Oleh Andi Misbahul Pratiwi Prof. Mustofa merupakan seorang pakar di bidang kriminologi. Ia menyelesaikan Sarjana Kriminologi (Drs.) di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia pada 1977. Pada November 1981 hingga Maret 1982 ia menjadi visiting scholar untuk bidang Sosiologi Hukum di Universiteit te Utrecht Belanda dan meraih Postgraduate Diploma di bidang kriminologi dari University of Melbourne, Australia pada 1988 dan pada tahun 1990 melanjutkan studi Master by Research (MA) di bidang dan universitas yang sama. Gelar Doktor Sosiologi diperolehnya dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia pada 1988. Kini ia menjabat sebagai guru besar di Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Laki-laki yang memiliki motto menjadikan kriminologi, sebagai ilmu yang mempelajari kejahatan di Indonesia sebagai gejala sosial, harus ikut memberi manfaat bagi perwujudan kesejahteraan rakyat Indonesia ini telah banyak melahirkan karya yang telah di publikasikan dalam buku maupun jurnal. Publikasinya antara lain, “Ketidakadilan Struktural dan Kedaulatan Hukum”, ditulis bersama Mulyana W. Kusumah, dalam Selo Soemardjan et.al. (eds.), Kemiskinan Struktural, Jakarta: PT Sangkala Pulsar, 1984; “Tinjauan Kriminologis atas Fraudulent Misrepresentation di bidang Perekonomian”, dalam K. Pranasari dan Adrianus Meliala, Praktek Pemberian Keterangan yang Tidak Benar. Jakarta: Penerbit UI, 1991; “Controlling Violenct Crime: A Case Study of the ‘Siri’ Phenomenon in the Buginese[1]Makassarese Community South Sulawesi”, dalam H. Strang and Julia Vernon, Internatinal Trends in Crime: East Meets West, Conference Proceedings, Canberra, Australia Institute of Criminology, 1992; “Billateral Cooperation Between Indonesia and Malaysia in Combating Transnational Crime”, makalah pada Seminar Sebumi, Kerjasama Universiti Kebangsaan Malaysia dengan Universitas Indonesia, Desember 2005 di UKM Malaysia; “Hak asasi manusia dan restorative justice”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke 35, No. 2, April-Juni 2005, hlm. 202-216; “Perkiraan Kriminalitas 2006 dan Strategi Pencegahannya”. Jurnal Intelijen dan Kontra Intelijen. No. 10, Vol. II/Feb-Mar 2006; “Toleransi Sosial: Suatu Keutuhan dalam Pembangunan Nasional”. Jurnal Intelijen dan Kontra Intelijen. No. 14, Vol. III/Okt-Des. 2006; “Kejahatan Kekerasan di Daerah Perkotaan, Khususnya DKI Jakarta”, dalam Sri Windarti (Editor). Mardjono Reksodiputro. Metodologi Penelitian Kriminologi, Profil Guru Besar UI Edisi Kesatu: Depok: Fisip UI Pres, 2006; Edisi Kedua. Depok: FISIP UI Press, 2007; Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Depok: FISIP UI Press, 2007.
Bagaimana anda melihat banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia? Apakah ada relasi kedekatan antara korban dan pelaku? Apakah ada pola-pola tertentu? Kasus kekerasan di Indonesia ini sangat mengkhawatirkan. Perilaku seksual adalah hal yang wajar itu alamiah. Sedangkan perilaku kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja dengan beragam motif. Indonesia memiliki ciri-ciri keluarga yang disebut “extended family” atau keluarga besar. Dalam satu rumah yang tinggal bisa siapa saja, paman, bibi, keponakan dsb. Banyak diantara korban dan pelaku memiliki kedekatan keluarga sehingga saat terjadi kekerasan sukar untuk korban berbicara. Hal ini memungkinkan adanya ruang untuk kekerasan. Hal ini menjadi salah satu faktor disamping fakto[1]faktor lainnya, yaitu pola pikir patriarkis. Pelaku kekerasan itu selalu merupakan pihak yang lebih dominan dibandingkan korban. Di dalam interaksi sosial yang kedudukannya lebih lemah atau subordinasi, itu kemudian rentan menjadi korban kekerasan. Ini bisa terjadi oleh siapa saja. Apakah kemungkinan terjadinya kekerasaan di ruang domestik bisa dikatakan lebih besar? Bukankah seharusnya rumah itu adalah tempat yang aman untuk perempuan dan anak-anak? Betul, seksualitas itu adalah hal yang alamiah. Kemudian yang jadi masalah adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasaan pada dasarnya bisa dilakukan oleh siapa saja. Sejak masyarakat mulai menyadari perilaku yang “normal” ini perlu dikendalikan maka masyarakat berpikir tentang bagaimana mengendalikannya. Pengendalian yang utama adalah dengan membuat nilai dan norma bagaimana perilaku seksual dan kekerasan itu boleh dilakukan—sebagian pasti tidak boleh dilakukan dalam keadaan tertentu. Nah, yang menjadi masalah sekarang adalah penanaman nilai norma kekerasan dan nilai norma seksual atau bisa kita sebut dengan pendidikan. Ini yang tidak jalan, saya katakan tidak jalan karena ketika masyarakat masih tradisional masih ada mekanisme penanaman nilai norma seksual dan kekerasan, mekanisme ini tentu beragam. Kekerasan pada umumnya tidak boleh, namun dalam keadaan tertentu boleh tergantung dari masyarakat yang bersangkutan. Namun hari ini, nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama ada—dan bisa dengan baik memosisikan apa yang disebut seksualitas dan kekerasan—kini telah hilang. Mekanisme penanaman nilai-nilai seksualitas tidak ada dan tidak jelas siapa agen sosialnya yang bertanggung jawab. Ini adalah akibat dari kebijakan nasional yang tidak mengintegrasikan nilai lokal ke dalam perencanaan nasional, jadi itu dianggap tidak penting dan pemerintah berjalan tanpa memerhatikan nilai-nilai tersebut. Ini yang menjadi persoalan. Apa pendapat bapak tentang pelecehan seksual yang masih dianggap sebagai perbuatan tidak menyenangkan saja, bukan sebagai tindak kejahatan? Bagaimana pandangan kriminologi perihal ini? Tergantung apakah sifatnya merugikan atau tidak, jika merugikan dalam kriminologi disebut sebagai kejahatan. Tetapi kalau tidak ada dimensi yang merugikan misalnya perilaku seksual karena ada transaksi dan sama-sama menguntungkan itu hanya disebut sebagai perilaku menyimpang bukan kejahatan. Namun jika ada korban kekerasan seksual meskipun sifatnya transaksional maka tetap itu dikatakan sebagai sebuah kejahatan seksual, misalnya eksploitasi seksual, perbudakan seksual dll. Apakah ada pengaruhnya kekerasan seksual dengan ditabukannya perbincangan seksual dan minimnya akses pendidikan seksual komprehensif? Sifat perilaku tadi alamiah semua orang bisa melakukan. Tidak ada tanda tanda khusus misalnya dia adalah mantan korban kekerasan seksual sebelumnya lalu ia menjadi pelaku. Kalau seperti itu kita sama saja memberikan stigma kepada korban kekerasan dengan menganggap bahwa ia berpotensi menjadi pelaku. Contohnya seperti ini, ada anak yang menjadi korban kekerasan lalu kemudian dia tidak menyadari bahwa hal itu adalah tindak kekerasan sehingga dia menganggap hal tersebut sebagai perilaku seksual yang ‘wajar’, sah-sah saja dan tidak menyebabkan masalah besar. Karena itu saya katakan diawal bahwa ada masalah dalam pendidikan nilai-nilai sosial tadi. Pada setiap kelompok etnis memiliki mekanisme masing-masing tentang pendidikan nilai[1]nilai seksualitas dan kekerasan. Ada yang hilang ketika pendidikan tersebut diformalkan menjadi pendidikan di sekolah. Kearifan lokalnya hilang kemudian tidak jelas siapa yang bertanggung jawab, guru-guru tidak siap untuk menanamkan nilai-nilai dan pendidikan seksual tadi. Guru tidak dididik menjadi pendidik, karena kebijakan pemerintah melihat kinerja guru setelah 5 tahun apakah baik atau tidak, seharusnya sebelum dia mengajar harus sudah certified sebagai guru yang kompeten termasuk mampu salam menerangkan perihal seksualitas dan kekerasan dengan baik. Perbicangan seksualitas dalam keadaan tertentu boleh dalam keadaan yang lain tidak. Tidak semua mengatakan bahwa seksualitas itu tabu. Ada tahapan-tahapan kapan seseorang boleh mendapatkan dan membicarakan nilai, norma dan pendidikan berhubungan seksual. Jika kita sebut seksualitas itu sebagai tabu atau dengan terminologi lainnya, lalu bagaimana solusinya agar nilai-nilai seksualitas itu yang sebenarnya adalah hal wajar dapat dipahami secara proporsional? Misalnya ada guru yang belajar Biologi dan membahasa tentang reproduksi, seharusnya tidak berhenti pada pernyataan bahwa reproduksi adalah aktivitas yang normal bagi manusia namun harus ada atribut-atribut lain seperti nilai-nilai kekerasan, tanggung jawab sosial, pertimbangan tentang kesehatan reproduksi bagi perempuan dan sebagainya. Nah, kemampuan untuk menjelaskan hal itu secara komprehensif dan proporsional hadir ditengah-tengah institusi pendidikan Indonesia. Guru belum siap, orang tua kerap kali enggan membicarakan hal itu dan negara juga absen sehingga dalam tatanan masyarakat terjadi ketidakjelasan peran masyarakat perihal nilai-nilai seksualitas. Menurut anda apakah pornografi juga menjadi salah satu faktor? Pornografi menambah kerumitan masalah, dan kita tidak bisa membendung pornografi. Negara-negara maju juga tidak bisa membendung, akhirnya yang dilakukan adalah mengatur, mengatur kapan orang boleh menikmati pornografi. Saya ingat sewaktu saya kecil itu ada majalah untuk orang dewasa yang kalau pake ukuran sekarang relatif netral saja tidak terlalu disebut pornografi. Tapi pada masa itu memakai pakaian bikini itu sudah tidak pantas dilihat oleh anak-anak jadi majalah tadi sudah jelas mengatakan ditulis untuk 17 tahun ke atas. Nah, seringkali orang tua yang berlangganan lupa sehabis baca majalah itu ditaruh di meja dan kemudian anaknya mengambil dan melihat. Ketik dibaca anaknya seharusnya orang tua tidak mengatakan “kamu tidak boleh baca ini“, namun “kamu belum waktunya membaca itu, ini kan tulisannya untuk 17 tahun kamu kan belum, nah nanti kalau sudah 17 tahun silahkan”. Jadi bukan melarang tapi mengatur kapan boleh membaca atau mengakses, karena seksualitas itu kan harus tetap diterangkan tapi tahapannya harus jelas, kapan boleh dilakukan dan harus proporsional. Kemudian juga jadi masalah ketika anak menonton pornografi di Internet dan kemudian mempraktikkannya. Kesalah tersebut tidak bisa kita tujukan pada anaknya, itu namanya kita gagal dalam pengendalian sosial. Begitu pun kepada orang tua maupun guru tidak bisa kita salahkan juga karena menyangkut teknologi yang bisa diakses oleh siapa saja dan dimana saja. Setiap penyedia jasa internet jika ada website yang mengandung unsur pornografi seharusnya difilter bukan juga malah diblokir. Filter agar pornografinya tidak dapat diakses oleh anak. Setiap orang tua yang memberikan fasilitas yang bisa dipakai anaknya browsing di internet wajib memastikan bahwa internetnya di proteksi atau difilter kalau dia tidak mengerti bisa minta bantuan ahli. Negara juga harus turut andil ketika membuat kebijakan harus rinci siapa yang bertanggung jawab jangan terlalu umum. Contohnya Swedia, salah satu negara yang mengakui kebebasan seksual membuat undang-undang yang mewajibkan anak yang berusia 13 tahun boleh menggunakan internet dengan izin orang tua dan di bawah 13 tahun tidak boleh sama sekali. Bukan membatasi akses terhadap teknologi tapi akses terhadap pornografi. Apa pendapat anda tentang rekomendasi hukuman kebiri bagi pelaku perkosaan? Apakah itu menyelesaikan masalah? Itu bukan suatu solusi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik maupun secara sosial. Hukuman tidak menyelesaikan masalah, orang yang dikebiri itu juga masih mempunyai kemampuan dorongan seksual. Seksualitas itu letaknya bukan di kelamin tapi di otak kita. Bahkan secara etis seorang dokter pun seharusnya tidak akan mau disuruh mengebiri, karena dokter memiliki kewajiban menolong orang, dengan mengebiri orang yang tadi di hukum akan berubah statusnya menjadi pasien. Pengebirian pelaku perkosaan bukan solusi yang tepat, itu emosional dan biasanya hanya sekedar konsumsi kepentingan politik, seolah-olah ada kepedulian yang serius tentang isu ini. Padahal tidak ada dasar secara sains bahwa hal tersebut dikatakan efektif untuk meredam seksualitas seseorang. Menghukum itu harus berdasarkan pemahaman akar masalah. Pertanyaannya adalah apakah sosialisasi nilai-nilai dan pendidikan seksualitas sudah berjalan dengan baik atau tidak? Menurut anda sejauh mana pentingnya pemulihan bagi korban kekerasan seksual? Mengenai reviktimisasi terhadap korban kekerasan seksual dengan mengatakan “ya kamu sih pulang malam jadi itu akibatnya” dan sebagainya, apa pendapat anda perihal itu? Memang harus ada rehabilitasi secara psikologis dan tentu harus menjadi kewajiban negara dan masyarakat, negara harus membuat fasilitas rehabilitasi psikologis dan sosiologis, psikologis saja tidak cukup. Karena meskipun ia sudah pulih secara psikologis namun label yang melekat di masyarakat bahwa ia korban kekerasan itu juga harus rekonstruksi. Korban kekerasan seksual wajib mendapatkan ruang di masyarakat dengan baik. Blaming the victim terjadi di masyarakat, sehingga rehabilitasi sosiologis jangan dilupakan. Korban yang sudah mengalami derita kok malah disalahin lagi. Misalnya dalam kasus perkosaan ternyata bukan persoalan pulang malam atau tidak, dia pakainannya terbuka atau tidak, namun persoalannya ada didalam benak pelaku. “Pakaian yang sopan” itu tidak akan menghindari orang jadi korban perkosaan. pelaku tidak peduli orang berpakaian sopan atau tidak—bahkan berhijab sekalipun—kalau sudah niat ya tetap saja dia melakukan. Tetapi jika dia tidak ada niat, melihat perempuan dengan bikini ya tetap tidak akan berpikir untuk melakukan kekerasan atau perkosaan. Pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai seksualitas dan kekerasan secara komprehensif itu jadi penting sebagai bentuk pengendalian sosial. Sejauh mana pendidikan seksual komprehensif berbasis nilai-nilai lokal berperan dalam mengakhiri kekerasan seksual? Bukan mengakhiri karena sama sekali tidak bisa berakhir, tapi mengendalikan jadi kita tau jumlahnya relatif kecil kalau sekarang saya perkirakan yang diketahui itu relatif kecil, namun yang tidak diketahui itu besar sekali, karena tidak semua korban berani melaporkan tindak kejahatan tersebut ke pihak yang berwajib ataupun melakukan konsultasi. Dengan demikian penyelenggaran pendidikan seksual komprehensif berbasis nilai-nilai lokal Indonesia menjadi salah satu solusinya. Perlu kerjasama ekstra antara penyelenggara negara dengan masyarakat sipil dan tradisional. Apakah ada fasilitas-fasilitas yang disediakan sehingga tidak orang tidak menjadi korban seperti fasilitas keamanan di transportasi publik selama 24 jam. Selain itu kemiskina juga menjadi salah satu faktor. Negara harus memelihara mereka yang di bawah garis kemiskinan, apakah negara memelihara? Banyak yang harus dilakukan untuk menata ulang struktur sosial. Kebijakan membuat RSS (Rumah Sempit Sekali) atau rumah susun itu juga perlu dipertimbangakan. Karena dengan begitu orang tua, anak maupun tamu kemungkinan besar bisa tidur di ruang yang sama. Pola interaksi sosial di indonesia juga perlu dipertimbangkan sehingga tidak menciptakan ruang untuk melakukan kekekrasan seksual. Kelihatannya hal ini tidak ada kaitannya, namun ini semua saling terkait. Sehingga harus dipikirkan secara komprehensif. Kekerasan di ruang domestik dan ruang publik. Kita harus menyadari bahwa perilaku seksual dan kekerasaan itu bisa dilakukan oleh siapa saja dan kesadaran diri untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai seksualitas menjadi penting untuk dilakukan oleh siapa saja. Kita semua bisa berperan dengan penuh tanggung jawab untuk mencegah terjadi kekerasan ini. Beriringan dengan hal itu, mekanisme pendidikan nilai-nilai tadi harus dirancang secara komprehensif oleh pemerintah, negara harus melakukan langkah konkret. Kita lihat saja siaran televisi Indonesia, apakah sudah ada praktik dan unsur pendidikan yang proporsional? Siarannya amat tidak mendidik, seperti sinetron yang penuh konflik, anak-anak remaja yang berebut laki-laki, persoalan warisan hingga pembunuhan. Hal itu amat tidak mencerminkan situasi Indonesia yang sebenarnya. Padahal kenyataanya tidak semua rumah besar seperti yang digambarkan dalam sinetron tersebut. Jika model rumah di Jakarta misalnya banya rumah susun, seharusnya juga ada metode pendidikan melalui media televisi, sinetron, film dll mengenai kenyataan hidup dan persoalan-persoalan yang harus dihadapi dan bagaimana solusinya. Tetangga kita, Singapore sudah membuat rumah susun sejak tahun 70-an. Akan ada perbedaan persoalan yang dihadapi ketika tinggal di rumah datar kemudian berpindah dengan tinggal di rumah susun. Harus ada peyelesaian yang menyeluruh. Itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran, dalam konsep besarnya revolusi mental seharusnya ada didalamnya tentang pendidikan nilai-nilai seksualitas dan kekerasan. Wawancara ini dimuat di Jurnal Perempuan Edisi 89 Vol. 21 No 2 Mei 2016 Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |