Winanti Praptiningsih (Karyawati Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta) [email protected] Isu tentang persoalan moralitas publik dan tubuh perempuan kembali ramai diperbincangkan. Semenjak laporan hasil riset Human Rights Watch (HRW) tentang adanya tes keperawanan dalam seleksi penerimaan Polwan di institusi Polri dilansir, polemik tentang isu ini terus bergulir. Banyak pihak merespons negatif dan menentang keras proses seleksi semacam itu. Harian Daily Mail Inggris bahkan mengulasnya secara khusus sebagai sebuah tes yang akan memberi rasa sakit dan trauma pada perempuan terutama karena mekanisme seleksi tersebut jauh dari penghargaan atas harkat dan martabat perempuan. Isu keperawanan dan terutama persoalan perempuan tidak hanya kali ini saja mencuat dan menjadi diskursus publik. Terlepas dari problem validitas, publik juga pernah digemparkan oleh sebuah hasil riset Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) pada tahun 2002 yang memaparkan temuan bahwa hampir 97,05 persen mahasiswi Yogyakarta tidak perawan. Kontroversi berkembang dari persoalan kualitas dan validitas riset sampai konten isu perempuan dan moralitas. Tahun 2012, pada sentuhan isu yang sama, sebuah hasil penelitian mahasiswa UIN, Dharma Putra dengan judul “70% Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sudah Tidak Perawan” juga pernah menimbulkan kontroversi bagi publik Yogyakarta. Pada problem serupa, kontroversi tentang isu keperawanan juga pernah mencuat di Sumatera Selatan tahun 2013 saat ada pemberitaan tentang rencana pemberlakuan tes keperawanan untuk semua siswi sekolah di kota Prabumulih. Dasar pertimbangannya dikaitkan dengan fenomena semakin maraknya perilaku seks bebas di kota tersebut. Meskipun sebatas rencana, namun isu ini telah memancing kontrovesi di masyarakat. Lagi-lagi isu menunjuk pada persoalan moralitas dan tubuh perempuan. Kenapa harus perempuan? Ada dua persoalan penting yang bisa diangkat dari kasus-kasus tersebut, pertama persoalan isu moralitas dan tubuh perempuan itu sendiri dan kedua problem epistemologi riset terkait isu-isu sensitif seperti keperawanan. Pertama, pertanyaan pentingnya adalah kenapa persoalan moralitas tersebut kerap kali dikaitkan dengan tubuh perempuan? Terlihat jelas ada kuasa wacana untuk membatasi lokus persoalan moralitas pada aspek tubuh perempuan, sehingga minim dan hampir tidak ada yang menghadirkan persoalan moralitas dengan tubuh laki-laki. Ada yang kemudian absen dan sengaja tidak dihadirkan dalam diskursus tersebut yakni tubuh laki-laki. Dalam aspek ini saja maka terlihat bahwa aturan-aturan tersebut lebih banyak akan memberi aspek penekanan kesalahan an sich pada tubuh perempuan. Seolah-olah perempuan yang harus banyak menerima beban atas setiap tanggungan kategori-kategori sosial tentang moralitas. Perempuan kemudian dipaksa untuk membiasakan diri bahwa kategori dan kriteria tentang aspek moralitas yang disematkan pada dirinya adalah sesuatu yang alamiah dan memang begitulah adanya. Moralitas itu begitu melekat dihadirkan sebagai takdir yang harus diterima begitu saja. Nalar kecenderungan itu makin bermasalah saat apa yang sejatinya menjadi persoalan privat kemudian dikonstruksikan menjadi kategori publik. Persoalan keperawanan yang sejatinya menjadi kemerdekaan milik tubuh perempuan harus ditarik menjadi persoalan moralitas publik yang kemudian diikat dalam aturan-aturan kelembagaan publik termasuk dalam hal ini adalah kuasa negara. Jika kemudian hal ini tercapai, maka sejatinya aturan-aturan itu merupakan manifestasi konkret dari represi atas tubuh perempuan. Apalagi aturan-aturan itu juga meniadakan cara berpikir yang lebih komprehensif dan berkeadilan. Kecenderungan sikap dan nalar semacam ini seharusnya mulai dihilangkan sebagai cara untuk lebih menghargai dimensi tubuh perempuan dalam makna yang sebenarnya. Problem kedua yang tidak kalah penting dan sering luput dari analisis umum adalah perspektif dalam meletakkan basis epistemik untuk melakukan berbagai riset tentang isu-isu sensitif termasuk isu perempuan. Kontroversi yang muncul bukan semata-mata persoalan lokus tematiknya, tetapi lebih jauh adalah cara pandang dalam membangun basis epistemik yang benar. Bisa dibayangkan jika temuan yang dihasilkan berangkat dari proses metodologi yang sesat dan rapuh, maka persoalan keperawanan kemudian seringkali juga hanya dilihat dalam cara pandang yang esensialis ataupun sebagai persoalan fisik semata. Cara berpikir esensialis dan positivistik seringkali luput untuk menangkap aspek yang lebih holistik seperti nilai, subjektifitas, ataupun pengalaman-pengalaman batin yang khas bagi setiap pribadi. Keperawanan bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri. Ia selalu berkait kelindan dengan seluruh aspek nilai, pengalaman dan dimensi hidup yang kompleks. Seharusnya hasil-hasil kajian tentang isu-isu sensitif seperti soal keperawanan lebih menghargai aspek-aspek tersebut. Keperawanan bukan semata telah tersobeknya selaput dara perempuan, tetapi ia adalah dimensi diskursus yang hidup terus-menerus dan berkelindan dalam dimensi pengalaman hidup manusia. Lebih jauh keperawanan bukanlah sebuah objek yang kemudian mudah ditangkap dalam nalar kuantifikasi semata seperti dalam nalar survei yang justru lebih banyak membangun penyesatan dan pengerdilan atas dimensi realitas yang sebenarnya. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |