Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
Wacana Feminis

Razia Jilbab, Tes Keperawanan dan Perda Diskriminatif: Kekonyolan yang Tak Bisa Dibiarkan

23/2/2015

 
Johanna G.S.D. Poerba 
(Mahasiswi Prodi Ilmu Sejarah, FIB, UI)
[email protected]
PictureDok. Pribadi
Beberapa waktu yang lalu sebuah tayangan berita singkat di beberapa stasiun televisi swasta menjadi sorotan para pemerhati isu perempuan dan dalam waktu singkat menuai pro kontra. Razia Jilbab, begitulah headline dari berita tersebut. Kasus yang terjadi di Probolinggo, Jawa Timur ini diawali oleh imbauan pemerintah setempat bagi penduduk daerahnya yang berjenis kelamin perempuan dan beragama Islam untuk mengenakan jilbab. Dari imbauan tersebut, petugas Satpol PP Probolinggo bergerak melakukan razia di satu pusat perbelanjaan di daerah Kraksaan. Hasilnya, banyak orang yang menolak peringatan dari petugas dikarenakan tidak ada aturan atau perda yang sah mengenai aturan pemakaian jilbab di Probolinggo.

Selain kasus razia jilbab, beberapa waktu yang lalu publik sempat membahas mengenai kasus tes keperawanan. Berawal dari terkuaknya praktik tes keperawanan terhadap para Polwan hingga munculnya suatu usulan dari salah satu anggota DPRD Jember mengenai pemberlakuan tes keperawanan bagi siswi SMA sebagai salah satu syarat kelulusan mereka. Yang belakangan ini kabarnya dilatarbelakangi oleh tingginya kasus HIV dan hubungan seksual di luar nikah di Jember. Bukan hanya pemerintah daerah Jember rupanya yang memiliki ide ini. Anggota pemerintah daerah Jambi, Indramayu dan Dinas Pendidikan Kota Prabumulih di Sumatera Selatan pun pernah menyuarakan gagasan yang serupa. Masalahnya adalah lagi-lagi perempuanlah yang dibatasi haknya padahal tentu dalam sebuah hubungan seksual bukan hanya perempuan yang berperan.

Kedua kasus ini, baik kasus razia jilbab dan tes keperawanan baru berbentuk sebuah gagasan. Gagasan yang datangnya dari orang-orang yang tidak memahami betul mengenai gender dan hak perempuan akan tubuhnya. Berlandaskan ajaran satu atau beberapa agama dan juga dengan alasan untuk melindungi perempuan, gagasan-gagasan serupa timbul di masyarakat. Namun pada kenyataannya, perda-perda yang membatasi hak-hak perempuan ini tidak menyumbangkan hal yang positif melainkan justru hanya menambah daftar kerugian bagi perempuan. Mari kita ingat kembali beberapa peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.

Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang diberlakukan di kota Tangerang adalah salah satu perda yang terbukti diskriminatif terhadap perempuan. Salah satu pasalnya misalnya, yaitu pasal keempat ayat yang pertama menyebutkan: setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah. Bisa dibayangkan apa yang bisa dan sudah terjadi ketika perda ini mulai diberlakukan di Tangerang. Para perempuan yang masih berada di luar rumah pada malam hari dan mengenakan busana yang dianggap provokatif dapat ditangkap oleh petugas hanya berdasarkan asumsi semata. Pada kenyataannya, perda ini pernah memakan korban yaitu seorang ibu yang bekerja di sebuah rumah makan dan baru selesai bekerja pada malam hari. Ibu ini ditangkap oleh petugas meskipun ia telah menyatakan bahwa ia sudah bersuami. Kasus-kasus penangkapan lain juga terjadi dan menimpa perempuan-perempuan yang dengan alasan apapun sedang berada di luar rumah pada malam hari. Akibatnya, warga perempuan di kota Tangerang merasa resah dan juga merasa dibatasi haknya untuk bekerja dan berada di luar rumah.

Selain perda diskriminatif yang diberlakukan di Tangerang, kita juga mungkin masih ingat perda larangan asusila Depok, perda syariah di Aceh, serta perda larangan asusila di Bekasi dan juga aturan bagi warga perempuannya untuk mengenakan jilbab. Tak hanya dua, ada begitu banyak peraturan-peraturan daerah yang nyatanya meminggirkan hak-hak perempuan. Pada tahun 2014, Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari 300 perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan di Indonesia. Keberadaan perda-perda ini tentunya melanggar aturan yang secara kedudukan lebih tinggi ketimbang perda yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1984. Undang-undang yang merupakan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) ini mengikat Indonesia dengan kewajiban untuk membentuk dan mengawasi hukum yang diberlakukan di dalam negeri agar tidak bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Ini berarti negara Indonesia seharusnya menjamin persamaan hak dan turut mendukung pemberdayaan masyarakatnya yang berjenis kelamin perempuan. Jika terdapat undang-undang atau peraturan yang ternyata mendiskriminasi perempuan maka seharusnya pemerintah mencari solusi atau mengambil tindakan agar undang-undang atau peraturan tersebut tidak lagi merugikan kaum perempuan. Sayang pada kenyataannya jumlah perda yang mendiskriminasi perempuan bukannya menurun melainkan justru meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun.

Kembali lagi pada dua kasus diskriminasi yang sedang ramai yaitu tes keperawanan dan razia jilbab. Membicarakan diskriminasi terhadap perempuan seringkali tidak berhenti pada satu titik. Ketika kita membicarakan tes keperawanan dan razia jilbab, kita tidak hanya membicarakan hak perempuan akan tubuhnya yang dilanggar. Kala kita membicarakan razia jilbab atau pengaturan busana bagi perempuan, kita juga melihat risiko keamanan bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab atau busana seusai ketentuan. Dalam kasus tes keperawanan, kita juga dapat membayangkan risiko perempuan yang hak akan pendidikannya terancam dicabut. Belum lagi trauma psikologis yang mungkin diderita oleh mereka yang harus menjalani tes tersebut (mengingat para Polwan, yang secara umur sudah jauh lebih matang ketimbang remaja seumuran SMA atau SMP, yang ketakutan bahkan pingsan ketika menjalani tes tersebut).

Ratusan perda diskriminatif yang telah telanjur disahkan oleh pemerintah-pemerintah di berbagai daerah pada mulanya juga berawal dari gagasan segelintir “wakil rakyat” yang tidak memiliki perspektif gender. Berawal dari gagasan kemudian menjadi imbauan lalu diterapkan dalam bentuk razia atau sosialisasi hingga pada akhirnya dirapatkan dan menjadi sebuah produk hukum. Dalam waktu setahun tanpa terasa puluhan perda baru yang semakin mempersempit ruang gerak perempuan dicetak. Razia jilbab maupun tes keperawanan adalah kasus lama yang telah muncul berulang-ulang. Ini menunjukkan bahwa kursi-kursi pemerintah daerah membutuhkan orang-orang dengan perspektif gender yang benar dan mengerti betul bagaimana merumuskan kebijakan yang tidak mendiskriminasi warga perempuan yang memercayakan suaranya pada mereka. Kasus-kasus ini juga seharusnya menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk tidak memandang remeh gagasan konyol yang sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi aturan hukum yang mengikat.

Daftar Pustaka 

Luluhima, Achie Sudarti (ed.). 2007. Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ihromi, T.O., Irianto, S., dan Luhulima, A.S. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Penerbit Alumni.

http://video.viva.co.id/read/38644-tanpa-payung-hukum--probolinggo-gelar-razia-jilbab_1

http://www.lbh-apik.or.id/perda%20tangerang.htm

http://news.metrotvnews.com/read/2015/02/07/355021/dprd-jember-usulkan-tes-keperawanan-syarat-kelulusan-siswa

http://icrp-online.org/2014/03/03/komnas-perempuan-dorong-judicial-review-perda-diskriminatif-gender/

http://www.leimena.org/en/page/v/578/contoh-kasus-akibat-perda-diskriminatif

unyil
20/10/2015 12:24:24 pm

JILBAB MENURUT BUYA HAMKA (Pendiri/Ketua MUI ke-1, Tokoh Ulama Besar Muhammadiyah), yang ditentukan oleh agama adalah Pakaian yang Sopan dan menghindari 'Tabarruj'

Berikut adalah kutipan Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA (selengkapnya lebih jelas dan tegas dapat dibaca pada Tafsir Al-Azhar, khususnya beberapa Ayat terkait, yakni Al-Ahzab: 59 dan An-Nuur: 31):

'Nabi kita Muhammad saw. Telah mengatakan kepada Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq demikian,

"Hai Asma! Sesungguhnya Perempuan kalau sudah sampai masanya berhaidh, tidaklah dipandang dari dirinya kecuali ini. (Lalu beliau isyaratkan mukanya dan kedua telapak tangannya)!"

Bagaimana yang lain? Tutuplah baik-baik dan hiduplah terhormat.

Kesopanan Iman

Sekarang timbullah pertanyaan, Tidakkah Al-Qur'an memberi petunjuk bagaimana hendaknya gunting pakaian?

Apakah pakaian yang dipakai di waktu sekarang oleh perempuan Mekah itu telah menuruti petunjuk Al-Qur'an, yaitu yang hanya matanya saja kelihatan?

Al-Qur'an bukan buku mode!

Islam adalah anutan manusia di Barat dan di Timur. Di Pakistan atau di Skandinavia. Bentuk dan gunting pakaian terserahlah kepada umat manusia menurut ruang dan waktunya.

Bentuk pakaian sudah termasuk dalam ruang kebudayaan, dan kebudayaan ditentukan oleh ruang dan waktu ditambahi dengan kecerdasan.

Sehingga kalau misalnya perempuan Indonesia, karena harus gelombang zaman, berangsur atau bercepat menukar kebaya dengan kain batiknya dengan yurk dan gaun secara Barat, sebagaimana yang telah merata sekarang ini, Islam tidaklah hendak mencampurinya.

Tidaklah seluruh pakaian Barat itu ditolak oleh Islam, dan tidak pula seluruh pakaian negeri kita dapat menerimanya.

Kebaya model Jawa yang sebagian dadanya terbuka, tidak dilindungi oleh selendang, dalam pandangan Islam adalah termasuk pakaian "You can see" juga.

Baju kurung cara-cara Minang yang guntingnya sengaja disempitkan sehingga jelas segala bentuk badan laksana ular melilit, pun ditolak oleh Islam.'

(Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, Hal. 295, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015)

MENGENAL (KEMBALI) BUYA HAMKA

Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA
mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

Hujjatul Islam: Buya HAMKA
republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/12/m2clyh-hujjatul-islam-buya-hamka-ulama-besar-dan-penulis-andal-1

Biografi Ulama Besar: HAMKA
muhammadiyah.or.id/id/artikel-biografi-pujangga-ulama-besar-hamka--detail-21.html

Mantan Menteri Agama H. A. Mukti Ali mengatakan, "Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri."

kemenag.go.id/file/dokumen/HAMKA.pdf

"Buya HAMKA adalah tokoh dan sosok yang sangat populer di Malaysia. Buku-buku beliau dicetak ulang di Malaysia. Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA merupakan bacaan wajib."

disdik.agamkab.go.id/berita/34-berita/1545-seminar-internasional-prinsip-buya-hamka-cermin-kekayaan-minangkabau

"Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), berpendapat bahwa lengan dan separuh bagian bawah betis perempuan tak menjadi bagian dari aurat yang harus ditutupi."

(Islam Nusantara, Hal. 112, Penerbit Mizan, 2015)

"orang puritan sebagai mayoritas di Muhammadiyah, Jilbab bukan sesuatu yang wajib" KOMPAS, Senin 30 November 2009 Oleh AHMAD NAJIB BURHANI, Peneliti LIPI

www.academia.edu/7216467/100_Tahun_Muhammadiyah

"Sebab itu, menjadi pilihan pribadi masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama: memakai, atau tidak memakai jilbab."

nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,48516-lang,id-c,kolom-t,Polwan+Cantik+dengan+Berjilbab-.phpx

"Jika mau jujur dan mau membaca, pada zaman Kalifah Umar Bin Khatab seorang budak perempuan kedapatan mengenakan jilbab. ‘Umar pun marah besar dan melarang seluruh budak perempuan untuk memakai Jilbab. Lebih jauh lagi pelarangan Umar itu diungkapkan lebih eksplisit dalam kitab Al-Mughni Ibnu Qudamah."

mojok.co/2014/12/jilbab-rini-soemarno-dan-khalifah-umar

"Kerudung dalam Tradisi Yahudi & Kristen

tidak menutup kepalanya karena rambut yang tidak tertutup dianggap “telanjang". Dr Brayer juga mengatakan bahwa "Selama masa Tannaitic, wanita Yahudi yang tidak menggunakan penutup kepala dianggap penghinaan terhadap kesopanannya."

mediaumat.com/kristologi/1901-41-kerudung-dalam-tradisi-yahudi-a-kristen.html

"KH. Agus Salim, dalam Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) tahun 1925 di Yogyakarta menyampaikan ceramah berjudul Tentang Pemakaian Kerudung dan Pemisahan Perempuan

Tindakan itu mereka anggap sebagai ajaran Islam, padahal, menurut Salim, praktek tersebut adalah tradisi Arab dimana praktek yang sama dilakukan oleh Agama Nasrani maupun Yahudi."

komnasperempuan.or.id/2010/04/gerakan-perempuan-dalam-pembaruan-pemikiran-islam-di-indonesia

"Antara Syari'ah dan Fiqh

(a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)

Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak, adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah

unyil
31/10/2015 09:10:26 pm

"Antara Syari'ah dan Fiqh

(a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)

Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak, adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat.

Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya."

*Nadirsyah Hosen, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Fiqh.html

Terdapat tiga MUSIBAH BESAR yang melanda umat islam saat ini:
1. Menganggap wajib perkara-perkara sunnah.
2. Menganggap pasti (Qhat'i) perkara-perkara yang masih menjadi perkiraan (Zhann).
3. Mengklaim konsensus (Ijma) dalam hal yang dipertentangkan (Khilafiyah).

*Syeikh Amru Wardani. Majlis Kitab al-Asybah wa al-Nadzair. Hari Senin, 16 September 2013

www.suaraalazhar.com/2015/05/tiga-permasalahan-utama-umat-saat-ini.html

Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA, "paling konsisten memperjuangkan Syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, HAMKA mengusulkan agar dalam Sila Pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang 'kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya', sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta."

mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

*bila kelak ada yang berkata atau menuduh dan fitnah Buya HAMKA: Sesat dan menyesatkan, Syiah, Liberal, JIL, JIN, SEPILIS atau tuduhan serta fitnah keji lainnya (hanya karena ijtihad Beliau mungkin tidak sesuai dengan trend/tradisi saat ini), maka ketahuilah dan ada baiknya cukupkan wawasan terlebih dahulu, bahwa dulu Beliau sudah pernah dituduh sebagai Salafi Wahabi (yang notabene identik dengan Arab Saudi). "Teguran Suci & Jujur Terhadap Mufti Johor: Sebuah Polemik Agama" #HAMKA #MenolakLupa


Comments are closed.

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    September 2021
    July 2021
    June 2021
    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024