligh (Sukarno 9). Kompleksitas masalah yang dialami kaum perempuan tidak hanya dirasakan oleh kaum menengah ke bawah. Dua tokoh tersebut secara jelas menggambarkan bagaimana posisi kaum perempuan yang sangat tidak bisa terbebas dari kontrol dan kekuasaan laki-laki dalam segala aspek kehidupan mereka meskipun mereka hidup di keluarga bangsawan. Selain alasan-alasan dalam bidang sosial dan ekonomi yang mengonstruksi pola pikir masyarakat terhadap kaum perempuan, faktor kondisi politik saat itu sangat menghantui pergerakan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Bahkan dengan adanya pengaruh hegemoni kepentingan Orba dalam hal menyambut pesta perpolitikan tahun 1955 arah pejuangan rakyat Indonesia saat itu mengalami perubahan bentuk perjuangan pada pembentukan organisasi. Mereka menggunakan bentuk organisasi-organisasi untuk bergerak secara masif melalui basis massa. Kondisi ini disetujui dengan munculnya organisasi Muslimat NU yang juga memiliki peran dalam mendukung “Resolusi Jihad” yang digalakkan NU sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan RI untuk menopang perpolitikan NU sendiri. Kondisi perempuan dalam tubuh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) telah termanifestasi dalam pergerakan perempuan yang diwadahi oleh Muslimat NU. Sepanjang proses kelahiran organisasi ini telah menunjukkan bahwa latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan dan politik dalam masyarakat telah memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan arah perjuangan kaum perempuan. Apalagi dalam proses mewujudkan badan otonom Muslimat NU dalam organisasi NU tidak semerta-merta hanya terdapat campur tangan kaum perempuan. Namun, peran para kiai yang menunjukkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan hendaknya memang akan terwujud dengan kerjasama diantara kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Daftar Pustaka A. Ma’ruf Asrori dan Ahmad Muntaha AM, ed., 2011, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M), Khalista, bekerja sama dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Surabaya. A. Khairul Anam, dkk., 2014. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama, sejarah, tokoh dan khazanah pesantren jilid I, Mata Bangsa dan PBNU bekerjasama dengan PT Bank Mandiri Persero, Jakarta. Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim, Pustaka Tebuireng. Afif, “Merintis Kebangkitan Kaum Ibu”, Aula: Perempuan-Perempuan Tangguh. Tab’ah 12/SNH XXXV/Desember 2013, hal. 11. Aisyah Dahlan 1979, “Inspiratie Kartini Pada Kebangkitan Wanita Muslimat NU Indonesia”, Ibu Kartini Seratus Tahun, PP. Muslimat NU, Jakarta. Evi Muafiah. “Pendidikan Perempuan di Pondok Pesantren”, Nadwa: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1, April 2013, hal. 2. Muhadjir Darwin. “Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 7, No. 3, Maret 2004, hal. 284. Ny. H. Saifuddin Zuhri, dkk., 1979, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, PP. Muslimat NU, Jakarta. Natsir, Lies Marcoes dkk., 2012, Peta Gerakan Perempuan Islam Pasca-Orde Baru, Institute Studi Islam Fahmina, Cirebon. Sukarno 2014. Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, Penerbit Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno, Yogyakarta, hal. 9. Saifullah Ma’shum dan Ali Zawawi, ed., 1996, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat Untuk Agama Negara dan Bangsa, PP. Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta. Andi Nur Faizah M (Mahasiswa Program Studi Kajian Gender, Universitas Indonesia) andinurfaizah@gmail.com Perempuan adalah alam. Begitulah asosiasi yang dilekatkan kepada perempuan sebagai sumber kehidupan bagi umat manusia. Sebagaimana yang diungkapan oleh French, Ibu memainkan peran utama di dalam kegiatan keterikatan, berbagi, dan berpartisipasi harmonis di dalam alam, yang kesemuanya berorientasi kepada kelangsungan hidup (Tong 80). Asosiasi ini secara tidak langsung memberikan peran kepada perempuan sebagai pemberi penghidupan. Dorothea Rosa Herliany dalam novelnya berjudul Isinga mengangkat kisah perempuan Papua terkait perannya sebagai “pemberi kelangsungan hidup”. Dalam bahasa Papua, perempuan atau Ibu disebut dengan isinga, isigna, atau misinga. Novel berjudul Isinga: Roman Papua ini mengisahkan seorang perempuan bernama Irewa asal Aitubu yang harus menikah dengan seorang laki-laki bernama Malom asal Hobone. Irewa dijadikan sosok perdamaian antara perkampungan Aitubu dan Hobone dan sebab itulah ia harus menikahi Malom sebagai simbol perdamaian. Upacara perkawinan adat dilakukan melalui pertukaran babi yang berarti bahwa istri telah dibeli dengan babi dan saat itu pula istri menjadi milik suami. Irewa yang sebetulnya tidak menaruh hati sedikitpun pada Malom harus menerima kondisi yang berat akibat adat yang lekat akan sekat antara peran istri dan suami. Setelah menikah Irewa harus tinggal di perkampungan Hobone untuk hidup bersama sang suami. Masa awal perkawinan merupakan hal yang sangat berat bagi Irewa. Ia harus menerima dirinya disetubuhi secara paksa oleh laki-laki yang kini menjadi suaminya pada malam pertama. Selain melayani suami, Irewa juga harus menyesuaikan diri untuk melakukan pekerjaan yang berat, seperti mencari kayu bakar, menyelam untuk menangkap ikan (tanpa bantuan apa-apa), membuat dan memperbaiki jala, berkebun dan mengolah sagu, dan mengurus babi. Bekerja saat hamil dipercaya dapat membuat perempuan melahirkan dengan mudah. Sayangnya, pekerjaan tersebut justru membuat Irewa keguguran pada kehamilan pertamanya. Mengetaui istrinya keguguran, Malom tetap berambisi untuk memiliki banyak anak, hingga lahirlah anak pertama berjenis kelamin perempuan. Hanya berselang 10 hari Irewa melahirkan, Malom kembali mengajak istrinya untuk bersetubuh. Irewa kemudian hamil saat anak pertamanya berusia satu tahun. Ketika mengetahui anak kedua berjenis kelamin perempuan, Malom terus berambisi untuk memiliki anak laki-laki dan akhirnya anak ketiga lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Satu anak laki-laki saja tidak cukup bagi Malom. Ia terus menuntut untuk memiliki banyak anak laki-laki. Saat itulah Irewa menyadari, bahwa perkara anak tidak akan pernah selesai. Ia akan terus menerima ajakan suaminya untuk bersetubuh. Perkara memiliki anak adalah sebuah keharusan bagi perempuan, seperti yang tertuang dalam kalimat berikut:
Derita lain yang dirasakan Irewa adalah saat melakukan persalinan, sebagaimana yang diungkapkan oleh penulis.
Persalinan Irewa yang dibantu oleh mama bidan dilakukan sangat sederhana tanpa bantuan alat yang memadai. Kondisi tersebutlah yang harus dialami Irewa setiap melahirkan. Beban yang diemban Irewa sangatlah berat. Ia harus mengalami kondisi hamil, keguguran, hamil lagi, dan keguguran lagi (hingga mengalami kehamilan sebanyak 8 kali). Beban kerja yang diberikan kepadanya juga sangat berlapis, karena saat bekerja Irewa juga harus membawa anak-anaknya dengan noken. Belum lagi dengan kekerasan yang dilakukan oleh Malom. Ia seringkali memukul Irewa apabila keinginannya tidak terpenuhi. Irewa terus bertahan dan mencoba menghayati berbagai nasihat sebagai sumber kekuatannya.
Menghayati petuah-petuah tersebut membuat Irewa lebih kuat namun tidak bertahan lama. Irewa mengalami kejenuhan dengan kehidupan yang penuh dengan tekanan dan akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri. Batin Irewa terus bergejolak saat akan bunuh diri. Ia teringat masa saat masih bersama orang tuanya dulu. Sangat jelas terbayang ketika dirinya mampu memutuskan sesuatu tanpa intervensi siapa pun. Irewa juga teringat masa saat dirinya mampu memantapkan keinginan dirinya. Pada saat itulah Irewa mengurungkan niatnya untuk bunuh diri dan merumuskan kembali keinginan hidupnya. Bagi Irewa, perempuan di Megafu sudah tidak dihargai dan sebab itu agar perempuan dihargai, perempuan itu sendiri yang harus menghargai hidupnya. Penghargaan tidak dapat diperoleh dari orang lain. Meskipun novel ini tidak berujung happy ending, Irewa pada akhirnya menjadi tenaga relawan di kantor distrik untuk kegiatan perempuan. Kegiatan tersebut berupa penyuluhan kesehatan HIV/AIDS kepada para Ibu. Selain itu, Irewa juga memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada para remaja. Berbagai kegiatan tersebut membuat Irewa lebih percaya diri sekaligus memperkuat tujuan hidupnya. Melalui novel ini, terlihat jelas bahwa perempuan yang diasosiasikan sebagai alam (pemberi kehidupan) mengalami opresi akibat adat berbalut patriarkal. Perempuan mengalami beban kerja, baik dalam hal pengasuhan anak hingga mencari makan untuk kehidupan keluarga. Terkait konteks kerja, bagi Young analisis pembagian kerja memiliki posisi penting untuk menunjukkan seorang individu dalam melakukan proses produksi di dalam masyarakat (Tong 179). Dalam hal ini Young ingin mengungkapkan bahwa perempuan dipinggirkan karena peranannya yang dianggap sebagai tenaga sekunder dan laki-laki diidentifikasikan sebagai tenaga primer. Identifikasi tenaga kerja ini menempatkan perempuan sebagai sosok yang dibutuhkan di rumah sementara laki-laki lebih bebas untuk bekerja di luar rumah (Tong 180). Tekanan yang dialami oleh perempuan tersebut pada akhirnya membuat tubuh dan pikirannya terasingkan. Kondisi keterasingan ini merujuk pada alienasi. Menurut Jaggar dalam bukunya berjudul Feminist Politics and Human Nature, alienasi adalah perasaan keterasingan individu terhadap kondisi sekitarnya, rasa kesepian, ataupun perasaan tidak diinginkan (307). Bagi Jaggar, konsep alienasi ini pada dasarnya merupakan konsep yang cukup kuat untuk mengakomodir pandangan utama pemikiran feminis Marxis, radikal, bahkan liberal (Tong 182). Lebih lanjut, Jaggar mengungkapkan bahwa feminis sosialis ingin merevisi pandangan feminis Marxis yang hanya berpikir sumber opresi perempuan terletak pada relasi produksi kapitalis. Feminis sosialis merevisinya, bahwa perempuan sebetulnya teralienasi secara seksual, baik sebagai ibu maupun istri. Dalam hal ini, perempuan teralienasi di berbagai aspek kehidupan, khususnya pada bentuk seks gender sistem (Jaggar 308). Sebagaimana buruh teralienasi dalam produk yang dikerjakannya, Jaggar berargumen perempuan juga teralienasi dari produk yang dihasilkannya, yaitu tubuhnya. Jaggar membahas alienasi dalam 3 rubrik, yaitu seksualitas, motherhood, dan intelektualitas (Tong 182). Pemaparan kisah novel ini menunjukkan bahwa Irewa mengalami berbagai ketidakadilan. Irewa mengalami multi beban (multi-burden) karena harus mengurus rumah tangga, merawat anak, mengurus suami, mengurus ladang, merawat ternak (babi), hingga mencari makanan untuk keluarga. Stereotipe Ibu baik juga dicitrakan dalam beberapa hal, seperti tidak pernah mengeluh, tidak pernah protes, tidak pernah membantah, tidak pernah bersedih, tidak pernah berbicara kasar, dan tidak pernah menyakiti hati orang lain. Ibu yang kuat juga diberi stereotipe, yaitu perempuan yang tetap bekerja meskipun sedang dalam kondisi hamil. Berbagai tugas yang diemban istri tersebut tidak dianggap sebagai pekerjaan, melainkan kodrat perempuan. Kodrat inilah yang berujung pada ketidakadilan kerja. Berdasarkan pemikiran Young, perempuan dalam hal ini diidentifikasi sebagai tenaga sekunder. Perempuan dianggap sebagai sosok yang paling cocok untuk bekerja dalam ranah domestik, seperti mengurus rumah tangga, merawat anak, mengurus kebun, mengurus ternak, hingga mencari makanan untuk keluarga. Kalaupun perempuan mendapatkan penghasilan, itu hanya dianggap sebagai pekerjaan sampingan dengan upah kecil. Analisis pembagian kerja inilah yang dimaksud oleh Young dapat menunjukkan siapa yang memberi perintah dan siapa yang melaksanakannya (Tong 179). Perempuan selaku istri mendapatkan perintah untuk mengerjakan tugas domestik, sementara pihak yang memberikan perintah adalah laki-laki selaku suami serta budaya setempat yang menuntut perempuan untuk menjadi “istri baik”. Dalam konteks ini sangat jelas terlihat pada saat Irewa harus mengurus rumah tangga dan mengasuh anak (tugas sebagai Ibu yang baik), sementara suaminya pergi berburu (pekerjaan ranah publik). Hal inilah yang selanjutnya berimplikasi terhadap langgengnya konstruksi dalam masyarakat, yaitu terhadap pemahaman “pekerjaan khas perempuan” yang menempatkan perempuan pada sektor kerja tertentu saja (Saptari & Holzner 459-460). Impilkasinya, perempuan dalam ruang kerja hanya dipandang sebagai tenaga sekunder dan pekerjaan domestik tidak dianggap sebagai bentuk “kerja”, melainkan sebuah “kodrat”. Hadirnya konstruksi “pekerjaan khas perempuan” dalam masyarakat, membuat perempuan teralienasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Jaggar. Irewa mengalami keterasingan akan tubuhnya bahkan merasa kesepian hingga membuatnya ingin bunuh diri. Irewa merasa teralienasi karena tugasnya sebagai Ibu sekaligus istri di dalam kehidupan adat yang amat patriarkal. Sesuai dengan pemikiran Jaggar, Irewa mengalami 3 bentuk alienasi, yaitu alienasi seksualitas, motherhood, dan intelektualitas. Pertama, pada alienasi seksualitas Irewa tidak dapat memandang tubuhnya sebagai tubuh yang utuh. Irewa tidak dapat mengelak bahkan tidak memiliki hak bersuara saat Malom menyetubuhinya. Tubuh Irewa bagaikan alat pemuas hasrat seksual untuk memuaskan suami. Irewa dalam hal sebagai istri tidak merasakan kenikmatan dalam berhubungan dengan suaminya. Irewa mengalami alienasi terhadap tubuhnya, seperti yang tertuang pada kalimat: “Saat itulah Irewa menyadari, bahwa perkara anak tidak akan pernah selesai. Ia akan terus menerima ajakan suaminya untuk bersetubuh”. Kedua, alienasi dalam motherhood nampak jelas pada saat Irewa tidak dapat menentukan jumlah anak yang ia miliki. Haknya tercerabut oleh keinginan suami bahkan adat yang mengharuskannya untuk menghasilkan anak sebanyak-banyaknya. Asosiasi perempuan sebagai sumber penghidupan diwujudkan melalui prokreasi. Bambu menjadi lambang perwujudan permulaan kehidupan dan mengharuskan perempuan untuk menghasilkan banyak anak layaknya tanaman bambu. Perempuan juga terlienasi dari proses kerja produksinya, yaitu pada saat proses kelahiran anak. Nampak pada kisah Irewa saat melahirkan. Irewa harus pergi jauh karena proses kelahiran yang dianggap kotor dan dapat menyebabkan penyakit mengerikan. Tidak hanya itu, proses persalinan yang tidak steril dan tanpa bantuan alat memadai (diasapkan dengan kayu api dan diberi alas rerumputan kering) membuat Irewa terpaksa mengalaminya. Dalam hal ini, perempuan teralienasi dari produk dan proses kelahiran bayinya. Ketiga, alienasi dalam intelektualitas terlihat pada saat Irewa merasa putus asa akan hidupnya dan nyaris bunuh diri. Petuah-petuah yang diberikan padanya, dijadikan pedoman untuk terus bertahan dalam opresi. Wejangan seperti tidak membantah, tidak mengeluh, tidak berbicara kasar, dan tidak suka bertengkar dijadikan nilai sekaligus prinsip untuk tidak melawan kepada suami. Perempuan menjadi tidak yakin akan dirinya sendiri dan ragu untuk mengungkapkan gagasan di depan publik (Tong 185). Irewa yang dulunya mampu memutuskan keinginan diri, seketika teralienasi saat telah menikah dan memiliki anak. Suami, lingkungan, dan adat mengikatnya dengan berbagai aturan dan hal tersebut membuat Irewa mengalami dehumanisasi. Dalam hal ini, perempuan akhirnya tidak mampu mengungkapkan gagasannya secara rasional akibat teralienasi dalam intelektualitasnya. Menurut Jaggar, setiap manusia harus mendapatkan kebebasan, khususnya kebebasan reproduksi kepada seluruh perempuan (318). Kebebasan reproduksi inilah yang menjadi salah satu rekomendasi Jaggar untuk melepaskan perempuan dari opresi. Perempuan harus diberikan kebebasan untuk menentukan dan memilih kehidupan reproduksinya tanpa intervensi siapa pun. Pemerolehan pengambilan keputusan tersebut perlu dilakukan dengan “berkesadaran”. Oleh sebab itulah perempuan harus memahami sumber ketidakbahagiaannya agar memiliki posisi untuk melawannya (Tong 186). Meskipun dalam novel Irewa tidak mendapatkan kebebasan reproduksi, tetapi Irewa pada akhirnya mampu memutuskan sesuatu dengan “berkesadaran”. Berkesadaran dalam hal ini juga dapat dilihat pada aspek kerja. Perempuan harus dapat melepaskan belenggunya dari konstruksi “pekerjaan khas perempuan”, demikian halnya masyarakat luas serta negara. Hal ini diperlukan agar perempuan tidak tersubordinasi dan memiliki bargaining position dalam ruang kerja. Pada aspek yang lebih luas lagi, diperlukan keterlibatan keluarga, lingkungan, maupun negara untuk membebaskan perempuan dalam memilih serta mendukung pilihannya (baik itu hak reproduksi maupun kerja). Perempuan harus memeroleh tubuhnya secara utuh tanpa terfragmentasi. Daftar Pustaka: Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Herliany, Dorothea Rosa. Roman Papua: Isinga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015. Jaggar, Alison M. Feminist Politics and Human Nature. USA: The Harvester Press Limited, 1983. Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Kalyanamitra, 2016. Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra, 1998. Kepemimpinan Perempuan dalam Ruang Publik: Refleksi Gaya Kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti10/10/2016
Pendahuluan Kepemimpinan oleh perempuan juga merupakan suatu modal sosial. Kapital dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe: (1) personal atau human capital dan (2) social capital. Human capital terdiri dari sumber daya yang dimiliki oleh individu, siapa yang menggunakan dan mengatur dengan kebebebasan dan tanpa berhubungan dengan penggantian. Social capital terdiri dari sumber daya yang tertanam dari satu jaringan atau asosiasi. Satu implikasi dari penggunaan social capital adalah diasumsikan sebagai kewajiban untuk saling timbal balik atau adanya penggantian (Lin, 2004). Di Indonesia kepemimpinan oleh perempuan masih menjadi suatu pro dan kontra, yang mana sebagian penduduknya beragama muslim masih saja mempersoalkan halal dan haram bahwa perempuan sebagai pemimpin. Pada kabinet Indonesia Hebat sudah lebih baik dalam mengapresiasi peran perempuan pada posisi strategis dibandingkan kabinet-kabinet sebelumnya dalam mengapresiasi perempuan. Ada delapan menteri berjenis kelamin perempuan di kabinet Jokowi yaitu Rini Soemarno (Menteri Badan Usaha Milik Negara), Siti Nurbaya (Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup), Puan Maharani (Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), Nila F Moeloek (Menteri Kesehatan), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), Yohana Yembise (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Retno LP Marsudi (Menteri Luar Negeri), dan Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), serta Sembilan panelis KPK semuanya perempuan. Mereka dapat menunjukkan prestasi sesuai dengan tugasnya. Diantara beberapa menteri yang mempunyai prestasi gemilang salah satunya Susi Pudjiastuti yang telah melakukan reformasi birokrasi di tubuh kementerian Kelautan dan Perikanan. Dibandingkan kepemimpinan sebelumnya, belum ada yang mempunyai prestasi seperti Ibu Susi dan bertindak tegas terhadap kebijakan yang merugikan bangsa Indonesia. Kepemimpinan Susi Pudjiastuti menghasilkan suatu pro dan kontra terhadap masyarakat dengan latar belakang lulusan SMP. Pada kenyataannya kinerja yang telah dilakukan oleh Menteri Susi diantaranya produktif dalam mengeluarkan kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, moratorium izin kapal asing menangkap ikan di Indonesia, larangan dalam menggunakan cantrang, larangan terhadap bongkar muat hasil tangkapan ikan di tengah laut, larangan menangkap lobster dan kepiting yang masih bertelur hingga pengeboman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti terus melakukan tindakan tegas bagi pencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. "Kita wajib bangga, Indonesia kini nomor 1 pemberantasan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di dunia. Ini satu prestasi yang luar biasa. Dunia akan belajar pada kita," kata Susi di kantor Satker PSDKP Batam, Kepulauan Riau (http://news.liputan6.com/read/2344777/menteri-susi-indonesia-juara-1-pemberantasan-illegal-fishing, diakes pkl. 17.57, pada tanggal 22 September 2016). Menurut Chester Barnard, seperti ditunjukkan Pace dan Faules, keberadaan suatu organisasi (sebagai sistem kerja sama, termasuk pemerintahan) bergantung pada kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan kemauan bekerja sama untuk meraih tujuan yang sama pula. Barnard juga menegaskan bahwa fungsi seorang pemimpin (eksekutif) adalah mengembangkan dan memelihara suatu sistem komunikasi (Mulyana, 2014). Walaupun kedudukan pemimpin perempuan di Indonesia masih dipandang sebelah mata atau sebagai kelas kedua, namun menteri Susi mampu mempunyai prestasi kerja yang baik pada kepemimpinan. Suatu kepemimpinan dan pengeloaan modal sosial sangat penting dalam memimpin. Sehingga, pada makalah ini akan dibahas kepemimpinan dan pengeloaan modal sosial menteri Susi Pudjiastuti. Menjadi seorang pemimpin tidak berdasarkan jenis kelamin tertentu, bahwa seseorang itu perempuan atau laki-laki, tetapi di dalamnya terdapat suatu modal sosial yang dimanfaatkan dalam memajukan suatu pembangunan nasional. Menteri Susi Pudjiastuti merupakan salah satu menteri yang mampu menghasilkan prestasi luar biasa di tubuh Kementrian Kelautan dan Perikanan, walaupun pro dan kontra kepemimpinannya masih saja terjadi. Berangkat dari permasalahan tersebut, muncul pertanyaan, bagaimana kepemimpinan menteri Susi Pudjiastuti dalam mengelola modal sosial? Metode dalam menulis makalah ini menggunakan studi literatur atau desk study. Studi literatur diperoleh dengan menggunakan studi pustaka berupa buku-buku, jurnal dan melalui internet. Modal Sosial Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Unsur pokok modal sosial diantaranya: (1) partisipasi dalam suatu jaringan yaitu modal sosial tidak dibangun hanya oleh suatu individu, melainkan akan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-niali yang melekat. Modal sosial akan tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun jaringannya (Hasbullah, 2006). Berikutnya (2) resiprocity yaitu modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Seseorang atau banyak orang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika; (3) trust yaitu suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam sautu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Robert D Putnam 1993, 1995, dan 2002 dalam Hasbullah, 2006). Berikutnya (4) norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu; (5) nilai-nilai adalah sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Misalnya, nilai harmoni, prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya merupakan (Hasbullah, 2006). Tipe dan Gaya Kepemimpinan Efektif Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan memiliki otoritas manajerial. Kepemimpinan adalah apa yang dilakukan pemimpin. Kepemimpinan merupakan proses memimpin sebuah kelompok dan mempengaruhi kelompok itu dalam mencapai tujuannya (Robbins & Coulter, 2010). Pada teori-teori awal kepemimpinan berfokus pada pemimpin (teori sifat) dan bagaimana pemimpin berinteraksi dengan anggota kelompoknya (teori perilaku). Teori sifat (trait theories) berdasarkan fokus dan riset kepemimpinan pada tahun 1920-an dan 1930-an terletak pada memahami sifat pemimpin yaitu, karakteristik-yang dapat membedakan antara pemimpin dan nonpemimpin. Sifat-sifat dipelajari adalah fisik, penampilan, golongan sosial, stabilitas emosi, kelancaran berbicara, dan kemampuan bersosial (Robbins & Coulter, 2010). Peneliti tersebut akhirnya memahami bahwa sifat itu sendiri tidak cukup membantu dalam mengidentifikasi pemimpin yang efektif karena penjelasan yang semata-mata bedasarkan sifat mengesampingkan interaksi antara pemimpin dengan anggtota kelompoknya yang juga merupakan faktor situasional. Dengan memiliki sifat yang tepat, maka kemungkinan besar seorang individu dapat menjadi seorang pemimpin yang efektif. Peneliti ingin mengetahui apakah ada keunikan dalam hal yang dilakukan oleh pemimpin yang efektif-atau dengan kata lain, dalam perilaku mereka (Robbins & Coulter, 2010). Berikut ini tujuh sifat yang berkaitan dengan kepemimpinan yang efektif (Robbins & Coulter, 2010): 1) Penggerak (drive). Pemimpin menunjukkan tingkat usaha yang tinggi. Mereka memiliki keinginan yang relative tinggi terhadap keberhasilan, ambisius, memiliki banyak energy, tidak kenal lelah dalam aktivitasnya, dan menunjukkan inisiatif. 2) Hasrat untuk memimpin (desire to lead). Pemimpin memiliki hasrat yang kuat untuk mempengaruhi dan memimpin orang lain. Mereka menunjukkan kemauan untuk menerima tanggung jawab. 3) Kejujuran dan integitas (honesty and intefrity). Pemimpin membangun hubungan terpercaya dengan pengikutnya dengan cara jujur dan tidak berkhianat, dan dengan menjaga konsistensi antara kata-kata dan perbuatannya. 4) Kepercayaan diri (self confidence). Pengikut mencari pemimpin yang tidak ragu-ragu. Dengan demikian, para pemimpim harus dapat menunjukkan kepercayaan diri agar dapat meyakinkan pengikutnya terhadap keputusan dan tujuan yang harus dicapai. 5) Kecerdasan (intelligence). Pemimpin harus cukup cerdas agar dapat mengumpulkan, menyatukan, dan menafsirkan banyak informasi, dan mereka harus dapat menciptakan visi, memecahkan persoalan, dan mengambil keputusan yang tepat. 6) Pengetahuan yang relevan mengenai pekerjaan (job-relevant knowledge). Pemimpin yang efektif memiliki pengetahuan tingkat tinggi mengenai perusahaan, industri, dan permasalahan teknis. Dengan pengetahuan yang mendalam, pemimpin dapat membuat keputusan terbaik dan memahami implikasi keputusan tersebut. 7) Extraversion. Pemimpin adalah orang yang penuh semangat. Suka bergaul, tegas, dan jarang sekali berdiam atau menarik diri. Berikut ini empat gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard (Robbins & Coulter, 2010): a) Telling (pekerjaan tinggi-relasi rendah)-Pemimpin menentukan peranan karyawan dan mengatur apa, kapan, bagaimana, dan di mana karyawan melaksanakan tugasnya. b) Selling (pekerjaan tinggi-relasi tinggi)-Pemimpin menunjukkan perilaku yang mengarahkan dan mendukung. c) Participating (pekerjaan rendah-relasi tinggi)-Pemimpin dan pengikutnya bersama-sama membuat keputusan, di mana pemimpin memiliki peranan sebagai fasilitator dan komunikator. d) Delegating (pekerjaan rendah-relasi rendah)—pemimpin kurang memberikan pengarahan atau dukungan. Peran Perempuan dalam Kepemimpinan Dalam penekanan peran gender serta peran pemimpin, peran teori sosial berpendapat bahwa pemimpin menempati peran yang didefinisikan pada posisi mereka yang spesifik dalam hierarki dan sekaligus berfungsi di bawah kendala peran gender mereka. Dalam hal definisi umum peran sosial sebagai harapan bersama sosial yang berlaku untuk orang yang menempati posisi sosial tertentu atau anggota tertentu pada kategori sosial (Biddle 1979, Sarbin & Allen dalam Eagly et al., 2003), peran jender adalah keyakinan konsensual tentang atribut perempuan dan laki-laki. Jika jumlah perempuan lebih banyak dalam proses pengambilan keputusan, maka fokus kehidupan politik juga akan berubah. Dampak yang paling jelas adalah akan terjadinya perluasan wilayah politik ke arah masalah-masalah dan isu-isu yang semula dianggap bukan isu politik seperti kesejahteraan anak, perlindungan terhadap reproduksi perempuan, dan lain-lain. Kehidupan politik barangkali juga akan lebih bermoral karena perempuan lebih mementingkan isu politik konvensional seperti ekonomi, pendidikan, perumahan, lingkungan, kesejahteraan sosial daripada politik keras (hard politic) seperti peningkatan tentara, perang, pembelian senjata, dan membuat senjata nuklir (Astuti, 2011). Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Berikut ini prinsip-prinsip kepemimpinan dari Dale Carnegie (Milorad et al., 2011), Prinsip keaslian-menemukan pemimpin dalam diri anda. Carnegie menekankan pentingnya menemukan satu dari kekuatan kepemimpinan dan mempunyai percaya diri pada kemampuan pemimpin. Dia berpendapat, “teknik kepemimpinan akan bekerja yang terbaik untuk Anda yang ada di dalam diri Anda dan menjadi diri Anda sendiri… jangan mencoba dengan meniru orang lain. Prinsip komunikasi-komunikasi efektif, dalam prinsip komunikasi, Carnegie menekankan kebutuhan untuk kepercayaan yang dibangun dengan tiga langkah pada komunikasi yang sukses” “(a) membuat komunikasi sebagai prioritas atas, (b) terbuka dengan orang lain, (c) membentuk lingkungan yang dapat menerima komunikasi. Prinsip komunikasi secara eksplisit menekankan pentingnya berbagi tujuan dan visi melalui komunikasi. Agar berbagi tujuan dan visi melalui komunikasi, kepercayaan antara pemimpin dan pengikut dibutuhkan untuk berkomitmen pada visi pemimpin. Prinsip motivasi-memotivasi orang–orang. Carnegie merekomendasikan bahwa pemimpin (a) termasuk orang, (b) memperlakukan orang dengan bermartabat, dan (c) menyatakan pekerjaan diselesaikan dengan baik”. Dia mengatakan kemampuan dalam memotivasi orang lain sebaiknya didasarkan pada persuasi dan memusat pada ide yang memotivasi yang tidak dapat dapat dipaksa karena pengikut ingin menunjukkan dengan baik. Prinsip keikhlasan, Carnegie menyatakan “tidak ada yang lebih efektif dan penghargaan yang menunjukkan ketertarikan yang jujur terhadap orang lain”. Prinsip pengambilan perspektif-melihat hal dari sudut pandang orang lain, Carnegie menekankan pentingnya melihat hal-hal dari sudut pandang orang lain agar menemukan apa yang secara prinsip penting terhadap individu dengan perspektif yang berbeda. Prinsip mendengarkan-mendengarkan untuk belajar, Carnegie berpendapat bahwa mendengarkan memfasilitasi kemampuan pemimpin untuk belajar dari pengikutnya. Carnegie menganjurkan mendengarkan merupakan bentuk efektif dari pencarian umpan balik yang dia anjurkan “tak ada satupun yang lebih mempersuasif daripada seorang pendengar yang baik”. Prinsip teamwork-bekerjasama untuk besok. Carnegie mengemukakan delapan teknik agar kepemimpinan efektif melalui kerjasama termasuk: (1) membentuk tujuan, (2) membuat tujuan sebagai tujuan tim, (3) memperlakukan orang lain seperti dirinnya, (4) membuat masing-masing anggota bertanggung jawab untuk produk tim, (5) berbagai kemuliaan, (6) mengambil setiap kesempatan untuk membangun kepercayaan diri tim, (7) terlibat, tetap terlibat, dan (8) menjadi mentor. Carnegie percaya pada nilai kerjasama ditekankan oleh penggunaan “kepemimpinan saluran” melalui pemimpin yang sebaiknya meninggalkan kemampuan, kepercayaan diri, team-minded yaitu orang yang siap menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri. Prinsip menghormati-menghormati martabat orang lain. Carnegie menyatakan bahwa pemimpin sebaiknya: (1) memposisikan diri Anda pada posisi orang lain, (2) memperlakukan pegawai seperti kolega, jangan merendahkan diri, mendikte atau mencaci maki, (3) mengikutsertakan orang lain, dan (4) memperlakukan sebagai organisasi baik besar dan kecil. Prinsip memberi penghargaan-Penghargaan, Pujian, dan rewards. Prinisip pengakuan merefleksikan kepercayaan Carnegie bahwa “orang pergi bekerja untuk uang, tetapi pergi ekstra mill untuk pengakuan, pujian, dan rewards. Carnegie percaya bahwa pegawai yang baik dapat ditransformasikan ke dalam orang yang hebat melalui motivator yang powerful, menghormati dirinya dan menghormati orang lain. Prinsip kerendahan hati-memegang kesalahan, keluhan dan kritik. Satu dari aspek peneliti yang paling sedikit dari kepemimpinan adalah pendekatan pemimpin untuk memegang kesalahan, keluhan dan kritik. Carnegie menyarankan bahwa pemimpin sebaiknya: (1) membentuk lingkungan di mana orang terbuka untuk menerima nasihat atau kritik yang membangun, (2) berfikir dua kali sebelum Anda mengkritik atau menyalahkan, dan (3) berjalan dengan pelan dan meninggalkan hal besar di rumah. Prinsip mempunyai tujuan. Carnegie menyarankan bahwa pemimpin sebaiknya “mempunyai tujuan yang jelas, menantang, dan dapat diperoleh”. Carneige percaya bahwa hal pengecualian diselesaikan ketika pemimpin mempunyai tujuan. Prinsip fokus-Fokus dan disiplin, dalam aplikasi pada prinsip ini, “apa yang penting” adalah umum dihubungkan dengan misi organisasi. Prinsip keseimbangan-Mencapai keseimbangan, melengkapi prinsip fokus dan disiplin dengan prinsip mencapai keseimbangan dapat menjadi hal yang bernilai untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan. Carnegie berpendapat “penampilan tinggi yang konsisten berasal dari keseimbangan antara bekerja dan waktu luang”, dan merekomdensaikan tiga hal untuk memulai satu kehidupan: (1) merubah sikap, (2) Anda mempunyai waktu luang, dan (3) bertindak…terlibat dalam aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Prinsip sikap positif-Membentuk sikap mental positif, prinsip ini diinspirasi oleh quote dari Marcus Aurelius “kehidupan kita adalah apa yang pikiran kita buat”. Pemimpin yang mengadopsi pendekatan ideologi cenderung untuk mengikutsertakan perilaku positif untuk membentuk iklim berkelanjutan sebuah relasi oleh norma kolaboratif. Pemeliharaan sikap positif adalah aspek yang penting dari kepemimpinan ideologi yang penting terhadap kemampuan pemimpin untuk mempromosikan nilai yang berkelanjutan. Prinsip bealajar untuk tidak khawatir, Carnegie menawarkan lima tekhnik untuk menolong pemimpin berhenti khawatir dengan mengingatkan mereka untuk (1) hidup dengan hari yang padat, (2) nyaman dari hukum rata-rata, (3) bekerjasama dengan penghindaran, (4) meletakkan stop-loss pada kekhawatiran, (5) menjaga hal-hal dalam perspektif, (6) kesibukan diri. Prinsip antusiasme-kekuatan antusiasme, Carnegie memperingatkan bahwa pemimpin tidak memandang rendah pengaruh antusiasme dan mendorong mereka untuk menemukan antusiasme “dengan percaya pada diri mereka, apa yang mereka lakukan, dan oleh keinginan agar dapat diselesaikan dengan baik. Antusiasme adalah utama dari pemimpin yang percaya diri. Komunikasi dalam Pengembangan Kepemimpinan Efektif Kepemimpinan yang berhasil membutuhkan komunikasi kepada bawahannya dengan baik. Dalam hal ini berorganisasi merupakan hasil interaksi antarindividu dan kelompok dalam organisasi. Berorganisasi merupakan hasil interaksi antarindividu dan kelompok dalam organisasi, dan semuanya akan mempengaruhi interaksi dalam organisasi tersebut di masa yang akan datang. Berikut ini adalah aplikasi dan implikasi dari teori komunikasi (Littlejohn & Foss, 2009). Organisasi dihasilkan melalui komunikasi, kegiatan organisasi berguna untuk mencapai tujuan individu dan golongan, selain untuk mencapai tujuan, kegiatan komunikasi menciptakan pola-pola yang memengaruhi kehidupan organisasi, proses komunikasi menciptakan karakter dan budaya organisasi, pola kekuasaan dan kendali yang muncul dalam komunikasi organisasi membuka peluang dan menciptakan batasan. Pada teori Weber yang merupakan bagian dari “teori organisasi klasik”. Weber mendefiniskkan sebuah organisasi sebuah sistem kegiatan interpersonal yang memiliki maksud tertentu yang dirancang untuk menyelaraskan tugas-tugas individu. Prinsip pertama tentang birokrasi yang besar adalah otoritas. Prinsip yang kedua adalah spesialisasi. Aturan-aturan organisasi harus rasional, menurut Weber, yang berarti bahwa aturan-aturan tersebut dirancang untuk mencapai tujuan organisasi (Littlejohn & Foss, 2009). Dalam kasus menteri Susi Pudjiastuti dalam berinteraksi juga menuai konflik terhadap nelayan asing dan nelayan lokal. Perspektif sosial menunjukkan bahwa sebuah konflik tidak pernah dihasilkan dari tindakan satu orang saja. Konflik adalah suatu produk dari interaksi diantara bermacam-macam pihak. Pendekatan yang bermacam macam dari respon individu membentuk produk yang juga bermacam macam. Konflik yang terjadi antara individu yang kompetitif terhadap individu yang tidak acuh bisa membentuk hal yang berbeda. Interaksi antara individu yang kolaborasi dengan individu yang akomodasi menghasilkan produk yang lain lagi. Sehingga seperti apa bentuk konflik, akan sangat bergantung kepada interaksi individu dan respond individu lainnya (Littlejohn & Domenici, 2007). Dalam komunikasi interpersonal menurut filsuf Martin Buber membedakan interaksi sosial menjadi I-It dan I-Thou. Pada komunikasi I-it, interaksi antara kita dan orang lain sangat tidak personal, bisa dikatakan orang lain hanya sebagai objek. Interaksi I-it membuat kita tidak mengakui keberadaan orang lain secara personal, melainkan hanya bersifat kebendaan. Pelayan di restoran, penjual dagangan keliling, atau office boy di kantor sering diperlakukan tidak sebagai sosok orang, namun sebagai instrument untuk memenuhi pesanan dan memberikan apa yang kita butuhkan. Dalam kasus hubungan I-it yang lebih ekstrim, keberadaan orang lain secara fisik bahkan tidak diakui (Wood, 2013). Sedangkan, dalam komunikasi I-Thou, kita terbuka sepenuhnya pada orang lain, mempercayai orang lain untuk menerima diri kita apa adanya dalam segala kelebihan dan kekurangan. Buber meyakini bahwa hanya dengan komunikasi level I-Thou, kita dapat menjadi manusia seutuhnya. Artinya, kita mampu menyingkirkan segala topeng kepribadian yang kita gunakan sehari-hari dan mengizinkan diri kita untuk benar-benar jujur. Kebanyakan interaksi yang kita lakukan terlibat dalam apa yang diistilahkan oleh Buber sebagai “kepura-puraan”, di mana kita terlalu hati-hati dengan pencitraan dan mengatur apa yang kita sampaikan pada orang lain. Dalam komunikasi I-Thou, kita benar-benar menjadi manusia utuh yang mampu mengungkapkan jati diri dan apa yang kita rasakan. Jadi, komunikasi dan interaksi dalam level I-Thou adalah sesuatu yang jarang dan memiliki makna khusus (Wood, 2013). Susi Pudjiastuti Sebagai Pemimpin Dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan Studi dari AS Departemen Tenaga Kerja (2006; Ryan et al 2007 dalam Ang, 2011) mencatat perekrutan, penjangkauan, dan retensi membuat sedikit atau tidak ada upaya dalam mempekerjakan, dan mempromosikan perempuan. Dengan upaya perekrutan ditargetkan terutama untuk laki-laki, sedikit usaha fokus dalam menciptakan struktur yang mendukung, dan program untuk mencari, dan mempertahankan perempuan (Eldridge et al 2007 dalam Ang, 2011). Bahkan ketika perempuan dipekerjakan, ada yang disewa untuk peran jender yang spesifik, sehingga membatasi kesempatan bagi perempuan untuk memperluas ruang lingkup mereka, sehingga membatasi kesempatan untuk perempuan mengembangkan diri dalam glass ceiling (The Economist 2005 dalam Ang, 2011). Dalam kebanyakan kasus, fungsi spesifik jender membatasi perempuan dari mengembangkan keterampilan baru, dan berpartisipasi di daerah inti korporasi seperti sisi pendapatan dari bisnis sehingga membatasi peluang mereka pada promosi dalam korporasi (Engvig 2008; Mooney 2006 dalam Ang, 2011). Pro dan kontra mengenai kepemimpinan oleh perempuan sudah sering dijadikan suatu pembahasan di Indonesia. Masyarakat Indonesia belum seutuhnya siap ketika seorang perempuan mempunyai jabatan tertinggi di suatu institusi sekaligus memimpin para laki-laki. Pada kenyataannya, kepemimpinan perempuan juga mampu menjadi suatu modal sosial bagi pembangunan bangsa, sayangnya peran perempuan di ranah publik masih terbungkam dengan budaya patriarkhi. Berdasarkan hasil penelitian Susianah (2014) yang berjudul “Kepemimpinan Perempuan dalam Gerakan Hijau di Indonesia” menunjukkan bahwa kaum perempuan dianggap sebagai kelompok strategis dalam upaya mencapai target pelestarian lingkungan karena secara gender dekat dengan alam sekitarnya, banyak menghabiskan waktunya di ladang, sawah dan menjadi penopang kebutuhan pangan keluarga. Berikut ini adalah prestasi yang telah dilakukan Susi sebagai menteri Kelautan dan Perikanan diantaranya: 1) illegal Fisihing yang yang menyebabkan Indonesia merugi nyaris Rp 11 triliun per tahun. Susi mampu bertindak tegas terhadap siapa pun yang melanggarnya. 2) kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan. 3) moratorium perizinan usaha perikanan tangkap (Permen-KP Nomor 56/2014). 4) pengelolaan dan zonasi taman wisata perairan (Permen-KP Nomor 28/2014). 5) kebijakan larangan penangkapan lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus pelagicus sp) yang tertuang dalam Permen-KP Nomor 1/2015. 6) larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) yang dituangkan dalam Permen-KP Nomor 2/2015. Kepemimpinan oleh perempuan diibaratkan seperti seorang Ibu di dalam sebuah keluarga yang bertanggung jawab dari segala urusan anggota keluarga dan keadaan rumahnya. Begitupula dengan kepemimpinan menteri Susi, yang peka terhadap permasalahan kemaritiman di Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Susi mampu menekan kerugian negara akibat illegal fishing. Beberapa penelitian yang fokus pada gender dan gaya kepemimpinan telah diselenggarakan tahun-tahun belakangan ini. Kesimpulan umumnya adalah laki-laki dan perempuannya memakai cara yang berbeda. Khususnya, perempuan cenderung memakai cara yang demokratis atau partisipatif. Perempuan akan lebih mendorong partisipasi, berbagai kekuasaan dan informasi, dan berusaha untuk meningkatkan harga diri pengikutnya. Perempuan memimpin dengan penyertaan dan mengandalkan karisma, keahlian, hubungan dengan keterampilan interpersonal untuk mempengaruhi orang lain. Perempuan cenderung memakai kepemimpinan transformasi, memotivasi orang lain dengan mentransformasi minat diri mereka menjadi tujuan organisasi. Laki-laki cenderung memakai gaya yang langsung, serta perintah-dan-kendali. Laki-laki mengandalkan otoritas posisi resmi untuk berpengaruh. Laki-laki memakai kepemimpinan transaksi, memberikan penghargaan untuk kerja yang baik dan menghukum yang tidak baik (Robbins & Coulter, 2010). Tipe dan Gaya Kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti Berikut ini tujuh sifat yang berkaitan dengan kepemimpinan yang efektif (Robbins & Coulter, 2010): a) Penggerak (drive).Susi mampu menunjukkan kerja kerasnya kepada masyarakat Indonesia, walaupun adanya kebijakan larangan penangkapan yang tidak ramah lingkungan mendapatkan protes dari nelayan, tetapi kerja keras Susi tidak mengenal kata lelah dalam memperjuangkan nasib nelayan dan maritim Indonesia. Seperti melalui inisiatif pengemboman kapal, merupakan hal yang sangat frontal kepada kapal asing yang mencuri ikan di Indonesia. b) Hasrat untuk memimpin (desire to lead).Ketika menjadi seorang menteri, bu Susi tidak tertarik dengan jabatan sebagai menteri yang diberikan oleh Jokowi, melainkan peranan Bu Susi dalam mensejahterakan nelayan dan memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pada kenyataannya Bu Susi mampu menjadi abdi negara dengan adanya berbagai kebijakan yang telah dikeluarkannya. Bahkan gajinya diberikan kepada nelayan yang tidak mampu. c) Kepercayaan diri (self confidence). Pengikut mencari pemimpin yang tidak ragu-ragu. Dengan demikian, para pemimpim harus dapat menunjukkan kepercayaan diri agar dapat meyakinkan pengikutnya terhadap keputusan dan tujuan yang harus dicapai. d) Kecerdasan (intelligence).Latar belakang pendidikan Bu Susi hanya SMP, tetapi kemampuan analisis, pengambilan keputusan, dan cara berkomunikasinya patut menjadi pemimpin yang cerdas. Pengalaman menjadi exportir dan memperjuangkan kesejahteraan nelayan selama bertahun-tahun membuatnya peka terhadap permasalahan maritim. e) Pengetahuan yang relevan mengenai pekerjaan (job-relevant knowledge).Selama ini Bu Susi mengeluarkan kebijakan yang sangat tegas terhadap kemaritiman Indonesia. Pengalaman di dunia kelautan dan perikanan sudah tidak diragukan. Sehingga berbagai kebijakan yang sudah dikeluarkan membawa suatu kemajuan bagi bangsa Indonesia. f) Extraversion.Dalam berkomunikasi dengan orang lain bahkan wartawan, Bu Susi sangat tegas, enerjik dan penuh semangat. Bu Susi dapat memberikan argumen yang masuk akal, ketika ada yang tidak suka dengan keputusannya. Empat gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard (Robbins & Coulter, 2010), Telling (pekerjaan tinggi-relasi rendah). Menteri Susi menyampaikan dengan tegas apa yang menjadi kebijakannya, job desk bawahannya agar tercapai tujuan tersebut. Selling (pekerjaan tinggi-relasi tinggi). Menteri Susi mendapatkan kunjungan Komandan Korps Marinir (Dankormar) Mayjen TNI (Mar) Buyung Lalana, S.E atas dukungan menteri Susi terhadap kegiatan Save Our Littoral Life (SOLL). Menteri Susi juga memberikan apresiasi atas kegiatan SOLL. Dankormar menyampaikan terima kasih atas dukungan Kementrian Kelautan dan Perikanan terhadap kegiatan SOLL. Korps Marinir bertekad akan terus memelihara terumbu karang yang telah ditanam. Participating (pekerjaan rendah-relasi tinggi), menteri Susi juga ikut berpartisipasi dalam memantau pengeboman ikan. Sebelumnya menteri Susi memberikan komando dan kode ke bawahannya, kemudian diluncurkan bom kepada target kapal, salah satunya penenggelaman kapal nelayan asing dari Thailand di di perairan Dempo, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Cara penyampaian pesan oleh Susi sangat tegas, jelas dan lugas. Delegating (pekerjaan rendah-relasi rendah), dinas kelautan dan perikanan di seluruh Indonesia dapat membantu mencapai program kerja yang telah disampaikan oleh menteri Susi, sehingga ada program-program yang dapat didelegasikan. Prinsip Kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti Prinsip keaslian-menemukan pemimpin dalam diri Anda, sebelum menjadi menteri, Susi adalah seorang pengusaha angkutan udara dan bisnis export ikan yang sudah mempunyai pengalaman bertahun-tahun. Jokowi memilih Susi sebagai menteri Kelautan dan Perikanan pada Indonesia Hebat. Walaupun Susi hanya lulusan SMP, ternyata Susi mempunyai kepemimpinan dalam kedaulatan kemaritiman Indonesia. Ada begitu banyak kebijakan yang sangat berpengaruh positif bagi bangsa Indonesia. Susi dapat menjadi menteri sesuai dengan dirinya sendiri, seperti merokok dan adanya tato naga di kakinya tidak menghalangi pekerjaannya atau menjaga “image”. Pada awal menjabat sebagai menteri, Susi mengendarai helicopter langsung antara Pangandaran dan Jakarta dengan helikopter. Prinsip komunikasi-komunikasi efektif, Susi termasuk menteri yang menerapkan komunikasi efektif, walaupun gaya komunikasi Susi sangat tegas dan terbuka ketika menyampaikan kebijakan dan berpendapat dengan orang lain. Ketika penenggelaman kapal-kapal asing, Susi ikut memberi instruksi untuk menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di Indonesia. Prinsip motivasi-memotivasi orang–orang, Susi memotivasi generasi muda salah satunya untuk membaca bacaan yang bermanfaat seperti buku-buku atau browsing dengan google daripada hanya chatting saja. Susi mendorong agar generasi muda mencintai laut, dengan adanya 2/3 adalah perairan, harapannya generasi muda dapat berkontribusi di bidang kelautan Indonesia. Prinsip keikhlasan, di awal kepemimpinan sebagai menteri, Susi menyatakan bahwa gajinya akan diberikan kepada nelayan miskin. Susi menyampaian bahwa gaji menteri hanya 1 persen dari penghasilannya. Artinya, Susi bekerja ikhlas untuk memajukan bangsa Indonesia, bukan untuk materi. Dia juga pernah menyatakan bahwa dia bekerja lillahita’alla. Prinsip pengambilan perspektif-melihat hal dari sudut pandang orang lain, kebijakan Susi dianggap sangat keras dan kaku bagi nelayan, pada kenyataannya Susi membantu nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan yang selama ini kapal asing mencuri ikan, serta pelarangan penggunaan pukat dan cantrang bertujuan untuk pemulihan sumber daya ikan yang sudah terkuras dan perbaikan lingkungan yang rusak. Susi tidak mempunyai niat untuk merugikan nelayan, tetapi kenyataan yang ada banyak juga nelayan yang demo atas kebijakan dari Susi. Hal ini tidak masuk akal, apabila nelayan berdemo untuk hal yang tidak sepatutnya sesuai dengan kenyataan. Prinsip mendengarkan-mendengarkan untuk belajar, Susi mengadakan audiensi yang bertujuan untuk mendengarkan langsung pendapat dan keluhan nelayan mengenai reklamasi Teluk Jakarta dengan menampung semua pertanyaan-pertanyaan dan masukan dari para nelayan. Nelayan berharap agar Bu Susi memihak para nelayan di Muara Angke agar tidak digusur. Prinsip teamwork-bekerjasama untuk besok, dalam pengeboman kapal asing, tentunya Susi bekerjasama dengan berbagai pihak. Termasuk dengan mendirikan Satgas Illegal Fishing di Gedung Mina Bahari I, Kementerian Kelautan dan Perikanan, lantai 6, Gambir, Jakarta Pusat. Tim satgas diharapkan dapat mempersiapkan semua modus operandi, kontak person, link sampai ke negeri pencuri ikam, agar sindikat-sindikat tersebut tidak kembali ke Indonesia. Susi memerintahkan satgas sebanyak 115 untuk memperketat patroli di perairan-perairan yang terindikasi rawan akan tindak pencurian ikan. Satgas yang terbentuk tidak hanya beranggotakan pegawai KKP, melainkan juga berasal dari TNI dan Kepolisian. Satgas 115 langsung dipimpin oleh Susi Pudjiastuti. Prinsip menghormati-menghormati martabat orang lain, sebelum Susi menjadi menteri, Susi bekerja dengan nelayan di Pangandaran. Susi mengetahui apa yang menjadi kebutuhan para nelayan pada waktu itu, dan Susi mampu menguasai Pangandaran dan sekitarnya sebagai pengusaha di bidang perikanan, sehingga dia sangat menghormati martabat nelayan agar mempunyai kehidupan yang lebih baik. Prinsip memberi penghargaan-Penghargaan, Pujian, dan rewards, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan penghargaan Adibakti Mina Bahari (AMB) kepada individu, kelompok pelaku usaha perikanan, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup KKP 2015. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan motivasi, kontribusi, dan peran serta pemangku kepentingan UPT dalam peningkatan produktivitas kegiatan ekonomi, pengembangan usaha perikanan, dan pelestarian sumberdaya ikan maupun lingkungan. Prinsip kerendahan hati-memegang kesalahan, keluhan dan kritik, Susi mampu bekerja dengan rendah hati dapat terbuka menerima keluhan dan kritik. Susi termasuk berani dan kuat mental dalam menghadapi tantangan dari orang-orang yang kontra dengan pendapatnya, termasuk nelayan. Prinsip mempunyai tujuan, menurut Menteri Susi, adanya moratorium yang menjadi pro dan kontra bagi nelayan dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kehidupan nelayan, serta memberi kesempatan kepada pengusaha dengan kapal lokal untuk lebih banyak mendapatkan manfaat. Tidak mungkin menteri Susi akan merugikan para nelayan, selama ini nelayan banyak yang masih belum memahami mengenai kebijakan tersebut. Pelarangan menangkap ikan hanya untuk pencuri asing, kenyataannya Himpunan Nelayan Indonesia ikut berdemo menolak kebijakan tersebut. Prinsip fokus-Fokus dan disiplin, Susi mempunyai visi dan misi kuat dalam memajukan kemaritiman Indonesia. Dengan hasilnya pertumbuhan perikanan sekarang mecapai 8,96%. Mulai kwartal terakhir 2014 pertumbuhannya 8,3%, lalu naik menjadi 8,7% dan kwartal terakhir 2015 8,96%. Pertumbuhan yang sangat luar biasa, dibanding sektor lainnya. Sebelumnya, sektor perikanan tidak pernah tumbuh lebih dari 6%, padahal kondisi ekonomi sedang baik. Sekarang kondisi perekonomian sedang jelek, perikanan justru bisa naik hingga 8,96% (http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160305_indonesia_wwc_menteri_susi, diakses pada hari Rabu, 11 Mei 2016, pkl. 22.23 WIB). Prinsip keseimbangan-Mencapai keseimbangan, gebrakan oleh Susi dalam mencapai keseimbangan antara bekerja dan waktu luang yaitu dengan menggeser jam kerja dari pkl. 08.00 WIB, menjadi pkl. 07.00 WIB, agar pegawainya dapat pulang pkl. 15.30 WIB. Hal ini bertujuan agar PNS dapat mempunyai banyak waktu luang dengan keluarga. Sedangkan bagi Susi, Waktu, kesehatan, uang, keluarga, facebook, televisi, dan majalah merupakan waktu luang yang dihabiskan, karena manusia bukan mesin yang selalu bekerja. Prinsip sikap positif-Membentuk sikap mental positif, Susi termasuk sosok pemimpin yang sangat optimis dalam memajukan bangsa Indonesia. Hal ini terbukti ketika awal mula ia menjalani bisnis dimulai dari berjualan gelang, seprai, pengepul ikan, penjual kodok, pengekspor ikan, hingga mempunyai armada. Dengan jiwa yang pantang menyerang, optimis, dan bersikap mental positif Susi mampu memajukan bangsa Indonesia menjadi lebih baik lagi. Prinsip belajar untuk tidak khawatir, Susi banyak menerima kritik dari nelayan dan politisi yang meragukan dengan kebijakan yang dianggap merugikan negara, tetapi Susi berusaha untuk tidak khawatir dengan apa yang dilakukannya. Prinsip antusiasme-kekuatan antusiasme, Susi sangat percaya diri ketika diamanahi sebagai menteri, walaupun dia hanya lulus SMP, tetapi dengan bekal buku-buku kritis yang telah dia baca serta pengalaman menjadi pengusaha membuatnya menjadi pemimpin yang tangguh. Bahkan, dunia mengakui potensi kepemimpinannya. Susi juga menyampaikan kepada generasi muda, bahwa dapat memanfaatkan waktu luang dengan baik, yang dapat menciptakan antusias, harus siap menjadi harapan bangsa. Komunikasi dalam Pengembangan Kepemimpinan Efektif Oleh Menteri Susi Pudjiastuti Gaya komunikasi menteri Susi yaitu cepat, ceplas-ceplos dan terlihat menguasai masalah. Hal itu sejalan dengan visi kabinet Indonesia Hebat yaitu mengutamakan “Kerja, Kerja, dan Kerja”. Ketika berinteraksi dengan wartawan, Susi sangat menaggapi dengan terbuka, menurutnya selama ini wartawan lah yang menghambat kerjanya atau tidak suka dengan liputan wartawan yang berlebihan. Dikaitkan dengan teori Weber, prinsip pertama adalah otoritas dalam hal ini otoritas Susi sebagai menteri yang bertujuan membawa poros maritim Indonesia menjadi lebih baik. Kedua adalah spesialisasi, dalam hal ini sebagai pemimpin Susi menduduki posisi strategis dengan pengalaman di dunia kemaritiman menjadi pengusaha ikan, memperjuangkan nelayan, dan lainnya yang membentuk Susi sangat menguasai permasalahan maritim di Indonesia yang sebelumnya tidak tersentuh oleh orang se-profesional Susi. Ketiga yaitu birokrasi yang di dalamnya terdapat tuntunan aturan. Bu Susi menegakkan peraturan menteri no. 2/ 2015 tentang larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik sehingga dampak ini membuat nelayan merugi. Pada dasarnya Bu Susi ingin mengembalikan ekosistem perikanan di Indonesia menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan. Peraturan lainnya adanya peraturan untuk kapal yang melaut yang wajib mempunyai izin tangkap, izin wilayah tangkap dan surat layar. Walaupun masa moratorium selesai, proses perizinan terhadap kapal eks-asing akan kembali seperti semula. Komunikasi ke bawah telah dilakukan oleh Susi Pudjiastuti yaitu informasi dilakukan oleh komunikator (Susi) kepada bawahannya mengenai kebijakan dan aturan yang ditegakkan dengan tegas, sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu organisasi yang solid dalam mempunyai visi yang sama dengan Bu Susi. Dari dampak kepemimpinan oleh Susi juga menimbulkan suatu dampak modal sosial bagi nelayan. Unsur pokok modal sosial pada kepemimpinan Susi dapat berupa: 1) partisipasi dalam suatu jaringan yaitu Susi dapat melakukan kontak atau selalu berhubungan dengan masyarakat nelayan dengan prinsip kesukarelaan, kesamaan, kebebasan dan keadaban. Ketika Susi mampu bersinergi dengan kelompok atau masyarakat nelayan di beberapa daerah yang menjadi perhatian, sinergistas tersebut akan menjadi suati modal sosial yang hebat dalam membina hubungan satu sama lain. 2) resiprocity dalam hal ini Susi memberikan kepedulian sosial yang tinggi, saling membantu, dan saling memperhatikan. Hal ini terbukti, ketika nelayan pada tahun 2016 awal mendatangi kantor KKP berdialog dengan Susi, bahwa kebijakan Susi yang awalnya susah diterima dan dikeluhkan oleh nelayan saat ini berdampak positif bagi nelayan itu sendiri yakni nelayan mengalami pendapatan tangkap ikan sebanyak dua hingga tiga kali lipat. Seperti yang disampaikan oleh Sukahar, salah satu nelayan yang berdialog dengan Bu Susi. Sukahar mengakui, saat kebijakan awal diluncurkan seperti larangan transhipment, larangan tangkap kepiting bertelur hingga larangan penggunaan cangkrang, membuat banyak nelayan mengeluh. Namun dengan hasil sekarang, nelayan mulai merasakan manfaatnya (http://finance.detik.com/read/2016/02/03/165430/3134046/4/nelayan-puji-menteri-susi-sekarang-ikan-melimpah, diakes pkl. 20.55 WIB, pada tanggal 25 Maret 2016). Sebaliknya Bu Susi terbuka atas informasi dan keluhan yang disampaikan oleh nelayan, hal-hal apa saja yang memberatkan nelayan akan dipikirkan solusinya untuk kesejahteraan nelayan. 3) trust antara Bu Susi dengan nelayan, Bu Susi dengan masyarakat Indonesia, Bu Susi dengan presiden, dan Bu Susi dengan masyarakat dunia memberikan kontribusi dalam peningkatan modal sosial. Adanya kepercayaan tinggi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk demi mencapai suatu kemajuan dan pembangunan. Seperti nelayan telah percaya dengan kebijakan Bu Susi, sehingga kementerian akan tenang dalam bekerja tanpa adanya demonstrasi, sebaliknya nelayan juga percaya akan segala kebijakan (aturan) yang telah ditetapkan dari Kementerian. 4) norma sosial dalam hal ini Bu Susi dapat memberikan nilai-nilai positif demi kemajuan suatu bangsa dan masyarakat. Bu Susi sudah berhasil memberikan nilai-nilai tersebut kepada dunia, bahwa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat bertindak tegas terhadap illegal fishing dan pengrusakan ekosistem di laut. Keberhasilan kepemimpinan Bu Susi membawa kemaritiman Indonesia lebih sejahtera. Bu Susi berbicara di depan mahasiwa dan pengajar dari berbagai negara di John F. Kennedy School for Governance (JFKSG), Harvard University, Cambridge, dan Massachusetts. Kuliah umumnya dengan judul :”A Maritime Axis: Challenges and Opportunities” mengenai upaya Indonesia dalam memberantas aktivitas penangkapan ikan ilegall yang merusak lingkungan sosial dan menyebabkan kerugian bagi nelayan di Indonesia. Kerugian yang dialami Indonesia dalam kasus pencurian ikan hingga Rp 260 triliun per tahun dan sudah terbukti bertindak tegas. Norma sosial ini menjadi modal sosial yang dapat mempererat hubungan sosial. Menurut Randall Collin yang disebut sebagai fenomena mikro dan interaksi sosial yaitu norma dan jaringan yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dari berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan-aturan tersendiri dalam suatu masyarakat. Kekuatan-kekuatan sosial dalam melakukan interaksi antar kelompok akan terbentuk. Pada akhirnya akan mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama (Hasbullah, 2006). Dampak kepemimpinan Susi masih dianggap menghasilkan hal yang negatif terhadap nelayan, karena akibat pelarangan penggunaan cantrang, padahal larangan tersebut untuk memperbaiki ekosistem laut. Selama ini, Susi masih kurang berkomunikasi secara intensif terhadap nelayan akibatnya terjadi perbedaan persepsi mengenai aturan tersebut yang kontra terhadap nelayan. Pada kenyataannya, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melakukan pengadaan kapal sebanyak 4000 unit kapal bagi nelayan di tahun 2016, tentu saja prioritas bagi nelayan yang menjadi korban. Berikut ini dampak positif yang diterima oleh masyarakat Indonesia dan khususnya kaum nelayan menurut Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sjarif Widjaja, diantaranya (http://finance.detik.com/read/2015/12/29/154643/3106647/4/ini-dampak-kebijakan-menteri-susi-perangi-illegal-fishing, diakses pada tanggal 23 Maret 2016, pkl. 22.00 WIB). Stok ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang dahulu kerap dijarah oleh kapal-kapal asing kini melonjak signifikan, sehingga stok ikan melimpah di daerah yang sering terjadi illegal fishing yang meningkatkan penghasilan kesejahteraan nelayan lokal. Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai Tukar Nelayan per November 2015 adalah 106,12%, naik dibanding November 2014 yang sebesar 104,2%. Ekspor ikan Thailand dan Filipina menurun, sebab selama ini nelayan dari kedua negara tersebut banyak mencuri ikan dari Indonesia. Penurunan ekspor ikan Thailand dan Filipina dibarengi dengan meningkatnya ekspor ikan Indonesia. Ekspor ikan tuna Indonesia ke Amerika Serikat (AS) selama Januari-September 2015 misalnya, naik 7,73%. Pada saat yang sama ekspor Tuna Thailand dan Filipina ke AS anjlok masing-masing 17,36% dan 32,59%. Melimpahnya pasokan ikan di dalam negeri juga membuat konsumsi ikan masyarakat Indonesia meningkat, rata-rata tahun ini 40,9 kg/kapita, naik dibanding 2014 sebesar 37,89 kg/kapita. Nelayan merasa bahwa dengan adanya kebijakan dari Bu Susi akan merugikan nasib pelayan, pada kenyataannya Bu Susi juga memperjuangkan nasib nelayan lokal dan tentu ada alasan logis mengapa ada larangan. Sehingga hal ini mengakibatkan suatu konflik antara menteri Susi dengan nelayan lokal. Sebaliknya dengan nelayan asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, Susi sangat tegas dalam menyampaikan pesan-pesan penting sebelum terjadi pengeboman terhadap kapal nelayan asing, walaupun beberapa negara menganggap bahwa tindakan Susi tidak dapat dinegosiasikan dan terkesan arogan, tetapi penerapan bottom-up ternyata sesuai dalam kasus ini. Dalam berdialog dengan nelayan, menteri Susi dapat menggunakan interaksi sosial oleh Martin Buber yaitu I-Thou menganggap manusia yang lain sebagai manusia yang utuh, bermakna khusus, dan personal. Dalam berinteraksi si komunikator mampu empati, simpati, dan terbuka. Berbeda dengan I-It yang menganggap nelayan tidak personal, tidak diakui keberadaannya dan tidak didengarkan aspirasinya. Selama ini, menteri Susi masih menggunakan I-it terhadap nelayan, sehingga ada begitu banyak persepsi negatif mengenai kebijakan Susi terhadap nelayan. Ketika nelayan percaya dengan Susi, maka modal sosial akan keduanya dapat terbentuk sehingga hal-hal yang dikomunikasikan oleh Susi sebagai pemimpin dapat diterima secara langsung oleh nelayan, tanpa adanya perlawanan dan anarkis. Penutup Tipe dan gaya kepemimpinan menteri Susi Pudjiastuti selama ini efektif dalam membuat kebijakan, sehingga membuat masyarakat dunia patuh dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Susi seperti pengeboman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Kepemimpinan dari KKP sebelum Susi, belum ada yang menindak tegas pencuri ikan dengan pengeboman. Tipe dan gaya kepemimpinan efektif menteri Susi berdasarkan teori sifat (penggerak, hasrat untuk memimpin, kepercayaan diri, kecerdasan, pengetahuan, dan extraversion), dan menggunakan kepemimpinan Henry dan Blanchard (telling, selling, participating, dan delegating). Susi mampu mengaplikasikan prinsip-prinsip kepemimpinan dengan baik yang dicetuskan oleh Dale Carnegie seperti prinsip keaslian, prinsip komunikasi efektif, prinsip memotivasi orang–orang, prinsip keikhlasan, prinsip pengambilan perspektif, prinsip mendengarkan, prinsip teamwork, prinsip menghormati, prinsip memberi penghargaan, prinsip kerendahan hati, keluhan dan kritik, prinsip mempunyai tujuan, prinsip fokus, prinsip keseimbangan, prinsip sikap positif, prinsip belajar untuk tidak khawatir, dan prinsip antusiasme. Komunikasi dalam pengembangan kepemimpinan menteri Susi Pudjiastuti dilakukan melalui modal sosial kepada masyarakat Indonesia hingga masyarakat dunia. Susi menjadi salah satu menteri yang sudah memberikan kuliah umum di Amerika mengenai Kemaritiman Indonesia. Selanjutnya penerapan teori birokrasi oleh Weber, adanya interaksi yang menghasilkan dampak positif terhadap nelayan, dan penggunaan I-Thou terhadap nelayan agar ketika terjadi interaksi dengan nelayan, nelayan menjadi manusia seutuhnya yang didengarkan aspirasi dan pendapatnya. Setiap kebijakan Susi yang menyangkut nelayan, sebaiknya dikomunikasikan secara langsung kepada nelayan, misalnya melalui dialog agar tidak terjadi perbedaan persepsi. Sebaiknya Susi selalu menggunakan unsur-unsur modal sosial dalam menjalin relasi dengan nelayan, pemerintah, dan masyarakat. Sebelumnya Susi dipandang sebelah mata karena lulusan SMP dan kebiasannya yang merokok serta adanya tato di tubuh, tetapi setelah menjadi menteri KKP, kinerja Susi sangat baik bahkan di mata dunia. Daftar Pustaka Agustinus Michael. 2015. Ini Dampak Kebijakan Menteri Susi Perangi Illegal Fishing. Diakses pada 23 Maret 2, jam 22.00 WIB dari: http://finance.detik.com/read/2015/12/29/154643/3106647/4/ini-dampak-kebijakan-menteri-susi-perangi-illegal-fishing. Ang Rachel. 2011. Women Leadership. Diakses pada 20 April 2016, jam 18.00 WIB, dari: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1795325. Astuti Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial. Semarang (ID): Unnes Press. Eagly Alice H, Mary C, Johannesen-Schmidt, Marloes L. van Engen. 2003. “Transformational, Transactional, and Laissez-Faire Leadership Styles: A Meta-Analysis Comparing Women and Men” dalam Psychological Bulletin Vol. 129, No. 4. Washinton, (pp: 569–591). Hasbullah Jousairi. 2006. Social Capital. Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta (ID): MR-United Press Jefriando Maikel. 2016. Nelayan Puji Menteri Susi: Sekarang Ikan Melimpah. Diakses pada 25 September, jam 21.17 WIB dari: http://finance.detik.com/read/2016/02/03/165430/3134046/4/nelayan-puji-menteri-susi-sekarang-ikan-melimpah. Lin Nan. 2004. Social Capital. A Theory of Social Structure and Action. United Kingdom (UK): Cambridge. Littlejohn Stephen W, Karen A. Foss. Ed.9. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta (ID): Salemba Humanika. Littlejohn Stephen, Kathy Domenici. 2007. Communication, Conflict and The Management of Difference. United States of America: Waveland Press Inc. Milorad M Novicevic, Williams, Laura A, Abraham, D Reed, Gibson, Michael C, Smothers, Jack, Crawford. 2011. “Principles of Outstanding Leadership: Dale Carnegie's Folk Epistemology” dalam Journal of Applied Management and Entrepreneurship; July 2011; 16, 3; (pp: 4-22). Mulyana Deddy. 2014. Komunikasi Politik Politik Komunikasi. Membedah Visi dan Gaya Komunikasi Praktis Politik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Robbins P. Stephen, Mary Coulter. 2010. Manajemen. Edisi kesepuluh. Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga. Romadoni Kaida. 2015. Menteri Susi: Indonesia Juara 1 Pemberantasan Illegal Fishing. Diakses pada 22 September, jam 17.57 WIB dari: http://news.liputan6.com/read/2344777/menteri-susi-indonesia-juara-1-pemberantasan-illegal-fishing. BBC Indonesia. “Susi Pudjiastuti: Pemerintah Harus Berani Buat Moratorium Reklamasi”. 11 Mei 2016, 22.23 WIB. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160305_indonesia_wwc_menteri_susi. Susianah. 2014. Kepemimpinan Perempuan Dalam Gerakan Hijau di Indonesia. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wood T Julia. 2013. Komunikasi Interpersonal: Interaksi Keseharian. Jakarta (ID): Salemba Humanika Ki and Ka. Judul film ini sesederhana perspektif yang dibangun didalamnya. Dalam bahasa Hindi Ki berarti dia (laki-laki) dan Ka berarti dia (perempuan). Dalam film ini, Ki dan Ka merujuk pada dua karakter utama yang menjadi fokus dari pesan film. Ki adalah karakter utama perempuan dan Ka merupakan karakter utama laki-laki. Kia dan Kabir. Di seperempat jalannya film, rasanya seperti menemukan diri saya dalam karakter Ki. Tentu, bukan dalam raga jasmani Kareena Kapoor. Kemiripan itu saya temukan pada penokohan watak Ki sebagai perempuan ambisius yang menggugat pembagian kerja tradisional dalam wilayah keluarga. Sebagai anak yatim yang tumbuh dan berkembang bersama seorang Ibu pekerja sosial sekaligus kepala rumah tangga, Ki tumbuh menjadi seorang dewasa mandiri yang menaruh ambisi pada karier pribadi. Menganggap pernikahan serupa panoptikon yang mematikan seluruh mimpinya, menganggap kebanyakan laki-laki adalah pengecut, karena tidak berani melihat kekasih atau pasangannya mampu sukses atau lebih sukses darinya. Sementara pada karakter Ka, saya seperti melihat sosok Ayah saya, meskipun tidak seberhasil Ka dalam karier domestiknya. Ka tumbuh bersama seorang Ayah dengan reputasi dan karier cemerlang. Di usia yang sama seperti Ki, konon ibu Ka meninggal. Latar belakang yang berbeda membuat Ki dan Ka bertolak belakang. Tidak seperti Ki yang ambisius tentang pencapaian dalam hidup, sebagai anak semata wayang dari kontraktor besar yang memiliki separuh wilayah Bombay, Ka justru menentang kemapanan. Ia tak menaruh hasrat pada bisnis Ayahnya dan menganggap orang-orang semisal Ayahnya serupa robot perusahaan yang menghabiskan waktu hanya untuk mempersiapkan mati di rumah sakit swasta mahal. Ka bercita-cita ingin menjadi seorang seniman seperti Ibunya. Seorang ahli dalam seni merawat dapur, membesihkan rumah dan merawat anak, sebuah pekerjaan yang orang-orang sebut Ibu rumah tangga. Menonton film ini sambil berpegang teguh pada seksisme, justru akan membawa kita pada kesimpulan yang misoginis, seperti mempromosikan gender namun dengan memberi bumbu antagonis pada perempuan. Mendevaluasi nilai perempuan dalam segi moral. Awalnya saya pun berpikir demikian. Namun, di akhir film, melalui dialog yang dibangun tokoh Kia dan Ibunya, saya memahami bahwa fokus utama film ini adalah pada pembagian peran domestik dan publik dalam sebuah institusi keluarga. Terlepas dari apakah perempuan atau laki-laki yang berada di wilayah domestik, ia akan selalu dipandang sebagai nomor dua. Jadi, yang perlu diperbaiki adalah penilaian kita terhadap peran tersebut. Film ini menyampaikan kritik terhadap peran domestik yang dianggap rendah, terlepas siapa pihak yang berposisi di ranah tersebut. Baik Suami atau Istri yang berada di wilayah produksi, ia akan merasa superior. Melalui penokohan Ka, film ini seolah ingin mengangkat derajat pekerjaan domestik, mengapresisasi kinerja yang dikonstruksi oleh budaya menjadi lahannya perempuan. Tidak hanya sekadar menghibur hati para pekerja rumah tangga, film ini juga berusaha menunjukkan keberpihakannya pada upaya pembebasan perempuan dari label domestik, melalui narasi Jaya Bachchan, yang diantaranya berbunyi “..kau adalah sumber inspirasi. Aku harap akan ada lebih banyak Kia lainnya di dunia ini." Selain itu, film ini mengungkapakan bahwa pola pengasuhan sangat mungkin memengaruhi perilaku si anak. Feminin atau maskulinnya seorang individu ditentukan oleh pola pengasuhannya. Ka yang sempat dibesarkan oleh seorang Ibu (rumah tangga) menjadi begitu feminin. Sementara Kia yang dibesarkan oleh seorang Ibu pekerja keras, berwatak begitu maskulin. Sebagai perempuan yang sedari kanak menyaksikan peran Ibu sebagai pencari nafkah keluarga dan Ayah sebagai pengelola rumah tangga, saya membenarkan asumsi dalam film ini, bahwa pihak yang memproduksi kapital senantiasa merasa superior. Saya pun merasa memiliki kecenderungan seperti tokoh Kia. Saya juga menyepakati bahwa untuk menjadikan anak-anak kita memiliki watak ideal sehingga tidak didominasi salah satu watak yang dipandang dikotomis (feminin vs maskulin) adalah dengan pengasuhan yang adil. Itulah mengapa pengasuhan disebut parenting, bukan mothering, karena tidak ada istilah fathering. Film ini pada akhirnya dapat bermuara pada pemahaman bahwa upaya pembebasan bukanlah pada menolak pernikahan hanya karena budaya telah mengkonstruksi maknanya untuk menghalalkan praktik persenggamaan dan mengakibatkan perempuan sebagai pihak yang dibebani agenda domestik. Justru, perjuangan seharusnya jatuh pada merebut (jika bukan meluruskan) makna konsep pernikahan ke arah yang humanis. Dalam film ini, upaya pelurusan tersebut diadakan. Namun, sayang sekali, film ini masih bermuara pada kedangkalan perspektif gender yang secara mainstream diimani. Hal ini dapat dilihat pada adegan Kia yang berang kala mendapati dirinya hamil. Sang sutradara, R. Balki, seolah-olah meyepakati pandangan bahwa memiliki anak biologis adalah hal yang mengerikan untuk sebuah pencapaian karier perempuan. Tidak mengherankan sebenarnya, karena jika diamati sedari awal, feminisme liberal memang menjadi landasan bangunan cerita dalam film ini. Dengan begitu, upaya pelurusan makna konsep pernikahan dalam film ini sebenarnya tidak tuntas. Sebab tidak ada upaya menarik pemahaman mengenai konsep pernikahan pada prinsip kesejahteraan kolektif, padahal pranata pernikahan adalah sebuah mekanisme distribusi tanggung jawab perawatan generasi, bukan semata perihal hasrat yang disakralkan. Melalui konsep pernikahan, mekanisme merawat generasi diatur menjadi tanggug jawab setiap pasangan, bukan tersentralistik pada satu institusi makro, yakni negara. Negara idealnya akan berperan dalam menjamin keberlangsungan mekanisme pengasuhan tersebut, sifatnya sistemik melalui kebijakan politik. Misalnya menjamin hak, tanggung jawab dan kemerdekaan masing-masing pihak pasangan dalam relasi pernikahan, sehingga tanggung jawab parenting terlaksana secara adil. Karena aktivisme sejarah tentu tidak berakhir seiring dengan berakhirnya usia seseorang. Maka menjamin kualitas generasi mendatang demi melanjutkan peradaban adalah bagian dari rekayasa sosial. Jika para feminis hari ini memperjuangkan seksualitas melulu hanya seputar otoritas subjek terhadap tubuhnya dengan bersikap naif pada dimensi bermasyarakat, kebebasan HAM senantisa bermuara pada kebebasan individu semata. Disitulah paradigma liberal (yang juga menjadi akar dari kapitalisme) tumbuh secara diam-diam. Maka, pandangan mengenai upaya perjuangan HAM perlu ditarik menuju ruang kolektif, tidak tunggal pada kemerdekaan individu-subjek. Dalam film ini, kita memang tidak menemukan upaya penarikan menuju ruang kolektif tersebut. Film ini murni mewakili pandangan feminis perspektif liberal, yang memusatkan agen pada individu, bukan kelas. Siapa yang kuat ia yang mampu bertarung. Namun, sebagai sebuah karya modern yang lahir ditengah karya-karya berlumur drama, fantasi dan kecanggihan teknologi tapi tanpa kritik sosial, film ini layak diapresiasi. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |