Praktik perkawinan anak, baik di wilayah perkotaan maupun di wilayah perdesaan, pada dasarnya sama-sama tidak dibenarkan dan berbahaya terhadap kesehatan reproduksi. Namun, pada tulisan ini saya ingin mengulas bahaya perkawinan anak di wilayah perdesaan seturut dengan pengamatan saya pada masyarakat perdesaan di Kalimantan Barat. Pada tahun 2016 lalu, saya melakukan kajian terhadap perkawinan anak perempuan yang terjadi seturut dengan adat Dayak Mali di Kalimantan Barat. Secara singkat dapat saya simpulkan bahwa adat masyarakat Dayak Mali memperbolehkan perkawinan anak terjadi pada lingkup komunitas mereka. Bahkan tidak ada batasan umur yang diatur secara adat. Anak perempuan yang sudah mengalami menstruasi pertama bahkan diperbolehkan untuk menjalani perkawinan. Masih banyak masyarakat adat di Indonesia yang masih melakukan praktik perkawinan anak, artinya mereka tidak mempertimbangkan usia anak, khususnya anak perempuan untuk dinikahkan. Bahwasannya penting bagi pembaharuan hukum adat di Indonesia, agar usia perkawinan anak perempuan tidak boleh di bawah umur. Bahkan UU Perkawinan di Indonesia yang memperbolehkan usia anak perempuan minimal 16 tahun, tidak bisa menjadi acuan. Data Badan Pusat Statistik tahun 2016 yang bekerjasama dengan UNICEF mencatat bahwa perkawinan anak paling banyak terjadi pada masyarakat perdesaan, dengan prevalensi angka 27,11 persen perkawinan anak terjadi di perdesaan dan 17,09 persen perkawinan anak terjadi di perkotaan (CNN Indonesia). Biasanya masyarakat tidak peduli dengan persoalan yang muncul kemudian, dengan dalih anak laki-laki dan perempuan yang dinikahkan "suka sama suka", "kedua belah pihak tidak keberatan", "mereka sama saling cinta", dan dalih lainnya. Artinya, jika anak-anak yang menikah dengan adanya persetujuan, berarti diperbolehkan menikah. Dalam perspektif perlindungan anak, anak (dibawah 18 tahun) harus dilihat bahwa mereka belum memiliki kematangan seperti orang dewasa (baik secara psikologis dan biologis). Sayangnya aspek ini sama sekali tidak dilihat pada perkawinan secara adat di wilayah perdesaan. Kerentanan Anak Mengalami Eksploitasi Seksual Perkawinan anak menyisakan luka mendalam bagi anak-anak perempuan yang ada di perdesaan. Sangat bohong besar jika anak-anak yang dinikahkan begitu saja tidak mengalami tekanan ketika menjalani rumah tangga; menjadi istri, menjadi menantu, menjadi ibu rumah tangga, menjadi pencari nafkah bagi keluarga, menjadi ibu bagi anak, dan berbagai peran lainnya sekaligus. Padahal merka masih seorang anak. Saya menyaksikan sendiri, di wilayah desa yang masih kental dengan adat, perempuan masih tabu jika keluar rumah bersama laki-laki yang bukan keluarganya. Jika ada yang melanggar itu, dan ketahuan, maka perempuan dan laki-laki yang bersamanya, akan dinikahkan paksa. Anak-anak perempuan yang dinikahkan paksa, maupun dinikahkan dengan persetujuan, merupakan korban perkawinan anak. Anak yang menikah, tidak dapat disebut sebagai hubungan saling suka, hubungan cinta, atau apapun itu. Apabila terdapat orang dewasa yang melakukan pendekatan secara seksual, baik dengan penganiayaan fisik ataupun tidak melalui manipulasi nonfisik, anak dengan perkembangan kognitif, moral, emosional, dan seksual yang masih terbatas, tidak dapat berpikir rasional dan tidak dapat menolak pendekatan seksual tersebut (Kordi K., 2015). Oleh karena itu, setiap kontak seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anak harus dianggap dengan sendirinya sebagai bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual. Harus digarisbawahi bahwa, orang dewasa yang mengencani, bahkan menikahi anak-anak merupakan suatu bentuk penyimpangan pedofilia. Namun, sayangnya, jika laki-laki dewasa menikahi anak dengan sah, maka tidak dapat dituntut pidana. Artinya adalah bahwa dapat dikatakan lembaga perkawinan dapat dikatakan sebagai bentuk terorganisir yang membahayakan anak, yaitu bahwa perkawinan sah, merupakan jalan bagi adanya eksploitasi seksual anak (secara sah pula). Kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan serius. Kejahatan ini mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, keamanan, ketenteraman (Wijawa dan Ananta, 2016). Dalam hal ini definisi anak menurut UU No. 23 tentang perlindungan anak) adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas tahun). Artinya perempuan dibawah umur 18 tahun adalah kategori anak, yang semestinya tidak boleh dinikahkan dan/atau menikah. Namun, UU Perkawinan menyebutkan bahwa batas usia minimal menikah perempuan adalah 16 tahun, yang artinya masih anak-anak. Dilematikanya ada di sana, bahwa negara kita sendiri melegalkan perkawinan anak. Paradoks Cinta atau “suka sama suka” Alasan klasik dan tak bermutu suatu masyarakat tidak berdaya mencegah perkawinan anak di perdesaan adalah karena “mereka suka sama suka”, atau “mereka saling cinta”. Paradoksal cinta menjadi kambing hitam atas perkawinan anak yang terjadi dalam suatu masyarakat. Meski beberapa ahli berpendapat bahwa cinta akan bermanfaat bagi kesehatan fisik, demikian sebaliknya kesepian akan mempersingkat masa hidup seseorang (Esch&Stefano, 2005; Loving&Slatcher, 2013; Diamond, Hick&Otter-Henderson, 2008; Brooks, Robles&Schetter, 2011, dalam Takwin, 2018). Paradoks cinta atau “suka sama suka” semestinya kita hilangkan jika ingin memerangi perkawinan anak. Lembaga adat atau lainnya tidak boleh lagi gunakan kata itu untuk memberi toleransi terhadap perkawinan anak. Sama sekali, cinta tidak dapat dijadikan alasan di balik perkawinan anak yang terjadi. Bagaimana membawa kesehatan fisik, sebaliknya akan membawa penghancuran fisik (seksual) terhadap anak perempuan. Lebih dari itu, masa depan anak perempuan yang sudah menjadi istri akan terkekang pada sebuah keluarga (yang bagi saya semu). Hal itu yang tersingkap dalam rahasia terbesar krisis pernikahan modern. Cukup dengan menunjukkan bahwa cinta bagi masyarakat modern hanyalah sebuah produk nafsu (Rougemont, 1949). Sudah semestinya kita hentikan argument palsu tentang “CINTA” atas nafsu-nafsu yang membawa penderitaan bagi anak-anak perempuan. Perlu ada pengkajian ulang tentang makna “suka sama suka”, bahwasannya tidak ada cinta yang bermakna penghancuran hidup (biologis dan psikologis) seorang anak. Tetapi itu terjadi pada masyarakat kita, dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak berbahaya. Artinya adalah tidak ada alasan saling cinta, saling suka pada anak-anak yang belum dewasa (matang secara secara seksual dan psikologis) untuk dinikahkan atau melakukan perkawinan. Mari kita sebut perkawinan anak yang terjadi dan berkepanjangan sebagai nafsu, bukan cinta, sama sekali bukan. Terlebih lagi berkenaan dengan hubungan seksual, namun saya tidak akan mengatakan bahwa nafsu melulu tentang seksual, tidak. Ketika kita bicarakan soal nafsu, sedapat mungkin nafsu terus mencari penderitaan. Nafsu akan melahirkan siksaan bukan kebahagiaan. Berbahayanya adalah nafsu dapat bersembunyi di balik cinta. Rougemont (1949) menyebutkan bahwa nafsu menginsprirasi orang untuk mati di bawah citra yang ia cintai, yang sebenarnya ia juga tidak tahu pasti apakah ia akan mencintai orang itu ketika telah hidup bersama. Pada kenyataannya, cinta yang berselarung nafsu akan melahirkan penindasan, dan tanpa dipungkiri perempuan adalah korbannya. Dan sampai hari inipun, dalam bentuk populernya yang santun, nafsu membawa jutaan pernikahan pada ambang kehancuran. Hal ini berlaku umum, terlebih pada perkawinan anak. Saya mengutip satu pernyataan Javier Perez De Cuellar, mantan Sekjen PBB, berikut: “Cara suatu masyarakat memperlakukan anak, tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba, hasrat untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga mencerminkan kepekaannya akan rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi penerus bangsanya”. Daftar Pustaka: ______. Pernikahan Usia Anak Masih Marak di Indonesia. Diakses tanggal 3 Juni 2018, dari: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160723074431-277-146515/pernikahan-usia-anak-masih-marak-di-indonesia Kordi, K. M. G. (2015). Durhaka Kepada Anak; Refleksi Mengenai Hak dan Perlindungan Anak. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. Rougemont, D. (1949). Krisis Pasangan Modern. (dalam Antologi Anatomi Cinta, M. Krich (ed.), 2009). Jakarta: Komunitas Bambu. Takwin, B. Cinta, Proyek Eksistensial, dan Pencarian Kebenaran. Jurnal Perempuan. Edisi 98, (2018), Hal. 77-93. Wijaya, A., & Ananta, W. P. (2016). Darurat Kejahatan Seksual. Jakarta: Sinar Grafika. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |