Beberapa waktu yang lalu sebuah tayangan berita singkat di beberapa stasiun televisi swasta menjadi sorotan para pemerhati isu perempuan dan dalam waktu singkat menuai pro kontra. Razia Jilbab, begitulah headline dari berita tersebut. Kasus yang terjadi di Probolinggo, Jawa Timur ini diawali oleh imbauan pemerintah setempat bagi penduduk daerahnya yang berjenis kelamin perempuan dan beragama Islam untuk mengenakan jilbab. Dari imbauan tersebut, petugas Satpol PP Probolinggo bergerak melakukan razia di satu pusat perbelanjaan di daerah Kraksaan. Hasilnya, banyak orang yang menolak peringatan dari petugas dikarenakan tidak ada aturan atau perda yang sah mengenai aturan pemakaian jilbab di Probolinggo. Selain kasus razia jilbab, beberapa waktu yang lalu publik sempat membahas mengenai kasus tes keperawanan. Berawal dari terkuaknya praktik tes keperawanan terhadap para Polwan hingga munculnya suatu usulan dari salah satu anggota DPRD Jember mengenai pemberlakuan tes keperawanan bagi siswi SMA sebagai salah satu syarat kelulusan mereka. Yang belakangan ini kabarnya dilatarbelakangi oleh tingginya kasus HIV dan hubungan seksual di luar nikah di Jember. Bukan hanya pemerintah daerah Jember rupanya yang memiliki ide ini. Anggota pemerintah daerah Jambi, Indramayu dan Dinas Pendidikan Kota Prabumulih di Sumatera Selatan pun pernah menyuarakan gagasan yang serupa. Masalahnya adalah lagi-lagi perempuanlah yang dibatasi haknya padahal tentu dalam sebuah hubungan seksual bukan hanya perempuan yang berperan. Kedua kasus ini, baik kasus razia jilbab dan tes keperawanan baru berbentuk sebuah gagasan. Gagasan yang datangnya dari orang-orang yang tidak memahami betul mengenai gender dan hak perempuan akan tubuhnya. Berlandaskan ajaran satu atau beberapa agama dan juga dengan alasan untuk melindungi perempuan, gagasan-gagasan serupa timbul di masyarakat. Namun pada kenyataannya, perda-perda yang membatasi hak-hak perempuan ini tidak menyumbangkan hal yang positif melainkan justru hanya menambah daftar kerugian bagi perempuan. Mari kita ingat kembali beberapa peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang diberlakukan di kota Tangerang adalah salah satu perda yang terbukti diskriminatif terhadap perempuan. Salah satu pasalnya misalnya, yaitu pasal keempat ayat yang pertama menyebutkan: setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah. Bisa dibayangkan apa yang bisa dan sudah terjadi ketika perda ini mulai diberlakukan di Tangerang. Para perempuan yang masih berada di luar rumah pada malam hari dan mengenakan busana yang dianggap provokatif dapat ditangkap oleh petugas hanya berdasarkan asumsi semata. Pada kenyataannya, perda ini pernah memakan korban yaitu seorang ibu yang bekerja di sebuah rumah makan dan baru selesai bekerja pada malam hari. Ibu ini ditangkap oleh petugas meskipun ia telah menyatakan bahwa ia sudah bersuami. Kasus-kasus penangkapan lain juga terjadi dan menimpa perempuan-perempuan yang dengan alasan apapun sedang berada di luar rumah pada malam hari. Akibatnya, warga perempuan di kota Tangerang merasa resah dan juga merasa dibatasi haknya untuk bekerja dan berada di luar rumah. Selain perda diskriminatif yang diberlakukan di Tangerang, kita juga mungkin masih ingat perda larangan asusila Depok, perda syariah di Aceh, serta perda larangan asusila di Bekasi dan juga aturan bagi warga perempuannya untuk mengenakan jilbab. Tak hanya dua, ada begitu banyak peraturan-peraturan daerah yang nyatanya meminggirkan hak-hak perempuan. Pada tahun 2014, Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari 300 perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan di Indonesia. Keberadaan perda-perda ini tentunya melanggar aturan yang secara kedudukan lebih tinggi ketimbang perda yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1984. Undang-undang yang merupakan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) ini mengikat Indonesia dengan kewajiban untuk membentuk dan mengawasi hukum yang diberlakukan di dalam negeri agar tidak bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Ini berarti negara Indonesia seharusnya menjamin persamaan hak dan turut mendukung pemberdayaan masyarakatnya yang berjenis kelamin perempuan. Jika terdapat undang-undang atau peraturan yang ternyata mendiskriminasi perempuan maka seharusnya pemerintah mencari solusi atau mengambil tindakan agar undang-undang atau peraturan tersebut tidak lagi merugikan kaum perempuan. Sayang pada kenyataannya jumlah perda yang mendiskriminasi perempuan bukannya menurun melainkan justru meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Kembali lagi pada dua kasus diskriminasi yang sedang ramai yaitu tes keperawanan dan razia jilbab. Membicarakan diskriminasi terhadap perempuan seringkali tidak berhenti pada satu titik. Ketika kita membicarakan tes keperawanan dan razia jilbab, kita tidak hanya membicarakan hak perempuan akan tubuhnya yang dilanggar. Kala kita membicarakan razia jilbab atau pengaturan busana bagi perempuan, kita juga melihat risiko keamanan bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab atau busana seusai ketentuan. Dalam kasus tes keperawanan, kita juga dapat membayangkan risiko perempuan yang hak akan pendidikannya terancam dicabut. Belum lagi trauma psikologis yang mungkin diderita oleh mereka yang harus menjalani tes tersebut (mengingat para Polwan, yang secara umur sudah jauh lebih matang ketimbang remaja seumuran SMA atau SMP, yang ketakutan bahkan pingsan ketika menjalani tes tersebut). Ratusan perda diskriminatif yang telah telanjur disahkan oleh pemerintah-pemerintah di berbagai daerah pada mulanya juga berawal dari gagasan segelintir “wakil rakyat” yang tidak memiliki perspektif gender. Berawal dari gagasan kemudian menjadi imbauan lalu diterapkan dalam bentuk razia atau sosialisasi hingga pada akhirnya dirapatkan dan menjadi sebuah produk hukum. Dalam waktu setahun tanpa terasa puluhan perda baru yang semakin mempersempit ruang gerak perempuan dicetak. Razia jilbab maupun tes keperawanan adalah kasus lama yang telah muncul berulang-ulang. Ini menunjukkan bahwa kursi-kursi pemerintah daerah membutuhkan orang-orang dengan perspektif gender yang benar dan mengerti betul bagaimana merumuskan kebijakan yang tidak mendiskriminasi warga perempuan yang memercayakan suaranya pada mereka. Kasus-kasus ini juga seharusnya menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk tidak memandang remeh gagasan konyol yang sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi aturan hukum yang mengikat. Daftar Pustaka Luluhima, Achie Sudarti (ed.). 2007. Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ihromi, T.O., Irianto, S., dan Luhulima, A.S. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Penerbit Alumni. http://video.viva.co.id/read/38644-tanpa-payung-hukum--probolinggo-gelar-razia-jilbab_1 http://www.lbh-apik.or.id/perda%20tangerang.htm http://news.metrotvnews.com/read/2015/02/07/355021/dprd-jember-usulkan-tes-keperawanan-syarat-kelulusan-siswa http://icrp-online.org/2014/03/03/komnas-perempuan-dorong-judicial-review-perda-diskriminatif-gender/ http://www.leimena.org/en/page/v/578/contoh-kasus-akibat-perda-diskriminatif
unyil
20/10/2015 12:24:24 pm
JILBAB MENURUT BUYA HAMKA (Pendiri/Ketua MUI ke-1, Tokoh Ulama Besar Muhammadiyah), yang ditentukan oleh agama adalah Pakaian yang Sopan dan menghindari 'Tabarruj'
unyil
31/10/2015 09:10:26 pm
"Antara Syari'ah dan Fiqh Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |