Suasana pagi di bawah kaki Gunung Papandayan sangat sejuk. Sesekali angin bertiup semilir memainkan anak rambut. Jalan aspal yang berkelok-kelok menambah pemandangan eksotis setiap mata yang melihatnya. Dari perut bumi di tatar Priangan ini, hampir satu setengah abad yang lalu, lahir karya sastra dari tangan perempuan. Lasminingrat, namanya belakangan sudah ramai diperbincangkan di ruang maya. Perlahan dan pasti masyarakat Sunda terlebih generasi muda yang mempunyai akses terbuka pada media digital akan lebih mengenalnya. Di media nasional, majalah Historia Edisi 1 tahun 2012 turut mewartakan Lasminingrat dalam kolomnya “Tapak Perempuan Nusantara” sebagai salah satu perempuan yang membuka jalan bagi gerakan perempuan, bersanding dengan 49 tokoh perempuan lainnya. Lasminingrat saat itu mungkin tak pernah membayangkan, namanya akan banyak dibincangkan di forum-forum seminar akademisi, atau bahkan obrolan sederhana warung kopi di daerah Garut. Pusaranya di Garut, kian sering didatangi anak-anak sekolah, pengunjung biasa maupun peneliti. Pemikirannya dibedah oleh manusia abad 21. Semula, ia tak berharap menjadi besar. Seperti pengakuannya yang ia tuliskan di bukunya, ia hanya menulis dan mencatat. Ia tidak pernah menunda menulis dan tidak pernah menunda membaca. Kegemarannya menulis bukan karena ia sudah pintar hingga tahu semua jawaban, justru karena ia tidak mengetahui banyak hal, maka ia menulis. Ia menulis hanya karena ia takut lupa, menulis menurutnya bisa melupakan kegelisahan dan kebimbangan hati. Ia sangat senang belajar, menurutnya pula segala kemampuan dan ilmu kita jika tidak diasah bisa mudah lupa bahkan hilang. Karya-karya sadurannya masyhur saat itu. Peneliti sunda Mikihiro Moriyama menyebutkan bahwa karya Lasminingrat menjadi bacaan wajib anak pribumi saat itu, Tjarita Erman yang terbit tahun 1875 di Batavia, saduran dari karya Hendrick Van Eichenfels bahkan dicetak hampir 6000 eksemplar, dan saat itu dijual dengan harga f 0,4. Suara Perempuan dalam Sastra Lasminingrat Selain didaulat sebagai penulis dongeng anak-anak karena popularnya Tjarita Erman saat itu, Lasminingrat juga menulis dongeng untuk kalangan remaja dan dewasa. Karyanya yang berjudul Warnasari Jilid 2 meunang njalin tina boekoe walanda diterbitkan di Batavia tahun 1887. Jika Tjarita Erman bentuknya seperti novel dan berisi banyak pengajaran untuk anak-anak usia SD, maka Warnasari Jilid 2 yang terdiri dari 5 cerita pendek ini lebih membukakan ruang-ruang dialektika baru bagi pembaca remaja dan dewasa. Cerita-cerita dalam Warnasari lebih hidup. Menyuguhkan persoalan yang kompleks. Ambisi kekuasaan, keberanian, tekad, percintaan, perjodohan mewarnai kisah-kisah yang ada di dalamnya. Salah satu kisah yang menarik adalah yang berjudul “Sang Radja Poetri jeung Saderekna Doewa Welas” yang banyak membincang tentang perempuan. Tentang tubuh, tabiat, stigma, intimidasi dan diskriminasi yang kerap diterima oleh perempuan. Kisah bermula dari seorang perempuan yang terus menerus mengandung sebanyak dua belas kali. Suaminya, tak mau tahu tentang tubuh perempuan yang tak ada habisnya digantungi kehidupan manusia baru. Perempuan seperti tak punya kuasa atas tubuhnya. Suaminya tak pernah puas, ia hanya ingin anak perempuan. Dengan segala rasa sakit yang ditanggungnya, perempuan seharusnya diapresiasi dan ditinggikan. Sayangnya, peristiwa melahirkan seolah hanya menjadi tanggung jawab perempuan. Beruntung anak yang ketiga belas adalah perempuan. Tetapi, menjadi petaka bagi semua kakak-kakaknya yang laki-laki. Ayah mereka tak lagi peduli. Sang ayah pun membenci dan hendak membunuh kedua belas anak lelakinya. Tentu saja ini tidak adil, bukankah rasa kasih sayang, cinta dan kemanusiaan tak mengenal jenis kelamin? seperti yang disinggung oleh bell hooks dalam bukunya Feminism is for Everybody, bahwa setiap manusia berhak mendapatkan keadilan, entah itu laki-laki, perempuan, anak-anak maupun orang dewasa. Dalam tulisannya tersirat Lasminingrat menegaskan bentuk ketidakadilan tersebut. Ia menggugat dan berkali-kali dengan keras tak sepakat dengan intimidasi. “…semoga hati kamu tidak begitu, saya benar-benar tidak terima, karena semuanya juga anak, dan betapa sayangnya, semuanya sudah besar dan berprilaku baik, dan lagi tak terbayang betapa menderitanya saya, membunuh anak yang sudah besar dan tidak punya dosa”. (Sang Radja Poetri jeung Saderekna Doewa Welas, hal. 47). Perempuan yang mengandung semua putranya itu ternyata tak punya kuasa sedikitpun atas daging yang pernah bercokol di tubuhnya. Keputusan suaminya tak bisa diubah. Kebencian suaminya pada darah dagingnya tak bisa ia bantah. Ia, perempuan yang menyerahkan seluruh tubuh dan kehidupannya selama mengandung, menyusui dan membesarkan kedua belas anaknya ternyata sama sekali tak punya hak untuk bersuara. Kedua belas anak lelaki itu akhirnya kabur agar tidak dibunuh sang ayah. Ibunya, perempuan yang mengasihinya hanya bisa menangis, tak dapat berbuat banyak. Tangisnya membuat suaminya jengah, di matanya perempuan itu sangat cengeng. Tak sedikitpun kepedulian suaminya atas kedukaan yang tengah dirasakan istrinya. Lasminingrat dalam cerita saduran “Sang Radja Poetri jeung Saderekna Doewa Welas” juga menyisipkan peran perempuan yang hanya dibatasi dalam ruang domestik saja. Anak perempuan yang ketiga belas itu menyusul kakaknya. Ketika kakak-kakaknya yang dua belas orang dan semuanya laki-laki bekerja di luar rumah, adiknya yang perempuan hanya disuruh untuk memasak dan menunggui rumah, membersihkan perabotan hingga rumah tampak lebih bersih dan menyenangkan karena ada sentuhan tangan perempuan. Begitu juga di akhir cerita, ketika semua laki-laki terlibat dalam peperangan, para perempuan hanya boleh menunggu di dalam keraton saja. Ketika Lasminingrat menuliskan kisah ini, hak perempuan untuk mendapatkan keadilan dan perlakuan yang setara dengan laki-laki sangat terbatas. Perempuan hanya boleh menempati ranah domestik. Satu hal lagi yang sangat menarik, Lasminingrat menceritakan tentang pilunya menjadi seorang perempuan. Intimidasi dan diskriminasi kerap diterimanya, yang lebih menyedihkan yang menghukum adalah juga seorang perempuan. Diceritakan anak perempuan ketiga belas tadi sudah dewasa dan hendak dipersunting seorang Raja, tetapi para perempuan kerajaan saling membisiki ratu, memengaruhinya agar tak menerima calon menantu pilihan anaknya hanya karena asal-usulnya tidak jelas. Pada abad 19, sudah menjadi keharusan kaum menak harus menikah dengan kaum menak pula, maka tidak heran jika kelanggengan kekuasaan bisa bertahan berpuluh-puluh generasi berikutnya. Menjadi anak seorang HoofdPenghoeloe Penghulu Limbangan, menjadikan Lasminingrat bagian dari lingkaran menak, lingkaran itu terus dipelihara dan diperbesar melalui pernikahan. Pernikahan pertamanya dengan Raden Tamtu Somadiningrat anak Bupati Sumedang kemudian menikah kedua kalinya dan menjadi istri kedua Raden Wiratanudatar VIII Bupati Limbangan. Tetapi, dalam cerita fiksinya Lasminingrat seolah menghapus tradisi pernikahan kaum menak. Sang Raja tetap memilih perempuan yang ia ingin nikahi meskipun asal usulnya tidak jelas. Lasminingrat juga dengan sengaja menampar keras para perempuan yang hobinya bergosip, yang lebih banyak bicara daripada bekerja. Lasmi tak segan-segan menyebutnya “lidah ular”, menurutnya mulia dan tidaknya seorang perempuan bukan berasal dari status sosial, tetapi dari akal dan keluhuran budi. Ia menulis : “… yang bisa bicara serta bicaranya benar itu perak, yang diam dan tidak cerewet itu emas, sedangkan yang bisa bicara tapi menjelek-jelekkan orang lain itu namanya lidah ular”. (Sang Raja Putri, hal. 66). Ketidaksukaannya pada perempuan yang suka menggosip ia tuliskan pula juga pada kisah “Tjarita Oray Bodas”. “…Malahan kepada istri yang sangat disayanginya juga tidak pernah diberitahukan. Menurut Radja istrinya tidak bisa menyimpan rahasia, “biwir nyiru rombengeun, ceuli lentaheun[1]” tidak lama berita diterima langsung saja diceritakan pada sahabatnya. Katanya menitip cerita dengan syarat tidak boleh diceritakan lagi, tetapi akhirnya berita itu diteruskan kepada siapa saja hingga akhirnya menjadi rahasia bersama-sama, malahan di Negara tersebut ada istilah: rahasia perempuan, rahasia bersama-sama”. Lasminingrat, ia seorang perempuan tetapi ia mempunyai daya kritis yang tinggi terhadap kaumnya. Bukan semata-mata untuk mengolok-olok perempuan, tetapi memberi pandangan bahwa masih banyak perempuan yang mempunyai sifat buruk yang akhirnya stigma negatif pun tak pelak dialamatkan kepada semua perempuan sebagai penggosip. Meskipun sebetulnya dengan menyebut perempuan dengan istilah demikian berarti ada stigma negatif perempuan sebagai penggosip dari masyarakat patriarki yang juga telah terinternalisasi pada dirinya. Menjadi perempuan yang hidup di abad 19 tidaklah mudah. Lasminingrat yang terlahir sebagai anak hoofd penghulu Raden H.M. Moesa tetap saja mengalami banyak kesulitan. Ibunya harus rela dipoligami, bersanding dengan enam perempuan lainnya. Tentu saja Lasminingrat akrab dengan kehidupan dan cara hidup perempuan di sekelilingnya. Cerita “Sang Radja Putri” menjadi refleksi kehidupan tentang betapa jauhnya rentang keadilan bagi perempuan dan laki-laki saat itu. Pembatasan ruang ekspresi bagi perempuan dan laki-laki disuarakannya berkali-kali. Apa maksud Lasminingrat memilih menyadur cerita “Sang Radja Poetri jeung Saderekna Doewa Welas” dan “Tjarita Oray Bodas” yang banyak menarasikan tentang perempuan? Mungkin saja secara samar-samar Lasminingrat ingin menanamkan pemahaman kepada setiap perempuan agar dapat membela dirinya, membela tubuhnya. Lasminingrat juga ingin agar setiap perempuan dapat bersikap adil dan mendukung kaumnya, bukan malah menjatuhkan dengan alasan apapun. Lasminingrat yang kala itu sadar benar bahwa buku-bukunya menjadi bacaan wajib anak sekolah seolah sengaja menyebarkan kesetaraan dan keadilan bagi setiap manusia, laki-laki dan perempuan sejak dini. Catatan Akhir [1] Istilah peribahasa dalam bahasa sunda yang artinya segala macam diceritakan tidak bisa menyimpan rahasia, suka terburu-buru menceritakan kepada orang lain, tanpa konfirmasi dulu kebenarannya. Daftar Pustaka Historia, “50 Tapak Perempuan Nusantara”, Majalah Historia, No. 1 Tahun 1, 2012, hh. 45. Moriyama, Mikihiro. 2013. Semangat Baru, Komunitas Bambu, Jakarta. Effendie, Deddy, 2011. Raden Ajoe Lasminingrat 1843-1948 Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia, Studio Proklamasi, Garut. Lasminingrat, R. A., 1887. Warnasari jilid 2 meunang tjalin tina boekoe walanda, Landsdrukkerij, Batavia. Lasminingrat, R. A., 1875, Tjarita Erman, Landsdrukkerij, Batavia. Lasminingrat, R.A., 1876, Warnasari atawa Roepa-Roepa Dongeng di salin tina basa walanda kana basa sunda, Landsdrukkerij, Batavia. hooks, bell, 2000. Feminism is For Everybody, South End, Cambridge. Musdah Mulia [email protected] (Disampaikan dalam Diskusi dan Bedah Buku Perempuan dan Terorisme pada 14 Januari 2019 di Jakarta) Buku Perempuan dan Terorisme karya Leebarty Taskarina, awalnya berupa tesis untuk mendapat gelar magister di Jurusan Kriminologi, Universitas Indonesia. Secara garis besar, buku ini memberikan perhatian pada korban yang terlupakan dari kejahatan terorisme, yaitu para perempuan. Argumentasi dalam tulisan ini bertolak dari pandangan bahwa para istri yang dilibatkan dalam kejahatan terorisme ini adalah korban, bukan pelaku. Pelibatan para istri dalam kejahatan terorisme didominasi hubungan sistem patriarki dan hal itu merupakan bentuk viktimisasi. Pada dasarnya, tidak semua bentuk viktimisasi mengakibatkan perlukaan fisik, namun ketidakberdayaan untuk memilih sebagai seorang istri menjadi titik balik bahwa mereka adalah korban. Keterlibatan perempuan dalam jaringan dan praktik terorisme tidak dipungkiri ikut berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Kasus Dian Yulia Novi adalah yang pertama terkuak. Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet yang dilakukan oleh calon suaminya saat itu. Kasus ini mengemuka karena pertama kalinya di Indonesia seorang istri direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (suicide bomber). Para teroris melibatkan istri-istri untuk ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Tidak hanya itu, fakta yang kemudian terkuak adalah kebutuhan biologis para pemimpin kelompok ini menuntut para istri untuk ikut bergerilya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan barang bukti berupa pil KB dalam pengejaran aparat. Buku ini juga menjelaskan bahwa istri para teroris mengalami viktimisasi selama perjalanan hidupnya mulai dari proses penangkapan hingga sudah bebas dari jeruji besi. Mereka teralienasi dari keluarga, terkucilkan, rentan dan tidak mampu secara finansial karena tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya akibat pengucilan dan status mantan napi atau bahkan “janda teroris”. Keberpihakan dan perlindungan negara terhadap para istri pelaku kejahatan terorisme sendiri juga terkesan masih tarik ulur. Buku ini menjadi jendela penting untuk memahami bahwa persoalan terorisme yang melibatkan perempuan melahirkan beragam persoalan sosial lainnya, seperti perkawinan anak, perkawinan sirri, poligami, pengabaian hak dan kesehatan reproduksi perempuan yang kesemuanya itu berujung pada menurunnya kualitas hidup perempuan. Tentu hal itu sangat mengganggu pencapaian target SDG’s pemerintah. Mengapa para perempuan mau terlibat dalam gerakan terorisme? Pertama, rendahnya tingkat literasi menyebabkan mereka terbelenggu dalam pemahaman yang bias gender. Selain itu, tingkat pemahaman keislaman mereka juga sangat dangkal sehingga mudah menerima doktrin yang keliru terkait konsep ketaatan, jihad, kafir, thagut, khilafah, negara Islam dan seterusnya. Karena itu, upaya literasi kesadaran perempuan perlu digalakkan agar mereka tidak mudah terpengaruh doktrin ideologi patriarki dan interpretasi Islam radikal. Kedua, interpretasi keagamaan yang eksklusif melahirkan sikap dan perilaku intoleran yang membuat mereka dipenuhi rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang yang berbeda. Diperlukan upaya counter penafsiran sehingga interpretasi agama yang sejuk, humanis dan toleran menjadi dominan di masyarakat. Upaya sosialisasi penafsiran yang inklusif ini perlu dilakukan sejak di Pendidikan Usia Dini (Paud). Sangat penting menolak semua bentuk perilaku intoleran sekecil apa pun. Jangan memandang sepele sikap dan perlakuan intoleran terhadap siapapun. Ketiga, rasa teralienasi dan tersingkirkan dari kelompoknya membuat mereka tidak punya banyak pilihan dalam hidup, sehingga pilihan menjadi teroris merupakan satu-satunya pilihan. Tampaknya perlu mengembangkan budaya-budaya damai dan menghargai sesama, khususnya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga. Terakhir dan sangat penting, negara perlu mendorong agar interpretasi agama dan pandangan ideologi yang inklusif, demokratis dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan menjadi dominan di masyarakat. Pemerintah Indonesia di tahun 2018 sedang mendorong adanya automasi dalam berbagai bidang mulai dari industri hingga administrasi. Hal ini mendorong pekerja, baik perempuan dan laki-laki untuk lebih akrab dengan teknologi. Kajian teknologi dan feminisme khususnya menyoal dunia siber di Indonesia masih cukup terbatas. Padahal, gerakan perempuan hari ini banyak memanfaatkan dunia siber yaitu media sosial, seperti Indonesia Feminis atau Jakarta Feminis Discussion Group. Dunia siber memberikan ruang untuk menyebarkan ideologi, tidak sekadar dari esai-esai panjang yang menjemukan tetapi juga melalui gambar meme dan insta-story. Jurnal Perempuan 73 yang diterbitkan tahun 2013 membahas tentang teknologi dan perempuan dengan permasalahan utama, mengapa perempuan terhambat dalam menguasai teknologi.[i] Isu perempuan dan teknologi dibahas kembali pada Jurnal Perempuan 91 Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika) di tahun 2016. Isu tentang perempuan dan teknologi berkutat pada dorongan perempuan untuk menguasai STEM melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan usaha feminisme mendorong perempuan tidak hanya menjadi pengguna tetapi pencipta teknologi. Perdebatan tentang feminisme dan teknologi dibahas oleh Judy Wajcman dalam bukunya Feminism Conforts Technology (1991). Wacjman membahas bagaimana teknologi menjadi tergenderkan. Pelacakan sejak kapan teknologi tergenderkan harus dilakukan supaya kita bisa memahami mengapa perempuan diasumsikan berjarak dengan teknologi. Selain itu sebagai bahasan teknologi, dunia siber membuka ruang dalam manusia-manusia memahamai posisi dan identitas dalam lautan informasi yang luas. Hal ini memunculkannya ramainya diskursus terkait identitas politik di dunia siber. Tulisan ini membahas bagaimana teknologi khususnya siber diperbincangkan dalam pusaran feminisme di Indonesia. Tulisan ini berusaha mengisi kekosongan antara kajian humaniora tentang teknologi dan isu-isu feminisme di dunia siber. Isu-isu seperti identitas politik dan kekerasan seksual masih menjadi bahasan yang tidak lekang dalam perdebatan feminisme di Indonesia. Namun, sebelum menuju permasalahan feminisme dalam dunia siber ada baiknya kita membongkar definisi teknologi melalui paradigma feminis dan di mana ada tempat bagi identitas non-biner dalam teknologi. Feminisme Membongkar Teknologi Sejak kapan teknologi bersifat maskulin dan mengapa perempuan berjarak dalam teknologi? Dalam Jurnal Perempuan 91 Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika) sebuah tulisan dari Perdana Putri Roswaldy berjudul “Pencarian Teknologi Feminis”[ii] memberikan perspektif lain untuk membongkar tentang bagaimana teknologi selama ini dipersepsikan. Dengan menggunakan pendekatan feminisme sosialis/Marxist dan epistemologi feminis, Perdana Putri menjelaskan bahwa sepanjang sejarah perempuan memang dipinggirkan dalam proses pembuatan teknologi dan pembagian kerja berdasarkan seks dan gender semakin memperlebar jurang akses perempuan terhadap teknologi. Dengan apik tulisan ini melacak sejak kapan dan mengapa teknologi tergenderkan, Perdana Putri menggunakan epistemologi feminis untuk mendekonstruksi teknologi dan mengkritik kajian-kajian teknologi dan feminisme yang mengesensialisasikan perempuan dan keperempuanan dengan tidak memberikan ruang bagi non-biner untuk dibahas. Epistemologi feminis juga digunakan untuk membongkar segregasi seksual/gender di dalam ilmu pengetahuan yang telah menyebabkan kekacauan serius dengan membuat hierarki teknologi rendah dan tinggi. Teknologi tinggi misalnya kapal terbang dan penemuan logam baru sedangkan aktivitas dengan teknologi seperti holtikultura dan menenun dianggap sebagai teknologi rendah atau tidak dianggap sebagai teknologi sama sekali.[iii] Karakter feminin dan maskulin dikonkretkan dengan ketubuhan sehingga tercipta stereotipe laki-laki sebagai pembuat teknologi disandingkan perempuan sebagai pengguna. Diskursus ini muncul terus-menerus dalam pembahasan soal teknologi dan feminisme dan menyesakinya. Alih-alih mendekonstruksi perempuan dan keperempuanan, stereotipe ini menjebak diskursus feminisme dan teknologi kembali pada esensialisme perempuan dan tidak memberikan ruang bagi gender lainnya berada dalam diskursus ini. Tulisan Perdana Putri juga menantang cara pandang kita terhadap relasi feminin dan maskulin dalam teknologi dan keseluruhan peran gender. Karena ternyata feminisme telah membuka jalan untuk kita meredefinisikan teknologi dan membahas bagaimana kita mau menyuarakan gender lain yang juga menjadi korban dari patriarki. Donna Haraway dalam esainya “Cyborg Manifesto” telah membuka jalan untuk meninggalkan esensialisme dan binaritas gender melalui metafora Cyborg. Cyborg adalah alat untuk mendekonstruksi hierarki dan dominasi dalam dunia yang bias. Haraway membawa jauh perdebatan feminisme ke dalam kajian poshumanis dimana batasan-batasan antara manusia-binatang-teknologi sudah tidak ada lagi, termasuk seks dan gender di dalamnya. Hari ini sudah banyak gerakan sosial untuk melindungi hewan dan bagaimana setiap manusia adalah cyborg dengan pengunaan teknologi seperti kacamata membaca hingga gawai dengan GPS telah melampaui tubuh material. Pandangan poshumanis tidak lepas dari kritik, cyborg yang telah melampaui batasan-batasan seks, gender dan bahkan ras dan geografis dianggap utopis namun diskursus ini memberikan cara baru untuk memandang dan memahami teknologi. Sebab Feminisme harus mencurigai secara dalam awal mula munculnya teknologi, dan menyusunnya kembali supaya membawa perubahan yang berarti dan itu berarti tidak sekadar mendorong perempuan secara kuantitatif untuk masuk ke dalam bahasan teknologi tetapi melakukan revolusi menyeluruh mulai dari mendekonstruksi pemahaman soal teknologi, merebut dominasi dan menggunakan teknologi secara tepat, etis dan inklusif. alam bahasan feminisme hari ini kita menyadari bahwa ternyata gender nonmaskulin yang juga menjadi korban patriarki masih belum diangkat dalam pembahasan teknologi yang tergenderkan. Penguasaan Teknologi dan Revolusi Industri Kita sudah memulai diskusi soal cyborg bahwa dalam sebuah ruang imaterial cyborg adalah mahluk yang tidak memiliki asal dan juga akhir. "in the utopian tradition of imagining a world without gender, which is perhaps a world without genesis, but maybe also a world without end"[iv]. Esai Donna Haraway ini menolak pandangan esensialis terhadap perempuan dan laki-laki. Haraway menolak dianggap sebagai dewi dan mengidentifikasi dirinya sebagai cyborg yang lebih egaliter karena evolusi telah mengaburkan batas-batas antara binatang, manusia dan teknologi begitu juga dengan seks dan gender. Kajian sejarah total (total history) mengamini pendapat ini, dalam seri buku Sapiens dan Homo Deus karya Yuval Noah Harari memperlihatkan jalan sejarah manusia, homo sapiens yang semakin kabur dan ada potensi untuk menjadi kode-kode yang bisa jadi hidup abadi atau mati digantikan oleh spesies lain.[v] Kembali pada hari ini, teknologi begitu luas dan kita perlu mempersempit ruang untuk melacak muasal dan ke arah mana teknologi dikembangkan. Supaya kita bisa melihat posisi dari masalah teknologi dan gender lebih kontekstual. Sebuah esai dari Hizkia Yosie Polimpung berjudul “Teknopolitika dan Kemudahan Hidup” yang diterbitkan Indoprogress.com melacak melalui posisi pekerja sebagai pengguna teknologi dan bagaimana teknologi dikembangkan khususnya di Indonesia. Yosie membagi tiga sektor perkembangan teknologi yang terjadi berdasarkan motivasinya. Pertama adalah perkembangan teknologi militer yang bertujuan untuk menghancurkan musuh dan menyakiti tubuh manusia. Kedua adalah industri yang mengekstraksi kerja manusia dengan motivasi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan yang ketiga adalah sektor domestik yang bertujuan untuk melindungi tubuh dan membebaskan tubuh dari kerja. Yosie tidak berusaha membuat teknologi bergender karena memang tidak perlu. Namun yang harus ditekankan adalah pada sektor mana teknologi dikembangkan di Indonesia dan Yosie menyimpulkan pada sektor militer dan industri. Indonesia dengan populasi penduduk keempat terbanyak di dunia merasa terancam dengan kehadiran mesin-mesin yang menggantikan manusia sebagai tenaga kerja. Untuk itu, banyak pekerja didorong untuk menguasai “teknologi” supaya tidak tertinggal zaman melalui serangkaian pelatihan yang justru tidak mempermudah hidup. Revolusi Industri 4.0 yang digadang oleh pemerintah[vi] menurut Yoshie adalah bagian dari revolusi industriyang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Revolusi industri pertama ditandai oleh teknologi mesin uap, kedua dengan elektrifikasi, ketiga dengan komputerisasi dan informasionalisasi proses-proses produksi, bisnis dan manajerial dan revolusi keempat adalah internetisasi dan otomasi dengan AI (artificial intelegence). Dari sini kita mulai bisa melihat benang merah mengapa perempuan di Indonesia dianggap tertinggal dalam penguasaan teknologi? Karena teknologi yang berkembang terbatas dalam sektor industri dan perjumpaan kita pada teknologi automasi dan informasi berbatas pada dunia kerja. Pekerjaan khususnya dunia industri didominasi oleh laki-laki sehingga permasalahan penguasaan teknologi bukan disebabkan oleh identitas gender tertentu melainkan pada akses kerja. Sehingga yang memiliki penguasaan teknologi terbatas tidak hanya perempuan tetapi juga waria, kelompok disabilitas, penduduk desa yang jauh dari kota yang sulit mendapatkan pekerjaan formal dan tidak berkenalan dengan mesin-mesin produksi. Dunia Siber dan Permasalahan Tubuh Material Selain berkembang secara terbatas di sektor industri, ada pula dunia imaterial yang jarang dibahas dalam interaksi manusia-manusia cyborg. Dunia siber tidak lagi menjadi asing bagi kehidupan kita sebagai cyborg. Media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram adalah perpanjangan ruang interaksi material dengan teman-teman di dunia material dan sarana pertemuan dengan cyborg-cyborg lain yang memiliki kesukaan yang sama. Sebagai cyborg kita juga hidup dalam dunia material dengan berbagai batas identitas, geografis, hukum, genital dan peran gender yang diatur oleh administrasi negara. Sedangkan di dunia imaterial kita punya pilihan untuk membawa serta identitas yang lama atau muncul dengan identitas yang sama sekali baru. Dunia siber yang imaterial menyediakan anonimitas dan memungkinkan kita untuk memilih identitas, preferensi dan lokasi geografis yang bisa sama sekali berbeda dengan dunia material yang tidak bisa dipilih. Namun sayangnya pilihan tersebut semu dan utopis karena banyak permasalahan-permasalahan dunia material belum selesai yang justru memanjang ke dunia maya. Tidak semua dari kita menyadari bahwa cyborg mampu memainkan identitas yang tanpa awal dan akhir di dunia imaterial. Kemewahan anonimitas dan kesetaraan menjadi semu ketika kita menarik relasi antara dunia siber dengan dunia material. Dalam penggunaannya teknologi dan dunia siber sebagai perpanjangan dari dunia material ternyata membawa serta masalah-masalah yang tidak selesai, salah satunya adalah politik identitas. Di sini kita kembali mundur untuk melihat perempuan sebagai identitas gender dan peran keperempuanan disegel melalui vagina dan ditempatkan dalam hierarki yang rendah. Patriarki hadir sebagai sebuah sistem yang menggurita dan membelit banyak sektor: ekonomi, politik, sosial dan lainnya. Keperempuan dan tubuh perempuan belum beranjak dari posisi sekunder dan kerentanannya memanjang ke dunia imaterial. Politik identitas yang masih menjadi masalah dalam dunia siber juga bisa dilihat dari bagaimana politikus hari ini menggoreng isu-isu yang juga masih sekitar politik identitas sebagai senjata untuk berkuasa di dunia material. Masing-masing kandidat calon presiden 2019 memiliki pasukan siber untuk membombandir wacana dan lini masa sosial media. Bebagai acara televisi didasari oleh isu-isu atau konten yang viral di sosial media. Jembatan antara dunia material dan imaterial adalah memang masalah politik identitas dan kekuasaan di dunia material yang belum selesai. Permasalahan Siber dan Identitas Perkembangan teknologi digital 4.0 yang hanya sebatas keperluan industri, menyebabkan undang-undang yang mengatur interaksi kita terbatas pada pengaturan hukum-rugi transaksi elektronik. Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE banyak membahas tentang interaksi yang terbatas pada transaksi elektornik atau pencegahan pornografi dalam ketentuan pidananya. UU ITE tidak melindungi individu-individu. UU ITE dibuat untuk melindungi bisnis dan transaksi elektronik yang menekankan perlindungan kepada pelaku industri. Oleh sebab itu UU ITE dibuat untuk mengakomodasi bisnis e-commerce di Indonesia karena sekali lagi, teknologi yang dikembangkan di Indonesia adalah sektor Industri sehingga Undang-undang yang mengatur teknologi dan informasi sebatas kepentingan industri. Kita bisa melihat dengan sengaja permasalahan seperti perlindungan identitas atau data pribadi pengguna bukan menjadi bahasan. Dunia siber tidak mengenal ruang privat dan publik. Penyedia jasa media sosial mengumpulkan sebanyak-banyaknya data pribadi para pengguna supaya bisa dijadikan informasi yang dapat dijual kembali kepada pengiklan. Facebook tidak meminta uang dari kita tetapi meminta waktu kita dihabiskan sebanyak mungkin di dalamnya, kita adalah pekerja imaterial yang memberikan waktu kita secara cuma-cuma untuk kemudian diolah dan dijual kembali sebagai keuntungan bagi Facebook. Permasalahan antar individu juga muncul dalam interaksi digital dan biasanya menyasar pada identitas rentan yang tidak selesai dalam dunia material. Misalnya bagaimana tubuh perempuan dimutilasi dan menjadi objek seks sudah terjadi pada dunia material dan ini belum selesai. Permasalahan seksualisasi tubuh perempuan sebagai objek seks memanjang ke dunia siber sebagai pornografi. Riska Carolina peneliti dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) merangkum berbagai permasalahan dunia siber yang menyangkut identitas seks dan gender di dunia nyata. Setidaknya ada 11 jenis kekerasan siber yang menyerang seksualitas yang saling memengaruhi, baik di dunia material dan siber, dan sulit untuk mendapatkan perlindungan dari masyarakat maupun negara yakni:
Sebagaimana diungkapkan Perdana Putri dalam artikelnya, feminisme punya modal besar untuk merebut dominasi patriarki atas teknologi melalui dekonstruksi dan penggunaan teknologi untuk tujuan yang baik, menguntungkan dan bertujuan untuk kesetaraan perempuan dan gender lain yang terdampak oleh patriarki termasuk LGBTIQ.Perkembangan teknologi digital di Indonesia sangat industri sentris dan perlindungan negara terkait interaksi di dunia siber juga berbatas pada kebutuhan industri.Permasalahan-permasalahan seperti politik identitas yang belum selesai di dunia material meluas ke dunia siber dan saling mempengaruhi. Dengan membaca dan melacak kehadiran teknologi kita bisa melihat ke mana arah pengembangan teknologi, melakukan koreksi dan perebutan kembali. Hingga saat ini baik di dunia material dan siber tidak ada perlindungan bagi perempuan dan gender non-maskulin lainnya supaya identitasnya tidak dipolitisasi. Permasalahan siber dan dunia material bertalian karena masalah-masalah yang belum selesai menyangkut seks dan gender memanjang ke dunia siber dan saling memengaruhi baik secara individu maupun kelompok. Masalah-masalah seperti ujaran kebencian, pornografi tanpa konsensus atau pemalsuan identitas belum diatur dalam regulasi secara tepat dan hal ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua. Daftar Pustaka: Harari, Yuval Noah. (2014). Sapiens: A Brief History of Humankind. Amazon e-book Kindle Edition. Harari, Yuval Noah. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Amazon e-book Kindle Edition. Wajcman, Judy. (1991). Feminism Confrots Technology. Pensylvania State University Press, United States of America. Haraway, Donna Jeanne. (1985). A Cyborg Manifesto: Science Technology and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century. Socialist Review, Routledge, Newyork, 159 – 181. Roswaldy, Perdana Putri. (2016). Pencarian Teknologi Feminis: Tantangan Feminisme Abad XXI. Jurnal Perempuan 91, 59 – 75. RG. (2013). Catatan Jurnal Perempuan: Transvaluasi. Jurnal Perempuan 78, 4 – 5. Polimpung, Hizkia Yosie. (2018). Teknopolitika Kemudahan Hidup dari https://indoprogress.com/2018/06/teknopolitika-kemudahan-hidup/. Polimpung, Hizkia Yosie. (2018). Agenda Otomasi dari https://indoprogress.com/2018/03/agenda-otomasi/ SGRC. (2018). Jenis-jenis Kekerasan Seksual Siber oleh SGRC dari https://sgrcui.wordpress.com/2018/06/11/jenis-jenis-kekerasan-seksual-siber-oleh-sgrc/. Bappenas. (n.d). Kebijakan Pembangunan iptek untuk Kemajuan Bangsa Pentingnya iptek dan inovasi dari https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/kebijakan-pembangunan-iptek-untuk-kemajuan-bangsa-pentingnya-sistem-nasional-iptek-dan-inovasi/. Catatan Akhir: [i] Catatan Jurnal Perempuan ditulis oleh RG berjudul “Transvaluasi” dalam Jurnal Perempuan no 73: Gender dan Teknologi Vol 18 No.3 tahun 2013. [ii] Roswaldy, Perdana Putri. Hal 59 - 75. “Pencarian Teknologi Feminis: Tantangan Feminisme abad XXI” dalam Jurnal Perempuan 91, Vol 21 No 4, tahun 2016. [iii] Opcit hal 63. [iv] Haraway, Donna Jeanne, “A Cyborg Manifesto: Science Technology and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century”. Socialist Review, Routledge: Newyork, Pdf hal 7. [v] Pembacaan penulis terhadap dua buku Yuval Noah Harari berjudul Sapiens: The Brief Human History (2014) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), Amazon e-book. [vi]https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/kebijakan-pembangunan-iptek-untuk-kemajuan-bangsa-pentingnya-sistem-nasional-iptek-dan-inovasi/. Robertus Robet (Dosen Sosiologi FIS Universitas Negeri Jakarta) A. PARADOKS POLITIK Politik kontemporer, dalam prakteknya, oleh kebanyakan orang telah dipahami dalam ambivalensi: dikutuk tapi sekaligus diharapkan. Di satu sisi, politik rutin sehari-hari makin dimaknai sebagai cela ketimbang keluhuran. Politik dianggap sebagai arena dan asal-muasal kericuhan, dagang sapi, identik dengan perilaku tamak, licik, munafik dan tidak mengamankan prinsip. Politik dimengerti sebagai prilaku buruk kolektif yang secara hukum terlembagakan dan termaklumkan. Keadaan ini menciptakan dugaan bahwa seakan-akan politik memiliki dua muka yang terpisah; yang pertama adalah sisi di mana politik terjadi sebegitu saja dalam rutinitas kelembagaan dan prilaku aktor-aktornya. Ini politik yang tadi dianggap busuk dan cela: politik dalam presentasinya yang konkret dan partikular Yang kedua adalah politik yang diharapkan, yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi: politik sebagaimana yang diharapkan, yang ditekan di bawah instansi ketaksadaran. Yang dimaknai sebagai yang cela dan busuk disodorkan permukaan sementara politik yang agung dan yang diharapkan tersembunyi di bawah kesadaran dan harapan. Gejala ambivalensi dalam politik ini sebenarnya telah menarik minat banyak filsuf kontemporer, pada tahun 1965, sebagai reaksi terhadap kejatuhan revolusi Hongaria, Paul Ricoeur menulis sebuah esai berjudul The Political Paradox. Dalam artikel itu ia mengatakan bahwa ‘politics only exist in great moments in ‘crisis’. Pandangan itu diajukannnya dengan basis bahwa politik menurutnya memiliki asal-muasal ganda: politik yang rasional dan politik yang durjana (a specifically political rationality and a specifically political evil). Dengan pemisahan ini Ricour bermaksud hendak mengukuhkan kembali aspek ‘otonomi yang relatif’ di dalam politik. Di sinilah Ricour memperkenalkan pemisahan antara ‘the political’ atau ‘Yang Politis’ dengan ‘politics atau politik –atau dalam istilah Lefort antara le politique (the political) dan la politique (politics). Dengan pemisahan ini dan upaya otonomisasi ini, Yang Politis dalam Ricoeur dipandang sebagai realisasi dari relasi manusia yang tidak dapat direduksi ke dalam konflik kelas dan berbagai kepentingan. Sementara dengan politik yang dimaksudkannya adalah segala bentuk kedurjanaan dan permainan dalam kekuasaan[1]. Dengan demikian di dalam pembedaan yang dilakukan Ricouer adalah menegaskan kembali demarkasi antara wahana ideal dari Yang Politis yang ditandai oleh rasionalitas tertentu dengan wahana kekuasaan. Namun demikian, pembedaan Ricouer ini tidak dapat ditafsirkan dalam suatu kerangka ‘normatif’ a la Habermasian karena –sebagaimana yang diungkapkan oleh Marchart- Ricoers sendiri menganggap bahwa Yang Politis selain memiliki sifat yang khusus: ia melampaui politik tapi sekaligus bereasi dengannya sehingga antara Yang Politis dan politik berada dalam suatu relasi yang bersifat paradoksal, keduanya berbeda namun berada dalam suatu pergualatan yang sama. Di sini Ricouer mau menekankan bahwa Yang Politis sebenarnya selalu berada dalam ketegangan karena mesti berelasi dan berkonradiksi secara permnanen dengan politik. Itu sebabnya kemudian ia menamakan proses ini dengan istilah Political Paradox, karena persis di dalamnya ada gerak pemisahan sekaligus gerak penyatuan yang tiada habis-habisnya.[2] Sebelum Ricouer, pada dasarnya hubungan paradoks dalam politik ini memiliki akar yang cukup dalam filsafat politik. Di titik ini setidaknya kita dapat mengacu kembali pada Machiavelli.[3] B. MORAL POLITIK MACHIAVELLIAN 1: MACHIAVELLI SANG PANGERAN Di dalam The Prince Machiavelli mengatakan bahwa virtue (kebajikan) dihayati secara berbeda antara dua golongan masyarakat: bagi warga biasa dan bagi kaum elit atau Sang Pangeran. Bagi warga biasa, virtue dipraktekkan sebagai aktivitas kewargaan yang baik dalam rangka memelihara hukum-hukum dan tujuan republik. Sementara bagi Sang Pangeran atau elit, virtue dipahami secara berbeda sebagai keberanian untuk mengambil sikap tegas, determinan penuh subyektifitas. Mengapa deteminasi subyektifitas ini diperlukan?
Yang jauh lebih penting untuk dipahami dari teks ini adalah bahwa di sini Machiavelli menegaskan tindakan politis selalu bergerak di antara dua ketegangan yakni antara kondisi-kondisi yang telah dipastikan (virtu) dan kondisi-kondisi yang tak pasti atau kondisi ketakmungkinan (fortuna atau fortune). Sang Pangeran adalah ia yang bertindak dengan penuh determinasi dalam ketegangan antara yang pasti dan yang tak pasti[6]. Dengan demikian, di satu posisi, politik dengan demikian bagi Machiavelli, bukanlah soal bagaimana menerapkan prinsip-prinsip metafisik melainkan bertindak melampaui yang tak pasti dan yang tak mungkin dengan segala resiko yang harus diambil. Hal kedua yang juga hendak diungkap di sini adalah, Machiavelli menegaskan bahwa antara ‘Sang Pangeran’ dengan rakyat di bawahnya terdapat konflik yang tak terdamaikan: bagi Sang Pangeran, hiburan terbesar buatnya adalah memerintah dan menindas sementara bagi rakyat hasrat teritngginya adalah kebebasan. Keadaan ini yang oleh Claude Lefort kemudian ditafsirkan bahwa Machiavelli mengawali pendasaran bagi pemahaman mengenai Yang Politis (le politique/ the political) yakni politik baik dalam pengertian momen antara virtu dan fortuna yang tak berdasar maupun dalam arti proses antagonisme yang tak terdamaikan dan mendasari semua bentuk politik. Pandangan Machiavelli inlah yang di dalam Lefort –dengan meminjam istilah Pocock- disebut sebagai momen Machiavelli yakni politik sebagai momen dalam arti kejadian yang melampaui kenyataan dan praktek rutin prosedural sehari-hari.[7] Di sinilah kemudian politik diartikan sebagai Yang Politik, ia hanya tampil dalam segi dan karakter yang istimewa. Momen Machiavelli ini yang juga kemudian secara unik diulang dan ditegaskan kembali oleh pandangan kontemporer dari Laclau ketika ia menegaskan secara tidak langsung bahwa:
Dengan posisi di atas, Lacalu menjelaskan bahwa Yang Politis berakar dalam ketakmungkinan totalitas dalam struktur sosial secara umum, sementara politik sehari-hari: politik dalam arti praktek rutin berikut segala jenis perlatan institusional di dalamnya bukan lain hanya bentuk-bentuk dari sedimentasi hasil dari berbagai bentuk signifikasi dari ketakmungkinan itu. Dengan demikian di sini, politik adalah residu saja dari Yang Politis. Politi adalah ‘ampas’ yang tersisa setelah ketakmungkinan dalam Yang Politik itu dikenai proses simbolisasi tindakan aktor-aktornya. Posisi ini ditegaskan kembali secara lebih formulatif oleh Mouffe, ketika ia mengatakan bahwa:
Melalui pemisahan di atas Mouffe dan Laclau secara tidak langsung membentuk garis demarkasi antara politik sehari-hari dengan politik dalam pengertian yang esensial. Ini yang pada tahap lanjut, digunakan oleh keduanya untuk memisahkan antara ilmu-politik (political-science) yakni pendekatan yang membatasi diri pada domain empirik dari kegiatan politik dengan teori-politik yang merupakan domain mengenai esensi dari kepolitikan. Domain yang pertama adalah domain dari ilmuwan politik sementara pada kedua adalah domain yang hanya bisa dijelajahi oleh para filsuf. Di dalam Badiou, demarkasi semacam ini dibentuk secara lebih halus melalui kategori ‘kejadian’ dan kebenaran. Ketika Badiou mengatakan bahwa kebenaran tidak dapat diobyektifikasikan dan hanya dapat dimengerti serta terungkap kepada mereka yang memiliki fidelitas terhadap kejadian, maka Badiou secara tidak langsung menegaskan dimensi metafisik dalam kejadian. Ini yang kemudian mendorongnya mengambil sikap yang lebih radikal dengan mengatakan bahwa seluruh instalasi demokrasi kontemporer pada dasarnya bukanlah cerminan dari “Yang Politik” karena truth-event tidak mengada di dalam situs-situs yang telah terinstitusionalisasi dan mengalami rutinisasi. Yang Politik tidak pernah berada dalam prosedur institusional melainkan berada dalam keyakinan akan kejadian yang tak dapat diperediksi dan dikualifikasikan dengan perhitungan apapun.Artinya, Yang Politis hanya dapat kita alami dengan menerimanya dan meyakininya sebegitu saja. Di sinilah kemudian baginya, Yang Politis sekaligus juga bersifat meta-politik. Pada titik ini, kita jadi mengerti apabila kemudian Badiou juga melancarkan kritik terhadap ‘filsafat politik’ yakni filsafat politik dalam artian konvensional yang mengajarkan norma dan etika institusional-prosedural –dalam hal ini yang ia maksud adalah yang berakar pada Kant. Baginya, filsafat terhadap politik hanya dapat dimulai dengan menempatkan aspek ontologis dari Yang Politis itu sendirin yankni segi transendental dari kejadian.[10] Dengan demikian, dari penelusuruan dan penegasan ringkas ini dapat kita temukan sejumlah pandangan yakni bahwa di dalam segi-segi yang empirik, institusional dari politik, terdapat segi yang tak ternamai dan tak bisa diobyektifikasi. Pada Machiavelli segi yang tak dapat diobyktifikasikan dan dikuantifikasikan itu ditempatkan dalam ketegangan antara ‘virtu dan fortuna’, pada Laclau dan Mouffe ia ditempatkan pada konsep antagonisme dan ‘empty signifier’, pada Badiou ia ditempatkan dalam misteri kejadian. Unsur ini yang menjadi substansi dasar dari Yang Politik. III. MACHIAVELLI DALAM LIVY Dalam pemahaman konvensional, Machiavelli hanya dikenal sebagai penganjur ‘Machiavellianisme’: menghalalkan segala cara (the ends justify the means, membuang moral dari politik sehingga dengan demikian dianggap tidak bermoral. Itu adalah pandangan keliru. Bagi pembaca yang kurang paham, Machiavelli memang mudah disalahpahami, terutama atas tulisan-tulisannya yang dianggap penuh kontroversi yang ditulis dalam The Prince- ditulis sekitar tahun 1513. Orang lupa bahwa The Prince ditulis sebagai anjuran bagi pemimpin dalam suatu konteks historis yang spesifik yakni suatu negara republik yang sedang berada dalam ancaman kejatuhan akibat berbagai rongrongan: ancaman penjajahan dari Spanyol, Perancis, invasi kaum ‘barbar’, intrik dalam kekuasaan Gereja, intrik dan kebusukan kekuasaan para bangsawan dan korupsi yang merajalela. Selain itu, orang juga lupa bahwa selain The Prince, Machiavelli juga menulis sebuah karya lagi yang sama-sama fundamental yakni The Discourse (Discorsi). Dalam The Discourse –ditujukan kepad Livy- Machiavelli tampil sebagai seorang moralis republikan yang sama sekali berbeda dengan The Prince. (Bondanella dan Mark Musa, 21). Oleh karenanya, sungguh tidak tepat apabila kita menilai Machiavelli hanya berdasarkan karyanya The Prince tanpa membaca The Discourse dan tanpa memahami konteks penulisannya. Alasan kedua bisa kita temukan dalam tulisan Machiavelli yang legendaris mengenai bagaimana mempertahankan‘republikanisme di negara yang korup’ yang ada dalam The Discourse :
Dalam sebuah republik yang secara parah dijangkiti korupsi, kehidupan kewargaan yang sehat musnah, segala norma dan kebenaran dengan mudah dijungkarbalikkan. Dalam situasi ini hukum apapun tidak berjalan.
Machiavelli berpandangan bahwa apabila korupsi telah merajalela dalam republik, maka hukum yang terbaik sekalipun tidak akan bermafaat. Korupsi adalah penyakit yang menyerang sendi terdalam kehidupan kolektif yang menghancurkan prilaku dan menghancurkan kemampuan pertimbangan baik dan buruk dari setiap warga. Dalam kondisi demikian, the rule of law mesti berhenti, sebagi gantinya dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat atau ‘the rule of man’. Menurut Machiavelli, politik dan warga yang paling agung adalah politik sebagai upaya untuk tetap mengokohkan dan mempertahankan kebebasan, dignitas institusi politik dan konstitusi dalam situasi yang paling korup. Menurut Machiavelli: “If a man is trully eager to acquire eternal glory, he should ask God to allow him to live in a corrupt city in order to have chance to reform it.” (Machiavelli dalam Skinner, 1990:170) Dari argumen mengenai korupsi, kita juga dapat melihat kekhasan ideal republikan dalam Machiavelli, korupsi baginya bukanlah pertama jahat karena ia melawan hukum atau merugikan negara, atau secara moral keliru. Korupsi bersifat jahat persis karena ia menghancurkan ‘yang publik’ atau perasaan kolektifitas, perasaan kebersamaan dalam republik. Dengan demikian bagi Machiavelli kerusakan terbesar yang diakibatkan oleh korupsi bukanlah pertama-tama pada hukum melainkan pada common good (kebaikan bersama).[11] Korupsi menghancurkan esensi utama dari republik karena merusak common good.. Bagi Machiavelli, begitu common good rontok, maka seluruh atmosfir kepolitikan yang sehat dan baik juga runtuh, hubungan kewargaan hancur, politik menjadi tidak memiliki pendasarannya lagi. Oleh karena rasa kebersamaan hilang maka perasaan bertanah air pun menjadi lemah. Dari sini kita masuk ke dalam segi yang lebih esensial dalam pandangan republikanisme Machiavelli yakni tentang apa itu patriotisme atau apa itu cinta tanah air. Menurut Machiavelli, patriotisme tidak identik dengan heroisme dan militerisme. Ukuran patriotisme adalah kebaikan bersama. Oleh karena itu, baginya patriotisme tidak bergantung pada jabatan seorang, apakah seorang raja, ataukah seorang penyusun hukum dan seorang warga biasa atau seorang kapten dalam militer, melainkan pada sikap virtous terhadap common good. Dalam The Discourse ia mengatakan bahwa: rasa cinta tanah air adalah sebuah kekuatan moral yang mendorong setiap warga mengejar pencapaian kebaikan bersama (common good). Dengan demikian sebagaimana kebanyakan republikan (termasuk Aristotelianisme), Machiavelli senantiasa menganggap bahwa cinta tanah air atau patriotisme adalah hasrat untuk mendahulukan kebaikan bersama ketimbang kepentingan privat. Pada buku yang sama, Machiavelli sering juga menempatkan cinta tanah air sebagai lawan bagi tirani. Pikiran Machiavelli inilah yang mendasari salah satu kualitas terpenting dari ideal kewargaan republikasnime. IV. KESIMPULAN Machiavelli memang memisahkan ‘moral dari politik’ dalam arti bahwa ia yang pertama kali secara keras menetapkan batas-batas agama dalam politik: sekularisasi politik. Baginya politik adalah urusan akal dan pikiran manusia bukan urusan keilahian. (Honohan, 2002). Dengan ini –sesuai dengan semangat jaman Renaissance dan humanisme- ada kepercayaan yang sangat besar akan kemampuan manusia untuk menyelesaikan sendiri urusan-urusan kemaslahatannya tanpa campur tangan kekuasaan transenden. Politik dalam Machiavelli adalah vivere politico, politik yang hidup dalam praktik dan pikiran manusia. Jadi penolakan Machiavelli atas ‘moral’ adalah penolakan Machiavelli atas kuasa dan klaim transenden dalam politik. Lebih daripada itu, dari ajaran-ajaran Machiavelli di dalam The Prince, pandangannya mengenai politik serta kekuatirannya mengenai kejatuhan ‘kota-kota’ republik, menunjukkan bahwa seluruh pandangan politiknya dibasiskan pada satu tujuan yakni menetapkan pentingnya kebebasan. Kebebasan, menurut Machiavelli, merupakan nilai yang paling tinggi dan paling berharga. Menurutnya, seorang disebut bebas apabila mereka tidak tergantung (dependent) kepada seorang tiran atau seorang oligark yang mempraktikan kekuasaan sewenang-wenang. Prinsip yang sama juga berlaku bagi negara atau kota, sebuah negara disebut bebas apabila negara independen dari kehendak kota/negara lain. Kebebasan dalam Machiavelli identik dengan otonomi. Di sini, ia memberikan dasar yang khas republikan dalam kebebasan yakni kebebasan sebagai non-dominasi bukan kebebasan sebagai kondisi tanpa-paksa. Kebebasan hilang atau berkurang bukan karena adanya paksaan atau ancaman (interference). Ada kondisi di mana meskipun tidak ada paksaan, orang tetap bisa hilang kebebasaanya. Seorang budak, yang bekerja pada tuan yang baik misalnya, tidak mengalami paksaan tapi tetap tidak memiliki kebebasan. Namun yang lebih penting lagi, Machiavelli juga menegaskan bahwa, kebebasan sebagai keadaan non-dominasi itu hanya bisa dinikmati dalam sebuah republik. Kebebasan tidak cocok dalam sistem monarki karena warga tidak dapat terlibat dalam ‘sovreign-deliberation’ dan penentuan ‘magistrates’ (perwakilan). (Viroli, 2008, 77) Selain menekankan pentingnya tindakan/keputusan antara virtu dan fortuna, yang juga penting dari republikanisme Machiavelli adalah pandangannya mengenai politik dan kepemimpinan yang khas. Sebuah republik menurutnya bisa berada dalam regangan antara ‘the rule of law’ dan ‘the rule of man”: dua sistem yang bertolak belakang dalam satu republik. Bagaimana mungkin? Dalam The Discourse Machiavelli menjadi seorang republikan penganjur the rule of law, negara hukum untuk sebuah republik yang damai dan kokoh. Sementara dalam The Prince Machiavelli menjadi penganjur the rule of man, juga dengan maksud mempertahankan kebebasan dalam republik dari ancaman kejatuhannya. Akibat menganjurkan dua sistem yang bertentangan ini, para pengamat dan pembaca yang kurang teliti, akan dengan gampang menuduhnya sebagai seorang hipokrit yang tidak konsisten dalam mengemukakan gagasannya. Bagi Machiavelli the rule of law dan the rule of man mesti dimiliki oleh suatu pemerintahan republik yang kuat. Mengapa? Terdapat dua alasan. Pertama, Machiavelli mengakui dua elemen pokok dalam politik yakni virtù dan fortuna. Virtù (sifat maskulin) adalah kualitas manusiawi yang membentuk kepastian, sementara fortuna (sifat feminin) adalah seluruh aspek ketakpastian dalam semesta. Politik atau kepemimpinan bagi Machiavelli adalah mereka yang melampaui antara virtù dan fortuna: seorang yang berani mengambil keputusan sehingga memimpin secara tunggal.[12] Catatan Akhir: [1] Ricouer, Paul, (1965), The Political Paradox, dalam Jurnal History and Truth, (Evanston: Northwestern University Press), hlm. 261. [2] Untuk ini lihat dalam uraian Marchart, Oliver (2007), Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy, Lefort, Badiou and Laclau, (Edinburgh: Edinburgh University Press), hlm 37-38. [3] Pengaruh Machiavellli dalam pemikiran politik Marxisme Eropa sebelumnya salah satunya dapat dijumpai dalam pemikiran Antonia Gramsci, yakni dalam konsepsi Gramsci mengenai apa yang disebutnya dengan istilah “modern Prince” untuk menyebut peran intelektual dan partai sebagai ganti dari ‘Prince’ yang dalam gagasan awal Machiavelli merujuk pada para pangeran penguasa Negara Kota di Italia. Untuk ini lihat dalam Gramsci, Antonio, (1998), Selections From the Prison Notebooks, (London: Lawrence dan Wishart), hlm 123-135. [4] Machiavelli, Niccolo, (2003), The Prince, (New York: Bantam Book), diterjemahkan dan diedit oleh Daniel Donno, hlm. 69. [5] Machiavelli, The Prince, hlm. 94. [6] Di dalam Machiavelli sifat-sifat tidak pasti ini dilambangkan dalam istilah Fortuna atau Fortune yang merujuk pada sifat-sifat wanita, sementara virtu atau sikap tegas merujuk pada figure laki-laki (virtu berasal dari kata vir yang berarti laki-laki). Mengenai ini lihat dalam Honohan, Iseult, (2002), Civic Republicanism, (London dan New York: Routledge), hlm. 52. [7] Mengenai ini lihat dalam karya utama yang mengagumkan dari Pocock, J.G.A, (1975), The Machiavellian Moment: Florentine Political Thought and the Atlantic Republican Tradition, (Princeton dan Oxford: Princeton University Press) [8] Lihat dalam Laclau, Ernesto, (1990), Emancipatioan(s), hlm. 35. [9] Mouffe, Chantal, (2000), The Democratic Paradox, (London dan New York: Verso), hlm. 101. [10] Mengenai ini lihat dalam Badiou, (2005), Metapolitics, hlm. 10-25. [11] Terdapat kesulitan untuk mengartikan apa itu Common Good yang berasal dari konsep Aristotelian Bonnum Commune ke dalam bahasa Indonesia. Ada orang yang mengartikannya dengan ‘kebajikan bersama’. Namun istilah kebajikan di sini terlampau berat pada pengertian moral individual dan kurang memberikan dimensi material dan karakter sosialnya. Sebagian lagi menerjemahkannya dengan ‘kesejahteraan bersama’. Common Good sebagai “kesejahteraan bersama’ sebenarnya adalah terjemahan yang paling dekat, mengingat common good sering juga disebut dengan istilah ‘general welfare’ dalam bahasa Inggris. Namun demikian, untuk Indonesia, kesejahteraan bersama saya rasa juga kurang tepat untuk mengartikan common good karena kata sejahtera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ‘makmur, sentosa, tenteram . Istilah sejahtera terlampau menekankan segi-segi materi dan kurang dimensi etis normatifnya. Oleh karena itu istilah ‘kebaikan bersama’ saya rasa relatif lebih cocok digunakan untuk common good, karena dalam ‘kebaikan bersama’ tercakup kepenuhan material sekaligus kepenuhan etis, kepenuhan karakter individual sekaligus dimensi sosialnya. [12] Sekali lagi harus diingat bahwa pandangan ini disampaikan Machiavelli dalam konteks historis tertentu yakni ‘given a serious emergency, such as Italys’invasion by the foreign powers, and a unique opportunity to resolve this crisis by creating a strong, central principality from the combination of Florentine resoursces and those of the papacy’ (Bondanella dan Mark Musa, 23) Nikodemus Niko (Alumnus Pascasarjana Sosiologi Universitas Padjadjaran) [email protected] Kemiskinan di Indonesia sudah menjadi isu yang berkepanjangan, dimulai sejak masa penjajahan kolonial Belanda hingga masa teknologi modern kini. Penanganan berarti belum terlihat berdampak pada pengurangan kemiskinan, baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional. Demikian pula di Kalimantan Barat yang merupakan wilayah strategis persinggahan antar negara seperti Malaysia dan Brunei Darusalam. Kemiskinan di Kalimantan Barat menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 tercatat sebanyak 401,51 ribu orang yang hidup dibawah garis kemiskinan, dimana jumlah kemiskinan lebih banyak dijumpai di wilayah pedesaan. Kemudian data BPS tahun 2016 mencatat bahwa dalam skala nasional kemiskinan di wilayah pedesaan menurun, namun kemiskinan di wilayah perkotaan meningkat. Namun bukan berarti mata rantai kemiskinan di wilayah pedesaan kian terputus, melainkan melahirkan kemiskinan-kemiskinan lain bagi perempuan, seperti tidak adanya akses perempuan dalam pengelolaan dana desa. Perempuan dan Kemiskinan Isu perempuan erat kaitannya dengan isu kemiskinan. Utamanya perempuan yang mendiami wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia tidak lepas dari kondisi kehidupan yang miskin dan serba terbatas. Tidak terkecuali kondisi kehidupan perempuan di wilayah perbatasan negara yang merupakan masih pedesaan-pedesaan yang terpencil dan terisolasi. Mereka hidup menyatu dengan alam dan menjadikan alam sebagai sumber penghidupan. Perempuan di perbatasan sulit sekali mengakses pendidikan tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah dasar, mereka memilih untuk bekerja di Malaysia, atau bahkan menikah di usia yang tergolong masih muda. Realitas ini tidak menjadi acuan dalam berbagai program pembangunan wilayah perbatasan, sehingga kondisi mereka masih tetap terbelakang secara sumber daya manusia. Pembangunan di wilayah perbatasan selama ini lebih menekankan kepada pembangunan infrastruktur, tetapi kurang memperhatikan pembangunan manusianya. Sehingga masyarakat lokal yang berada di kawasan perbatasan tetap menjadi penonton dan tidak terlibat aktif dan representatif dalam proses implementasi pembangunan. Sebagai akibatnya masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan masih tetap dalam keadaan miskin dan tetap terpinggirkan. Sebagai sebuah permasalahan sosial, kemiskinan tentu membawa dampak yang lebih luas terlebih bagi perempuan di perbatasan. Tidak jarang mereka mengalami eksploitasi di sektor domestik bahkan menjadi korban perdagangan orang di Malaysia. Melihat kenyataan ini, penulis tertarik untuk menelusuri lebih dalam tentang kehidupan perempuan di daerah perbatasan yang sangat erat dengan kemiskinan. Hal ini dikarenakan pendidikan dan keterampilan yang minim dimiliki masyarakat lokal, terlebih bagi perempuan. Tulisan ini berupaya untuk mendeskripsikan tentang kemiskinan perempuan di perbatasan negara Indonesia-Malaysia di Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat yang ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis saat di Jagoi Babang. Kemiskinan Perempuan Perbatasan Jagoi Babang Keterbatasan-keterbatasan tidak melulu persoalan ekonomi semata, melainkan terdapat persoalan yang sudah multidimensional. Bahkan persoalan kemiskinan yang dihadapi perempuan di perbatasan mengalami kemiskinan kultural dan struktural. Dalam konteks ini posisi perempuan sangat rentan untuk mengalami kemiskinan multidimensi, dimana terdapat indikator-indikator seperti; dimensi sosial, pendidikan, kesehatan dan standar kualitas hidup. Kemiskinan merupakan suatu permasalahan pokok dan berkelanjutan pada masyarakat perbatasan. Hal ini merupakan sebagai akibat dari rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang ada. Data monografi pemerintah Kecamatan Jagoi Babang tahun 2013 mencatat bahwa sebanyak 1.537 KK (kepala keluarga) hidup di garis kemiskinan dari jumlah total 1.679 KK di Jagoi Babang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh masyarakat di Jagoi termasuk ke dalam kategori miskin. Menurut pengamatan penulis, terdapat beberapa desa yang tidak memiliki infrastruktur jalan raya, sehingga akses menuju ke desa tersebut harus menggunakan perahu motor dengan estimasi waktu dan biaya yang mahal. Hal ini menunjukkan bahwa mereka juga miskin dalam akses pembangunan. Dalam perkembangan masyarakat masa kini, isu kemiskinan tidak dapat terpisahkan dari isu perempuan, terutama perempuan yang hidup di wilayah pedesaan. Kemiskinan melanggengkan ketidakberdayaan perempuan pedesaan. Hal ini berimplikasi pada rendahnya pendidikan, serta kemampuan bersaing yang sangat terbatas. Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pun masih sangat terbatas oleh dimensi-dimensi yang menindas mereka, seperti dimensi ekonomi, politik dan budaya. Ketika suatu kemiskinan sudah dianggap sebuah budaya ‘miskin’ pada masyarakat pedesaan, tidak terlihat lagi dimana ketimpangan dan ketidakadilan itu. Padahal tampak jelas ketimpangan dan ketidakadilan itu menimpa hampir seluruh perempuan yang hidup di pedesaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik adanya pengelompokan disposisi yang berlainan dari kegiatan produksi atau kapitalisme itu terdapat kekuasaan yang beroperasi melalui pengembangan prasangka kultural yang dikembangkan oleh pihak luar. Dengan demikian budaya kemiskinan dilekatkan kepada seluruh anggota masyarakat tersebut, sehingga mereka tidak menyadari terdapat sistem struktural yang dengan sengaja memiskinkan mereka. Memutus Mata Rantai Kemiskinan Perempuan di Perbatasan Negara Sebuah keluarga miskin di pedesaan acapkali mampu hidup dengan keterbatasan, mereka mampu bertahan, baik dalam bentuk uang maupun makanan seadanya. Perempuan-perempuan ikut menjadi tulang punggung bagi keluarga mereka. Namun, pada umumnya sebuah keluarga yang jatuh pada lingkaran kemiskinan sangat sulit untuk bangkit kembali, kecuali mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan mereka. Sumber perlindungan yang mampu menyelamatkan mereka adalah negara. Kemiskinan perempuan berkaitan erat dengan kondisi struktural yang selama ini membelenggu mereka untuk tetap berada dalam garis kemiskinan. Sehingga perempuan-perempuan ikut menanggung kemiskinan yang membelenggu keluarga mereka. Hal ini berarti negara ikut menjadi aktor struktural penyebab kemiskinan yang selama ini membelenggu perempuan di perbatasan negara. Salah satu indikator penyumbang dampak kemiskinan pada perempuan pedesaan adalah pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan suatu indikator penting untuk menjadi social modal bagi perempuan dalam upaya mencapai taraf hidup yang lebih baik. Namun, tingkat pendidikan penduduk di perbatasan Jagoi masih dalam katogori rendah. Dampak dari rendahnya pendidikan ini adalah kurangnya pengetahuan serta keterampilan mereka untuk dapat menciptakan suasana hidup yang lebih baik. Perkara pendidikan di perbatasan negara, bukan hanya persoalan kekurangan guru dan fasilitas pendidikan, melainkan lebih daripada itu. Keperluan mereka akan pendidikan formal dan nonformal juga harus dilaksanakan. Perempuan yang sudah dewasa tidak dapat lagi mengenyam pendidikan formal. Penting untuk menghadirkan pendidikan nonformal agar mereka terbebas dari belenggu buta huruf. Kemudian dalam pendidikan formal juga perlu diterapkan pelatihan-pelatihan soft skill agar mereka dapat membimbing anak-anak mereka di lingkungan keluarga, termasuk penyadaran akan arti penting pendidikan bagi anak-anak dan generasi mereka. Perempuan adalah agen penyelamat generasi bangsa ini, jika mereka masih dalam keadaan miskin, tidak berdaya, dan buta huruf, maka sudah tergambar jelas bagaimana generasi dan anak-anak mereka nanti di masa depan. Memutus mata rantai kemiskinan yang selama ini adalah angan-angan semata. Program-program yang ada hanya sebatas proyek kejar setoran. Sehingga masyarakat miskin tetap pada kemiskinannya, tanpa adanya perbaikan dan keberdayaan. Hidup sejahtera pun menjadi isapan jempol yang hanya menjadi bayang-bayang semu semata. Saatnya negara hadir dan intensif untuk membangun ketertinggalan di daerah perbatasan. Pembangunan infrastruktur tanpa disertai pembangunan manusianya, terutama bagi SDM perempuan, sama saja percuma. Kemiskinan identik dengan kehidupan perempuan di perbatasan, oleh karenanya tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan eksploitatif seperti menjadi TKW ilegal yang tidak jarang menjadi korban kekerasan seksual. Negara masih belum hadir di tengah-tengah kehidupan mereka yang masih terisolasi. Mengapa mereka seolah terkurung dan berkutat dengan kemiskinan yang berkepanjangan? Tidak lain karena kondisi struktural yang memiskinkan mereka, disamping itu posisi tawar perempuan desa yang tidak memiliki pendidikan tinggi berakibat pada tidak dipertimbangkanya mereka untuk masuk dalam sektor politik. Faktor pembangunan yang tidak berperspektif gender juga ikut menjadi penyumbang penyebab kemiskinan perempuan di pedesaan. Perempuan di batas negeri belum sejahtera, kemiskinan masih melilit kuat dalam setiap sendi kehidupan mereka. Membicarakan pembangunan perbatasan, bukan persoalan membicarakan infrastruktur semata, melainkan bagaimana menyejahterakan kaum Ibu, memberdayakan perempuan dan membuka akses pendidikan bagi perempuan. Penulis melihat bahwa sistem kebijakan yang berbasis pada pemberdayaan masih belum berhasil terpenuhi bagi sebagian penduduk di batas Malaysia-Indonesia. Pendidikan, menurut saya merupakan salah satu upaya untuk membangkitkan keberdayaan masyarakat perbatasan. Terutama bagi perempuan yang merupakan agen pemutus mata rantai kemiskinan bagi diri mereka sendiri dan generasi penerus negeri ini. Nowadays, climate change has become a buzz word, everywhere people talk about it, but most of them think that climate change is something given or only nature problem not as human problem, not as gender and youth problem. So, what happens then is that the response does not look at the underlying causes of climate change and global warming associated with an expansive and extractive development model that does not pay attention to the sustainability and respect for the earth and other creatures outside of humans. In the Paris Agreement Document—at Climate Change Conference took place in Paris 2015—for the first time a legal binding document was agreed, and it led the related parties to ratify the document. In addition, for the first time, there was also a global agreement that all states declared the temperature rise should be withheld or stopped at a maximum of 2 degrees. With the current pattern and model of development that by the majority not to say all the countries in the world, projected by the end of this decade the earth experiences a temperature rise until 3 degrees Celsius. This condition has a very wide impact such as changes in the growing season that can lead to unsuccessful planting and crop failure. In addition the rainy season becomes shorter but with higher intensity rainfall that triggers flash floods, landslides, and so on. Medium dry season becomes longer and very extreme to cause drought. In last decade we have seen the increasing of hydrometeorological disaster or disaster caused by climate change. Indonesian National Board for Disaster Management (BNPB) noted that during 2016 there were 2,342 event of disasters or increase 35% compared to the event of disasters by 2015. About 92% of those event of disasters are hydrometeorological disasters dominated by floods, landslides and tornadoes. National losses due to disasters each year in Indonesia reach Rp40 trillion. The amount has covered losses due to climate change. A similar picture also occurs in the Asia Pacific region. In 2016, floods, storms and extreme temperatures killed 4,987 people and affected 35 million people and caused estimated damage of about $77 billion. Compared to historical standards, there were fewer disasters in 2016, but they still took a heavy toll (ESCAP 2017). Asia Pacific, as home to 60 million of the world's population, is the most disaster-prone region on the planet. The risk of disasters in this region can be exacerbated by climate change. The disaster included more life-threatening heatwaves, worsening floods and droughts, more frequent and stronger tropical storms, and more severe rainy seasons in East Asia and India. Climate change affects everyone, man, women, girls, boys, and vulnerable groups differently. The Difference is rooted in unequal power relation and harmful gender norms, age and gender are the factors. Given existing gender inequalities and development gaps, climate change ultimately places a greater burden on women. Men and women are affected by climate change in different ways, because the societal and cultural roles and responsibilities placed on them by families and communities are very different. For examples in rural areas, women are the primary food producers and providers of water and cooking fuel for their families, they have greater responsibility for family and community welfare. A number of existing data and research show the impact of climate change has more effect on women and girls, not only on their body condition but also on their roles. In some areas in Indonesia there is still a role gap and involvement which makes the position of women and girls more vulnerable in the context of accepting the impacts of climate change. We also see the different roles, status, power and economy between women and men that cause women to be part of the largest beneficiary group of climate change. Related to sustainable development on goal number 1, end poverty in all its forms everywhere, we should realize that ending poverty is a particularly pertinent youth issue, as those aged 15 to 24 are most likely to be among the working poor. Poverty is still an unresolved problem in Indonesia and has the greatest impact on women and girls. When we are talking about poverty, it is important to recognize that within poor families, it is girls and women who are most suffer the effect of poverty. Gender inequality places girls as second priorities after boys in term of education, food, and other opportunity. In poor families girls are burdened with more responsibilities related to domestic work than boys. Poor girls are particularly vulnerable as they experience multiple layers of oppresion which limit their access to opportunities and availability of choices. This situation is getting worse in a time of crisis. When extreme weather events hit community, girls and women bear the heaviest impact and they have fewer resources with which to cope. When clean water becomes more difficult to find, girls will go further to acquire it and place them in situations that are vulnerable to physical and sexual violence from boys and men. Girls are more likely to quit school than boys when the family economy gets worse. The opportunity to go to school is given to boys with the assumption that they will be the breadwinner and head of the family. In such situations, marrying girls is seen as a solution that can reduce the economic burden of the family. Other factors such as religious and cultural views and local customs are also influential. Child marriages in Asia and the Pacific are still very high, Indonesia is also ranked second in Southeast Asia after Cambodia. Related to goal number 3, ensure healthy live and promote well-being for all at all ages, there are some problems faced by youth in Asia Pacific regarding this issue. Adolescent fertility rates are amongst the highest in the world, while not all pregnant adolescents are guaranteed ante-natal care. In addition, female youth, relative to female children and older women, are particularly vulnerable to physical violence, sexual violence and harmful practices, often resulting in disability and death. Meanwhile it is estimated 620,000 youth living with HIV and about one-third of new infections in the region occur in this age-group (UNAIDS 2013). In some areas of Asia and the Pacific, young people's access to sexual and reproductive health and rights is still a problem. The strengthening of religious conservatism in some countries in Asia Pacific, such as Indonesia, makes it more difficult for young people to access SRHR. For young people living in remote areas, the situation will be more difficult, not only because of geographical factors but also because of limited information. The absence of comprehensive sexual education in the school curriculum further deprives them of adequate knowledge of their bodies and their sexuality. Girls face more difficult situations associated with biased cultural and religious views. Adolescent pregnancy puts young women at risk of haemorrhaging, spontaneous abortion, unsafe abortions and premature labor, as well as negatively impacting education, employment and civic engagement opportunities. Pregnancy in adolescent girls with a history of anemia due to poverty they face, will have an impact on infants born with potentially stunting. In situations where natural disasters events as a result of climate change are more frequent, the position of girls will be more vulnerable. Displacement sites for disaster victims are not always made with regard to the interests of girls and women as well as girls with disabilities. Health and sanitation facilities have not considered their needs. Under Goal 5 of the 2030 Agenda for Sustainable Development, the global community has committed to the elimination of “all forms of violence against women and girls in the public and private spheres, including trafficking and sexual and other types of exploitation” and of “all harmful practices, such as child, early and forced marriage and female genital mutilation”. A number of countries in Asia and the Pacific do not yet have laws that protect women and girls from sexual violence. Indonesia for example, only has laws that regulate the elimination of domestic violence, but other types of sexual violence have not been regulated. On the other hand, efforts to encourage laws that comprehensively protect women from sexual crimes are hampered by religious fundamentalists seeking to widen their influence. Meanwhile, as family economic conditions worsen due to floods, droughts and other disasters, girls and women will be more vulnerable to physical and sexual abuse or to be victims of early marriage / childhood. Girls who marry at a young age and then get pregnant have a great risk when giving birth. They also missed the opportunity to go to school, which then narrowed their chances of getting into the labor market. This makes their bargaining position with their husbands weaker and puts them in a cycle of poverty. Goal 6, ensure availability and sustainable management of water and sanitation for all. As a country where one third of the territory is water, Indonesia has an important role in ensuring access to clean water and sanitation for its citizens, underwater survival, and the world climate change movement. Three are out of ten people in the world or 2.1 billion people do not have access to clean water in their homes. Six out of ten or 4.7 million people in the world do not have good sanitation management (WHO 2017). Women and girls spend 6 hours of their time each day taking water (https://water.org/our-impact/water-crisis/). Climate change worsens the condition of women and girls in accessing clean water and proper sanitation. The life of women and girls are closely connected with water. Their household duties are exhausting; almost half of their time is spent doing labor like collecting water. Women are the primary users of water: cooking, cleaning, family hygiene, and sanitation. Despite the understanding of women regarding nature and the availability of water, children’s ability to access nature and their experience as managers of the sources of water for their families, this knowledge is often scorned or simply ignored by policy makers and engineers. Girls and women in particular, face significant sanitation challanges with lack of menstruals hygiene management and hygiene promotion. This conditon worse when sanitation facilities and clean water not accessible for them. Climate change worsens the condition of women and girls; they must go further to access clean water for their sanitation and their family needs, uncertain weather, and prolonged drought. Sustainable access to water and sanitation, particularly for young women and girls, can help them regularly and safely participate in productive activities such as education. SDGs Goal 7 focuses on sustainable energy, incorporating targets for renewable energy production, energy eficiency, and energy access. Access to clean and efficient energy is critical for economic progres, human welfare and environmental well-being. Based on World Bank data (2013, 2015) more than 24 million Indonesian households still use traditional cooking stoves. Kopernik an NGO in Bali, is trying to solve the problem by channeling appropriate technology in East Nusa Tenggara/Nusa Tengga Timur (NTT), one of remote area Indonesia. Kopernik distributes Biomass Stove to women and girls in NTT to help them do their house chores. This stove is a very useful innovation of women in NTT. Previously, women in NTT used stoves that earn smoke which is potentially damaging women's health. The Biomass stove is very efficient, they can use wooden sticks, coconut shells and wood shavings for fuels. Although the stove also uses wood, this Biomass Stove does not smoke as in the furnace and more energy efficient. This innovation is very helpful for women in that region. In addition, this appropriate technology can reduce carbon production and contribute to the decrease in CO2 that causes climate change, it’s one of way to mitigating climate change. We know that the status and prospects for girls and women are the most important indicator of our world’s stability, prosperity, and safety. We must acknowledge and realize that girls have unique potentials, they have a central role in families that depend on farming or livestock when coping with extreme weather events such as drought or flood. Therefore prioritizing education for girls is an important step in the mitigation of climate change. Study held by the Brookings Institution shows that empowering girls and women through a combination of education and family planning is the number one thing the world can do to address climate change. The study suggests that for every additional year of schooling a girl receives on average, her country’s resilience to climate disasters can be expected to improve by 3.2 points (as measured by the ND-GAIN Index, which calculates a country’s vulnerability to climate change in relation to its resilience). Therefore, there are platform in which each party can collaborate to support girls as agents of change in the pursuit of sustainable development and equitable climate action: (1) promote girls' reproductive rights. Global community must approach women’s reproductive health from a gender justice and rights-based perspective delivered through quality girls’ education programming. (2) Invest in girls’ education to foster climate participation and leadership. (3) Develop girls’ life skills for a green economy. Young People Play a Crucial Role in Achieving SDGs Asia and the pacific are home to 60% of the global population aged 15-24 years (UNDP 2017). Base on population proportions, around 85 million youth in Asia-Pacific are living in extreme poverty. In Indonesia one of five people (between 15-24 years old) represents approximately 63 million youth (33% of Indonesia’s total population is productive age). Young people is not a homogenous entity. Youth are a population group defined by age. Great variance exists among persons aged 15 to 24 years, within and between countries in Asia and the Pacific, and beyond. The diversity of youth is reflected in such other common demographic variables as sex, gender, sexuality, dis/ability, education, employment, income, fertility, health, civil status, citizenship, ethnicity, religion, language and geographic location. Currently Indonesia is entering the demographic dividend era and the peak is projected to occur in 2028-2031. The demographic dividend, also known as the dependency ratio, occurs when the ratio of young people (15 years and younger) and old people (65 and older) to people at a productive age (15-64 years) shrinks. A demographic dividend occurs when the number of people of working age is higher than the number of dependents— that is the elderly and children. The ratio of the elderly and children to the working age population, known as the dependency ratio, is low. A low dependency ratio indicates that potentially more people can be productive and contribute to the growth of economy, leading to unprecedented economic growth. Although young people have benefitted from the region’s social and economic dynamism, but significant numbers of youth across the region still face a variety of obstacles in their access to employment, education and healthcare. This situation is getting worse when natural disasters and extreme weather events occur. Young people, especially those facing structural disadvantages, suffer disproportionately in labour markets in times of crisis, and these impacts are likely to be exacerbated by climate change. Regarding education issue, extreme weather events have been shown to reduce participation, especially female youth, in education since the burden of schooling costs becomes higher and the need for adolescents and young people to contribute economically to households becomes greater. Moreover, climate crises can increase malnutrition among adolescents—through food shortages resulting from lower agricultural yields or loss in livelihoods opportunities—with potentially long-term health consequences, such as complications with pregnancy. The demographic bonus can be a demographic disaster if young people in Indonesia do not have access to good education, health rights and infrastructure, decent work and space and facility to increase their innovations. This has already happen in many remote areas of Indonesia. East Nusa Tenggara/Nusa Tenggara Timur (NTT), as one province experiencing a high rate of loss in the number of its productive people moving out to urban areas on other major islands, sees a very small benefit from its demographic dividend. Although economic growth in NTT is considered as moderate, about 5.04 percent in 2014, that growth failed to reduce poverty and to improve the human development progress of its people. The poverty rate in NTT is high, 19.60 percent in 2014. Its HDI is the second lowest of the 33 provinces. In Indonesia, young people also play an important role in SDGs movements. With the presence of technology, young Indonesians use it to provide mentoring services, counseling and education. For example there is a portal website known as HelpNona.com which provides counseling for young women who experience violence in romantic relationship, and also education about responsible relationship. In the field of education and technology, there is a community known as Girls in Tech Indonesia—as a chapter of global Girls in Tech—who empowers women in technology. In the context of education, social and humanity, there are several portals such as Indorelawan.org; a portal that connects volunteers with organizations across Indonesia, KitaBisa.com; as a portal for raising donation, ruangguru.com; an educational startup, Lactashare Child; as a startup for providing breast milk for babies across Indonesia to prevent malnutrition. In doing so, the young people have shown that they have an important role in achieving SDGs alongside with technology that has been being a very powerful tools in the millennial era. “Migrants united will never be divided!” chanted the many women joined march by International Migrant Alliance, the first-ever global alliance of Migrant Worker, in commending the labor’s day. 27 years ago the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant and Members of their Family was signed as multilateral treaty by United Nations which governs the protection of migrant workers and families policy. Still, many migrant workers are insecure. Lola’s story on Alex Tizon’s piece “My Family’s Slave” is not a history, the same agony still remains today.[1] International Labour Organization (ILO) reported there are 11.5 million migrant domestic workers worldwide which represents 17.2 per cent of a total estimate of 67.1 million domestic workers globally. Analyzing as a share of migrant workers, migrant domestic workers (MDW) represent 7.7 per cent of a global estimate of 150.3 million migrant workers. Disaggregated by sex, this share is even higher, representing 12.7 per cent, or 8.45 million of the 66.6 million female migrant workers worldwide. Domestic work is a highly female dominated sector which represents 73 per cent of all migrant domestic workers is women (Gallotti, 2015). The link between domestic work and female international labour migration is well established which created the feminization of labour (ILO). These women become the most exploited and abused workers in the world. They are potentially subjected to physical and psychological abuse and sexual exploitation (Explore Women's Right). In East Asia, MDWs face exploitation and discrimination largerly left out of countries labour policy and legislation. 71 per cent of MDW in East Asia experienced exploitation during the recruitment process, 49 per cent suffered limited freedom of movement, 32 per cent had identity and travel documents confiscated and 63 per cent faced exploitative practice while working abroad (Islam, 2016). This plight categorized them as a vulnerable worker due to the condition of uncertainty hours of work and income, risk of having their workplace entitlements denied, and lack of capacity to secure (Sargeant, 2014). As a phenomenon of globalisation, MDW can conclude in to the Non-Traditional Security (NTS) issues. NTS emerged in attempt to search a new security doctrine that could explain the overlapping nature of nation state’s various interests, one that could reconcile the traditional challenges facing states with non-traditional threats (Siulun, 2008, p. 61). To date, at least there are two approach which mostly be used in the migrant labour issues, first is Securitizing approach by the Copenhagen School and second is human security approach. Securitization emphasized on speech-act approach where there is securitizing actor and referent object. According to the five sectors—military, environmental, economic, societal, political— offered by Securitization theory, migration is belong to the societal sector. Societal insecurity only exists when communities define a potentiality as a threat for them. Buzan and Waever argue that societal security is about collective group and their identity, it is totally different with social security which is about individuals and is largely economic and refers to individual level. Thus, they only use the term societal for communities with an identities. It is somehow problematic when societal term is often juxtapose to society term to designate the wider and unclear state population (Buzan & Waever, 1998 ). Following such definitions, MDW will be more likely to be a migration issue and be seen as a receiving country’s threat rather than humanitarian issue. The case of increasing undocumented migrant labour in Malaysia for instance, the victims are remarked as public enemy by Malaysian enforcements that make them treated in terms of threat to national security (Kudo, 2013). However, securitization remains the state’s privilege while extending security beyond the state as a referent object. A better analysis offered by the human security framework. It brings the focus from state to human dimension of migration. Consequently, this framework produces a concrete policy like treaty and policy both in the host and home country. The home country will held a capacity building for migrant workers since it argues the problem is based on the quality of the worker. While, the host country will make sure the protection by joining and ratifying the human right convention especially those which concern on protection of migrant workers. The question is, is it systematic enough to deal with the structural and cultural problem of MDW? Firstly, there is no legal standard for the quality requirement. Secondly, the norm treaties and convention does not really see the constructed problem of MDW. Let say that human security approach give a wider sight in this case, but to unfold what behinds this issue need a gender as category of analysis. Without explaining what becomes the fundamental problem, still, it cannot reach a radical solution. In this lacuna, the Feminist Security Studies potentially will shed light. Seeing FSS only for a grievance of women in the military war or arms conflict is like wasting the rich analysis of feminism into the vain. I argue that FSS is appropriate to analyze the DMW issue. The framework can be taken from Jennifer K Lobasz’s analysis on human trafficking issue (in Sjoberg, 2010). Since the human trafficking issue and domestic migrant working are both victimize women in a dominant scale, in this way both are able to make women as the category of analysis in which the human security theories do not. Lobasz divulges the lack of traditional security approach to international human trafficking on two levels: ethical and pragmatical. Ethically, traditional security is wrong by making the state as referent object, not people, that pragmatically resulted the policy product focuses on state. Thus, feminists have made two essential contributions to the analysis of international human trafficking—which can be applied to MDW issue too—there are: expanding the focus of analyses to account for the exploitation of trafficked persons and paying attention to how the concept of human trafficking is socially constructed in the first place (Sjoberg, 2010, p. 216). This feminist contribution in human trafficking approach can be a basic in mapping approach to MDW as security issue. Yet, how FSS can be applicable enough to this issue? To formulate the FSS more comprehensive in analysing MDW, it needs some contributions from the Marxian lense and even more postcolonial. In this realm, the notion of segregated work by gender may give an important clue to unfold the vulnerability of domestic migrant worker. There is a division of working, domestic and public. This division naturally be seen as a gendered work, where women are mostly engaged to domestic, while man to public. It is matter when the domestic work assumed as immaterial work since it does not produce any material aspects as public does, this work then become undervalued (Federici, 2012). This construction influences the division of labour where household work does not have a prestige and women as the second sex are congruent with this job. While MDW’s oppression is conducted in racial and class hierarchy, a sisterhood solidarity cannot only based on gender identity but has to consider the political and cultural context like what Mohanty adressed. Henceford, FSS need not only a Marxian perspective but also a post-colonial lense since the phenomena of MDW is effect of global capitalist system in the post-colonial era. After all, FSS still need to develop both ontologically and epistemologically in order to give systematic analysis in the realm of the MDW issue. It is important for FSS since MDW is an international issue involving many aspects such as economy, culture, race and state domain. Seeing it from the lensse of FSS will probably change the policy not merely about how to strengthen the skill of labour from the sender countries, nor making many new norm legalizations such as treaty and convention. The solution should concern to the construction of domestic job itself. With such analysis, there will be a policy of making the domestic worker as same as productive work by providing security, such as a right for having a life insurance, fixed waged and fixed working time. References Barry Buzan, W. W. (1998 ). Security: A New Framework of Analysis. USA: Lynne Rienner Publishers. Explore Women's Right. (n.d.). Retrieved 12 14, 2017, from Human Right Watch: http://hrw.org/topic/womens-rights/domestic-worker Federici, S. (2012). Wages against Housework (1975) in Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. Brooklyn, NY: PM Press. Gallotti, M. (2015). Global estimates on migrant workers . Geneva, Switzerland: ILO Labour Migration Branch. ILO. (n.d.). Migrant Domestic Worker. Retrieved 12 14, 2017, from http://ilo/org/global/topics/labour-migration/policy-areas/migrant-domestic-workers/lang-en/index.htm Islam, M. R. (2016, June 25). Migrant Domestic WorkersLeft Out Policy in Asia. Retrieved 12 15, 2017, from Eastasiaforum: http://eastasiaforum.org/2016/06/25/migrant-domestic-workers-left-out-of-policy-in-asia/ Kudo, S. (2013). Securitization of undocumented migrants and the politics of insecurity in Malaysia. Procedia Environmental Sciences 17, 947 – 956. Sargeant, M. (2014). Domestic Workers: Vulnerable Workers in Precarious Work. E-Journal of International and Comparative, Volume 3, No. 1, 1 - 19. Siulun, M. G. (2008). Security and Migration in Asia:The Dynamics of Securitizaation. USA and Canada: Routledge. Sjoberg, L. (2010). Gender and International Seurity: Feminist Perspective. USA and Canada: Routledge. End Note [1] "My Family's Slave" is a non-fiction short story biography by the Pulitzer Prize–winning journalist Alex Tizon. It was posthumously published as the cover story of the June 2017 issue of The Atlantic. See on https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2017/06/lolas-story/524490/ Dr. Gadis Arivia Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan Sejarah SIP adalah Sejarah Pergerakan Feminis Pengasahan ide demonstrasi SIP (Suara Ibu Peduli) dimulai sejak bulan November 1997 di Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) yang ketika itu giat melakukan kegiatan “zero tolerance”, yaitu berkampanye untuk anti kekerasan terhadap perempuan. Kala itu merupakan pertama kali YJP bekerja sama dengan badan dunia seperti UNIFEM, meskipun kegiatan tersebut hanyalah project kecil, penyebaran aksi dan kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan. Dari kegiatan tersebut, sejumlah poster dan T-Shirt dicetak. Namun, kegiatan tersebut secara internal telah merancang staf YJP untuk terus‐menerus berdiskusi soal kekerasan terhadap perempuan dan implikasinya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Adalah Nur Iman Subono yang suatu hari membawakan cerita tentang ibu‐ibu di Plaza de Mayo. Nur Iman Subono, staf YJP pada waktu itu juga adalah pengajar politik di FISIP UI dan pemerhati bidang politik Amerika Latin. Di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa[1]: Sekelompok perempuan menjadi simbol aktivisme hak asasi dan keberanian. Berpakaian hitam, mereka berdemonstrasi bertahun-tahun lamanya setiap hari Kamis jam 3.30 sore di tempat terkenal Plaza de Mayo di Buenos Aires, menuntut penjelasan nasib anak-anak yang mereka sangat cintai. Mereka mengenakan saputangan di kepala yang bertuliskan nama-nama anak laki-laki dan perempuan mereka, juga membawa foto anak-anak mereka. Para ibu-ibu ini memakai atribut keagamaan Kristen yang ternyata merupakan strategi yang efektif karena yang mereka hadapi dan lawan adalah regim militer yang sangat Katolik. Beberapa dari ibu-ibu ini termasuk pendirinya Azucena Villaflor de Vicenti menghilang karena aksi mereka melawan ketidakadilan. Cerita ibu‐ibu Plaza de Mayo begitu mengesankan dan menjadi topik pembicaraan terus-menerus di YJP. Pada suatu ketika saya berdiskusi untuk kemungkinan melakukan aksi demonstrasi dengan beberapa redaksi Jurnal Perempuan yang ketika itu selain Nur Iman Subono juga termasuk Karlina Leksono-Supelli (Karlina bergabung dengan YJP pada bulan Agustus 1997 sebagai editor Jurnal Perempuan). Ide demonstrasi ini juga saya sampaikan kepada teman Korea bernama Eun Sook[2] yang ketika itu aktif membantu sebagai intern YJP. Ide ini kemudian semakin bergulir dan disepakati untuk mengadakan pertemuan pertama dengan mengundang teman-teman aktivis perempuan di kantor YJP, Gedung BOR Megaria pada tanggal 13 Februari 1998.[3] Intinya adalah untuk mengajak teman-teman membahas kemungkinan berdemonstrasi dengan satu tujuan melawan rejim Orde Baru, menjatuhkan Soeharto. Pertemuan pertama dihadiri sekitar 15 orang, antara lain Myra Diarsi (Rumah Ibu), Julia Suryakusuma, Robin Bush (mahasiswa asal Amerika Serikat‐kini bekerja di Asia Foundation), Yuniyanti Chuzaifah, Tati Krisnawaty, Salma Safitri (Solidaritas Perempuan) dan teman-teman LBH APIK antara lain seperti Iyik. Selebihnya, adalah seluruh staf Yayasan Jurnal Perempuan seperti Nur Iman Subono, Karlina Leksono-Supelli, Umi Lasmina, Liza Hadiz, Himah Sholihah, Nazaruddin, dan lain-lain. Penggunaan Kata “Ibu-ibu” dan “Susu” sebagai Kamuflase Pada pertemuan tanggal 15 Februari dibahas penggunaan kata “ibu-ibu” sebagai strategi politik. Penggunaan kata perempuan juga sempat mencuat di dalam rapat, yakni Suara Perempuan Peduli. Namun penggunaan kata perempuan dikhawatirkan akan mengandung kontroversi karena politik represif Orde Baru menggunakan bahasa “wanita” dan bukan "perempuan." Mereka cenderung bersimpati pada kegiatan “ibu-ibu” seperti misalnya Dharma Wanita.[4] Kami memperhitungkan segala sesuatu dengan detil, selain nama, juga termasuk isu yang akan diusung. Kami sadar bahwa kami tidak bisa merencanakan membawa spanduk “Turunkan Soeharto”, maka, perlu memikirkan isu apa yang dapat menarik simpati publik. Pada masa itu, isu susu sesungguhnya isu yang sudah sering dibicarakan di YJP. Saat itu inflasi melambung dan harga-harga meroket termasuk harga susu. Kebetulan di dekat rumah saya, di Hero Gatot Subroto, harga susu naik hingga 400%. Ketika itu anak saya berumur 3 tahun dan 8 bulan serta membutuhkan susu. Saya menyaksikan seorang ibu yang kebingungan mencari susu. Setelah kejadian tersebut, keesokan harinya saya diskusikan dengan Nur Iman Subono dan Eun Sook soal ide susu sebagai penggunaan “tanda.” Artinya, isu susu dapat digunakan sebagai kamuflase untuk memperjuangkan isu yang lebih besar yaitu demokrasi. Jadi, memang tidak pernah ada keprihatinan mendalam tentang masalah susu dan kaitannya dengan ibu-ibu. Isu susu bukan isu utama. Agar rencana demonstrasi berjalan sempurna maka YJP pada tanggal 20 Februari mengenalkan nama SIP untuk pertama kalinya secara publik. YJP menjual susu murah.[5] Kami beranggapan harus ada “bukti” kegiatan penyediaan susu dan perlu rekayasa bahwa kami benar-benar prihatin soal susu. Susu diperoleh staf YJP, Himah Sholihah, langsung dari pabrik dengan harga negosiasi.[6] Namun tentunya perlu dana untuk itu maka dimulailah penggalangan dana dan pada tanggal 16 Februari terkumpul Rp. 5.950.000,-[7] dan hingga penyelenggaraan susu murah pada tanggal 20 Februari terkumpul kurang lebih Rp 10.000.000,-, Setelah aksi demonstrasi SIP/YJP meneruskan penjualan susu murah karena permintaan masyarakat hingga penjualan dan donasi susu murah mencapai ratusan juta rupiah.[8] Pengelolaan penjualan susu murah ini ditangani sepenuhnya oleh staf YJP; Ani, Nazar, Supri, Robin, Himah Sholihah, dan lain-lain. Malam sebelum penjualan, beberapa aktivis perempuan (seperti ibu Sri dari Kalyanamitra) ikut membantu memasukkan bubuk susu ke dalam plastik. Pada tanggal 20 Februari 1998, YJP mengadakan rapat kedua. Sebagai pimpinan rapat, saya melaporkan penjualan susu yang dilakukan pada pagi harinya. Tanpa diduga peminat susu murah begitu banyak, orang mengantri, bahkan sempat menimbulkan dorong-mendorong hingga pintu depan kantor YJP pecah. Malam itu, berkumpul lebih banyak lagi aktivis perempuan dengan wajah-wajah baru seperti Dina (Walhi), Agung Putri (Elsam), Riga Adiwongso (FE UI), Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi (Pendiri YJP dan dosen Filsafat UI), Gayatri, Nursjahbani Kacasungkana, Ita F. Nadia, Dr. Kartini Sjahrir (Antropolog) dan lain-lain.[9] Hasil rapat menetapkan lokasi demonstrasi yaitu Bundaran HI. Mengapa Bundaran HI? Karena dianggap tempat yang strategis untuk bisa bertemu. Pakaian kantor menjadi pilihan kostum demonstrasi agar bisa menyatu dengan pekerja-pekerja kantoran lainnya yang banyak terdapat di sekitar Bundaran HI. Titik-titik meeting point ditentukan. Rencananya para demonstran akan berjalan dari segala penjuru, menjinjing tas kantor yang isinya poster-poster dan bunga‐bunga. Pada rapat malam tersebut, komitmen teman-teman aktivis dituntut untuk bersedia ikut berdemonstrasi pada tanggal 23 Februari 1998. Terkesan tidak akan banyak teman-‐teman yang ikut berdemonstrasi apalagi diketahui dari media masa bahwa pada hari Senin tanggal 23 Februari kemungkinan besar akan ada siaga satu, yaitu tembak mati di tempat bagi para pendemonstran. Beberapa di antara teman-teman aktivis mengurungkan niat mereka ikut berdemonstrasi dengan alasan masing‐masing. Akhir minggu dijalankan secara cemas oleh staf YJP karena pertemuan terakhir tidak mendapatkan sinyal yang positif. Namun penjualan susu semakin kuat di hari Sabtu dan Minggu. Ibu‐ibu, bapak-‐bapak bahkan anak-anak remaja semuanya berebutan susu di kantor YJP. Di saat mengantri mereka mengeluhkan harga-‐harga yang melambung, dan masa depan yang suram. Ibu-ibu mengeluhkan kesulitan ekonomi. Hari Minggu tanggal 22 Februari 1998, kembali diadakan rapat kecil dan kali ini melibatkan Rocky Gerung sebagai teman dan pendukung Jurnal Perempuan. Kami membahas lagi rencana yang detil serta menegaskan lagi pentingnya menumbangkan rezim Orde Baru yang telah menyengsarakan rakyat. Kebimbangan sirna setelah mendapatkan kabar bahwa tim pembela dari LBH siap terjun di pinggiran lapangan. Akhirnya saya sebagai ketua YJP pada saat itu, mengambil keputusan untuk terus melanjutkan rencana aksi. Pembagian tugas dilakukan, Karlina Leksono mengajukan diri sebagai koordinator lapangan, Julia Suryakusuma menjadi juru bicara dan dipercaya menangani media. Myra Diarsi menyiapkan segala keperluan aksi termasuk apa yang harus dibacakan dan lagu-lagu yang dinyanyikan. Teman‐teman YJP mendukung kuat dan solid menghadapi hari H. Meskipun aksi hanya diikuti beberapa teman‐teman aktivis dan seluruh staf YJP, namun aksi berjalan dengan lancar. Tampak teman-teman aktivis Julia Suryakusuma, Yuniyanti Chuzaifah, Myra Diarsi, Gayatri, Nori Andriyani, Tati Krisnawaty, Tinneke Arif (Filsafat UI), Wilasih (Wiwil aktivis dari Salatiga), dan lain-lain. Aksi tidak berjalan lama sekitar 30 menit dan penangkapan berjalan cepat. Seketika Karlina, Wiwil, dan saya diangkut ke atas truk. Kami ditahan satu malam dan dicurigai “ditunggangi” oleh kaum oposisi. Kami dicecar dengan pertanyaan apakah kami berkiblat pada ideologi komunis. Kami ditahan selama satu malam dan pagi hari kami dilepaskan karena tekanan berbagai pihak. Berita penahanan "ibu-ibu" menjadi berita headline di media nasional dan internasional. Pada tangggal 4 Maret, kami disidang di depan hukum. Saya dan Karlina menyampaikan pledoi[10] yang telah kami siapkan. Ruangan sidang penuh sesak oleh ratusan pengunjung yang datang dari berbagai elemen. Pengunjung mengumandangkan lagu-lagu perjuangan dan lagu "Ibu Kita Kartini." Sidang ditunda hingga Senin, 9 Maret 1998. Kami dinyatakan bersalah melanggar pasal 510 KUHP tentang arak‐arakan dan didenda Rp 2.250,- atau kurungan 2 minggu. Kami menolak keputusan itu namun sidang selanjutnya tidak pernah terjadi karena Soeharto berhenti pada tanggal 21 Mei dan perkara kami tidak dilanjutkan. Politik Representasi Satu hal yang perlu dicatat di dalam tulisan-tulisan di media tentang demo SIP adalah tidak adanya pembahasan mendalam “tanda” SIP. Apakah signifikansi penamaan SIP? Siapakah aktor SIP? Dimanakah dan organisasi manakah yang menjadi rumah SIP? Media masa menyimbolkan SIP sebagai gerakan "ibu-ibu" dan bukan aktivis perempuan. Media mengumbar kata “ibu,” “peduli,” “anak‐anak” sebagai mantra mereka dan megangkat interpretasi domestikasi perempuan yang penuh romantisasi. Tentunya sebagai feminis, saya berkeberatan, meskipun “tanda” tersebut kami mainkan dengan sempurna dan berhasil meraih simpati masyarakat. SIP dilahirkan dan diusung oleh aktivis perempuan yang bertujuan menjatuhkan Orde Baru. Namun interpretasi domestikasi begitu melekat dan sejarah gagal mencatat perjuangan SIP sebagai perjuangan aktivis perempuan yang mengawali gerakan Reformasi. Tidak banyak yang memahami politik representasi SIP dan permainan ”tanda” yang dimainkan. Memang pembongkaran semiotik SIP hanya dapat dibaca dengan kecerdasan dan mengerti bahwa SIP memperjuangkan ide-ide besar demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan menyatakan pendapat. Lalu di manakah “ibu-ibu” seperti yang dimaksud media bahkan yang tertera oleh website Suara Ibu Peduli sendiri?[12] Kompas 13 Juni 2000, tulisan Maria Hartiningsih mengungkapkan, “SIP melangkah makin jauh. Gerakan yang dimulai dari sekelompok ibu yang turun ke jalan di Bundaran HI tanggal 23 Februari 1998 untuk memprotes kenaikan harga susu itu telah bermetamorfosa ke dalam bentuk yang semakin jelas”. Di dalam artikel ini ditulis pelabelan baru bukan hanya pelabelan “ibu-ibu” tapi juga pelabelan “perempuan kelas menengah berpendidikan tinggi." Selanjutnya artikel ini mengangkat SIP “sesungguhnya”, yaitu ibu-ibu dari berbagai wilayah di Jakarta. Jelas tulisan tersebut salah karena tidak ada “ibu-ibu” seperti yang digambarkan oleh media, “ibu-ibu” sesungguhnya itu baru bermunculan setelah aksi feminis di Bundaran HI. Ibu-ibu sungguhan datang setelah reformasi diraih, yang berperan, berkonsep dan berstrategi adalah para feminis sejati. Setelah penangkapan dan pengadilan (Karlina, Wilasih, dan saya) aksi para perempuan aktivis diteruskan dengan mendukung para mahasiswa, mulai tanggal 19 hingga 23 Mei. Dana yang terkumpul selama 1998-‐1999 untuk aksi mahasiswa adalah Rp 1.120.541.865,-‐[13] dari berbagai elemen masyarakat. Nasi bungkus disalurkan sebanyak 70.576 bungkus termasuk dari warung nasi padang di hampir seluruh Jakarta. Kotak aqua yang disalurkan sebanyak 1.947 boks dan 2.811 boks snack serta ribuan buah-buahan. Ini belum termasuk sumbangan masyarakat makanan “mentah,” ada telur, ayam hidup dan sebagainya. Sumbangan juga digunakan untuk dukungan Newsletter mahasiswa “Bergerak,” T‐Shirt bertuliskan “Reformasi Total”[14]. Menerima begitu saja representasi yang serba pasti sama dengan memaklumi sistem kekuasaan sosial yang memvalidasi dan mencap sejumlah pelabelan perempuan. Inilah yang menjadi persoalan di saya dan juga telah saya tuliskan di buku saya “Feminisme Sebuah Kata Hati” (2006: 280): “sedikit sekali yang sampai pada konklusi bahwa “politik susu” SIP sebenarnya adalah Politik Perempuan di Dunia Ketiga yang sangat strategis. Mulai dari pemilihan nama “ibu” yang dipikirkan secara matang di kantor YJP menunjukkan kecerdasan permainan politik yang luar biasa dalam iklim negara represif. Para aktivis perempuan sadar bahwa dalam iklim represif dominasi laki-laki merajalela. Para aktivis dan akademisi perempuan paham bahwa mengeksploitasi unsur-unsur tradisional demi merebut demokrasi dapat dilakukan. Dan inilah yang dilakukan dengan proyek SIP.” Politik representasi SIP dilakukan secara produktif dan mengkonstruksi representasinya. Oleh sebab itu, perlu perangkat intelektual untuk melakukan denaturalisasi SIP. Politik representasi perempuan yang dilakukan oleh para aktivis perempuan dengan lihai menggunakan representasi untuk menyingkap misrepresentasi maupun menawarkan kemungkinan baru yakni melawan kekuasaan yang dominan. Men Doing Feminism Satu hal yang menarik dari politik representasi SIP adalah melahirkan kemungkinan baru peran laki-laki feminis, hal ini sering dilupakan. Di tingkat aksi SIP dapat dikatakan ada sejumlah laki-laki feminis yang berperan misalnya Rocky Gerung, Nur Iman Subono, Robin, Nazaruddin, Misyono, Stanley, Tigor, dan masih banyak lagi laki-laki yang berkontribusi secara positif. Apa yang mereka lakukan adalah menetapkan pijakan laki-laki progresif (male progressive stand point) yang berlawanan dengan cara pandang laki-laki (male view point). Laki-laki yang terlibat dalam demonstrasi SIP di Bundaran HI adalah upaya mereka untuk masuk ke dalam relung pengalaman perempuan. Yang saya maksud dengan pengalaman adalah sebuah proses, rangkaian kejadian, di mana orang tersebut ikut mengalami dan menghirup bersama suatu kejadian. Bisa juga dikatakan seseorang yang ikut dalam observasi pengalaman seseorang dan merasakannya. Namun, laki-laki feminis ini bukan saja mencoba memahami akan tetapi lebih dari itu, berusaha merekonstruksi segala kesedihan, penindasan, pilu, dan ketegangan atas dasar informasi yang mereka olah dengan suatu imajinasi untuk perubahan. Male progressive stand point, berusaha untuk merekonseptualisasi lagi peran laki-‐laki, maskulinitas dan secara aktif melakukan investigasi diri hingga titik kesadaran perlunya mengubah dunia. Di sini dituntut suatu pemahaman moral laki-laki dan bagaimana sebaiknya dunia dihuni dan dibagi bersama perempuan. Catatan Kritis SIP yang beranggotakan “ibu‐ibu” (ibu‐ibu dari Depok, Bojong Gede, Cilandak, Rempoa, dan sebagainya) datang ke kantor YJP setelah reformasi diraih dan berniat untuk membantu kegiatan di kantor. YJP memutuskan untuk masih mempertahankan SIP karena khawatir akan terjadi konflik lagi (Semanggi II memang kemudian terjadi). Awal kedatangan ibu‐ibu ke kantor YJP tentu disambut meskipun ratusan orang dan puluhan elemen juga datang menawarkan bantuan (dari siswa SD hingga politikus). Perdebatan hangat terjadi di kalangan pimpinan YJP mengenai keberadaan ibu‐ibu sungguhan ini. Terutama apakah YJP sebagai organisasi yang berorientasi feminis dan memiliki produk kajian feminisme mempunyai “ruang” untuk mereka? Meskipun beberapa kali rapat intern perdebatan‐perdebatan ini muncul, namun, saya pada waktu itu optimis terhadap kontribusi yang bisa diberikan oleh ibu‐ibu. Menurut hemat saya, ibu‐ibu perlu dilibatkan dalam reformasi. Tetapi gerakan SIP yang awal adalah sebagai proyek politik dan bukan proyek “ibu-ibu.” Di sinilah mungkin perbedaan pendapat yang terjadi antara saya di satu pihak dengan Karlina Supelli bersama Dinny Yusuf di pihak lain.[15] Bagi saya, suatu proyek politik berbasis isu (yaitu anti Orde Baru) dan itu tidak perlu dilembagakan karena ia merupakan pemikiran lepas yang bertujuan untuk melakukan perubahan. Ia harus lintas status perkawinan (bukan hanya ibu-ibu), agama, ras, dan etnisitas. Namun, ia harus memiliki pendirian feminis, platform yang sama: women’s rights is human rights. Maka, ketika pada bulan Agustus 1999, “SIP jilid dua” ingin memisahkan diri dari YJP, karena ingin melembagakan gerakan itu menjadi organisasi formal untuk kepentingan pemberdayaan kaum ibu, maka hal itu saya sambut dengan baik. Apalagi kebutuhan keseharian SIP jilid dua memang sudah berubah selama perjalanan waktu satu tahun lebih. Saya pikir, pada akhirnya ibu-ibu memerlukan wadah yang mereka kelola dan pikirkan sendiri. Jadi kalau ditanyakan apa sebetulnya SIP itu? maka menurut saya SIP adalah suatu gerakan politik yang berlangsung dalam periode awal reformasi, dengan maksud membuka ruang keberanian perempuan untuk terlibat dalam perubahan politik. Kami memilih Hotel Indonesia (pusat Ibukota) sebagai panggung politik dan memilih tanggal 23 Februari 1998, dimana status Siaga Satu (tembak di tempat) diberlakukan di Ibukota. Jadi, ide utama SIP sepenuh-penuhnya bersifat politik perempuan. SIP adalah sebuah percobaan politik feminis yang berbenturan langsung dengan kekuasaan. Daftar Pustaka: Agung Ayu, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, “Di Antara Belantara Jakarta”, Elkasa, 2007. Azizah, “Gerakan Perempuan di Indonesia, Tahun 1998-1999: Tinjauan Deskriptif Pada Gerakan Suara Ibu Peduli”, Unas, 2005. Gadis Arivia, “Feminisme Sebuah Kata Hati”, Kompas, 2006. Linda Hutcheon, “Politik Posmodernisme”, Jendela, Yogja, 2004. Nur Iman Subono, (editor), “Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli”, YJP, 1999. Tom Digby dan Sandra Bartky, “Men Doing Feminism”, Routledge, NY, 1998. Yayasan Jurnal Perempuan, Laporan Suara Ibu Peduli, 1998-‐1999. Catatan Akhir: [1] Nur Iman Subono dalam diskusi internal redaksi YJP, Desember 1997. [2] Eun Sook menghadiri semua pertemuan yang ketika itu diberi kode dengan kata “aerobik” karena menggunakan kata pertemuan “merancang demonstrasi” bukan suatu ucapan yang populer kala itu. [3] Lihat arsip undangan rapat ditandatangani oleh saya sendiri. [4] Dapat dilihat di daftar hadir pertemuan 13 Februari 1998. [5] Baca pemberitaan Kompas soal susu murah, Sabtu, 21-‐02-‐1998. [6] Antara lain dari Nestle, namun staf-‐staf di sana juga menyumbang secara spontan sebesar Rp 200.000,-‐ [7] Dana berasal dari Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi, Gadis Arivia, dan Andrea (individu bekerja di Bank Dunia). [8] Lihat laporan YJP tentang laporan kegiatan SIP, Februari 1998-‐1999, laporan keuangan hingga April 23 meliputi sumbangan tanpa nama sebesar Rp 50.000.000,-‐ [9] Lihat daftar hadir. Memang ada juga yang tidak tercatat, daftar hadir sempat diacak agar bila terjadi sesuatu tidak dapat dilacak oleh aparat pemerintah. [10] Lihat di buku Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, YJP, 1999. [11] Dalam teori politik representasi saya memakai teori Linda Hutcheon. [12] Website SIP (www.suaraibupeduli.org) tertulis: “Suara Ibu Peduli (SIP) didirikan pada tanggal 19 Februari 1998 oleh ibu-‐ibu dan perempuan dari berbagai latar belakang sosial dan pendidikan yang berkeinginan untuk menyuarakan kepeduliannya atas berbagai masalah yang terjadi di masyarakat akibat krisis ekonomi dan politik di Indonesia. SIP menjadi perkumpulan pada tahun 2002 dengan akta notaris tertanggal 21 Juni 2002. [13] Lihat laporan keuangan YJP tentang SIP 1998-‐1999. Pengeluaran sebesar Rp 1.194.743.958,-‐ selisih ditanggung YJP sebesar Rp 74.202.093,-‐ [14] Untuk membedakan dengan “Reformasi Damai”, yaitu kelompok mahasiswa yang mempunyai kaitan dengan garis agama tertentu yang kuat. [15] Dinny Yusuf tidak terlibat sejak awal berdirinya SIP yaitu saat rencana aksi pertama demo SIP di Bundaran HI tanggal 23 Februari 1998. Dengan ini, saya meluruskan beberapa pernyataannya di skripsi Azizah, “Gerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1998-‐1999: Tinjauan Deskriptif Pada Gerakan Suara Ibu Peduli”, Unas, 2005 hal. 101 dan di buku “Di Antara Belantara Jakarta”, editor Agung Ayu, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, 2007, hal. 197-‐198. Sejauh mana perjumpaan kita dengan sains dan teknologi? Apakah hari-hari ini kita masih mengajukan pertanyaan: Mengapa buah Apel jatuh dari pohonnya? atau yang lebih kontemporer: Sejauh mana revolusi industri 4.0 mengubah hidup kita? Di tengah-tengah peradaban virtual, barangkali sebagian besar dari kita sudah tidak lagi mempersoalkan secara radikal pertanyaan-pertanyaan di atas—konon karena sains dan teknologi keduanya telah mewujud, merasuk, dan menyatu dalam tubuh, pikiran dan keseharian kita secara masif. Sepertinya hal yang semakin jauh jika kita menggugat sains dan teknologi sebagai institusi dan produk maskulin, bahkan argumen tentang representasi perempuan di bidang tersebut seperti kisah klasik untuk peradaban virtual ini. Namun meski sulit, penting bagi kita mengajukan pertanyaan kritis lainnya: Mengapa virtualisasi komunikasi, informasi, dan ruang tidak menjamin kesetaraan gender? Mengapa kemajuan teknologi Industri tidak beriringan dengan semangat menjaga rahim bumi? Adakah yang salah dari paradigma sains dan teknologi? Para feminis sejak lama mempertanyakan dan mengkritik isi, metodologi, dan epistemologi ilmu pengetahuan. Para feminis mencurigai bahwa ada bias androsentris dalam sejarah perkembangan teori dan praktik sains sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Mereka mempertanyakan apa yang disebut rasional, objektif dan ilmiah sebagai sebuah syarat ilmu pengetahuan dapat diterima. Para feminis tersebut menggunakan pendekatan filsafat sains dan teori feminis untuk membuktikan kecurigaan mereka terhadap sejarah dan praktik ilmu pengetahuan. Filsafat feminis sains dan teknologi muncul di tahun 1970-an sebagai bagian dari gelombang kedua aliran feminisme. Para pemikirnya antara lain Evelyn Fox Keller, Donna Haraway dan Sandra Harding Para feminis tersebut mendekati dan menggugat teori-teori maupun ilmu pengetahuan yang selama ini memiliki standar positivistik, objektivistik dan teknokratik (Dusek, 2006: 137). Gugatan pada feminis tersebut muncul antara lain dipengaruhi oleh pemikiran post-postivism oleh Thomas Khun, gerakan ekologi dan kritik para feminis tentang basis ilmu pengetahuan. Para feminis sains dan tenologi memetakan tiga area yang perlu diinvestigasi dari hubungan perempuan dan teknologi yaitu menyoal kontribusi perempuan dalam penemuan teknologi, pengaruh teknologi rumah tangga dan reproduksi terhadap perempuan dan metafora atas teknologi vs alam sebagai maskulinitas vs femininitas. Pertama, kontribusi perempuan dalam teknologi dan penemuan dipertanyakan oleh para feminis. Di tahun 1960-an, dalam ilmu antropologi muncul teori tentang homosapiens modern yang disebut “Man The Hunter”. Teori tersebut beranjak dari klaim peradaban bahwa berburu dianggap sebagai pusat pekembangan manusia dan kerjasama sosial, laki-laki lebih dominan dalam berburu sehingga dianggap lebih bertanggung jawab pada kemajuan sosial dan umat manusia. Teori tersebut dikiritk oleh Ruth Hubbard dengan melontarkan pertanyaan, “Apakah hanya manusia laki-laki yang berevolusi?”. Di tahun 1970-an para antropolog perempuan dengan pengaruh pemikiran feminisme memunculkan teori “Women Gatherer”, yang artinya perempuan telah berkontribusi terhadap persediaan makanan umat manusia dengan mengumpulkan tanaman, kacang-kacangan dan biji-bijian. Para antropolog tersebut mengklaim bahwa menyediakan makanan dari tumbuh-tumbuhan lebih penting daripada melakukan perburuan besar-besaran (Dusek, 2006). Perdebatan tentang siapa, laki-laki atau perempuan yang menjadi pusat kemajuan teknologi tidak berhenti sampai di situ, Lewis Mumford juga mengkritik para sejarawan teknologi yang kerap kali melupakan kontribusi perempuan dalam sejarah kemajuan teknologi, ia mengungkapkan bahwa jika alat tranportasi adalah kepanjangan dari kaki, maka rahim dan payudara tak bisa dilupakan sebagai perpanjangan teknologi penyimpanan dan inkubasi itu sendiri. Salah satunya ialah Voltaire, yang menyatakan bahwa perempuan bukanlah penemu/ilmuwan, jika memang ada maka keberadaannya perlu ditutupi, dan perempuan hanya membuat penemuan yang mereka sukai saja atau disebut “pekerjaan perempuan”. Ann Harned misalnya, ia menemukan penuai mekanik bersama suaminya namun hanya suaminya yang diumumkan sebagai penemu teknologi tersebut. Sayangnya, argumen Voltaire sepertinya lebih didengar oleh peradaban patriarki sehingga para penemu dan ilmuan perempuan seakan-akan tak memiliki kontribusi apapun dalam kemajuan dan inovasi teknologi (Dusek, 20016: 139). Kedua, teknologi memiliki dampak spesifik bagi perempuan. Val Dusek dalam Philosophy of Technology (2006) menjelaskan bahwa setidaknya ada dua jenis teknologi yang memiliki dampak langsung dan memengaruhi peran-peran perempuan dalam struktur sosial, yaitu teknologi rumah tangga dan teknologi reproduksi. Mesin cuci, oven, vacum cleaner, microwave dan kompor gas adalah beberapa diantara produk teknologi rumah tangga. Bagi perempuan kelas atas, kehadiran teknologi rumah tangga dianggap telah berkontribusi terhadap kerja-kerja mereka di dalam rumah dengan membuat pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Namun bagi perempuan miskin, kehadiran teknologi rumah tangga yang memberikan efisiensi waktu tersebut tak cukup membantu karena pada faktanya tak ada pengurangan beban kerja rumah tangga mereka, justru semakin banyak pakaian yang harus dicuci, semakin luas rumah yang harus dibersihkan. Oven membuat aktivitas fisik untuk memasak berkurang, begitu juga dengan keahlian memasak semakin hilang. Hal ini juga berdampak pada penghormatan suami terhadap kerja-kerja istri. Hadirnya teknologi rumah tangga membuat istri dianggap ‘tidak bekerja’ oleh suami mereka. Lebih jauh, Dusek juga mengemukakan bahwa teknologi rumah tangga membuat perempuan jadi konsumen atau pengguna dan laki-laki menjadi pembeli, desainer, petuga servis dan lai-lain. Sulamith Firestone dalam Dialectic of Sex (1970) menyatakan bahwa memisahkan perempuan dari rahim biologisnya adalah cara untuk mencapai kesetaraan yang seutuhnya. Ini adalah awal mula dimana teknologi reproduksi dianggap sebagai penyelamat perempuan (Dusek, 2006). Gagasan Firestone mendapatkan kritik dari berbagai feminis karena tak sepenuhnya teknologi itu netral gender. Pada faktanya teknologi reproduksi dikuasai oleh laki-laki, dokter laki-laki memimiliki kontrol penuh atas tubuh perempuan, meskipun di satu sisi ada teknologi kontrasepsi dan aborsi memungkinkan perempuan mendapatkan kontrol atas tubuhnya dengan penuh dan teknologi fertilasi dan implantasi embrio menjadi sebuah pengharapan bagi perempuan. Teknologi ultrasound, operasi caesar, seleksi gender janin adalah contoh teknologi reproduksi yang dicurigai dan berpotensi menghilangkan kemampuan subjek kehamilan itu sendiri yaitu perempuan. Diskursus mengenai teknologi reproduksi terus terjadi, perempuan diharapkan dapat memanfaatkan teknologi reproduksi namun perlu waspada karena ada ideologi patriarki di dalamnya. Bahkan Dusek mengungkapkan bahwa teknologi reproduksi adalah sarana dokter laki-laki untuk mengendalikan kehamilan dan persalinan yang tidak bisa ia lakukan. Ketiga, metafora teknologi sebagai laki-laki dan alam sebagai perempuan. Metafora tersebut pada akhirnya mengandaikan bahwa laki-laki bersifat aktif dan perempuan adalah pasif. Namun menurut Dusek, metafora tersebut juga tak sepenuhnya diamini dalam sains dan teknologi, banyak anggapan bahwa metafora hanyalah hiasan luar yang tak penting karena eksperimen, hukum alam, penemuan mekanis berdiri sendiri tanpa identitas gender tertentu. Namun metafora tersebut tidak dapat diabaikan karena berpengaruh terhadap perekrutan dan motivasi perempuan untuk menjadi ilmuwan dan insiyur. Evelyn Fox Keller menganalisis berangkat dari teori Chodorrow yang menyatakan bahwa anak laki-laki harus memutuskan hubungan dengan ibu mereka dalam rangka pembentukan identitas sedangkan hal tersebut tidak terjadi pada perempuan. Hal tersebut berkaitan dengan stereotip maskulin pada sains dan teknologi yang mengunggulkan objektivitas dan ‘tidak bergantung’, ini seperti halnya sifat laki-laki. Tentu citra maskulin sains dan teknologi berdampak pada perekrutan perempuan. Anak perempuan di sekolah menengah atas yang memiliki bakat sains dan teknologi akhirnya tidak dianjurkan dan didorong untuk mengejar studi lanjutan untuk menjadi ilmuwan sains maupun seorang insiyur (Dusek, 2006). Gambaran sains dan teknologi yang dibangun bertentangan dengan gambaran dan ekspektasi masyarakat terhadap femininitas anak perempuan sehingga banyak anak perempuan yang merasa takut untuk menjadi cerdas atau merasa kemampuan teknisnya lebih baik dari laki-laki karena khawatir laki-laki tidak tertarik padanya (Dusek, 2006). Menariknya, metafora dan dualisme yang dibangun atas laki-laki dan perempuan; aktif-pasif, teknis-non teknis, telah diargumentasikan oleh Mary Wollstonecraft. Ia berargumen bahwa jika laki-laki disimpan dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Mary pada waktu itu mengkritik karya Emile karya Jean-Jacques Rousseau yang menggambarkan perkembangan rasionalitas sebagai tujuan pendidikan yang paling penting bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Pemikiran Rousseau ini mengandaikan bahwa murid perempuan yang ideal adalah yang menyibukkan diri dengan musik, kesenian, fiksi, puisi sembari mengasah keterampilannya melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (Tong, 1998:19). Hal ini memperlihatkan bagaimana pola pikir dan konstruksi sosial telah lama dibangun. Pembedaan cara-cara pengasuhan dan pendidikan yang membuat perempuan terpinggirkan dari pendidikan, pendidikan teknologi khususnya (Pratiwi, 2016:11). Sama halnya ketika perempuan memilih sekolah di bidang teknologi, ia menjadi minoritas dan kerap kali harus meninggalkan sifat-sifat femininnya untuk masuk ke dalam dunia teknologi tersebut. Namun pemikiran Betty Freidan mengenai sifat-sifat maskulinitas dan femininitas sangat berbeda. Dalam bukunya The Second Stage ia menggambarkan apa yang disebut sebagai gaya pemikiran dan tindakan beta, yang menekankan pada “fluiditas, fleksibilitas, dan sensitivitas interpersonal” sebagai feminin secara budaya, dan menggambarkan gaya pemikiran dan tindakan alfa menekankan pada “hierarki, otoritas, kepemimpinan yang secara tegas berorientasi tugas berdasarkan rasionalitas intrumental dan teknologi sebagai maskulin secara budaya” (Tong, 1998:44). Ide Betty Freidan ini mengandaikan bahwa perempuan dapat memaksimalkan keduanya, yaitu pola alfa dan beta, yang berarti bahwa sebenarnya perempuan tidak perlu menanggalkan femininitasnya untuk setara dengan laki-laki (Pratiwi, 2016: 11). Kritik para feminis tersebut berlanjut dengan gugatan terhadap status inferior perempuan dalam masyarakat modern (masyarakat dengan ilmu pengetahuan) yang dikukuhkan dengan penemuan sains yang bias. Sangat sering data dari eksperimen ilmiah dan teori yang diperoleh dari data tersebut digunakan untuk memberikan dasar ilmiah untuk membenarkan posisi inferior perempuan dalam masyarakat. Kaum feminis abad ke-19 seperti Blackwell misalnya mengkritik teori pembedaan seksual Darwin yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepasifan dan subordinasi bawaan perempuan (Rosser, 1989). Lebih jauh Kathleen Okrulik menganggap bahwa kritik feminis terhadap sains bukan hanya sekadar perihal monolitik tapi juga politik, karena ada penindasan yang terjadi sepanjang perkembangan sains dalam isu-isu tertentu (Okhrulik, 2000). Persoalan yang demikian rumit membuktikan bahwa bias terhadap teori-teori di bidang biologi tidak bisa terlepas dari bias sosial, artinya sains bekerja di ranah sosial juga, maka sains yang berada di laboratorium tidak bisa dikatakan netral karena ia selalu bekerja dan dikerjakan di dalam suatu ruang, di dalam masyarakat, di dalam kultur patriarki. Tiga aspek di atas merupakan wacana perempuan dan teknologi yang memungkinkan saling bertentangan satu sama lain dan bahkan masih diperdebatkan hingga kini. Diskursus di atas memberikan gambaran besar tentang relasi perempuan dengan sains dan teknologi yang terjadi di berbagai dimensi, baik itu level privat maupun publik. Sayangnya keduanya tak bisa dipandang hitam dan putih dan dikotomis, persoalan teknologi yang seakan-akan berada di level publik ternyata masuk dan menyergap diam-diam pada urusan privat perempuan yaitu tubuh. Teknologi sendiri dipahami Dusek bukan hanya perangkat keras atau penemuan ilmiah-objektif namun juga sebagai sebuah sistem sosial. Teknologi sebagai sebuah alat tidak melibatkan metafora atau ideologi gender namun teknologi sebagai sebuah sistem sosial dan budaya melibatkan citra dan metafora sehingga pengguna memiliki peran-peran dalam teknologi. Hal yang menarik adalah kritik yang melihat bahwa sains dan teknologi bukan hanya perihal teori atau alat, melainkan juga perihal politik, artinya sains dan teknologi tidak hanya bekerja di dalam laboratorium tapi juga bekerja untuk melanggengkan kekuasaan. Maka dari ketiga cara kerja para feminis mengkritik sains tersebut, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa para feminis mencurigai netralitas sains dan teknologi, baik dari kesejarahannya, epistemologi, dan politik. Daftar Pustaka: Dusek, Val. (2006). Philosophy of Technology: An Introduction. USA, UK, Australia: Blackwell Publishing Ltd. Okruhlik, Kaathleen. (2000). Feminist Accounts of Science. A Companion to The Philosophy of Science (Ed. W.H. Newston-Smith). UK, New York: Blackwell Publishers Ltd. Pratiwi, Andi. (2016). Perempuan Programmer dalam Pendidikan dan Karier: Kajian Teknofeminisme dalam Sains dan Teknologi. Jurnal Perempuan, Vol. 21 No. 4, 8-24. Rosser, Sue V. (2004). The Science Glass Ceiling: Academic Women Scientists and the Struggle to Succeed. Routledge. Rosser, Sue V. (1989). Feminist Scholarship in the Sciences: Where Are We Now and When Can We Expect a Theoretical Breakthrough? Feminism and Science (Ed. Nancy Tuana). United States: Indiana University Press. Tong, Rosemarie Putnam. (1998). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis (terj). Yogyakarta: Jalasutra. “Jangan keluar rumah saat hari mulai gelap!”, itulah kalimat yang masih terngiang-ngiang di dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika tidak patuh, bersiap-siaplah dengan risikonya, misalnya berjumpa dengan sosok perempuan menyeramkan yang berbaju putih menjuntai, berambut panjang, kaki yang tidak menapak ke tanah, punggungnya yang bolong dan sering menggoda para lelaki di malam hari. Siapakah dia? Ya, dia adalah Sundel Bolong. Dibalik sosoknya yang menakutkan, hantu lokal ini justru mengartikulasikan dirinya sebagai sang liyan. Tawanya yang khas, merupakan sebuah paradoks atas kepedihannya sebagai korban. Dalam hal ini dapat dilihat mulai dari pemberian julukan hingga cara pandang dan perlakuan masyarakat terhadapnya. Nama ‘Sundel Bolong’ berasal dari kata ‘sundal’ yang berarti kelakuan buruk, wanita jalang, atau pelacur; dan ‘bolong’ yang berarti ‘lubang tembus’. Hal tersebut berhubungan dengan sosoknya yang dipercaya memiliki masa lalu sebagai seorang perempuan ‘nakal’ yang kemudian menjadi objek perkosaan, dan meninggal dalam keadaan mengandung, hingga menjadi arwah gentayangan dengan gambaran fisik khas, yakni mempunyai lubang tembus yang mengerikan dan menjijikkan di bagian punggungnya. Kisah di atas terus disebarkan dari mulut ke mulut dan semakin mencuat berkat campur tangan industri perfilman pada era Orde Baru—yang kerap menyajikan film horor dengan perempuan sebagai bintangnya, misalnya film ‘Sundel Bolong’ (1981) dan ‘Beranak dalam Kubur’ (1871) yang diperankan oleh Suzzanna. Dalam berbagai film horor Indonesia pada rezim tersebut, terdapat bentuk-bentuk objektivikasi dan domestifikasi terhadap tokoh perempuan, contohnya scene yang menjadikan perempuan sebagai sosok yang tak berdaya, dijadikan objek kekerasan (pelecehan, pemerkosaan bahkan pembunuhan) dan tidak diberi hak untuk bicara, apalagi melawan. Hal itu menunjukkan bahwa film-film tersebut melanggengkan konstruksi patriarki—yang di dalamnya terdapat dikotomi peran, sifat, dan kepatutan antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki ideal dikonstruksi sebagai sosok yang kuat, pemberani, keras, kasar, tegas, mandiri, berwibawa, agresif, superior, dominan, rasional, pintar, mampu mencari nafkah, beraktivitas di ranah publik, dsb. Sedangkan perempuan ideal adalah perempuan ‘baik-baik’ yang ‘wajib’ menjadi sosok pengikut, penurut, cenderung lebih pasif, lemah lembut, sabar, ‘malu-malu’ secara seksual, beraktivitas di dalam rumah, dan menutup tubuhnya serapat mungkin. Istri ideal adalah istri yang inferior, yakni menjadi bawahan yang patuh, membahagiakan serta membuat nyaman suami dan anak-anaknya, harus pandai mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, dan ketika menjadi seorang ibu, ia harus mengajarkan citra istri ideal tersebut pada anak-anak perempuannya. Kemudian, kalaupun saat ini perempuan pergi ke luar rumah untuk mencari nafkah, bukan berarti beban pekerjaan mereka di dalam rumah menjadi berkurang karena hal tersebut dianggap hanya kewajiban seorang istri, bukan kewajiban suami. Ketika seorang perempuan tidak hidup dengan citra ‘baik-baik’, maka ia dianggap wajar bahkan dianggap pantas mendapat perlakuan buruk dalam kehidupan sosialnya dan seksualnya. Lebih jauh lagi, alih-alih diberi perhatian, dibela atau dilindungi, para korban tersebut justru sering disalahkan atas penderitaannya. Misalnya ketika perempuan menjadi korban pelecehan, yang sering disalahkan adalah cara bertindak dan berpakaian kaum perempuan itu sendiri yang dianggap sebagai pemicu. Hal tersebut pun tercermin pada tokoh Alisa sebagai korban dalam film ‘Sundel Bolong’ yang dianggap pantas menjadi objek kekerasan seksual, dan justru disalahkan atas hal tersebut karena memiliki masa lalu sebagai pekerja seks yang identik dengan perempuan ‘gampangan’—yang pulang malam hari dan mengenakan pakaian pemicu birahi. Latar belakang tersebut pun kemudian membuatnya terus diposisikan sebagai ‘liyan’, bahkan setelah meninggal dan menjadi hantu Sundel Bolong. Di dalam masyarakat, seks dipercaya sebagai dunia laki-laki, dan perempuan adalah objek seksualnya. Hasrat seksual laki-laki yang berkobar-kobar dan sulit dibendung dipercaya sebagai sesuatu yang alamiah karena hormon (ranging hormone) di dalam tubuhnya, sehingga dipandang wajar, bahkan perlu disalurkan. Kemudian tubuh perempuan senantiasa dianggap sebagai lokasi seks dan lokasi penundukan laki-laki terhadap dirinya. Tubuh perempuan diharuskan tertutup rapat dengan alasan untuk menghindari perhatian laki-laki atas dirinya yang memicu terjadinya berbagai bentuk kekerasan seksual. Padahal, hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa banyak pula perempuan dengan pakaian tertutup dan bertindak sewajarnya, namun tetap dijadikan objek kekerasan seksual. Sosok Sundel Bolong dianggap sebagai hukuman atas perempuan yang tidak hidup dengan citra ‘baik-baik’ dan melanggar ‘aturan’ sosial, sehingga tidak sempurna menjalankan siklus hidupnya. Hidup ideal yang diwacanakan bagi perempuan adalah menikah, hamil, memiliki, anak, menjadi ibu rumah tangga, membesarkan anak, dan meninggal dengan tenang. Dengan demikian, arwah gentayangan tersebut dipercaya sebagai akibat dari ketidakberhasilannya dalam menciptakan siklus ideal tersebut, misalnya karena menjadi korban perkosaan, keguguran, atau meninggal saat melahirkan, yang dibumbui embel-embel sebagai perempuan ‘nakal’. Dengan adanya pengkonstruksian peran, perilaku, aktivitas, atribut, dan kepatutan yang dianggap tepat untuk perempuan atau laki-laki, maka setiap individu senantiasa hidup dengan mengacu pada harapan-harapan sosial dan dibelenggu oleh keharusan-keharusan, serta tuntutan-tuntutan yang bukan berlandaskan pada kebebasan dan ekspresi pribadi. Kemudian, dampak selanjutnya adalah perempuan yang senantiasa dijadikan sebagai makhluk nomor dua dan diperlakukan dengan semena-mena, sebagaimana wacana Sundel Bolong. Sosok Sundel Bolong dapat ditafsirkan sebagai simbol dari perempuan yang tidak diinginkan dan bahkan dianggap menjijikan melalui penggambaran isi perutnya yang terlihat. Mitos yang bermula dari film-film horor yang secara berkelanjutan terus dipercaya dan masih menjadi buah bibir masyarakat ini pun bisa dimaknai sebagai penanda tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Selain itu, teror yang dilakukan para arwah gentayangan juga dapat mengartikulasikan betapa rendahnya upaya penegakan hukum di Indonesia terhadap para pelaku. Jika dicermati lebih dalam, terbentuknya mitos-mitos mengenai hantu perempuan di Indonesia mengindikasikan adanya campur tangan ideologi politik untuk mengendalikan masyarakat dan melanggengkan kekuasaan. Sosok hantu perempuan merupakan langkah strategis untuk membungkam kaum perempuan dan melanggengkan ideologi patriarki. Melalui wacana yang terus-menerus direproduksi melalui media film, bahasa dan simbol, ideologi patriarki telah mengakar di dalam alam pikiran masyarakat, sehingga tidak mudah untuk diubah, termasuk mengubah tafsir masyarakat terhadap mitos-mitos arwah para perempuan tersakiti tersebut. Media dapat menjadi lokasi strategis dalam memperkokoh, menggugat, atau bahkan membentuk ideologi di masyarakat. Sehingga upaya dekonstruksi citra perempuan, citra Sundel Bolong, citra hantu perempuan yang selama ini berada dalam posisi liyan perlu dilakukan dengan memanfaatkan media, baik media konvesional maupun media digital. Film merupakan salah satu produk media yang dapat difungsikan dengan bijak sebagai ruang untuk mengedukasi, sehingga keadilan dapat diciptakan sejak dalam pikiran. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |