“Jangan keluar rumah saat hari mulai gelap!”, itulah kalimat yang masih terngiang-ngiang di dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika tidak patuh, bersiap-siaplah dengan risikonya, misalnya berjumpa dengan sosok perempuan menyeramkan yang berbaju putih menjuntai, berambut panjang, kaki yang tidak menapak ke tanah, punggungnya yang bolong dan sering menggoda para lelaki di malam hari. Siapakah dia? Ya, dia adalah Sundel Bolong. Dibalik sosoknya yang menakutkan, hantu lokal ini justru mengartikulasikan dirinya sebagai sang liyan. Tawanya yang khas, merupakan sebuah paradoks atas kepedihannya sebagai korban. Dalam hal ini dapat dilihat mulai dari pemberian julukan hingga cara pandang dan perlakuan masyarakat terhadapnya. Nama ‘Sundel Bolong’ berasal dari kata ‘sundal’ yang berarti kelakuan buruk, wanita jalang, atau pelacur; dan ‘bolong’ yang berarti ‘lubang tembus’. Hal tersebut berhubungan dengan sosoknya yang dipercaya memiliki masa lalu sebagai seorang perempuan ‘nakal’ yang kemudian menjadi objek perkosaan, dan meninggal dalam keadaan mengandung, hingga menjadi arwah gentayangan dengan gambaran fisik khas, yakni mempunyai lubang tembus yang mengerikan dan menjijikkan di bagian punggungnya. Kisah di atas terus disebarkan dari mulut ke mulut dan semakin mencuat berkat campur tangan industri perfilman pada era Orde Baru—yang kerap menyajikan film horor dengan perempuan sebagai bintangnya, misalnya film ‘Sundel Bolong’ (1981) dan ‘Beranak dalam Kubur’ (1871) yang diperankan oleh Suzzanna. Dalam berbagai film horor Indonesia pada rezim tersebut, terdapat bentuk-bentuk objektivikasi dan domestifikasi terhadap tokoh perempuan, contohnya scene yang menjadikan perempuan sebagai sosok yang tak berdaya, dijadikan objek kekerasan (pelecehan, pemerkosaan bahkan pembunuhan) dan tidak diberi hak untuk bicara, apalagi melawan. Hal itu menunjukkan bahwa film-film tersebut melanggengkan konstruksi patriarki—yang di dalamnya terdapat dikotomi peran, sifat, dan kepatutan antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki ideal dikonstruksi sebagai sosok yang kuat, pemberani, keras, kasar, tegas, mandiri, berwibawa, agresif, superior, dominan, rasional, pintar, mampu mencari nafkah, beraktivitas di ranah publik, dsb. Sedangkan perempuan ideal adalah perempuan ‘baik-baik’ yang ‘wajib’ menjadi sosok pengikut, penurut, cenderung lebih pasif, lemah lembut, sabar, ‘malu-malu’ secara seksual, beraktivitas di dalam rumah, dan menutup tubuhnya serapat mungkin. Istri ideal adalah istri yang inferior, yakni menjadi bawahan yang patuh, membahagiakan serta membuat nyaman suami dan anak-anaknya, harus pandai mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, dan ketika menjadi seorang ibu, ia harus mengajarkan citra istri ideal tersebut pada anak-anak perempuannya. Kemudian, kalaupun saat ini perempuan pergi ke luar rumah untuk mencari nafkah, bukan berarti beban pekerjaan mereka di dalam rumah menjadi berkurang karena hal tersebut dianggap hanya kewajiban seorang istri, bukan kewajiban suami. Ketika seorang perempuan tidak hidup dengan citra ‘baik-baik’, maka ia dianggap wajar bahkan dianggap pantas mendapat perlakuan buruk dalam kehidupan sosialnya dan seksualnya. Lebih jauh lagi, alih-alih diberi perhatian, dibela atau dilindungi, para korban tersebut justru sering disalahkan atas penderitaannya. Misalnya ketika perempuan menjadi korban pelecehan, yang sering disalahkan adalah cara bertindak dan berpakaian kaum perempuan itu sendiri yang dianggap sebagai pemicu. Hal tersebut pun tercermin pada tokoh Alisa sebagai korban dalam film ‘Sundel Bolong’ yang dianggap pantas menjadi objek kekerasan seksual, dan justru disalahkan atas hal tersebut karena memiliki masa lalu sebagai pekerja seks yang identik dengan perempuan ‘gampangan’—yang pulang malam hari dan mengenakan pakaian pemicu birahi. Latar belakang tersebut pun kemudian membuatnya terus diposisikan sebagai ‘liyan’, bahkan setelah meninggal dan menjadi hantu Sundel Bolong. Di dalam masyarakat, seks dipercaya sebagai dunia laki-laki, dan perempuan adalah objek seksualnya. Hasrat seksual laki-laki yang berkobar-kobar dan sulit dibendung dipercaya sebagai sesuatu yang alamiah karena hormon (ranging hormone) di dalam tubuhnya, sehingga dipandang wajar, bahkan perlu disalurkan. Kemudian tubuh perempuan senantiasa dianggap sebagai lokasi seks dan lokasi penundukan laki-laki terhadap dirinya. Tubuh perempuan diharuskan tertutup rapat dengan alasan untuk menghindari perhatian laki-laki atas dirinya yang memicu terjadinya berbagai bentuk kekerasan seksual. Padahal, hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa banyak pula perempuan dengan pakaian tertutup dan bertindak sewajarnya, namun tetap dijadikan objek kekerasan seksual. Sosok Sundel Bolong dianggap sebagai hukuman atas perempuan yang tidak hidup dengan citra ‘baik-baik’ dan melanggar ‘aturan’ sosial, sehingga tidak sempurna menjalankan siklus hidupnya. Hidup ideal yang diwacanakan bagi perempuan adalah menikah, hamil, memiliki, anak, menjadi ibu rumah tangga, membesarkan anak, dan meninggal dengan tenang. Dengan demikian, arwah gentayangan tersebut dipercaya sebagai akibat dari ketidakberhasilannya dalam menciptakan siklus ideal tersebut, misalnya karena menjadi korban perkosaan, keguguran, atau meninggal saat melahirkan, yang dibumbui embel-embel sebagai perempuan ‘nakal’. Dengan adanya pengkonstruksian peran, perilaku, aktivitas, atribut, dan kepatutan yang dianggap tepat untuk perempuan atau laki-laki, maka setiap individu senantiasa hidup dengan mengacu pada harapan-harapan sosial dan dibelenggu oleh keharusan-keharusan, serta tuntutan-tuntutan yang bukan berlandaskan pada kebebasan dan ekspresi pribadi. Kemudian, dampak selanjutnya adalah perempuan yang senantiasa dijadikan sebagai makhluk nomor dua dan diperlakukan dengan semena-mena, sebagaimana wacana Sundel Bolong. Sosok Sundel Bolong dapat ditafsirkan sebagai simbol dari perempuan yang tidak diinginkan dan bahkan dianggap menjijikan melalui penggambaran isi perutnya yang terlihat. Mitos yang bermula dari film-film horor yang secara berkelanjutan terus dipercaya dan masih menjadi buah bibir masyarakat ini pun bisa dimaknai sebagai penanda tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Selain itu, teror yang dilakukan para arwah gentayangan juga dapat mengartikulasikan betapa rendahnya upaya penegakan hukum di Indonesia terhadap para pelaku. Jika dicermati lebih dalam, terbentuknya mitos-mitos mengenai hantu perempuan di Indonesia mengindikasikan adanya campur tangan ideologi politik untuk mengendalikan masyarakat dan melanggengkan kekuasaan. Sosok hantu perempuan merupakan langkah strategis untuk membungkam kaum perempuan dan melanggengkan ideologi patriarki. Melalui wacana yang terus-menerus direproduksi melalui media film, bahasa dan simbol, ideologi patriarki telah mengakar di dalam alam pikiran masyarakat, sehingga tidak mudah untuk diubah, termasuk mengubah tafsir masyarakat terhadap mitos-mitos arwah para perempuan tersakiti tersebut. Media dapat menjadi lokasi strategis dalam memperkokoh, menggugat, atau bahkan membentuk ideologi di masyarakat. Sehingga upaya dekonstruksi citra perempuan, citra Sundel Bolong, citra hantu perempuan yang selama ini berada dalam posisi liyan perlu dilakukan dengan memanfaatkan media, baik media konvesional maupun media digital. Film merupakan salah satu produk media yang dapat difungsikan dengan bijak sebagai ruang untuk mengedukasi, sehingga keadilan dapat diciptakan sejak dalam pikiran. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |