Judul : Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX Penulis : Peter Carey dan Vincent Houben Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Cetakan I : Maret, 2016 Halaman : xiv + 114 ISBN : 978-602-6208-16-3 Pada Agustus 1900, RA Kartini (1879-1904) sebagai salah satu pengamat dan penulis budaya Jawa terpenting menulis, “Kami perempuan Jawa terutama sekali wajib bersifat menurut dan menyerah. Kami harus seperti tanah liat yang dapat dibentuk sekehendak hati.” Kartini menggunakan pronomina ‘kami’: sekian banyak perempuan Jawa yang dia saksikan, perjuangkan, dan sekaligus menjadi keprihatinan terbesarnya.
Bagi Kartini, juga pejuang hak emansipasi perempuan berikutnya, semua itu menjadi pertanyaan penting: “Apa sebab wanita sampai dapat dijadikan objek kesenangan laki-laki, seakan mereka tidak mempunyai pikiran dan pendapat atau perasaan sendiri? Apa sebab kaum laki-laki sampai menganggap wanita sebagai sebuah ‘golek’, sebuah boneka, barang mati yang boleh diperlakukan semaunya, seolah-olah wanita itu bukan manusia?” Di sinilah buku kecil Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, karya sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben, menjadi penting. Karya karier awal dua sejarawan kawakan ini mencoba menelusuri kuasa dan pengaruh wanita Jawa dalam arus politik, pergerakan militer, penjaga tradisi budaya, kepenulisan sastra, penjunjung agama, pembimbing-pendidik anak-anak (penguasa) Jawa, pemelihara trah pertalian wangsa, sebagai pengusaha, dan pengendali finansial politik. Semua ruang publik dan domestik ini menjadi arena kajian penting buku dua sejarawan tersebut. Abad ke-18 dan ke-19, atau era sebelum Kartini, biasanya disebut sebagai era pemerintahan kolonial yang sesungguhnya (high colonial period) yang terbentang antara Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830 M) dan awal pendudukan militer Jepang (1942-1945). Bagi Carey dan Houben pada awal sebelum Perang Jawa dan masa-masa sesudahnya adalah masa yang krusial dalam menelusuri perubahan peran dan kuasa perempuan Jawa, sebelum begitu terpengaruh kuasa kolonialisme Eropa yang didominasi lelaki patriarkis sekaligus sebelum kuasa Islam-Jawa patriarkis begitu dominan. Di pinggir surat seorang residen Jogja, Marsekal Daendels (1808-1811) menulis catatan yang penuh sentimen male chauvinist (pemujaan kejantanan): “perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi!” Tokoh veteran Perang Revolusi Prancis dan Perang Napoleon ini, juga penguasa atau birokrat kolonial Belanda berikutnya, menyadari bahwa perempuan Jawa sering begitu kuat menentukan arus politik dan budaya dan dengan sendirinya mengancam hasrat kolonialisme Eropa. Dalam catatan Serah Terima Jabatan (Memorie van Overgave), meski begitu didominasi kaum lelaki, terkadang ada catatan tokoh perempuan Jawa yang begitu berpengaruh. Salah satu tokoh perempuan Jawa yang begitu berpengaruh secara politis militer, politik keraton, pendidikan anak raja, dan sebagainya adalah Ratu Ageng Tegalrejo/Raden Ayu Serang (ca. 1732-1803). Dia adalah permaisuri pertama raja pertama Jogja (Sultan Mangkubumi) yang menjadi komandan pertama “Korps Srikandi” kesultanan. Dia memiliki keahlian naik kuda, menggunakan senjata, dan paham strategi perang. Di usia cukup dewasa, bekas prajurit èstri ini pindah ke Tegalrejo, menjadi pengikut tarekat Shaţţārīyah, dan terutama mengangkat-mengasuh Pangeran Diponegoro sebagai anak-didik terpentingnya sampai dewasa. Saat terjadi Perang Jawa, perempuan kesatria sakti dan pertapa ini angkat senjata memimpin pasukan berkekuatan 500 orang melawan Belanda. Tentu dua sejarawan itu wajib mengisahkan korps prajurit èstri yang terkenal sebagai pasukan elite. Para perempuan ningrat itu terlatih dan piawai menggunakan aneka senjata seperti tameng, busur, panah beracun, tombak, tulup, atau bedil, selain dilatih menari, menyanyi, dan memainkan musik. Dalam buku hariannya, Jan Greeve (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) mencatat hasil kunjungannya ke Surakarta (Solo) pada 31 Juli 1788: prajurit perempuan menembakkan salvo “dengan teratur dan tepat sehingga membuat kita kagum” sambil “menembakkan senjata tangannya [karben kavaleri] sebanyak tiga kali dengan sangat tepat…diikuti tembakan senjata kecil [artileri].” Jika selama ini sering terdengar pemberontakan dan kudeta oleh kaum lelaki, Carey dan Houben mengingatkan akan pentingnya kuasa dan peran Ratu Kedaton dan Ratu Kencono, dua aktor kunci pemberontakan gagal sang anak, Raden Mas Muhammad (Pangeran Suryèngologo) terhadap Sultan Yogya ketujuh pada 1883 di Kedu. Tentu saja peran sentral perempuan (ningrat yang tak mesti berdarah biru) Jawa adalah sebagai ibu dan sekaligus sebagai pendidik-pengajar, yang cukup sering memicu perseteruan internal keraton dalam perebutan penobatan putra mahkota. Peran ini memosisikan perempuan sebagai penjaga wali setia adat Jawa. Selain itu, banyak perempuan Jawa menguasai tradisi tulis-menulis, seperti Raden Ayu Purboyoso (ca. 1756-1822) yang terkenal mahir aksara pegon (Jawi gundul) dan memiliki koleksi versi Jawa karya sastra Islam Arab. Maka, melalui karya kecil dan penting ini, Carey dan Houben hendak mengingatkan: priyayi dan perempuan Jawa, setidaknya sampai akhir Perang Jawa, memiliki dan menikmati kebebasan dan kesempatan bertindak dan mengambil inisiatif pribadi yang lebih luas daripada saudari perempuan mereka pada akhir abad ke-19, seperti pada zaman Kartini. Dua sejarawan ini juga hendak merevisi citra Raden Ayu di Jawa sebagai “boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri...perempuan elok namun kepalanya kosong”, seperti yang tersebar dalam banyak literatur (sastra) kolonial Belanda. Memang, kajian yang dilakukan dua sejarawan ini masih tahap pengantar ringkas tapi cukup luas, sebagaimana diakui keduanya. Setidaknya, mereka berhasil menyimpulkan bahwa memudarnya kuasa perempuan model matriarki gaya Polinesia sedikit banyak dipengaruhi oleh Islam dan terutama kolonialisme Eropa khususnya Belanda yang tak menghendaki kuasa besar perempuan termasuk ambisi Raden Ayu Sekar Kedaton menjadi raja Jawa. Yang jelas, perempuan Jawa pra-Kartini, seperti terpapar dalam lembar buku ini, jauh lebih berkuasa dan perkasa. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |