Pendahuluan: Mengapa Perempuan Bermigrasi? Suatu siang di Hong Kong, tiga tahun yang lalu, saya mendampingi seorang perempuan pekerja rumah tangga (PRT) migran, Yayuk, mengurus dokumennya ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong. Petugas di front office mempersilakan saya masuk, tetapi Yayuk diminta menunggu di ruang tunggu bagian luar. Saya kaget, yang punya urusan bukan saya, mengapa saya yang dipersilakan masuk? Tetapi Yayuk mengingatkan saya dengan lembut, “Memang begitu di sini, beda perlakuan untuk TKW dan non-TKW”. Saat itu saya teringat ucapan Konsul Jenderal KJRI Hong Kong beberapa hari sebelumnya bahwa KJRI adalah rumah bagi semua orang Indonesia. Orang Indonesia yang mana? Perlakuan terhadap perempuan PRT oleh negara mencerminkan bagaimana perspektif negara terhadap PRT migran, warga negara Indonesia yang jumlahnya sangat signifikan di luar negeri. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), PRT migran selalu menempati urutan pertama dari 20 jenis pekerjaan terbesar penempatan tenaga kerja luar negeri. Tahun 2015 terdapat 52.328 PRT baru yang berangkat ke luar negeri, paling tinggi di antara jenis pekerjaan lainnya seperti caregiver (44.941 orang), plantation worker (38.526 orang), dan lain-lain (1). Di Hong Kong sendiri, Departemen Imigrasi Hong Kong merilis total jumlah PRT migran asal Indonesia tahun 2015 sebanyak 150.239 orang, 99% adalah perempuan. Jumlah ini selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Indonesia menempati urutan kedua setelah PRT Filipina yang berjumlah 172.861 (Census and Statistics Department 2016, para. 1). Perempuan Indonesia menjadi PRT migran tidak semata-mata karena pilihan pribadi, tetapi juga akibat dari kebijakan pemerintah yang membuat perempuan terpinggirkan. Secara khusus, pada masa pemerintahan Soeharto, pemerintah menitikberatkan pembangunan yang bergantung pada modal asing baik berupa bantuan maupun utang. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi sasaran empuk imperialisme asing dan sumber kekayaan alam dikuasai perusahaan asing. Indonesia hanya menjadi penyedia bahan mentah karena kekayaan alamnya, buruh murah, sekaligus pangsa pasar yang menggiurkan. Akibatnya, hanya sedikit sektor produksi yang bisa menyerap banyak angkatan kerja, khususnya di perkotaan. Pabrik-pabrik yang terpusat di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar, mengakibatkan munculnya pola migrasi pertama yang sering dikenal dengan nama urbanisasi. Kenyataannya laju urbanisasi tidak disertai dengan kemampuan kota menyerap tenaga kerja, maka persoalan pengangguran semakin susah terpecahkan (Ibad et al. 2015, hal. 15). Ketika kota tidak lagi dapat menyerap tenaga kerja, maka terjadilah migrasi ke luar negeri. Di desa, pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertanian telah memarginalkan perempuan. Perempuan tidak memiliki akses kepemilikan atas tanah, karena tanah pertanian umumnya dikuasai segelintir tuan tanah. Dalam wawancara saya bulan Maret 2016 dengan beberapa perempuan muda pekerja migran di NTT yang telah kembali dari luar negeri, alasan mereka meninggalkan desa untuk menjadi pekerja migran adalah karena di desa tidak ada apa-apa yang bisa dikerjakan. Tidak ada lahan untuk digarap, tidak ada fasilitas sekolah menengah yang bisa mereka masuki, keluarga tidak punya uang untuk membiayai sekolah di kota dan lain-lain. Kalaupun ada kesempatan melanjutkan sekolah, maka kesempatan itu diberikan kepada anak laki-laki karena faktor keamanan atau karena anak laki-laki dianggap akan menjadi kepala keluarga nantinya. Kemiskinan berwajah perempuan, yang antara lain ditandai dengan tetermarginalnya perempuan dari akses terhadap ekonomi produktif dan permodalan, rendahnya akses perempuan terhadap pendidikan, serta rendahnya tingkat daya beli perempuan, membuat perempuan muda dari desa menjadi pekerja migran ke kota-kota maupun ke luar negeri. Ibad et al. (2015, hal. 16) menyatakan pelaku utama migrasi adalah perempuan dan berasal dari keluarga tani miskin di desa yang menjadi buruh migran di negeri lain seperti Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, Singapura, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Korea, dan sebagainya. Kegagalan pemerintah dalam memecahkan masalah pengangguran kemudian menjadikan ekspor manusia sebagai andalan. Hal ini membuat pekerja migran Indonesia dengan keterbatasan pendidikan dan keterampilan, hanya mengisi jenis pekerjaan rendahan dan upah sangat murah seperti pekerja rumah tangga. Dengan demikian, jelas bahwa dalam konteks perempuan PRT migran, tidak terjadi migrasi sukarela (voluntarily migration). Perempuan melakukan migrasi internasional sebagai pekerja rumah tangga karena mereka adalah angkatan kerja terlantar dan termarginal di tanah air, yang tidak memiliki kesempatan dalam proses produksi. Kebijakan Negara Mengenai Penempatan Pekerja Rumah Tangga Migran. Kebijakan negara ikut menentukan betapa migrasi perempuan, khususnya pekerja rumah tangga bukanlah migrasi sukarela. Untuk konteks Hong Kong, pemerintah mewajibkan calon PRT menggunakan jasa pihak swasta yaitu Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), dahulu dikenal dengan nama Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), karena belum adanya kerja sama antar kedua negara. Penempatan oleh pihak swasta ini ditetapkan dan diperkuat melalui undang-undang, khususnya UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Pasal 10 dari Undang-Undang ini, mengatur penempatan oleh pihak swasta. Jika tidak mengikuti aturan ini, maka seorang pekerja migran dianggap pekerja ilegal. Lebih jauh, pemerintah kemudian mengatur penempatan oleh pihak swasta ini dalam berbagai kebijakan, salah satunya dengan mengatur besaran biaya yang harus dibayarkan calon PRT Hong Kong. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) pada tahun 2012 mengeluarkan Keputusan Menteri No. 98 mengenai Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Calon PRT Tujuan Hong Kong. Selain diwajibkan mengikuti penempatan oleh pihak swasta, calon PRT juga dibebankan untuk menanggung biaya penempatan, sebagai berikut: Tabel 1. Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik Negara Tujuan Hong Kong SAR – Pembiayaan yang ditanggung TKI
Dari komponen di atas terlihat bagaimana calon PRT migran, suka atau tidak, wajib menanggung biaya penempatan, bahkan mereka membayar cukup besar uang jasa PPTKIS, dan uang peralatan/praktik selama penampungan, padahal peralatan untuk latihan pekerja rumah tangga biasanya alat-alat rumah tangga (setrika, mesin cuci) yang sudah dimiliki PPTKIS. Komponen ini tidak pernah disosialisasikan kepada calon PRT migran, dan tidak dibayarkan sebelum keberangkatan, sebaliknya dipotong dari gaji bulanan selama beberapa bulan bekerja, umumnya 6 (enam) bulan, dengan jumlah potongan setiap bulan sekitar 90% total gaji bulanan.
Kekerasan Ekonomi Perempuan PRT
Kesaksian dua perempuan PRT di atas dalam film dokumenter pendek Exploited for Profit mewakili pengalaman ratusan ribu perempuan PRT di Hong Kong yang mengalami kekerasan ekonomi akibat kebijakan negara mengenai penempatan. Kekerasan ekonomi terhadap perempuan pekerja migran merupakan bagian dari bentuk kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan bias gender. National Coalition Against Domestic Violence (NCADV) di Washington mendeskripsikan kekerasan ekonomi sebagai kontrol terhadap keuangan korban untuk mencegah mereka mengakses sumber daya, mengontrol pendapatan, mencukupi kebutuhan sendiri, dan memperoleh kemandirian ekonomi. Pelaku kekerasan ekonomi dapat mengontrol dengan cara membatasi pendidikan, pelatihan kerja, dan kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan (NCADV, para 1). Berdasarkan deskripsi ini, menurut saya perempuan pekerja rumah tangga mengalami kekerasan ekonomi karena terlihat aspek kekuasaan dan kontrol berkelindan membatasi perempuan mengakses sumber – sumber finansial. Dalam konteks penempatan pekerja rumah tangga migran di Hong Kong, pemerintah Indonesia memberi angin segar kepada pihak swasta untuk bertindak sewenang-wenang mengintimidasi dan mengeksploitasi perempuan PRT secara ekonomi. PPTKIS, bekerja sama dengan agensi Hong Kong, melakukan berbagai cara untuk mengikat perempuan PRT agar tetap bekerja selama masa potongan, tak peduli seberapa buruk kondisi kerja yang dijalani. Biaya penempatan yang saya tunjukkan diatas, menggunakan kurs HKD 1,100, dan PRT membayarnya dalam bentuk dolar Hong Kong. Hingga kini, perhitungan biaya penempatan belum berubah. Artinya secara langsung terjadi overcharging biaya penempatan karena selisih kurs yang sangat besar (Rp 1 = 1.650 HKD; HKD 13.436 setara dengan Rp 22.169.400). Pihak swasta mengambil keuntungan sekitar 8 (delapan) juta rupiah per PRT yang diberangkatkan. Selain overcharging, PRT migran di Hong Kong juga mengalami bentuk kekerasan ekonomi lainnya seperti mendapatkan gaji di bawah standar gaji minimum yang ditetapkan pemerintah Hong Kong, karena perjanjian antara agensi dengan majikan. Apesnya, mereka dipaksa untuk menandatangani tanda terima dengan angka yang sesuai dengan standar yang berlaku. Yang paling mengenaskan adalah, ketika periode potongan enam bulan berakhir, karena “perjanjian di bawah meja” majikan dengan agensi nakal, PRT dipecat secara sepihak, sehingga dalam kondisi tidak berpenghasilan (akibat pemotongan gaji enam bulan yang mencapai 90% total gaji setiap bulan), PRT migran tanpa pilihan, harus kembali lagi ke agensi untuk mencari pekerjaan baru. Lagi-lagi, agensi membebankan biaya agen yang sangat besar, sehingga dalam setahun atau lebih, PRT migran tidak mendapatkan apa-apa. Semua penghasilan dinikmati oleh agen. Mengapa Perempuan Pekerja Rumah Tangga? Menelisik lebih jauh, kekerasan ekonomi yang dialami perempuan PRT migran akibat kebijakan negara mengenai penempatan oleh pihak swasta terjadi karena jenis pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan perempuan yang tidak ada nilainya. Saptari dan Holzner (2016, hal. 26) menyebutkan di kebanyakan masyarakat ada pembagian kerja seksual dan gender di mana beberapa tugas dilaksanakan oleh perempuan dan tugas lain dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor ideologis di tingkat negara maupun rumah tangga memengaruhi jenis pekerjaan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan. Terdapat stereotip bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan, dan karena itu pembantu/pekerja rumah tangga umumnya perempuan. Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai jenis keterampilan yang telah diperoleh perempuan dari rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan mengasuh anak. Dengan demikian, perempuan tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus agar bisa melakukan pekerjaan ini (Saptari & Holzner 2016, hal. 477- 8). Faktor ideologis ikut juga menentukan status formal pembantu/pekerja rumah tangga. Baik pemerintah maupun para majikan menganggap pembantu berbeda dengan buruh karena hubungan kerja diwarnai oleh hubungan “kekeluargaan”. Pemahaman ini mengakibatkan tidak adanya pengaturan jam kerja bagi pekerja rumah tangga, dibandingkan buruh pabrik. Selain itu kondisi kerja pekerja rumah tangga mengisolasi mereka dari dunia sosial, dan mereka sering diperlakukan sewenang-wenang oleh anggota rumah tangga tempat mereka bekerja (Saptari & Holzner 2016, hal. 479). Pekerja rumah tangga migran terjadi karena meningkatnya penyerapan tenaga kerja pabrik di negara-negara maju, sehingga minat orang menjadi pekerja rumah tangga berkurang. Kondisi ini menyebabkan posisi pekerja rumah tangga diisi oleh perempuan dari negara lain. Ratna Saptari dan Brigitte Holzner menuliskan di negara seperti Singapura, posisi pembantu rumah tangga diisi oleh tenaga kerja migran dari negara lain seperti Sri Lanka, Filipina, Thailand dan Indonesia. Terserapnya tenaga kerja ke pabrik di Singapura mendorong upah pembantu rumah tangga menjadi meningkat dengan kondisi kerja yang lebih baik (Saptari & Holzner 2016, hal. 479). Secara internasional, pengertian pekerja rumah tangga merujuk pada definisi yang ditetapkan International Labour Organization (ILO) dalam Konvensi No. 198 tahun 2011 tentang Pekerjaan Yang Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga. Definisi lengkap ILO mengenai pekerjaan rumah tangga dan pekerja rumah tangga terlihat dalam rumusan berikut: Convention No. 189 defines domestic work as “work performed in or for a household or households”. This work may include tasks such as cleaning the house, cooking, washing and ironing clothes, taking care of children, or elderly or sick members of a family, gardening, guarding the house, driving for the family, even taking care of household pets. Who is a domestic worker? Under the Convention, a domestic worker is “any person engaged in domestic work within an employment relationship”. A domestic worker may work on full-time or part-time basis; may be employed by a single household or by multiple employers; may be residing in the household of the employer (live-in worker) or may be living in his or her own residence (live-out). A domestic worker may be working in a country of which she/he is not a national”. (International Labour Organization 2011, hal. 2) Dari pengertian ini, terlihat jelas ruang lingkup maupun jenis-jenis pekerjaan yang dikerjakan PRT seperti membersihkan rumah, mencuci baju, dan lain-lain. Seorang PRT berada dalam relasi kerja, baik kerja penuh waktu maupun paruh waktu. Rumusan ini juga memberi pengertian mengenai PRT migran sebagai pekerja yang bekerja di negara yang bukan negaranya (country of which she/he is not a national). Pada tulisan ini, saya menggunakan pemilihan kata pekerja (worker) dan migran (migrant) sebagaimana yang dimaksudkan ILO, walaupun Hong Kong secara resmi masih menggunakan istilah pembantu (helper) dan asing (foreign). Pemilihan kata ini penting karena memiliki makna yang berbeda. Pekerja lebih merujuk pada seseorang yang melakukan jenis pekerjaan yang dibayar, sedangkan pembantu berkonotasi tidak profesional dan lebih rendah. Kata “migrant” dalam kamus Merriam-Webster juga merujuk pada posisi seseorang yang berpindah untuk bekerja, sedangkan kata “foreign” hanya mengindikasikan berasal dari tempat atau negara yang berbeda. Gugatan terhadap Pemaknaan Perempuan sebagai Pekerja Rumah Tangga: Pemikiran Iris Young Mengenai Pembagian Kerja Iris Young dalam esainya “Beyond The Unhappy Marriage: a critique of Dual System Theory, mengkritik pandangan feminis Marxis mengenai dual system yang menganalisis ketertindasan perempuan dengan teori Marxisme dan Feminisme. Menurutnya feminisme Marxis kurang memadai melihat ketertindasan perempuan (Tong 2006, hal. 179-180). Dalam esainya, Young mengemukakan tiga argumen utama untuk melihat opresi terhadap perempuan yaitu pembagian kerja, pembagian kerja berdasarkan gender, serta pembagian gender dan kapitalis patriarki. Pembagian Kerja (Division of Labour) Analisis pembagian kerja merupakan kategori sentral material historis feminis untuk mempertajam karakteristik feminis sosialis yang sudah ada sebelumnya. Analisis ini menjadi kritik terhadap feminis marxis yang menjadikan kelas sebagai kategori sentral untuk menganalisis opresi terhadap perempuan. Bagi Young konsep kelas tidak cukup untuk melihat opresi terhadap perempuan, karena “kelas” buta gender dan tidak memberi ruang pada analisis perbedaan dan hierarki gender (Young 1981, hal. 50). Lebih lengkap Young menggambarkan perbedaan analisis kelas dan analisis pembagian kerja berdasarkan tujuannya masing-masing, seperti berikut: Class analysis aims to get a vision of a system of production as a whole, and thus ask about broadest social divisions of ownership, control, and the appropriation of surplus product. At such level, class pertaining to the relations of production and the material bases of domination remains hidden. Division of labour analysis proceeds at the more concrete level of particular relations of interaction and interdependence in a society which differentiates it into a complex network. It describes the major structural divisions among the members of a society according to their position in labouring activity and assesses the effect of these divisions on the functioning of the economy, the relations of domination, political, and ideological structures. (Young 1981, hal. 51) Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa analisis kelas hanya mempertanyakan bagaimana kepemilikian, kontrol dan keuntungan produksi, tetapi dominasi sebagai dasar material tetap tidak terungkap dalam analisis kelas. Sebaliknya, pembagian kerja lebih konkret melihat relasi dan interaksi dalam masyarakat, dan dapat menggambarkan secara terstruktur bagaimana pembagian kerja anggota masyarakat berdasarkan posisi perempuan dalam dunia kerja. Analisis pembagian kerja juga dapat menilai akibat dari pembagian kerja pada fungsi-fungsi ekonomi, relasi dominasi, serta struktur politik dan ideologi. Pembagian Kerja Berdasarkan Gender (Gender Division of Labor) Penggunaan istilah “pembagian kerja berdasarkan gender (gender division of labor)” bagi Young merujuk pada semua perbedaan gender yang terstruktur dalam kerja di masyarakat, meliputi tugas-tugas tradisional yang dilekatkan pada perempuan seperti mengasuh anak, menjaga orang sakit, memasak, dll, bahkan di ranah publik seperti dijadikan objek di pabrik-pabrik. Bagi Young analisis pembagian kerja berdasarkan gender menolong dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana pembagian kerja berdasarkan gender mendasari aspek lain dari organisasi ekonomi, bagaimana hal itu juga mendasari kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat, termasuk hierarki gender? Bagaimana transformasi dalam pembagian kerja berbasis gender membawa perubahan relasi antara perempuan dan laki-laki, relasi ekonomi, relasi politik dan struktur ideologi? (Young 1981, hal. 52-53). Bagi Young, analisis pembagian kerja berdasarkan gender memiliki sejumlah keuntungan. Pertama, analisis ini menempatkan relasi-relasi gender dan posisi perempuan pada pusat analisis material historis. Jika tidak melakukan hal ini maka akan sulit bagi feminis untuk dapat melihat bagaimana dominasi laki-laki dalam kerja, serta kehilangan elemen krusial dalam struktur dan relasi ekonomi secara keseluruhan. Kedua, analisis pembagian kerja berdasarkan gender dapat menjelaskan bentuk-bentuk lain dari pembagian kerja, misalnya pembagian antara kerja mental dan kerja manual. Ketiga, pembagian kerja berdasarkan gender dapat juga menjelaskan asal-usul dan pelanggengan subordinasi perempuan dalam struktur sosial. Sebagai contoh, pembagian kerja berdasarkan gender dapat memperlihatkan bagaimana laki-laki dalam masyarakat tertentu secara institusional menduduki posisi superioritas. Posisi ini bisa didapatkan laki-laki jika organisasi dari relasi sosial yang lahir dari aktivitas kerja memberi mereka akses dan kontrol terhadap sumber daya yang tidak dapat diakses dan dikontrol oleh perempuan dalam cara yang sama. Pembagian kerja berdasarkan gender dapat menjelaskan hal ini. Keempat, analisis pembagian kerja berdasarkan gender memungkinkan kita melakukan analisis material dari relasi sosial kerja dengan menggunakan terminologi gender yang spesifik tanpa menyamaratakan semua perempuan, karena situasi perempuan berbeda-beda (Young 1981, hal. 53-55). Pembagian Kerja Berdasarkan Gender dan Kapitalis Patriarki Dalam membahas pembagian kerja berdasarkan gender dan kapitalis patriarki, Young juga merujuk pada tulisan Heidi Hartmann “Capitalism, Patriarchy, and Job Segregation by Sex”, yang telah menunjukkan bukti opresi perempuan di era modern yang kompleks dan luas. Bagi Young, Hartmann dalam telaah sejarahnya telah memperlihatkan struktur dan perubahan-perubahan peran perempuan dalam proses kerja dan ekonomi di bawah kapitalisme, serta menyebutkan kapitalisme sebagai buta gender. Akan tetapi Hartmann dan feminis marxis tradisional lainnya mengasumsikan kapitalisme memiliki tendensi menghomogenisasi angkatan kerja dan mengabaikan pentingnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Teori Hartmann, kapitalisme membuat semua pekerja setara di pasar kerja tanpa melihat kelompok sosial yang beragam (Young 1981, hal. 57). Padahal Young dalam esai “Five Faces of Opression” menyebutkan bahwa pada struktur sosial, terdapat kelompok-kelompok yang berbeda seperti perempuan dan laki-laki, kelompok masyarakat berdasarkan umur, kelompok ras dan suku, kelompok agama, dan lain-lain (Young 2004, hal. 5). Menurut Young, kapitalisme yang melihat angkatan kerja dapat dipertukarkan apapun jenis kelaminnya, terjadi karena kapitalisme dilihat sebagai sistem yang terpisah dari patriarki. Padahal menurut Young, patriarki tidak terpisah dari kapitalisme. Lebih jauh, Young berargumen bahwa analisis pembagian kerja berdasarkan gender mengenai kapitalisme dapat mempertanyakan bagaimana sistem kapitalis terstruktur dalam relasi gender, sehingga memperlihatkan seperti apa situasi perempuan dalam kapitalisme. Bagi Young, situasi perempuan di bawah kapitalisme antara lain ditandai dengan marginalisasi. “My thesis is that marginalization of women and thereby our functioning as a secondary labor force is an essential and fundamental characteristic of capitalism” (Young 1981, hal. 58). Selain marginalisasi, Young juga mengemukakan situasi opresi lain yang dialami perempuan di bawah kapitalisme yaitu eksploitasi, ketidakberdayaan (powerlessness), imperialisme budaya, dan kekerasan sistematik (Young 2004, hal. 16-19). Young berharap argumennya mengenai analisis pembagian kerja berdasarkan gender dapat menjadi strategi penting bagi perempuan untuk mengorganisir diri sendiri. Sehingga, perempuan dapat mengembangkan keterampilannya, mengambil keputusan sendiri dan berjuang bersama melawan laki-laki dengan seksismenya. Young juga menekankan dalam level praktis perjuangan melawan kapitalisme tidak bisa dipisahkan dari patriarki, karena menganggap kedua sistem ini terpisah akan menyebabkan perjuangan politis yang terpisah (Young 1981, hal. 63-64). Kekerasan Ekonomi PRT dalam Kerangka Analisis Pembagian Kerja Kekerasan ekonomi yang dialami PRT migran di Hong Kong terjadi dalam bentuk overcharging biaya penempatan, gaji dibawah standar, pemotongan gaji dalam jumlah besar, keharusan berutang untuk menutupi biaya selama di PPTKIS, sebagaimana saya sebutkan pada bagian awal tulisan ini. Bentuk-bentuk kekerasan ekonomi ini tidak terlepas dari perspektif pemerintah dan pihak swasta yang tidak berpihak pada perempuan PRT. Menggunakan analisis pembagian kerja berdasarkan gender dari Iris Young menjadi penting di sini karena analisis ini tidak mengangkat isu kelas antara perempuan PRT migran dengan pemberi kerja (majikan), walaupun perempuan PRT berada dalam relasi yang lebih rendah dari pihak swasta dan negara dalam struktur sosial yang lebih makro. Sebaliknya, analisis pembagian kerja berdasarkan gender dari Iris Young saya gunakan untuk melihat bagaimana sistem kapitalis patriarkal telah memberikan pekerjaan rumah tangga kepada perempuan dalam pasar kerja dan pada akhirnya mengopresi perempuan. Poin-poin pemikiran Iris Young akan saya gunakan untuk melihat tiga pihak yang secara langsung terkait dengan pengalaman kekerasan ekonomi perempuan PRT migran akibat swastanisasi penempatan oleh negara yaitu perempuan PRT migran, pemerintah dan pihak swasta. Perempuan PRT Migran Dilihat dari Analisis Pembagian Kerja Berdasarkan Gender Dalam teorinya, Young menyatakan keuntungan analisis pembagian kerja berdasarkan gender adalah menempatkan posisi perempuan pada pusat analisis. Dengan penempatan ini, kita akan lebih mudah melihat bagaimana pengalaman perempuan PRT migran terkait dengan penempatan oleh swasta yang diatur negara. Salah satu pengalaman perempuan terkait swastanisasi penempatan adalah pengalaman kekerasan, secara khusus kekerasan ekonomi. Ada kewajiban membayar biaya penempatan dalam jumlah besar, walaupun perempuan tidak mengakses seluruh komponen yang ditetapkan pemerintah. Di penampungan PPTKIS, perempuan calon PRT yang tidak memiliki uang diminta berutang sejumlah biaya penempatan kepada perusahaan jasa peminjaman uang swasta yang telah bekerja sama dengan PPTKIS. Uang ini diterima oleh PPTKIS sebagai ganti biaya yang sudah dikeluarkan PPTKIS sesuai total biaya yang ditetapkan pemerintah, tetapi PRT migran diwajibkan mencicil biaya itu selama enam bulan. Dalam praktiknya, cicilan yang dikenakan per bulan sangat besar, mencapai 90% dari total gaji bulanan. Jika beruntung, cicilan dapat diselesaikan dalam enam bulan, tetapi jika sebelum masa pemotongan selesai, perempuan PRT dipecat majikan, dan perlu majikan baru, agen akan membebankan enam bulan potongan gaji lagi kepada PRT migran. Situasi ini membuat perempuan PRT migran terjebak dalam kekerasan ekonomi berkepanjangan, tidak memiliki pendapatan memadai dan tetap berada dalam kemiskinan. Seharusnya, perempuan PRT migran selaku pelaku ekonomi menjadi subjek yang bisa menikmati hasil kerjanya, akan tetapi kenyataannya, yang diuntungkan adalah negara dan pihak swasta. Pemerintah sebagai Pembuat Kebijakan Dilihat dari Analisis Pembagian Kerja Berdasarkan Gender Pemerintah Indonesia ketika mengeluarkan kebijakan mengenai penempatan dan perlindungan PRT migran, belum memiliki perspektif yang berpihak kepada perempuan, sehingga menyerahkan pelaksanaan penempatan kepada pihak swasta (swastanisasi). Melalui UU No. 39 tahun 2004, ditetapkan dua pihak yang menjadi penyelenggara penempatan, sebagaimana terlihat dalam ayat 10 dan 11, berikut ini:
b. Pelaksanaan penempatan TKI swasta.
Berdasarkan pemikirian Young tentang pembagian kerja berbasis gender, dapat dikatakan perspektif pemerintah masih melihat pekerjaan PRT adalah pekerjaan perempuan, yang tidak penting, karena itu pemerintah tidak mengupayakan perjanjian dengan negara tujuan seperti Hong Kong, Taiwan, Timur Tengah. Sebaliknya menyerahkan mekanisme penempatan kepada pihak swasta. Swastanisasi ini tidak dimaksudkan untuk mengefektifkan pelayanan karena peran pemerintah yang terlalu besar dan monopolistik, tetapi sesungguhnya memperlihatkan pemerintah abai memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap perempuan PRT di luar negeri. Hal berbeda terlihat jika dibandingkan dengan situasi kerja bagi pekerja migran Indonesia yang akan menempati jenis pekerjaan yang biasa dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, misalnya di Korea Selatan. Jenis pekerjaan yang ditawarkan di Korea Selatan adalah pekerjaan di sektor konstruksi, jasa, manufaktur, perikanan dan pertanian. Pemerintah Indonesia telah memiliki perjanjian government to government (G to G) dengan pemerintah Korea Selatan untuk penempatan tenaga kerja Indonesia di sana (BNP2TKI, para 1). Jika dilihat dari analisis pembagian kerja berdasarkan gender, bisa dikatakan pemerintah menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia yang umumnya hanya untuk jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, pembedaan perhatian pemerintah terhadap pekerja migran laki-laki dan perempuan ini memperlihatkan bahwa kelas laki-laki pekerja dianggap lebih tinggi dari kelas perempuan pekerja. Stigma yang tersosialisasi akibat ideologi patriarki bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah utama, oleh pemerintah dimaknai sebagai perhatian lebih kepada laki-laki pekerja migran dalam bentuk perjanjian kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah di negara penempatan. Pihak Swasta Sebagai Pelaksana Penempatan PRT Migran Dilihat dari Analisis Pembagian Kerja Berdasarkan Gender Menurut Young, salah satu keuntungan analisis pembagian kerja berdasarkan gender adalah analisis ini dapat menjelaskan asal-usul pelanggengan subordinasi perempuan dalam struktur sosial. Berkaitan dengan penempatan PRT migran di Hong Kong oleh pihak swasta, dapat dikatakan pelanggengan subordinasi terjadi kepada perempuan ketika mereka tidak memiliki posisi tawar diperhadapkan dengan aturan yang mewajibkan PRT hanya boleh ditempatkan oleh pihak swasta, walaupun mereka sebelumnya sudah pernah bekerja di Hong Kong. Aturan yang sama juga dikenakan dalam hal pembayaran biaya penempatan. Semua calon PRT diwajibkan membayar seluruh komponen, walaupun karena kondisi tertentu tidak ditampung di PPTKIS atau sudah pernah mengikuti pelatihan sebelumnya. Menghadapi kondisi ini, perempuan tidak punya pilihan. Posisi subordinasinya membuat perempuan tidak berdaya. Pihak swasta yang kapitalis patriarki, sebagaimana analisis pembagian kerja, secara institusional telah menduduki posisi superioritas dan mengontrol perempuan dalam proses menjadi PRT. Penutup Perempuan PRT migran mengalami kekerasan ekonomi karena pemerintah sejak awal mengabaikan mereka dan tidak pernah sungguh-sungguh menganggap mereka ada. Kebijakan pemerintah menyerahkan tanggung jawab penempatan PRT migran kepada pihak swasta adalah bukti negara abai melindungi perempuan PRT migran. Situasi ini merefleksikan penindasan terhadap perempuan dilakukan oleh negara dan pasar. Kapitalis patriarki terwakili dalam diri pemerintah dan pihak swasta yang tidak pernah berpihak kepada perempuan PRT migran, sebaliknya justru menjadikan mereka sebagai sumber pendapatan. Ada relasi kuasa dan kontrol yang mengakibatkan perempuan PRT migran tetap dalam posisi subordinat dan mengalami kekerasan ekonomi berkepanjangan. Di tahun 2013, judicial review terhadap pasal-pasal yang memberatkan perempuan PRT migran dalam UU No.39/2004 telah diajukan, termasuk pasal 10 dan 11 tentang penempatan oleh pihak swasta. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan judicial review ini. Sekali lagi perempuan dikalahkan. Para pembuat keputusan negeri ini memang tidak serius memikirkan kepentingan pekerja migran termasuk perempuan PRT karena mereka miskin, berasal dari kelas bawah, dengan latar belakang pendidikan rendah dan karena mereka perempuan. Benar kata feminis marxis bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, perempuan tetap dibutuhkan di pasar kerja, agar tetap bisa dieksploitasi. Situasi sosial yang diciptakan pemerintah dan pihak swasta sebagai representasi kapitalis patriarki membuat perempuan PRT berada dalam kerentanan, mudah dieksploitasi, dimanfaatkan, dan disunyikan dari semua proses dan pengambilan keputusan yang dibuat untuk diri mereka. Walaupun saat ini, revisi Undang-undang No.39/2004 diubah menjadi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN), agar aspek perlindungan mendapat perhatian, tidak hanya penempatan sebagaimana dalam UU sebelumnya, kenyataannya RUU ini tak kunjung disahkan menjadi Undang-undang. Sehubungan dengan itu, beberapa rekomendasi saya terkait kebijakan yang lebih berpihak kepada perempuan PRT penting dipertimbangkan:
Daftar Pustaka Amnesty International 2013, Exploited for Profit-Indonesian Migrant Domestic Worker Trafficked to Hong Kong, videorecording, Amnesty International, London. BNP2TKI 2015, Data Penempatan dan Perlindungan TKI Periode Tahun 2015, diakses 16 Desember 2016, http://www.bnp2tki.go.id/read/11034/Data-Penempatan-dan-Perlindungan-TKI-Periode -Tahun-2015.html BNP2TKI 2015, Materi Sosialisasi Bidang Penempatan TKI Program G to G Korea, diakses 17 Desember 2016, http://www.bnp2tki.go.id/read/10003/Materi-Sosialisasi-Bidang Penempatan TKI-Program-G-to-G-Korea.html Census and Statistics Department, The Government of Hong Kong 2016, Foreign Domestic Helpers by Nationality and Sex, diakses 14 Desember 2016, http://www.censtatd.gov.hk/hkstat/sub/gender/labour-force Ibad, I, Silitonga, F, Wahyudiono T, Tim Penulis SBMI 2015, Modul Pendidikan Dasar dan Menengah Buruh Migran, Tifa Foundation dan DPN SBMI, Jakarta. Merriam-Webster’s collegiate dictionary 1993, 10th edn., Merriam-Webster, Springfield MA. NACDV, Economic abuses, diakses 16 Desember 2016, http://www.mmgconnect.com/ projects / userfiles /file/dce-stop_now/ncadv_economic_abuse_fact_sheet.pdf Pantau PJTKI 2014, Sepuluh MoU Penempatan BMI, diakses 16 Desember 2016, http://pantaupjtki.buruhmigran.or.id/index.php/read/sepuluh-mou-penempatan-bmi Saptari, R & Holzner, B 2016, Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Kalyanamitra dan Jurnal Perempuan, Jakarta. Tong, RP 2006, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, trans. AP Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta. Young, I 1981, “Beyond The Unhappy Marriage: a critique of Dual System Theory”, dalam L Sargent (ed.), Women and Revolution, e-book, South End Press, Boston, diakses 10 Desember 2016, http://books.google.co.id/books/id/beyond+the+unhappy+marriage+a+critique+theory.irish+young Young, I 2004, “Five Faces of Oppression”, dalam L Heldke & P O’Connor (eds.), Oppression, Privilege & Resistance, e-book, McGraw Hill, Boston, diakses 16 Desember 2016, http://www.sunypress.edu/pdf/62970.pdf International Labour Organization 2011, Convention No. 189 Decent work for domestic workers. Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Pak Sukiman
25/2/2017 03:19:03 pm
saya Sukiman seorang TKI DI MALAYSIA
Pak Sukiman
26/2/2017 07:43:06 am
saya Sukiman seorang TKI DI MALAYSIA
Sekian lama saya bermain togel baru kali ini saya
ibu irma
23/6/2017 09:11:38 am
Ada 7 tahun saya jadi tki di singapura akhirnya impian saya tercapai untuk pulang ke indonesia,terima kasih MBAH SERO atas bantuannya,saya bisa berkumpul kembali dengan keluarga di kampung,karna melalui jalan togel sekarang saya bisa sukses,ini semua berkat bantuan MBAH SERO yang memberikan angka 4d bocoran singapura,alhamdulillah dapat 250 juta,saya sangat bersyukur kebun orang tua yang dulunya di gadai buat biaya saya untuk berangkat kesingapura,kini sudah saya tebus kembali,tanpa bantuan beliau mungkin belum bisa saya pulang kampung,terima kasih banyak MBAH SERO jasa-jasamu tidak akan saya lupakan,bagi saudarah2 di indonesia maupun di luar negeri butuh bantuan,apalagi yang terlilit hutang silahkan tlpn atau sms di nomor 082 370 357 999 atas nama MBAH SERO,untuk info lebih jalasnya kunjungi website <b><a href="http://www.pesugihantanpatumbal69.blogspot.com/"> KLIK DISINI PESUGIHAN TANPA TUMBAL</a></b> beliau seorang paranormal yang bisa di percaya,karna sudah memberkan hasil,ingat kesempatan tidak akan datang untuk kedua kali,jadi giliran anda untuk membuktikannya,inilah kisah nyata dari saya ibu irma tki singapura..
Sri wahyuni
1/9/2017 07:45:24 am
Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |