Berbicara tentang feminisme, kiranya bukan saja berbicara tentang penguasaan manusia atas manusia lain atau sesamanya. Tetapi lebih dari pada itu, feminisme juga merupakan sebuah gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Salah satu tujuan utamanya adalah hendak mengeluarkan kaum perempuan dari kondisi ketidakbebasan dan ketidakadilan. Feminisme merupakan gerakan politik yang banyak meninjau beragam macam aspek kehidupan manusia, terutama aspek ketidakadilan yang sudah lama diderita oleh kaum perempuan. Hal tersebut diperjuangkan oleh kaum perempuan yang kemudian melahirkan feminisme ke dalam tiga gelombang. Seperti telah disebutkan di atas, dalam sejarahnya, feminisme terbagi ke dalam tiga gelombang besar yang masing-masing saling menegasi, dan tentunya juga saling melengkapi satu sama lainnya. Ketiga gelombang besar tersebut diantaranya adalah feminisme gelombang pertama, yang mencakup aliran feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme anarkis, feminisme marxist, dan feminisme sosialis. Selanjutnya di gelombang kedua mencakup feminisme eksistensial dan feminisme gynosentris. Kemudian gelombang ketiga yang mencakup feminisme postmodern, feminisme multikultural, feminisme global, dan ekofeminisme dengan beragam macam variasinya. Pada feminisme gelombang pertama, aliran feminisme mencakup di dalamnya lebih berfokus pada kesenjangan politik, terutama dalam memperjuangkan hak pilih perempuan atau emansipasi di bidang politik. Aliran feminisme awal ini dimulai pada tahun 1792-1960 yang bermula dari tulisan seorang filsuf dan feminis abad 18 bernama Mary Wollstonecraft. Dalam karyanya yang berjudul A Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft menginspirasi gerakan dan perjuangan perempuan hingga berlanjut pada abad ke-20 dimana kaum perempuan berhasil mencapai hak pilihnya (hak politik). Dalam bukunya tersebut, ia menuliskan bahwa perempuan secara alamiah tidak lebih rendah dari laki-laki, tetapi terlihat seperti itu hanya karena mereka tidak memperolah banyak pendidikan. Ia mengusung supaya laki-laki dan perempuan dianggap setara dalam setiap dimensi kehidupan, terutama dalam hal sosial-politiknya. Sedangkan feminisme gelombang kedua lebih merupakan gerakan pembebasan perempuan atau biasa dikenal dengan istilah Women Liberation. Gerakan ini adalah gerakan kolektif yang revolusioner, sebagaimana nampak sejak kemunculannya pada tahun 1960 – 1980. Bisa dikatakan, inilah masa yang muncul sebagai reaksi kaum perempuan (feminis) atas ketidakpuasannya terhadap berbagai praktik diskriminasi. Terlebih diketahui bahwa secara hukum dan politis, hal ini sebenarnya telah dicapai oleh feminisme gelombang pertama tetapi dalam praktiknya tidak terealisasi secara maksimal. Selanjutnya yatu feminisme gelombang ketiga, atau dikenal juga sebagai posfeminisme. Aliran ini dimulai pada tahun 1980 sampai sekarang. Aliran ini begitu popular dan banyak dijadikan rujukan oleh para feminis modern. Meski demikian, banyak tokoh feminis yang menganggap bahwa feminisme gelombang ketiga berbeda dengan posfeminisme. Hal ini disebabkan karena posfeminisme merupakan gerakan yang menolak gagasan feminis gelombang kedua. Dilihat dari ide dan gagasannya misalnya, feminisme gelombang ketiga mengusung keragaman dan perubahan seperti globalisasi, postkolonialisme, poststrukturalisme, dan postmodernisme. Dalam hal ini, feminisme gelombang ketiga sangat dipengaruhi oleh postmodernisme yang merupakan pencetus lahirnya feminisme gelombang ketiga. Menurut Lyotard dan Vattimo, pengaruh postmodernisme terhadap feminisme gelombang ketiga dapat dilihat dari empat ciri. Keempat cirri tersebut, seperti menawarkan pendekatan revolusioner pada studi-studi sosial (mempertanyakan validitas ilmu pengetahuan modern dan anggapan adanya pengetahuan objektif), mengabaikan sejarah (menolak humanisme dan kebebasan tunggal), mempertanyakan rigiditas pembacaan antara ilmu alam (humaniora, ilmu sosial, seni dan sastra, fisksi dan teori, image, dan realitas), serta berfokus pada wacana alternatif (postmodernisme mencoba melihat kembali apa yang telah dibuang, dilupakan dianggap irasional, tidak penting, tradisional, ditolak, dimarginalkan dan disunyikan). Feminisme Gelombang Ketiga Telah disebutkan di awal bahwa gelombang ketiga mencakup empat aliran feminisme, yakni feminisme postmodern, feminisme multikultural, feminisme global, dan ekofeminisme. Seperti masing-masing gelombang dalam feminisme, keempat aliran ini juga saling menegasi, serta melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Feminisme postmodern bertitik tekan pada teks sebagai dasar berpikirnya. Ia membangun suatu anggapan mendasar bahwa realitas adalah teks, baik yang berbentuk lisan, tulisan, maupun image, yang dalam pengupayaannya nampak berusaha mengkritik cara laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki. Aliran feminisme ini juga menolak cara berpikir yang fanatik atau tradisional. Ia lebih menekankan pada interpretasi yang plural ketimbang subjektifitas. Di samping itu, sebagiamana Gadis Arivia ungkapkan dalam Filsafat Berperspektif Feminisme (2003) bahwa pemikiran feminisme postmodern ini melihat perempuan sebagai “yang lain”. Adapun soal alianasi perempuan, dilihat bersumber dari dua ranah, yakni tekanan atau rasa inferioritas dan cara berada, berpikir serta bahasa. Pengaruh eksistensialisme, psikoanalisa dan dekonstruksi sangat terasa dalam aliran feminisme postmodern. Baginya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Bahwa kita harus berusaha membongkar narasi-narasi besar, realitas, konsep kebenaran, dan juga bahasa. Upaya inilah yang kemudian melahirkan beberapa langkah dalam merekonstruksi pengalaman perempuan dalam dunia laki-laki: perempuan harus membentuk bahasanya sendiri; perempuan harus membuat seksualitasnya sendiri; dan harus ada usaha untuk menyimpulkan dirinya sendiri atau dikenal juga dengan undo phallocentric discourse. Feminisme multikultural senada dengan teori aliran feminisme sebelumnya yang juga melihat individu sebagai sesuatu yang terfragmentasi. Karenanya, feminisme multikultural lebih menyoal ide bahwa ketertindasan perempuan bersumber dari “satu definisi”, bukan dari kelas dan ras, preferensi seksual, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan lain sebagainya. Secara historis, feminisme multikultural pertama kali berlangsung di Amerika Serikat dimana ideologi yang mendukung adanya diversifikasi (ide tentang perbedaan) menjadi pilihan dalam gaya maupun ideologinya. Hingga memasuki abad ke-20, ide asimilasi dan identitas tunggal kemudian menjadi pilihan yang kuat. Hal yang ini selanjutnya memberi jalan pada etnisitas sekaligus integrasi, hingga melahirkan multikulturalisme dan berpengaruh kuat pada aliran feminisme multikultural. Hematnya, penyambutan baik terhadap multikulturalisme didasarkan pada pengagungan pada ide perbedaan. Bahwa bagi kalangan feminis multikultural semua orang sesungguhnya berbeda-beda, baik secara kulit, agama, ras, dan lain sebagainya. Selanjutnya, yakni feminisme global. Aliran ini lebih menekankan pada pentingnya melihat ketertindasan perempuan dari “sistem keterkaitan” (interlocking system). Fokus feminisme aliran ini adalah penindasan dunia pertama karena kebijaksanaan nasional yang mengakibatkan penindasan bagi perempuan di dunia ketiga. Hanya saja, jika feminisme multikultural fokus pada rasisme, etnisitas dan kelasisme, feminisme global justru lebih fokus pada isu kolonialisme, di samping soal politik dan ekonomi skala nasional. Mereka sepakat bahwa penindasan politik dan ekonomi lebih diperhatikan. Mereka melihat adanya perbedaan cara pandang antara feminis dunia pertama dengan dunia ketiga. Singkatnya, mereka memandang bahwa setiap perempuan itu berbeda, di setiap komunitas perempuan itu berada juga berbeda; sehingga penindasan yang terjadi pada perempuan mempunyai keunikan dan kondisi yang berbeda pula. Aliran feminisme keempat dari gelombang ketiga adalah ekofeminisme. Aliran ini adalah sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Basis gerakan ini adalah femininitas/perempuan. Dalam gerakan ekofeminisme, perempuan dianggap memainkan peran strategis. Semua peran dari perempuan ini berupaya untuk mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan asri. Seperti halnya feminisme multikultural dan global, ekofeminisme juga memberi pemahaman adanya keterhubungan antara segala bentuk penindasan manusia. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Carolyn Merchant bahwa ada empat hal yang saling berkaitan di mana peran perempuan menjadi penting, yakni ekologi, produksi, reproduksi dan kesadaran. Dari sejumlah paparan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa meskipun berbeda-beda secara fokus perhatian, baik antara gelombang feminisme maupun antar aliran feminisme, khususnya dalam gelombang ketiga, sejumlah aliran tetap menempatkan perempuan pada posisi yang semestinya. Artinya, dengan pengalaman ketertindasan yang dialami kaum perempuan, kalangan feminis berusaha memberi semangat, dorongan, serta inspirasi tentang pentingya peran dan posisi perempuan, terutama peran dan posisinya dalam ranah kultur maupun politik. Hematnya, cita-cita kebebasan perempuan adalah cita-cita kesetaraan manusia, sekaligus cita-cita kemanusiaan itu sendiri. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |