Menjadi perempuan yang lahir di tanah Sunda tentulah mempunyai tantangan tersendiri. Sunda yang religius dan sebagian besar penduduknya muslim menyebabkan tata cara hidup di Sunda berdasarkan agama mayoritas yaitu Islam. Perempuan di Sunda adalah makhluk mayoritas. Jika kita membaca ulang sejarah, perempuan Sunda mendapat tempat yang luhur, sebut saja Dayang Sumbi. Ibunda Sangkuriang ini menjadi tokoh sentral di cerita legenda Jawa Barat. Dayang Sumbi mempunyai harga diri yang kuat juga yakin akan kebenaran pendiriannya mampu menolak Sangkuriang dengan caranya. Ada pula Purbasari, sosok putri yang cantik lahir batin. Jika dua tokoh dalam sastra Sunda tersebut Sangkuriang dan Purbasari merupakan tokoh imajiner, saya akan tampilkan tokoh perempuan Sunda yang riil yakni Dewi Sartika. Siapa yang tak mengenal Dewi Sartika? Perempuan Sunda asli yang kala itu dengan gagah berani berpikir mengenai kaumnya. Pergerakan Dewi Sartika dimulai ketika banyak perempuan sunda yang datang kepadanya dan mengeluh tak punya kepandaian dan keterampilan apapun. Dewi Sartika berpikir pentingnya kaum wanita mendapat pendidikan agar bisa hidup sendiri, tidak semata-mata bergantung ke suami. Akhirnya Dewi Sartika pada tahun 1904 mendirikan sakola istri. Ada juga Inggit Garnasih, yang dari tangannya melahirkan negarawan Soekarno. Sunda kaya akan cerita legenda yang menempatkan perempuan sama tingginya dengan laki-laki. Juga kisah heroik Dewi Sartika yang sudah satu abad lalu dengan pemikiran yang gemilang. Tentunya kita berharap bahwa perempuan sunda adalah perempuan tangguh yang mandiri. Tetapi kenyataannya saya masih melihat banyak ketidakadilan terjadi pada perempuan sunda. Perempuan yang menikah di usia muda banyak di jumpai di ranah Sunda, sebut saja, Majalengka, Garut, Ciamis, Tasikmalaya. Menurut pengamatan saya sebagai perempuan yang lahir dan besar di tanah Sunda, saya terbiasa melihat pemandangan seorang perempuan, seorang ibu menjadi kepala rumah tangga. Bukan hanya sebagai pencari nafkah tetapi menjadi pelayan bagi semua anggota keluarganya. Suami menjadi raja yang harus dilayani, laki-laki baik dewasa maupun muda mendapatkan tempat nomor satu di rumah. Banyak sekali saya temui perempuan sunda yang sudah menjadi janda di bawah 25 tahun. Cukup banyak perempuan sunda yang kurang mendapatkan pendidikan yang baik sehingga mereka tidak memiliki keahlian dan akhirnya menjadi tidak produktif. Suami adalah tumpuan bagi mereka untuk menaruh hidupnya. Ketika di dalam rumah tangga mengalami KDRT pun, kebanyakan perempuan sunda akan bertahan karena faktor ekonomi. Banyak yang saya lihat perempuan sunda ini menyerahkan kehidupannya pada suami, lantas ketika ada anak mereka menitipkan harapan pada anak-anaknya untuk menjadi sumber kebahagiannya, semua itu dilakukan karena ketidakmampuannya untuk membahagiakan diri sendiri. Sunda adalah suku yang besar. Pepatah “banyak anak banyak rezeki” sepertinya diterapkan orang-orang Sunda dahulu, sehingga saya selalu melihat keluarga Sunda adalah sebuah keluarga besar. Darah menjadi pengikat yang erat di Sunda, tidak jarang saya melihat uwak, mamang maupun bibi ikut campur terhadap urusan ponakannya. Saya seperti melihat suatu kelompok besar dengan pemikiran yang nyaris sama, sehingga menjadi salah satu yang berbeda itu adalah tantangan besar. Islam, agama yang rahmatan lil alamin, menjadi pondasi untuk masyarakat sunda berkiblat, tetapi saya menyayangkan penafsiran yang salah tentang poligami dalam islam juga kekuasaan laki-laki atas perempuan. Hadis yang populer didengung-dengungkan di tengah keluarga saya “menikah dan perbanyaklah anak karena aku akan bangga memiliki anak yang banyak” menjadi salah satu alasan banyaknya perempuan sunda yang dipoligami. Inggit Garnasih perempuan sunda yang cerdas dan berani mengatakan tidak untuk dipoligami, meski kekuasaan di depan mata ditolaknya dengan tegas. Saya kemudian menjadi rindu pada sosok Dewi Sartika juga Inggit Garnasih, setiap kali saya melewati rumah bersejarah Inggit Garnasih juga ketika saya melewati jalan Dewi Sartika sambil mencari buku di tukang loak, mata saya langsung beriak. Ada perempuan hebat di Sunda! Ya, dulu. Sekarang, jarang saya melihat tampilnya perempuan Sunda di dunia sastra atau di ranah akademik yang mencolok. Saya tidak menampik, ada banyak perempuan Sunda yang populer, tapi itu tidak cukup mengingat penduduk Jawa Barat adalah yang terbanyak di Indonesia. Apa perempuan Sunda bodoh? Tidak! Nyata sekali bahwa penggerak sekolah perempuan pertama ada di Sunda yakni Dewi Sartika, nyata sekali bahwa legenda Sunda Dayang Sumbi menjadi legenda nasional dengan menempatkan tokoh perempuan menjadi sentral juga. Saya percaya, di balik gunung Papandayan yang menjulang itu, perempuan cerdas Sunda bersembunyi, saya juga percaya di bawah kaki bukit gunung Ciremai itu, banyak perempuan Sunda yang sedang mengasah pena nya. Untuk Sunda yang saya cintai, lahirkanlah perempuan hebat dari perutmu.
Amet
20/2/2015 01:49:09 pm
Suka dg tulisannya, ringan tapi membuka mata. Saya juga pernah baca cerpen ttg perempuan Batak, yg sbnrnya kedudukannya sangat terhormat, tapi harus kalah dg sistem patriarki. Jd kesimpulannya, di belahan dunia manapun masih banyak sistem masyarakat yg tidak menguntungkan bagi perempuan. 13/3/2015 12:26:20 pm
Silakan mampir ke rumahku http://menulislatex.blogspot.com/2014/11/aksara-sunda-baku.html Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |