Perempuan adalah alam. Begitulah asosiasi yang dilekatkan kepada perempuan sebagai sumber kehidupan bagi umat manusia. Sebagaimana yang diungkapan oleh French, Ibu memainkan peran utama di dalam kegiatan keterikatan, berbagi, dan berpartisipasi harmonis di dalam alam, yang kesemuanya berorientasi kepada kelangsungan hidup (Tong 80). Asosiasi ini secara tidak langsung memberikan peran kepada perempuan sebagai pemberi penghidupan. Dorothea Rosa Herliany dalam novelnya berjudul Isinga mengangkat kisah perempuan Papua terkait perannya sebagai “pemberi kelangsungan hidup”. Dalam bahasa Papua, perempuan atau Ibu disebut dengan isinga, isigna, atau misinga. Novel berjudul Isinga: Roman Papua ini mengisahkan seorang perempuan bernama Irewa asal Aitubu yang harus menikah dengan seorang laki-laki bernama Malom asal Hobone. Irewa dijadikan sosok perdamaian antara perkampungan Aitubu dan Hobone dan sebab itulah ia harus menikahi Malom sebagai simbol perdamaian. Upacara perkawinan adat dilakukan melalui pertukaran babi yang berarti bahwa istri telah dibeli dengan babi dan saat itu pula istri menjadi milik suami. Irewa yang sebetulnya tidak menaruh hati sedikitpun pada Malom harus menerima kondisi yang berat akibat adat yang lekat akan sekat antara peran istri dan suami. Setelah menikah Irewa harus tinggal di perkampungan Hobone untuk hidup bersama sang suami. Masa awal perkawinan merupakan hal yang sangat berat bagi Irewa. Ia harus menerima dirinya disetubuhi secara paksa oleh laki-laki yang kini menjadi suaminya pada malam pertama. Selain melayani suami, Irewa juga harus menyesuaikan diri untuk melakukan pekerjaan yang berat, seperti mencari kayu bakar, menyelam untuk menangkap ikan (tanpa bantuan apa-apa), membuat dan memperbaiki jala, berkebun dan mengolah sagu, dan mengurus babi. Bekerja saat hamil dipercaya dapat membuat perempuan melahirkan dengan mudah. Sayangnya, pekerjaan tersebut justru membuat Irewa keguguran pada kehamilan pertamanya. Mengetaui istrinya keguguran, Malom tetap berambisi untuk memiliki banyak anak, hingga lahirlah anak pertama berjenis kelamin perempuan. Hanya berselang 10 hari Irewa melahirkan, Malom kembali mengajak istrinya untuk bersetubuh. Irewa kemudian hamil saat anak pertamanya berusia satu tahun. Ketika mengetahui anak kedua berjenis kelamin perempuan, Malom terus berambisi untuk memiliki anak laki-laki dan akhirnya anak ketiga lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Satu anak laki-laki saja tidak cukup bagi Malom. Ia terus menuntut untuk memiliki banyak anak laki-laki. Saat itulah Irewa menyadari, bahwa perkara anak tidak akan pernah selesai. Ia akan terus menerima ajakan suaminya untuk bersetubuh. Perkara memiliki anak adalah sebuah keharusan bagi perempuan, seperti yang tertuang dalam kalimat berikut:
Derita lain yang dirasakan Irewa adalah saat melakukan persalinan, sebagaimana yang diungkapkan oleh penulis.
Persalinan Irewa yang dibantu oleh mama bidan dilakukan sangat sederhana tanpa bantuan alat yang memadai. Kondisi tersebutlah yang harus dialami Irewa setiap melahirkan. Beban yang diemban Irewa sangatlah berat. Ia harus mengalami kondisi hamil, keguguran, hamil lagi, dan keguguran lagi (hingga mengalami kehamilan sebanyak 8 kali). Beban kerja yang diberikan kepadanya juga sangat berlapis, karena saat bekerja Irewa juga harus membawa anak-anaknya dengan noken. Belum lagi dengan kekerasan yang dilakukan oleh Malom. Ia seringkali memukul Irewa apabila keinginannya tidak terpenuhi. Irewa terus bertahan dan mencoba menghayati berbagai nasihat sebagai sumber kekuatannya.
Menghayati petuah-petuah tersebut membuat Irewa lebih kuat namun tidak bertahan lama. Irewa mengalami kejenuhan dengan kehidupan yang penuh dengan tekanan dan akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri. Batin Irewa terus bergejolak saat akan bunuh diri. Ia teringat masa saat masih bersama orang tuanya dulu. Sangat jelas terbayang ketika dirinya mampu memutuskan sesuatu tanpa intervensi siapa pun. Irewa juga teringat masa saat dirinya mampu memantapkan keinginan dirinya. Pada saat itulah Irewa mengurungkan niatnya untuk bunuh diri dan merumuskan kembali keinginan hidupnya. Bagi Irewa, perempuan di Megafu sudah tidak dihargai dan sebab itu agar perempuan dihargai, perempuan itu sendiri yang harus menghargai hidupnya. Penghargaan tidak dapat diperoleh dari orang lain. Meskipun novel ini tidak berujung happy ending, Irewa pada akhirnya menjadi tenaga relawan di kantor distrik untuk kegiatan perempuan. Kegiatan tersebut berupa penyuluhan kesehatan HIV/AIDS kepada para Ibu. Selain itu, Irewa juga memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada para remaja. Berbagai kegiatan tersebut membuat Irewa lebih percaya diri sekaligus memperkuat tujuan hidupnya. Melalui novel ini, terlihat jelas bahwa perempuan yang diasosiasikan sebagai alam (pemberi kehidupan) mengalami opresi akibat adat berbalut patriarkal. Perempuan mengalami beban kerja, baik dalam hal pengasuhan anak hingga mencari makan untuk kehidupan keluarga. Terkait konteks kerja, bagi Young analisis pembagian kerja memiliki posisi penting untuk menunjukkan seorang individu dalam melakukan proses produksi di dalam masyarakat (Tong 179). Dalam hal ini Young ingin mengungkapkan bahwa perempuan dipinggirkan karena peranannya yang dianggap sebagai tenaga sekunder dan laki-laki diidentifikasikan sebagai tenaga primer. Identifikasi tenaga kerja ini menempatkan perempuan sebagai sosok yang dibutuhkan di rumah sementara laki-laki lebih bebas untuk bekerja di luar rumah (Tong 180). Tekanan yang dialami oleh perempuan tersebut pada akhirnya membuat tubuh dan pikirannya terasingkan. Kondisi keterasingan ini merujuk pada alienasi. Menurut Jaggar dalam bukunya berjudul Feminist Politics and Human Nature, alienasi adalah perasaan keterasingan individu terhadap kondisi sekitarnya, rasa kesepian, ataupun perasaan tidak diinginkan (307). Bagi Jaggar, konsep alienasi ini pada dasarnya merupakan konsep yang cukup kuat untuk mengakomodir pandangan utama pemikiran feminis Marxis, radikal, bahkan liberal (Tong 182). Lebih lanjut, Jaggar mengungkapkan bahwa feminis sosialis ingin merevisi pandangan feminis Marxis yang hanya berpikir sumber opresi perempuan terletak pada relasi produksi kapitalis. Feminis sosialis merevisinya, bahwa perempuan sebetulnya teralienasi secara seksual, baik sebagai ibu maupun istri. Dalam hal ini, perempuan teralienasi di berbagai aspek kehidupan, khususnya pada bentuk seks gender sistem (Jaggar 308). Sebagaimana buruh teralienasi dalam produk yang dikerjakannya, Jaggar berargumen perempuan juga teralienasi dari produk yang dihasilkannya, yaitu tubuhnya. Jaggar membahas alienasi dalam 3 rubrik, yaitu seksualitas, motherhood, dan intelektualitas (Tong 182). Pemaparan kisah novel ini menunjukkan bahwa Irewa mengalami berbagai ketidakadilan. Irewa mengalami multi beban (multi-burden) karena harus mengurus rumah tangga, merawat anak, mengurus suami, mengurus ladang, merawat ternak (babi), hingga mencari makanan untuk keluarga. Stereotipe Ibu baik juga dicitrakan dalam beberapa hal, seperti tidak pernah mengeluh, tidak pernah protes, tidak pernah membantah, tidak pernah bersedih, tidak pernah berbicara kasar, dan tidak pernah menyakiti hati orang lain. Ibu yang kuat juga diberi stereotipe, yaitu perempuan yang tetap bekerja meskipun sedang dalam kondisi hamil. Berbagai tugas yang diemban istri tersebut tidak dianggap sebagai pekerjaan, melainkan kodrat perempuan. Kodrat inilah yang berujung pada ketidakadilan kerja. Berdasarkan pemikiran Young, perempuan dalam hal ini diidentifikasi sebagai tenaga sekunder. Perempuan dianggap sebagai sosok yang paling cocok untuk bekerja dalam ranah domestik, seperti mengurus rumah tangga, merawat anak, mengurus kebun, mengurus ternak, hingga mencari makanan untuk keluarga. Kalaupun perempuan mendapatkan penghasilan, itu hanya dianggap sebagai pekerjaan sampingan dengan upah kecil. Analisis pembagian kerja inilah yang dimaksud oleh Young dapat menunjukkan siapa yang memberi perintah dan siapa yang melaksanakannya (Tong 179). Perempuan selaku istri mendapatkan perintah untuk mengerjakan tugas domestik, sementara pihak yang memberikan perintah adalah laki-laki selaku suami serta budaya setempat yang menuntut perempuan untuk menjadi “istri baik”. Dalam konteks ini sangat jelas terlihat pada saat Irewa harus mengurus rumah tangga dan mengasuh anak (tugas sebagai Ibu yang baik), sementara suaminya pergi berburu (pekerjaan ranah publik). Hal inilah yang selanjutnya berimplikasi terhadap langgengnya konstruksi dalam masyarakat, yaitu terhadap pemahaman “pekerjaan khas perempuan” yang menempatkan perempuan pada sektor kerja tertentu saja (Saptari & Holzner 459-460). Impilkasinya, perempuan dalam ruang kerja hanya dipandang sebagai tenaga sekunder dan pekerjaan domestik tidak dianggap sebagai bentuk “kerja”, melainkan sebuah “kodrat”. Hadirnya konstruksi “pekerjaan khas perempuan” dalam masyarakat, membuat perempuan teralienasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Jaggar. Irewa mengalami keterasingan akan tubuhnya bahkan merasa kesepian hingga membuatnya ingin bunuh diri. Irewa merasa teralienasi karena tugasnya sebagai Ibu sekaligus istri di dalam kehidupan adat yang amat patriarkal. Sesuai dengan pemikiran Jaggar, Irewa mengalami 3 bentuk alienasi, yaitu alienasi seksualitas, motherhood, dan intelektualitas. Pertama, pada alienasi seksualitas Irewa tidak dapat memandang tubuhnya sebagai tubuh yang utuh. Irewa tidak dapat mengelak bahkan tidak memiliki hak bersuara saat Malom menyetubuhinya. Tubuh Irewa bagaikan alat pemuas hasrat seksual untuk memuaskan suami. Irewa dalam hal sebagai istri tidak merasakan kenikmatan dalam berhubungan dengan suaminya. Irewa mengalami alienasi terhadap tubuhnya, seperti yang tertuang pada kalimat: “Saat itulah Irewa menyadari, bahwa perkara anak tidak akan pernah selesai. Ia akan terus menerima ajakan suaminya untuk bersetubuh”. Kedua, alienasi dalam motherhood nampak jelas pada saat Irewa tidak dapat menentukan jumlah anak yang ia miliki. Haknya tercerabut oleh keinginan suami bahkan adat yang mengharuskannya untuk menghasilkan anak sebanyak-banyaknya. Asosiasi perempuan sebagai sumber penghidupan diwujudkan melalui prokreasi. Bambu menjadi lambang perwujudan permulaan kehidupan dan mengharuskan perempuan untuk menghasilkan banyak anak layaknya tanaman bambu. Perempuan juga terlienasi dari proses kerja produksinya, yaitu pada saat proses kelahiran anak. Nampak pada kisah Irewa saat melahirkan. Irewa harus pergi jauh karena proses kelahiran yang dianggap kotor dan dapat menyebabkan penyakit mengerikan. Tidak hanya itu, proses persalinan yang tidak steril dan tanpa bantuan alat memadai (diasapkan dengan kayu api dan diberi alas rerumputan kering) membuat Irewa terpaksa mengalaminya. Dalam hal ini, perempuan teralienasi dari produk dan proses kelahiran bayinya. Ketiga, alienasi dalam intelektualitas terlihat pada saat Irewa merasa putus asa akan hidupnya dan nyaris bunuh diri. Petuah-petuah yang diberikan padanya, dijadikan pedoman untuk terus bertahan dalam opresi. Wejangan seperti tidak membantah, tidak mengeluh, tidak berbicara kasar, dan tidak suka bertengkar dijadikan nilai sekaligus prinsip untuk tidak melawan kepada suami. Perempuan menjadi tidak yakin akan dirinya sendiri dan ragu untuk mengungkapkan gagasan di depan publik (Tong 185). Irewa yang dulunya mampu memutuskan keinginan diri, seketika teralienasi saat telah menikah dan memiliki anak. Suami, lingkungan, dan adat mengikatnya dengan berbagai aturan dan hal tersebut membuat Irewa mengalami dehumanisasi. Dalam hal ini, perempuan akhirnya tidak mampu mengungkapkan gagasannya secara rasional akibat teralienasi dalam intelektualitasnya. Menurut Jaggar, setiap manusia harus mendapatkan kebebasan, khususnya kebebasan reproduksi kepada seluruh perempuan (318). Kebebasan reproduksi inilah yang menjadi salah satu rekomendasi Jaggar untuk melepaskan perempuan dari opresi. Perempuan harus diberikan kebebasan untuk menentukan dan memilih kehidupan reproduksinya tanpa intervensi siapa pun. Pemerolehan pengambilan keputusan tersebut perlu dilakukan dengan “berkesadaran”. Oleh sebab itulah perempuan harus memahami sumber ketidakbahagiaannya agar memiliki posisi untuk melawannya (Tong 186). Meskipun dalam novel Irewa tidak mendapatkan kebebasan reproduksi, tetapi Irewa pada akhirnya mampu memutuskan sesuatu dengan “berkesadaran”. Berkesadaran dalam hal ini juga dapat dilihat pada aspek kerja. Perempuan harus dapat melepaskan belenggunya dari konstruksi “pekerjaan khas perempuan”, demikian halnya masyarakat luas serta negara. Hal ini diperlukan agar perempuan tidak tersubordinasi dan memiliki bargaining position dalam ruang kerja. Pada aspek yang lebih luas lagi, diperlukan keterlibatan keluarga, lingkungan, maupun negara untuk membebaskan perempuan dalam memilih serta mendukung pilihannya (baik itu hak reproduksi maupun kerja). Perempuan harus memeroleh tubuhnya secara utuh tanpa terfragmentasi. Daftar Pustaka: Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Herliany, Dorothea Rosa. Roman Papua: Isinga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015. Jaggar, Alison M. Feminist Politics and Human Nature. USA: The Harvester Press Limited, 1983. Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Kalyanamitra, 2016. Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra, 1998. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |