Nadya Karima Melati (Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Indonesia) [email protected] Under the surface her body is curled, seed of the one race, shell of the world. She is the waterfall, she is the womb, she is the bubble, she is the tomb. Her hair flows upward, blood red of the birth. Her arms are folded deep into the earth. She is the fern, she is the bark, she is the lantern, she is the dark. Her eyes burn the flame of the old and the young. Her breath is the name of each branch of each lung. She is the ingredient. She is the blend. She is the beginning. She is the end. (UNBORN – Jay Woodman) Rahim dianggap tidak terlalu pernting seperti jantung yang memompa darah keseluruh tubuh, rahim juga tidak mengolah oksigen ataupun mengatur implus dan gerak, rahim bahkan tidak membantu mengeluarkan racun dari dalam tubuh kita. Rahim dianggap sebagai organ tubuh kelas dua. Padahal dari rahimlah kita semua berasal. Beberapa dari kita sadar pentingnya rahim, memujanya dan menghargainya. rahim dipuja sekaligus dikutuk. Rahim menjadi lebih dari sekedar tabung kehidupan. Perempuan, diidentikan pada rahim kemudian. Rahim yang membuat perempuan berharga sekaligus dihina. Membuat dia merdeka sekaligus dikekang. Karena rahimnya yang dianggap rentan, ia disimpan dirumah, tubuh pembungkus rahim itu diatur sedemikian rupa. Ada pemujaan terhadap rahim yang mewujud pada ketakutan terhadap rahim dan tubuh manusia yang membungkusnya. Rahim lebih dari sekedar benda biologis, hal tersebut yang berusaha diungkapkan Dewi Candraningrum dalam Pameran Seni Rupa yang dilangsungkan di Sangkring Art Space, Bantul. Yogyakarta. Dewi Candraningrum dikenal sebagai ekofeminis. Ekofeminisme adalah gerakan perempuan yang memperjuangkan bumi (earth) sebagai ibu dan padanya kita berasal serta kembali. Tanah dalam ekofeminisme dianggap sebagai wujud representasi tubuh perempuan yang ditindas dan dieksploitasi oleh struktur patriarki dan kapitalisme[1]. Bagi Dewi Rahim tidak hanya benda biologis pada tubuh perempuan. rahim adalah adalah tanda cinta dan pengetahuan. Rahim menjadi lebih dari sekedar biologis tapi juga kultural, hal tersebut yang disampaikan Dewi dalam tiap karya seninya. Pameran tersebut terdiri dua jenis karya seni rupa Dewi yaitu sketsa Arang dan lukisan dari arkilik yang berjenis self potrait. Semua dirajut dengan benang berjudul Dokumen Rahim. Sesuai judulnya, Dewi ingin memaparkan bagaimana bila rahim (biologis dan kultural) bisa diajak diskusi. Ada babak Bitches! yang merupakan kumpulan lukisan self potrait para perempuan yang menyumbangkan pengetahuan pada ilmu Feminisme yang digelutinya selama ini sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Perempuan. Lukisan para perempuan tak terkecuali potret diri Dewi yang dilukisnya sendiri dalam paduan warna sederhana cat akrilik mampu mewakili emosi dan perasaan Dewi sebagai pelukis maupun para perempuan yang menjadi objek lukisannya. Kemudian kita bisa berjalan beberapa langkah dan melihat babak Senggama terdapat setidaknya tiga sketsa arang dengan warna hitam garis-garis kuat dan tegas menggambaran setiap lekukan dalam berhubungan seks. Sketsa tubuh perempuan juga tidak luput menjadi objek guratan Dewi. Ada rasa erotis, ada rasa takjub, dan hangat ketika mengetahui ternyata Dewi baru sekitar dua tahun menggeluti sketsa dan setahun untuk mulai melukis. Rahim biologis disini bicara melalui tangan Dewi bagaimana ia selalu diperlakukan. Tubuh yang dianggap aib, ketika pasangan homoseks yang bersenggama dan tidak ada rahim biologis yang ikut serta, dianggap tabu dan menjijikan bagi masyarakat patriarkis, ketika lekuk tubuh perempuan dibungkus dan rambutnya yang panjang seperti sungai mampu menimbulkan birahi karena terdapat rahim biologis menempel sebagai objek. Mirip dengan babak Tubuh Ekologi memerkan sketsa dengan arang tubuh-tubuh perempuan sebagai bumi. Disini kita akan mulai melihat perluasan makna rahim bagi Dewi. Rahim yang menjadi pula sumber kehidupan dan harapan kedamaian melalui Dunya. Semakin beranjak menuju babak baru ada Lelaki Rahim, disini sisi rahim kultural terkuak. Bahwa rahim bukanlah atribut keperempuanan saja. Rahim bukan syarat menjadi perempuan. rahim adalah kasih sayang dan pengetahuan. Rahim juga perjuangan. Kepemilikan rahim tidak terbatas gender. Dalam babak Lelaki Rahim paduan arkilik merangkai potret Jesus, Wiji Tukhul, Putu Sutawijaya, bahkan anak semata wajang Dewi, Ivan Ufuq Isfahan. Mari kita berterimakasih kepada Ivan, karena Ivan anak laki-laki yang mengidap Autis ini telah melahirkan Dewi Candraningrum sebagai pelukis. Dewi sebagai pelukis dilahirkan dari rahim Ivan. Melukis bukan sekedar kesenangan atau passion, melukis menjadi salah satu bentuk bentuk sayangnya kepada Ivan yang ditinggal ayahnya. Rahim melahirkan pengetahuan dan kasih sayang. Makna sempit rahim secara biologis dan kutukan dari kepemilikan rahim terkuak dalam lukisan-lukisan Dewi dalam babak selanjutnya, Daughters from Zambia dan After the Rape dalam kedua babak ini Dewi memaparkan kutukan rahim yang umpatkan patriarki. Anak-anak perempuan di Zambia dibelenggu HIV dan sunat perempuan yang menjadi pintu gerbang kematian mereka. After The Rape menangkap bagaimana emosi dan ekspresi anak-anak korban pemerkosaan dalam balutan arkilik dua dimensi diatas kanvas yang digambarkan Dewi. Ada malu, ada sedih, ada kecewa dari setiap rupa wajah yang dilukis Dewi, Ada rahim yang mewujud luka. Dialog dengan rahim oleh Dewi ini itutup dengan sketsa arang bertema kemben Jawa dan beberapa karya lukisan Dewi yang menjadi sampul buku dan sampul Jurnal Perempuan. Ada rasa yang menjadi ciri khas pelukis pada setiap karya yang dilahirkannya. Bagi saya, kesan yang ditorehkan Dewi pada setiap lukisannya berciri lugas dan kasih sayang. Serupa dengan cinta kasih seorang ibu yang terkadang memarahi anaknya karena sayang. Ada keberanian memainkan warna-warna sederhana. Ada kasih sayang ditiap polesan cat diatas kanvas. Dewi mendekonstruksi makna rahim melalui lukisan dan sketsanya. Bagi saya, Dokumen Rahim adalah dokumentasi kasih sayang. Catatan Belakang: [1]Shiva, Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminism: Prespektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |