Kemunculan transportasi online di tahun 2015 telah membawa perubahan dalam aktivitas keseharian masyarakat. Transportasi online ini menawarkan kemudahan yang memanjakan pengguna telepon pintar untuk memenuhi kebutuhan hanya dengan layar sentuh. Berawal dari layanan Go-Ride yang memfasilitasi transportasi alternatif dengan menggunakan ojek, GOJEK sebagai pelopor transportasi online disambut dengan hangat. Keberhasilan GOJEK pun membawa persaingan bagi perusahaan transportasi online lain, seperti Grab dan Uber. Kehadiran bisnis transportasi online ini dapat pula dirasakan di dunia maya, ditandai dengan akun-akun bertemakan transportasi online yang mulai bermunculan dalam berbagai platform media sosial. Akun-akun ini dibentuk oleh masyarakat sebagai sarana untuk berbagi informasi, cerita, berkeluh kesah, hingga menjembatani hubungan penumpang, pengemudi, dan perusahaan. Dalam media sosial Instagram, akun-akun transportasi online ini biasanya dikenali dengan penggunaan kata kunci ‘ojol’, yang berangkat dari singkatan “ojek online” pada penamaan akunnya (username). Menariknya, akun-akun transportasi online ini memiliki beberapa kemiripan, salah satunya ialah menggunakan wacana humor pada unggahannya (posting). Wacana humor yang dibangun pada akun-akun transportasi online ini digunakan untuk membangun hubungan pemilik akun (owner) dan pengikutnya (followers). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Martineau dalam bukunya berjudul A model of the social function of humor [i] bahwa humor mampu memberikan rasa penyejukan, kesatuan, dan harapan ketika menghadapi suatu permasalahan. Lebih jauh, Crawford mengemukakan bahwa humor dapat pula menceritakan topik-topik tabu yang selama ini tidak dapat diungkapkan secara langsung, termasuk topik yang menyangkut ras, seksualitas, politik, agama, dan lain sebagainya. Sejalan dengan hal tersebut, wacana humor yang digunakan pada akun-akun transportasi online tersebut tak jarang mengobjektifikasi eksistensi perempuan melalui unggahan foto, caption, maupun komentar. Dalam hal ini, tubuh perempuan seringkali dinilai berdasarkan konsep kecantikan ideal yang berlaku dalam kehidupan sosial. Lebih jauh, Fredickson & Roberts menjelaskan bahwa objektifikasi ialah pengalaman bagaimana tubuh perempuan (ataupun bagian-bagian tubuh tertentu) dinilai secara khusus untuk digunakan oleh orang lain. Dengan adanya pengalaman objektifikasi tersebut, terjadi sosialisasi perempuan untuk menginternalisasi standar kecantikan dalam masyarakat dan menilai tubuh sendiri dengan cara pandang orang lain. Oleh karena itu, keberadaan akun-akun ini justru semakin menempatkan perempuan berada dalam posisi pasif, karena orang lain yang menentukan pemaknaan diri perempuan dan memperlakukan tubuh perempuan. Atas dasar bahwa perempuan seringkali diobjektifikasi, Nussbaum kemudian mengembangkan teori objektifkasi milik Fredickson & Roberts dengan mengidentifikasikan 7 fitur yang terbagi atas: 1) instrumentalitas (instrumentality), perlakuan terhadap seseorang sebagai alat untuk tujuan pemberi kuasa; 2) penolakan otonomi (denial of autonomy), perlakuan terhadap seseorang yang kurang otonom serta penentuan nasib sendiri; 3) kelembaman (inertness), perlakuan terhadap seseorang yang kurang agensi dan mungkin juga dalam aktivitas; 4) fungibility, perlakuan seseorang yang dapat dipertukarkan dengan objek lain, baik dengan objek yang sama maupun yang berbeda; 5) pelanggaran (violability), perlakuan terhadap seseorang yang kurang dalam integritas batas (hubungannya dapat diputus, dipukul, dan lain sebagainya); 6) kepemilikan (ownership), perlakuan terhadap seseorang sebagai sesuatu yang dimiliki oleh orang lain (dapat dibeli atau dijual); dan 7) penolakan subjektivitas (denial of subjectivity), perlakuan terhadap seseorang sebagai sesuatu yang pengalaman dan perasaannya tidak perlu diperhitungkan. Kemudian, Rae Langton menambahkan fitur-fitur objektifikasi Nussbaum tersebut, diantaranya: 1) pengurangan pada tubuh (reduction to body), yakni perlakuan terhadap seseorang seperti pengidentifikasian melalui tubuh atau bagian tubuh; 2) pengurangan pada penampilan (reduction to appearance), yakni perlakuan terhadap seseorang terutama dalam hal bagaimana mereka terlihat; dan 3) membungkam (silencing), perlakuan terhadap seseorang yang seolah-olah diam dan tidak memiliki kapasitas untuk berbicara.Pada praktiknya, fitur-fitur objektifikasi tersebut dapat dengan mudah ditemukan dalam posting Instagram akun transportasi online seperti di bawah ini. Pada unggahan di atas, caption yang digunakan yakni “Ini cara agar bola billiard tidak terkena papan reklame” dapat diklasifikasikan sebagai objektifikasi fungibility. Hal ini dikarenakan pemilik akun, sebagai seseorang yang memiliki kuasa atas akun tersebut, menyandingkan bagian tubuh payudara perempuan dengan objek (bola billiard). Caption bersifat misoginis ini kemudian ditanggapi oleh beberapa pengikutnya, seperti pada komentar pertama dan kedua yang menunjukan objektifikasi pengurangan pada penampilan dan pengurangan pada tubuh. Kalimat “segede biji ketumbar” dan “segede Amanda Cerny” merujuk pada ukuran payudara perempuan yang dikonstruksi sebagai ukuran payudara perempuan ideal. Sedangkan pada komentar ketiga, terjadi pelanggaran dan penolakan subjektivitas. Hal ini tercermin pada penggunaan kata “pelit”, yang memberikan makna bahwa tubuh perempuan pada hakikatnya boleh dinikmati oleh laki-laki. Sementara, objektifikasi penolakan subjektivitas terjadi karena pengalaman dan perasaan perempuan dalam foto tersebut tidak diperhitungkan.
Paparan akan humor-humor seksis dalam media sosial dicurigai sebagai penyebab kekerasan perempuan. Mengacu pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2019 Komnas Perempuan, terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan perempuan berbasis cyber atau dunia maya dari 65 kasus menjadi 97 kasus. Bentuk kekerasan siber tersebut diantaranya revenge porn (33%), malicious distribution (20%), cyber harassment/bullying/spamming (15%), impersonation (8%), cyber stalking/tracking (7%), cyber recruitment (4%), sexting (3%), dan cyber hacking (6%). Berdasar pada contoh di atas, maka humor seksis yang ditampilkan dalam akun transportasi online ini dapat dikategorikan sebagai cyber harassment/bullying. Selain itu, data dari CATAHU ini menunjukan pula bahwa kekerasan perempuan di dunia maya kerap terjadi melalui cara yang beragam. Selain media sosial, kekerasan perempuan pada transportasi online pun semakin ternormalisasi melalui peran media massa. Konten misoginis yang ditampilkan oleh akun-akun transportasi online ini seringkali dijadikan bahan pemberitaan. Seperti artikel berjudul “25 Potret Kocak Penumpang Ojek Online Masa Kini Bikin Ngakak” [ii] yang memuat 25 unggahan terlucu pada akun @dramaojol.id. Isi artikel ini menggambarkan bagaimana perempuan diperlakukan sebagai objek dan difungsikan sebagai pemenuh hasrat laki-laki, sesuai dengan karakteristik humor seksis. Dalam sudut pandang feminis, Sara Mills dalam Feminist Stylistic [iii] mengakui bahwa seksisme dapat berlindung di bawah wujud humor sehingga pembaca mungkin saja tanpa disadari ikut serta dalam seksisme yang tertanam dalam teks ketika ia tertawa. Humor seksis membuktikan bahwa perempuan dianggap tidak mampu menceritakan lelucon melainkan lelucon itu sendiri dan berfungsi sebagai sebuah cara untuk menegaskan padangan bias gender dalam masyarakat. Makna ganda, dalam humor seksis, seringkali digunakan dalam konteks humor untuk merasionalkan perempuan dan seksualitas mereka, yakni mengubah perempuan menjadi objek dan konsumsi laki-laki. Dengan demikian, pelaziman humor-humor seksis dalam akun transportasi online ini lantas semakin menyudutkan peran perempuan baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Di tahun 2018, beberapa kasus pelecehan dan kekerasan dialami penumpang perempuan ketika menggunakan transportasi online. Beberapa kasus tersebut diantaranya kasus yang dibagikan akun @calicochim97 melalui media sosial Twitter. Dalam kasusnya, pengemudi ojek online ini menghubunginya secara terang-terangan dan mengatakan bahwa penumpangnya telah membangkitkan gairah seksualnya [iv]. Adapula, kasus yang dialami perempuan berinisial SS pada bulan April 2018 yang hampir disiksa, disekap, dirampok, dan hampir diperkosa saat tengah menumpang GrabCar [v]. Komnas Perempuan melaporkan dua dari 406.178 laporan kasus kekerasan perempuan yang diterima merupakan kasus kekerasan berupa pelecehan dalam transportasi online. Oleh karena itu, transportasi online rentan akan kekerasan perempuan. Menanggapi hal tersebut, di awal tahun 2019, upaya perlindungan perempuan pengguna transportasi online sudah diwujudkan melalui kerjasama Komnas Perempuan dan Grab. Melalui kerjasama tersebut, Grab meluncurkan fitur seperti layanan share my ride untuk memberitahu lokasi secara real time kepada teman/keluarga selama perjalanan, tombol darurat agar dapat menghubungi kerabat dekat dalam situasi berbahaya saat melakukan perjalanan, dan penyamaran nomor telepon [vi]. Fasilitas yang serupa disediakan pula oleh GOJEK melalui fitur tombol darurat dan bagikan perjalanan [vii]. Penambahan fitur-fitur tersebut memang tidak serta merta menghapus kekerasan perempuan yang terjadi pada saat melakukan perjalanan, namun setidaknya perempuan berhak untuk mendapatkan kebebasan dan merasa aman ketika menggunakan transportasi online. Daftar Pustaka: Crawford, M. (2003). Gender and humor in social context. Journal of Pragmatics, 35, 1413-1430. Fredickson, B., & Roberts, T.-A. (1997). Objectification Theory: Toward Understanding Women's Lived Experiences and Mental Health Risks. Psychology of Women Quarterly, Vol 21 No 2, 173-206. Langton, R. (2009). Sexual solipsism: Philosophical essays on pornography and objectification. Oxford University Press, Oxford. Martineau, W. H. (1972). A model of the social function of humor. In J.H. Goldstein, & P. E. McGhee (Eds.), The psychology of humor. Academic Press, Newyork, 101-125. Mills, S. (2005). Feminist stylistics. Routledge, London. Nussbaum, M. C. (1995). Objectification. Philosophy & Public Affairs, Vol 24 No 4. Komnas Perempuan. (2019). Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2019 dari https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2019 Catatan Akhir: [i] Martineau, W. H. (1972). A model of the social function of humor. In J.H. Goldstein, & P. E. McGhee (Eds.), The psychology of humor. Newyork: Academic Press, Pdf hal 103. [ii]https://www.idntimes.com/hype/humor/zother-veregrent/potret-kocak-kelakuan-penumpang-ojek-online-c1c2 [iii] Mills, S. (2005). Feminist stylistics. London: Routledge, Pdf hal 106. [iv]https://metro.sindonews.com/read/1344644/170/viral-ojol-ini-diduga-lecehkan-penumpang-perempuan-1539022368 [v] https://www.alinea.id/nasional/taksi-online-lumbung-pelecehan-perempuan-b1U7w9e7F [vi] https://bisnis.tempo.co/read/1198824/5-langkah-grab-wujudkan-transportasi-online-aman-bagi-perempuan [vii]https://www.liputan6.com/tekno/read/3939873/prioritaskan-keamanan-pelanggan-gojek-hadirkan-inovasi-fitur-keamanan-mumpuni Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |