Nadya Karima Melati (Lulusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia dan Koordinator SRGC) [email protected] Saya berbincang di bawah langit malam di sebuah kos-kosan yang lokasinya berdekatan dengan universitas negeri terbaik di Surabaya. Saya bersama dua orang teman saya yang semuanya perempuan dan baru menginjak usia 22 tahun. Kami berbicara banyak hal, mulai dari kegalauan pacar, apakah karier terbaik setelah lulus kuliah nanti, sampai perilaku seksual kami. Saya berasal dari universitas negeri di daerah Depok dan kebetulan menginap dua hari di Surabaya untuk menghadiri Konferensi Nasional. Melalui bincang-bincang hingga larut malam tadi, kami tahu bahwa perilaku seksual anak usia kami baik yang berasal dari kota Surabaya, Depok atau desa pinggiran pun sama saja. Kami sudah paham dan mengenal aktivitas seksual. Ini semacam rahasia bersama kami. Kami merasa beruntung justru karena tinggal di kota, kami mudah mengakses internet. Internet adalah guru kami, kami menanyakan apapun ke internet tanpa merasa malu, tidak seperti bertanya kepada orangtua ataupun guru di sekolah yang suka memberikan penjelasan seadanya. Perbincangan itu terjadi dua tahun yang lalu, ketika saya masih mahasiswa. Globalisasi membuat dunia ini berubah begitu cepat, ayah saya (58 tahun) pernah bercerita ketika masih seumuran saya, rumahnya belum ada toilet seperti sekarang. Dia dan keluarganya terbiasa buang air besar di pinggir sungai, kini anak-anaknya bisa merasakan water closet, produk peradaban yang dahulu hanya dinikmati oleh kelompok raja. Sekarang hampir semua wilayah di Indonesia memiliki toilet yang berbentuk water closet. Yang hendak saya tekankan disini adalah bagaimana dalam waktu kurang dari 60 tahun, dunia berubah begitu cepat. Kehadiran internet juga memberikan pengaruh hebat sehingga peradaban melesat. Tapi kemanakah arah peradaban ini menuju? Dan apakah manusia-manusia yang menciptakan budaya dan peradabannya ini telah cukup siap menghadapi perubahan yang melesat cepat? Pentingnya Pendidikan Seksual Komprehensif Saya ingin kembali ke paragraf pembuka tulisan ini, saya memulainya dengan curhatan remaja akhir-dewasa muda atau menggunakan padanan kata yang lebih efisien, adolescence. Perilaku seks yang terjadi pada adolescence menjadi semacam rahasia bersama. Ya, kami berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, beberapa dari kami telah melakukan hubungan seksual sejak SMA ataupun ketika di bangku perkuliahan. Hal ini bukanlah hal baru yang terjadi di kota besar. Novel kumpulan cerita yang ditulis Ayu Utami dan kawan-kawan berjudul Kisah Orang-orang Scorpio sempat menceritakan bahwa perilaku seksual di kalangan anak muda ini bukan hal baru, tetapi ketika sang ibu tumbuh dewasa dan berumah tangga, ia merasa khawatir terhadap anaknya yang akan mengalami jalan hidup yang sama (melakukan seks merdeka dan bertanggung jawab) seperti dia. Lantas berita Harian Tempo (Senin, 7 Maret 2016) berjudul “Perilaku Seksual Remaja Ibu Kota Mengkhawatirkan” seakan-akan menunjukan bahwa keterbukaan seksual remaja ibu kota baru terjadi kini, di era internet. Revolusi seksual bergulir agar tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) dapat ditekan, laju pertumbuhan penduduk terkendali, dan kualitas hidup masyarakat naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Semua ini dilakukan melalui pendekatan pendidikan seksualitas. SRHR (Sexual and Reproductive Health and Rights) dijadikan pedoman, dan satu-satunya modul cetak yang berpedoman pada SRHR diterbitkan oleh SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies) dalam bengkel kerja “Pencegahan Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” pada akhir Oktober lalu. SGRC sebagai komunitas pendidikan seksualitas yang diusung mahasiswa UI memberikan modul ini secara cuma-cuma dengan mengunduhnya via website kami: https://sgrcui.wordpress.com/2015/10/23/modul-pencegahan-pelecehan-dan-kekerasan-seksual-di-kampus/ . Sayangnya, website SGRC ini sempat mendapat surat teguran untuk ditutup oleh Kominfo berdasarkan informasi dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Belum banyak yang mengetahui SRHR sebagai landasan pendidikan seksual yang komprehensif. Pendidikan seksual memang bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan karena kita masih menganggap seks tabu dan perempuan yang membicarakan seksualitasnya adalah perempuan tidak bermoral. Padahal perkosaan banyak terjadi karena perempuan tidak memahami hak-hak tubuhnya dan kehamilan tidak direncanakan yang dialami anak perempuan di bangku sekolah disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan hak seksual dan kesehatan reproduksi. Seksualitas dan Penggunaan Internet Ketika mengkhawatirkan perilaku seksualitas remaja, saya rasa pemikiran ini berasal bahwa remaja ini tidak berdaya dan harus dilindungi. Rasa khawatir ini tidak salah, semua orang tua ingin yang terbaik dan selalu memberikan perlindungan terhadap anak sebagai generasi penerus. Akses informasi yang super cepat selalu dijadikan kambing hitam ketika para orang tua berupaya melindungi anak-anaknya. Blokir dan pembatasan pemakaian gadget dianggap menjadi solusi. Buat saya, disini ada pemikiran yang kurang lengkap, kita tidak bisa memosisikan remaja sebagai objek yang lemah dan tidak berdaya. Generasi millenial, paham tata cara penggunaan internet, generasi millenial lahir dan tumbuh besar seiring dengan perkembangan teknologi. Ini memberikan kultur generasi millenial cepat tanggap terhadap akses informasi dan adaptif dengan teknologi terbaru. Ada banyak jasa unblock sites, bahkan yang saya temui dalam untuk kasus pemblokiran web pornografi yang dilakukan pemerintah India malah justru memberikan daftar website dengan konten porno yang kelompok muda baru ketahui (dan dengan mudah juga kami retas). Internet justru menjadi kekuatan remaja. Internet berguna untuk networking dan mencari informasi. Generasi tua yang tidak biasa dengan internet menjadi ketakutan atas apa yang tidak mereka kuasai dan khawatir jika anak mereka akan salah arah dalam menyikapi dunia virtual. Kepanikan orang tua ini terjadi pula dengan pendidikan seksual terhadap anak dan remaja. Anak dan remaja dianggap tidak berdaya dan tidak mengetahui apa-apa dianggap akan menjadi hypersex apabila diberikan pendidikan seksualitas, apalagi jika dilakukan melalui media internet. Penutup Perang antar generasi akan menjadi perang yang tidak pernah berakhir. Kita semua, generasi tua dan muda, ibu-ibu ataupun bapak-bapak, anak perempuan dan anak laki-laki, remaja awal maupun akhir dalam beragam gendernya sebagai bangsa Indonesia sebenarnya masih mengalami permasalahan yang sama. Tingginya AKI dan AKB, pernikahan anak, kehamilan tidak direncanakan yang membuat banyak perempuan putus sekolah. Ada baiknya jika kita menelaah berbagai faktor yang membuat kita tidak maju-maju dalam menyelesaikan masalah bersama ini. Generasi tua dan muda bukan saling bertengkar melalui medianya masing-masing kemudian mengadu pendapatnya. Seharusnya kita semua duduk bersama dan mau mendengar. Bukankah kesepakatan antar generasi yang mampu mengantarkan Indonesia menuju jembatan emas bernama proklamasi kemerdekaan?
Anton
28/5/2016 11:42:54 pm
Saya sangat setuju dengan anda. Semakin sesuatu hal ditutupi, maka biasanya rasa penasaran yg timbul makin besar. Sama halnya dengan seks. Dengan kemudahan akses informasi melalui internet, masyarakat dengan mudah mencari celah sekalipun untuk situs2 porno yg diblockir. Yg perlu kita lakukan sebaiknya bukan membuat "pagar" tpi memberikan informasi yg baik dan benar mengenai seks pada setiap individu. Untuk meneliti berbagai faktor2 tsb tentunya perlu kerjasama dri bbg pihak mulai dari Kedokteran, hukum, sosial, dsb. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |